Paradigma Baru Kebijakan Moneter
Sudah terlalu banyak kesalahan dalam kebijakan moneter yang kita buat di masa lalu akibat kita tidak cukup memahami mengenai peran bank dan pasar kredit dalam perekonomian.Tentu kita masih ingat dengan gebrakan Sumarlin I dan II di awal era tahun 1990-an yang mengakibatkan terkurasnya likuiditas perbankan pada saat itu. Kita juga masih trauma dengan penutupan 16 bank di tahun 1997 yang mengakibatkan kepanikan dan kolapsnya sistem perbankan.
Apa yang menjadi latar belakang semua keruwetan itu? Kita ternyata memiliki pemahaman kurang lengkap mengenai teori moneter. Ahli moneter kita dan di belahan dunia mana pun jarang yang dididik sekaligus sebagai ahli perbankan. Anda boleh klik situs web departemen ekonomi di berbagai universitas terkemuka di dunia dan Anda akan tahu bahwa mata kuliah the economics of banking jarang sekali dijumpai. Untuk level undergraduate, sekalipun ada mata kuliah yang berjudul money and banking, ternyata mata kuliah itu lebih berat ke teori moneter konvensional. Aspek perbankannya sangat sedikit disentuh dan tidak terintegrasi secara baik dengan aspek makro-moneternya.
Dalam buku terbarunya, Towards a New Paradigm in Monetary Economics, Stiglitz dan Greenwald (2003) mencoba menghapus dikotomi ini. Argumen utama mereka adalah efektivitas kebijakan moneter sangat bergantung pada kondisi dari dunia perbankan, terutama dalam penyaluran kredit. Pasalnya, hampir seluruh mekanisme transmisi kebijakan moneter harus melewati sektor perbankan. Agar dapat mencapai sasaran, otoritas moneter harus memahami bagaimana sektor perbankan akan bereaksi terhadap perubahan dalam kebijakan moneter.
Dalam ilmu ekonomi moneter konvensional, peran bank hanya diperhitungkan dari sisi kewajibannya. Broad money (M2) didefinisikan sebagai penjumlahan uang kartal, giro, tabungan (saving deposit), dan deposito (time deposit). Definisi ini hanya mengukur uang dari sisi transactional demand dan spending power para penabung. Konsep ini jelas meniadakan peran bank sebagai lembaga intermediasi keuangan, yaitu pengumpul dana masyarakat yang sekaligus merangkap sebagai penyalur kredit.
Pada kenyataannya, bank terhubung dengan sektor riil melalui aktivitas penyaluran kredit. Inilah inti argumen dari Stiglitz dan Greenwald. Di samping itu, kredit sebetulnya lebih cocok ketimbang simpanan dalam mengukur transactional demand dan spending power yang sesungguhnya. Individu dan perusahaan memperoleh kredit dari bank untuk membiayai belanja konsumsi maupun investasi. Permintaan kredit dilandasi oleh kebutuhan untuk melakukan pembelanjaan. Di lain pihak, simpanan dilandasi oleh motif menunda pembelanjaan.
Berdasarkan argumen di atas, permintaan barang dan jasa sebenarnya lebih dipengaruhi oleh kredit dibandingkan oleh simpanan. Ekspansi kredit akan mengakibatkan peningkatan permintaan dan penawaran agregat yang pada gilirannya akan memengaruhi tingkat output dan harga. Oleh karena itu, kebijakan moneter harus didesain untuk secara langsung dapat mempengaruhi keputusan bank dalam mengalokasikan kredit.
Paradigma baru
Pada umumnya, otoritas moneter tidak selalu bisa mengandalkan kebijakan suku bunga untuk mempengaruhi aktivitas sektor riil. Teori moneter konvensional selalu mengasumsikan bahwa turunnya suku bunga akan diikuti naiknya investasi dan output nasional. Namun, menurut paradigma baru, hal seperti ini tidak selalu terjadi. Penurunan suku bunga SBI tidak disertai dengan penurunan suku bunga kredit dengan kecepatan yang sama. Secara tragis, kita juga menyaksikan bahwa lambannya penyesuaian suku bunga kredit telah mengakibatkan suku bunga kredit riil justru meningkat. Artinya, dunia usaha menjadi terbebani biaya modal yang lebih besar. Karena itu, investasi tidak kunjung berkembang, dan di lain pihak perbankan mengalami kelebihan likuiditas.
Hal tersebut di atas menandakan bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga tidak efektif dalam mempengaruhi kegiatan di sektor riil. Karena itu, perlu didesain perangkat kebijakan moneter yang sama sekali baru untuk mengatasi masalah kelebihan likuiditas. Dari hasil estimasi yang dilakukan di Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, ekses likuiditas yang dialami sektor perbankan merupakan akibat dari rendahnya permintaan dan penawaran kredit secara simultan. Dengan demikian, kebijakan yang harus ditempuh adalah yang bisa mempengaruhi pasar kredit baik dari sisi penawaran maupun permintaan. Karena masalahnya ada di dua sisi, kita tak bisa mengandalkan satu instrumen kebijakan saja. Untuk menembak dua burung minimal harus memiliki dua peluru. Setidaknya ada tiga kebijakan.
Pertama, harus diciptakan suatu sistem insentif (disinsentif) yang mampu mendorong perbankan melakukan ekspansi kredit.
Kedua, harus ditemukan cara untuk meningkatkan permintaan kredit dan mendorong investasi di sektor riil. Rendahnya investasi terkait dengan masih belum yakinnya investor tentang prospek ekonomi. Dalam hal ini tidak banyak yang bisa dikerjakan oleh BI kecuali menjaga stabilitas moneter. Fluktuasi dalam nilai tukar, suku bunga dan harga harus diredam sehingga risiko makro ekonomi dapat diminimalisasi.
Ketiga, menciptakan mekanisme short circuit untuk dapat mengatasi kelebihan dana yang setengah menganggur di sistem perbankan. Uang hanya berputar-putar di antara deposito dan SBI. Kalau ini terus terjadi, operasi moneter menjadi sangat mahal karena BI harus membayar bunga pada bank. Di sinilah peran koordinasi otoritas fiskal dan moneter. Kalau otoritas fiskal sedikit meninggalkan kebijakan fiskal yang konservatif, akan ada ruang untuk percepatan ekonomi dengan cara menciptakan defisit anggaran.
Surat utang Negara
Defisit bisa dibiayai dengan penerbitan surat utang negara semacam T-bills. Kekhawatiran utama mekanisme pembiayaan semacam ini adalah keruwetan manajemen pengelolaan utang publik yang ditimbulkannya karena setiap bulan bendahara negara harus melakukan penerbitan ulang untuk menggantikan T-bills yang jatuh tempo. Di sini timbul risiko, yaitu kemungkinan T-bills baru tidak akan direspons pasar. Untuk itu BI bisa berperan sebagai quasi standby buyer. Selama BI bisa menjaga suku bunga SBI di bawah suku bunga T-bills insentif untuk membeli T-bills menjadi lebih besar.
Dalam keadaan di mana bank membutuhkan likuiditas, mereka dapat menjual T-bills kepada BI. Pada akhirnya penempatan di SBI menurun, dan secara bertahap digantikan dengan T-bills. Beban operasi moneter yang harus ditanggung BI menurun dan di lain pihak kita bisa membiayai kebijakan fiskal yang ekspansif.
No comments:
Post a Comment