SURVEI TERHADAP TERJADINYA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) WANITA KARIER DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase wanita karier di wilayah DIY yang mengalami KDRT ditinjau dari keempat jenis KDRT yang ada dan persentase wanita karier di wilayah DIY yang mengalami KDRT ditinjau dari usia perkawinan.
Penelitian ini didesain sebagai penelitian deskriptif dengan metode survei terhadap wanita karier yang ada di wilayah DIY. Variabel penelitian adalah KDRT pada wanita karier yang berprofesi sebagai pendidik (guru/dosen) dari lima Kabupaten yang ada di DIY. Populasi penelitian adalah seluruh pendidik (guru/ dosen) yang berasal dari lima Kabupaten di DIY, yaitu Kota, Bantul, Sleman, Kulon Progo, dan Gunung Kidul. Sampel penelitian sebanyak 40 wanita karier per Kabupaten yang diambil secara area purpossive sampling. Instrumen penelitian berupa angket yang dijabarkan berdasarkan keempat bentuk KDRT sesuai dengan UU Penghapusan KDRT No. 23 Tahun 2004, yaitu kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi, sehingga memenuhi validitas logis. Setiap butir angket mengandung lima alternatif jawaban, yaitu tidak pernah (TP), jarang (J), kadang-kadang (K), sering (S), dan sangat sering (SS). Data berupa skor terjadinya KDRT kemudian dijumlahkan sesuai dengan bentuk KDRT yang ada dan diubah menjadi bentuk persentase. Selan-jutnya skor terjadinya KDRT dipisahkan sesuai dengan bentuk kekerasan dan interval usia perkawinan yang ditetapkan dalam penelitian. Persentase wanita karier di wilayah DIY yang mengalami KDRT ditinjau dari kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi berturut-turut sebesar 20,462%, 21,415%, 21,127%, dan 21,283%. Secara keselu-ruhan persentase rata-rata untuk semua jenis KDRT sebesar 21,072% dengan kriteria/kategori rendah. Persentase wanita karier di wilayah DIY yang mengalami KDRT mulai dari usia perkawinan 1 – 5 tahun, 5,1 – 10 tahun, 10,1 – 15 tahun, dan > 15 tahun berturut-turut sebesar 21,544%, 20,828%, 21,435%, dan 21,223%, semua dalam kriteria/kategori rendah.
Penelitian ini telah berhasil menunjukkan bahwa ada sebagian kecil wanita karier yang berprofesi pendidik (guru/dosen) mengalami KDRT. Makna yang lebih mendalam dari hasil penelitian ini adalah perlunya dilakukan penelitian lanjutan terhadap wanita karier yang mengalami perceraian akibat gugat cerai dari pihaknya sendiri, agar benar-benar diperoleh informasi penting yang dapat menjadi bahan renungan sekaligus dapat dirancang kegiatan yang mampu membantu wanita-wanita yang mengalami masalah KDRT, sehingga angka perceraian dapat dikurangi perlahan-lahan.
Kata kunci: survei, kekerasan dalam rumah tangga,
wanita karier
PENDAHULUAN
Kehidupan
rumah tangga yang damai, sejahtera, dan bahagia adalah dam-baan setiap
keluarga. Tidak ada satupun wanita di dunia ini yang menginginkan kehidupan
rumah tangga yang kandas di tengah jalan, karena harus mengalami perceraian
dalam rumah tangganya. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah menjadi agenda
bersama dalam beberapa dekade terakhir. Fakta menunjuk-kan bahwa KDRT
memberikan efek negatif yang cukup besar bagi wanita sebagai korban. World
Health Organization (WHO) dalam World Report pertamanya mengenai
“Kekerasan dan Kesehatan” di tahun 2002, menemukan bahwa antara 40–70% wanita
yang meninggal karena pembunuhan, umumnya dilakukan oleh mantan atau
pasangannya sendiri. Laporan Khusus dari PBB mengenai “Keke-rasan terhadap Wanita”
telah mendefinisikan KDRT dalam bingkai gender sebagai ”kekerasan yang
dilakukan di dalam lingkup rumah tangga dengan target utama terhadap wanita
dikarenakan peranannya dalam lingkup tersebut; atau kekerasan yang dimaksudkan
untuk memberikan akibat langsung dan negatif pada wanita dalam lingkup rumah
tangga.”. Ada empat jenis kekerasan dalam rumah tangga, yaitu kekerasan fisik,
psikis, seksual, dan ekonomi. Namun demikian, masyarakat umum memahami
kekerasan biasanya hanya sebatas kekerasan fisik.
Wanita karier
adalah wanita yang bukan hanya bekerja di sektor domestik, tetapi juga di
sektor publik. Perannya yang ganda tersebut seringkali memberikan kesibukan
yang luar biasa, sehingga kadang-kadang intensitas komunikasi dengan pasangan
hidupnya relatif kurang. Komunikasi yang kurang kemungkinan dapat menyebabkan
masalah kecil dalam rumah tangga menjadi masalah yang besar jika tidak segera
diatasi. Tidak jarang hal ini menimbulkan pertengkaran dan adu mulut, bahkan
sampai menimbulkan kekerasan fisik bagi wanita. Akan tetapi, karena wanita karier
sibuk dengan berbagai akitivitas, kadang-kadang keadaan rumah tangga yang
dialaminya tidak terlalu dipikirkan, termasuk tidak pernah berpikir tentang
adanya KDRT dalam rumah tangganya.
Berdasarkan
hal tersebut, maka perlu kiranya dilakukan survei tentang terjadinya KDRT
wanita karier agar mereka menyadari bahwa adanya KDRT sekecil apapun perlu
dikomunikasikan dengan pasangannya, sehingga tidak menjadi pemicu masalah di
kemudian hari yang dapat berakibat fatal pada terjadi-nya perceraian. Penelitian
ini difokuskan pada responden yang berprofesi sebagai pendidik (guru/dosen)
karena sebagai pendidik yang berperan menanamkan nilai-nilai karakter yang baik
dan akhlak mulia kepada peserta didiknya biasanya sangat tertutup terhadap
masalah pribadi yang dihadapinya, artinya ketika ia mengajar semua permasalahan
pribadi sedapat mungkin ditekan sedemikian rupa agar tidak terlihat di hadapan
peserta didiknya. Keadaan ini berakibat sulitnya terdeteksi ter-jadi atau
tidaknya dan mengalami atau tidaknya kekerasan dalam rumah tangga seorang
pendidik.
KAJIAN PUSTAKA
A. Profesi Pendidik
Pendidik (guru/dosen) merupakan
keterampilan profesional yang untuk menyandang profesi tersebut harus menempuh
jenjang pendidikan tinggi pada program studi kependidikan (Mohamad Ali, 1984 :
31-34).
Ada satu peristiwa di Amerika Serikat yang
ada kaitannya dengan profesi pendidik, yaitu pada tahun 1948. Ketika itu banyak
pasien masuk ke rumah sakit besar di Amerika Serikat, ternyata yang menderita
gangguan mental 17% pasien dokter, 19% petani, 30% dokter gigi, 36% ahli hukum
dan ibu rumahtangga, dan 55% pendidik (Nasution, 1982 ; 121). Hal ini
kemungkinan besar disebabkan pekerjaan sebagai pendidik seringkali menimbulkan
ketegangan dan frustasi. Keadaan ini sangat dimungkinkan menimpa pendidik
wanita, karena selain harus menjalankan tugas sebagai pendidik yang demikian
berat, juga masih terbebani pekerjaan domestik yang juga berat. Terlebih jika
pasangannya tidak mau tahu dan tidak meringankan beban pekerjaan tersebut. Secara
psikologis, keadaan ini berpengaruh pada ketidakberdayaan wanita, mena-rik diri
dari lingkungan, dan penurunan motivasi (Kendall & Hammen, 1984).
Peran ganda wanita karier
menyebabkan mereka harus pandai-pandai membagi waktu dan tenaga dengan
sebaik-baiknya, namun demikian seringkali pekerjaan domestik menjadi
terbengkalai. Bagi pasangan yang dapat memahami mungkin keadaan ini tidak menjadi
masalah, tetapi sebagian dari mereka menganggap suatu masalah, sehingga tidak
jarang berujung pada pertengkaran kecil menjadi besar sampai pada kekerasan
fisik.
Perasaan wanita yang mudah
tersinggung, menyebabkan setiap kali terjadi pertengkaran meninggalkan luka
hati yang disimpan sangat dalam dan suatu saat akan dapat meledak menjadi
pertengkaran hebat (Kartini Kartono, 1977:190). Tidak jarang hal ini memicu
adanya perceraian.
Oleh karena wanita karier dalam
kehidupan kesehariannya disibukkan oleh berbagai aktivitas publik dan domestik,
sehingga jarang mereka merenungkan bahwa apa yang dialami dalam rumah tangganya
merupakan bentuk KDRT. Sosialisasi isi UU Penghapusan KDRT kepada khalayak
masyarakat diharapkan dapat menjadi pengendali jika seseorang akan melakukan
KDRT.
B. Wanita Karier
Wanita karier adalah mereka yang
memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengorganisasikan pekerjaan mereka,
sehingga dapat mencapai prestasi, tetapi tetap dapat menjalankan fungsinya
sebagai ibu rumah tangga (Juwairiyah Dahlan, 1999).
Menurut Heni Widyastuti (200: 72) pada
umumnya wanita karier memiliki masalah intern, seperti terbatasnya waktu dan
kesempatan mendidik anak, tugas rumah tangga yang terbengkalai, lemahnya
kondisi fisik akibat kerja di kantor. Sedangkan masalah ekstern yang dihadapi
antara lain kurangnya pengertian suami terhadap keadaan istri, sulitnya
berperan ganda karena sebagian besar suami menyerahkan pekerjaan rumah tangga
dan pendidikan anak kepada istri, faktor pandangan lingkungan yang
kadang-kadang tidak mengenakkan hati.
Penelitian yang dilakukan
Susilaningsih (1996: 106) terhadap wanita karier di Kabupaten Gunung Kidul
menunjukkan meningkatnya gugat cerai yang sebagian beralasan karena adanya KDRT
yang sudah lama mereka alami dan setelah tidak kuat baru mengajukan gugat cerai.
Namun mereka tidak mengetahui bahwa alasan tersebut termasuk KDRT dan ada UU
yang melindunginya.
C. UU Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
Berdasarkan hasil Rapat
Paripurna DPR pada tanggal 14 September 2004, telah disahkan Undang-Undang No.
23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang
terdiri dari 10 bab dan 56 pasal, yang diharapkan dapat menjadi payung
perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga, khususnya wanita, dari
segala tindak kekerasan.
Secara garis besar UU ini berisi
tentang ketentuan umum, meliputi pengertian KDRT, penghapusan KDRT, korban
KDRT, perlindungan, perintah perlindungan, dan lingkup rumah tangga. Bab-bab
selanjutnya mengatur tentang asas dan tujuan diadakannya penghapusan KDRT,
larangan KDRT termasuk bentuk-bentuk KDRT, hak-hak korban, kewajiban Pemerintah
dan masyarakat, perlindungan, pemulihan korban, dan ketentuan pidana.
Kebanyakan orang awam menganggap
perbuatan yang termasuk KDRT hanyalah sebatas kekerasan fisik, padahal menurut
UU Penghapusan KDRT No. 23/2004 Pasal 5 – 9, bentuk-bentuk kekerasan yang
dimaksud dapat berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi.
Menurut UU PKDRT, KDRT adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbul-nya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psiologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga. Sedangkan penghapusan KDRT adalah jaminan yang diberikan oleh negara
untuk mencegah terjadinya KDRT, menindak pelaku KDRT, dan melindungi korban
KDRT.
Pada
tingkat internasional, kekerasan terhadap wanita telah dilihat sebagai suatu
bingkai kejahatan terhadap hak dan kebebasan dasar wanita serta perusakan dan
pencabutan kebebasan mereka terhadap hak-hak yang melekat pada dirinya. Hal ini
menjadi sebuah tantangan dalam pencapaian persamaan hak, pengem-bangan dan
kedamaian yang diakui dalam Nairobi Forward-looking Strategis for the
Advancement of Women, yang merekomendasikan satu perangkat tindakan untuk
memerangi kekerasan terhadap wanita. Rekomendasi tersebut dibebankan kepada
Pemerintah sebagai kewajiban hukum dan moral untuk menghilangkan KDRT melalui
kombinasi berbagai langkah serius.
KDRT
merupakan permasalahan yang telah mengakar sangat dalam dan terjadi di seluruh
negara dunia. Oleh karena itu masyarakat internasional telah menciptakan
standar hukum yang efektif dan khusus memberikan perhatian terhadap KDRT. Sebagai
contoh, tindakan memukul wanita telah dimasukkan di dalam konvensi HAM
internasional maupun regional yang mempunyai sifat hukum mengikat terhadap
negara yang telah meratifikasinya. Dokumen HAM Internasional tersebut, meliputi
Universal Declaration of Human Rights (UDHR), the International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dan the International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang menjadi
standar umum mengenai Hak Asasi Manusia, dimana para korban dari KDRT dapat menggugat
negaranya masing-masing.
Berbagai
peristiwa KDRT telah menunjukkan bahwa negara telah gagal untuk memberi
perhatian terhadap keluhan para korban. Suatu negara dapat dikenakan sanksi
jika negara tersebut merupakan anggota dari instrumen internasional seperti telah
disebutkan sebelumnya. Hal yang sama dapat pula dilakukan di bawah Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)
beserta dengan Protokolnya, dan juga melalui Convention Against Torture and
Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment (CAT). Demikian
juga, instrumen regional dapat memberikan perlindungan terhadap wanita yang
menjadi korban.
Pengaduan kasus KDRT menempati peringkat teratas selama
tahun 2009. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Wanita Indonesia untuk
Keadilan (LBH Apik) mencatat 657 pengaduan oleh wanita yang mengalami
kekerasan. Pengaduan KDRT banyak dialami wanita yang menjadi ibu rumah tangga. Aduan
terbanyak kedua adalah perselisihan pasca perceraian termasuk soal pembagian
harta gono-gini (99 kasus). Aduan perdata (92 kasus) termasuk aduan pidana umum
yang menyangkut pelecehan terhadap wanita (80 kasus). Secara keselu-ruhan
tingkat aduan meningkat dari tahun 2008, jumlah aduan sebanyak 853 kasus, maka
tahun 2009 mencapai 1058 kasus.
DAFTAR PUSTAKA
Hembing Wijayakusuma, (1999). Frigiditas: Penyebab, Pencegah, dan Penyem-buhannya. Jakarta: Handal Niaga Pustaka.
Juwairiyah Dahlan. (1999). Peranan Wanita dalam Islam (Studi tentang Wanita Karier dan Pendidikan Anak. Disertasi. Yogyakarta: PPS IAIN Suka
Kartini Kartono. (1977). Psikologi Wanita. Bandung: Alumni.
Kedaulatan Rakyat. (2009). Selama 2009, Kasus KDRT Peringkat Teratas. Rabu, 6 Januari 2010
Kendall, P. C & Hammen, C. (1984). Abnormal Psychology Understanding Human Problems. Boston: Houghton Mifflin Company.
Mohamad Ali. (1984). Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung : Sinar Baru.
Nasution, S. (1987). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta : Bina Aksara.
Robert Ebel L. (1972). Essentials of Educational Measurement. New Jersey : Prentice Hall Inc. Englewood Clift.
Susilaningsih. (1997). Dinamika Kelompok Keagamaan sebagai Pendorong Usaha Peningkatan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga. Yogyakarta : Fak. Tarbiyah IAIN Suka.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
No comments:
Post a Comment