Thursday, June 13, 2013

Busana Tradisional Dayak Ngaju

Busana Tradisional Dayak Ngaju 
Mengalirnya waktu dan berbaurnya pelbagai budaya menyebabkan perkembangan estetika masyarakat Dayak Ngaju yang semakin bergeser dari nilai-nilai asalnya meski tak menghilangkan substansinya. Hal itu nyata terlihat dengan berkembangnya seni berbusana masyarakat asli Pulau Kalimantan ini. Awalnya kulit kayu, lalu tenunan serat alam yang "kasar", kemudian kain tenun halus, kemudian desain yang tak lagi sekadar fungsional, semua itu adalah fenomena yang menyiratkan bergesernya nilai-nilai tata cara berbusana dan seni berdandan masyarakat Dayak Ngaju. 

Busana Kulit Kayu 
Beratus tahun lalu masyarakat Dayak membuat busana dengan bahan dasar kulit kayu yang disebut kulit nyamu. Kulit kayu dari pohon keras itu ditempa dengan pemukul semacam palu kayu hingga menjadi lemas seperti kain. Setelah dianggap halus "kain" itu dipotong untuk dibuat baju dan celana. 

Model busananya sangatlah sederhana dan semata fungsional. Bajunya berupa rompi unisex tanpa hiasan apapun. Rompi sederhana ini dalam bahasa Ngaju disebut sangkarut. Celananya adalah cawat yang, ketika dikenakan, bagian depannya ditutup lembaran kain nyamu berbentuk persegi panjang, yang disebut ewah. Busana itu berwarna coklat muda, warna asli kayu, tak diberi hiasan, tak pula diwarnai, sehingga kesannya sangat alamiah. 

Akan tetapi naluri berdandan, yang konon telah bangkit pada hati setiap manusia sejak ribuan tahun silam, mengusik hasrat masyarakat Dayak Ngaju untuk "mempercantik" penampilan. Maka baju kulit kayu sederhana itu pun lalu dilengkapi dengan aksesori ikat kepala (salutup hatue untuk kaum lelaki dan sal utup bawi untuk para perempuan), giwang (suwang), kalung, gelang, rajah (tatoo) pada bagian-bagian tubuh tertentu, yang bahannya juga dipungut dari alam sekitar. Biji-bijian, kulit kerang, gigi dan taring binatang dirangkai menjadi kalung, gelang dibikin dari tulang binatang buruan, giwang dari kayu keras, dan berbagai aksesori lainnya yang mendaurulangkan limbah keseharian mereka. Dan kesederhanaan pakaian kulit kayu itu kemudian memancarkan esensi keindahan karena imbuhan warnawarni flora dan fauna yang ditambahkan sebagai pelengkap busana. 

Pada perkembangan selanjutnya masyarakat Dayak Ngaju pun mulai membubuhkan warna dan corak hias pada busana mereka. Bahan pewarna itu secara kreatif diolah dari yang tersedia pada alam sekitar mereka. Misalnya saja, warna hitam dari jelaga, warna putih dari tanah putih dicampur air, warna kuning dari kunyit, warna merah dari buah rotan. 

Corak hias yang digambarkan pada busana juga diilhami oleh apa yang mereka lihat di alam sekelilingnya. Maka tampillah stilasi bentuk flora dan fauna, bunga, dedaunan, akar pohon, burung, harimau akar, dan sebagainya, menjadi corak hias busana adat. Keyakinan dan alam mitologi juga memberi inspirasi pada penciptaan ragam corak hias busana adat sehingga gambar-gambar itu, selain tampil artistik, pun punya makna simbolik. Pengaruh agama Hindu pada kepercayaan asal masyarakat Ngaju, yang cenderung animistik, misalnya, melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai agama Hindu Kaharingan. Sinkretisme itu melahirkan pelbagai keyakinan dan mitologi dan mengilhami lahirnya corak hias naga, manusia, dan sebagainya, yang bermakna sangat filosofis. 

Salah satu mitologi masyarakat Dayak Ngaju yang terkenal adalah tentang penciptaan alam yang melahirkan simbolisasi "pohon hayat" atau "pohon kehidupan" dalam bentuk corak hias yang dikenal dengan nama batang goring. Corak hias ini sangat berarti bagi masyarakat Dayak Ngaju sehingga busana adat untuk upacaraupacara penting - misalnya upacara tiwah, dalam kepercayaan Kaharingan, untuk mengantar ruh manusia yang meninggal dunia ke peristirahatannya, upacara meminta hujan, upacara pengobatan belian obat - kelengkapannya adalah busana dengan corak hias batang garing. Selain itu, diatur pula pemakaian corak hias busana adat - berbeda untuk perempuan dan lelaki - bagi para pemuka kelompok, para tetua adat, panglima perang, kepala suku, dan ahli pengobatan. 

Busana Jalinan Serat Alam 
Inovasi yang paling signifikan pada rancangan busana masyarakat Dayak adalah penguasaan keterampilan menjalin serat alam. Teknik menenun, konon, diperkenalkan kepada masyarakat Ngaju oleh orang-orang Bugis. Maka kulit kayu yang semula hanya ditempa menjadi lembaran-lembaran "kain", kini diolah dengan teknik yang memerlukan kesabaran dan konsentrasi tinggi. Dari kulit kayu yang telah dihaluskan mereka membuat serat yang dicelup oleh bahan pewarna alam sehingga dihasilkan benang yang tak tunggal warna. Mereka pun lalu menciptakan alat penjalin untuk "merangkai" serat demi serat menjadi bentangan bahan busana untuk baju, celana, ikat kepala, dan kelengkapan lainnya. 

Eksplorasi terus dilakukan untuk mencari bahan-bahan lain yang bisa dibuat benang. Mereka kemudian melirik rotan, jenis rumputrumputan, akar tumbuhan, sehingga "kain" yang dihasilkan menjadi beragam. Rancangan dan fungsi busana pun turut berkembang. Pakaian yang dibuat bukan lagi hanya untuk fungsi yang paling mendasar yakni baju dan celana untuk melindungi bagian tubuh yang dianggap paling penting saja, tapi diperluas untuk keperluan lainnya. Umpamanya saja sangkarut perang dari jalinan rotan (sangkarut perang) untuk penahan tusukan anak panah, sumpit, dan tombak. 

Orang-orang Cina dan India memperkenalkan manik-manik yang terbuat dari logam, keramik, melengkapi yang sebelumnya telah dibuat masyarakat Ngaju dari biji-bijian, kayu, dan tulang. Selain untuk aksesori, manikmanik itu juga kemudian diaplikasikan menjadi hiasan busana. Maka busana masyarakat Ngaju jadi semakin ornamentik dan semarak warna. Akan tetapi, hiasannya tetap mengekspresikan keakraban mereka dengan alam. Corak hiasnya masih menampilkan alam flora, fauna, dan mitologi. Dan kini pucuk rebung, burung enggang, ular, harimau akar, manusia, awan, batang garing, tampil pula dalam ekspresi yang lain. 

Temuan-temuan baru itu kemudian dikembangkan lagi secara kreatif oleh para perancang busana masyarakat Ngaju. Hasilnya adalah tata busana yang memadukan kulit kayu, jalinan serat alam, berhiaskan gambar pewarna alam, dan aplikasi manik-manik dan arguci. Jenis-jenis busana seperti ini sekarang pun masih bisa dibuat untuk berbagai keperluan, umpamanya saja, untuk kostum tarian, koleksi museum, atau cendera mata. 

Busana Kain Tenun Halus 
Para pedagang Gujarat dari India yang datang ke Nusantara membawa serta kain-kain tenun halus sebagai barang dagangan. Kain-kain tersebut ditenun dari serat kapas atau sutra. Masyarakat Ngaju, terutama yang bermukim di daerah pesisir dan pusat kerajaan, memberikan apresiasi positif terhadap bahan busana yang sebelumnya tidak ada pada khasanah karya tenun mereka itu. Maka diadaptasilah teknik menenun kain halus itu dan kreativitas para penenun masyarakat Ngaju kemudian melahirkan juga kain tenun halus. Betapa tidak, karena ternyata alam Nusatara yang kaya raya juga menyediakan kapas dan sutra. 

Busana tradisional masyarakat Ngaju yang beredar sekarang ini hampir seluruhnya dibuat dari kain tenun halus serat kapas atau sutra. Busana pengantin, pakaian acara-acara adat, kostum taritarian, dan sebagainya, kebanyakan dibuat dari kain beludru, satin, atau sutra. Akan tetapi corak hias dan modelnya tidak bergeser jauh dari bentuk asalnya. Pakaian tradisional masyarakat Ngaju yang sekarang dianggap sebagai busana daerah Kalimantan Tengah untuk pelbagai upacara adat adalah pengembangan dari busana tradisonal masa lampau. 

Busana kaum perempuan terdiri dari baju kurung ngasuhui berlengan panjang atau pendek, dari kain satin atau beludru, yang pada bagian bawahnya diberi corak hias stilasi bentuk flora atau fauna. Paduannya rok panjang sebatas betis, disebut salui, dari kain yang sama yang juga diberi corak hias berupa penggayaan bentuk flora atau fauna. Rambut yang disanggul bentuk sanggul lipat atau dibiarkan terurai dihias ikat kepala, lawung bawi, dari kain yang sewarna dengan baju dengan sehelai bulu burung haruei yang diselipkan pada ikat kepala bagian belakang. Dan aksesori yang dikenakannya adalah kalung manik-manik, dan anting-anting atau suwang. 

Baju kaum lelaki disebut baju palembangan, model baju pria Melayu tapi berkerah, juga dari beludru atau satin. Pada kerah, ujung lengan baju, dan bagian dada, diberi hiasan. Celananya disebut selawar gobeh, celana panjang "komprang" (tidak ketat) dari kain yang sama dengan bajunya. Sedangkan penutup kepala dibuat dari kain yang dibentuk seperti peci atau kopiah yang disebut lawung siam.

No comments:

Post a Comment