Saturday, June 15, 2013

Hak Pilih Pasif Warga Negara dalam Sudut Pandang HAM

1. Hak Pilih Pasif Warga Negara dalam Sudut Pandang HAM 
Secara umum, seperti yang telah ditulis sebelumnya, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia berdasarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM adalah, seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilinungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Disini dapat kita lihat bahwa, inti daripada HAM itu sendiri adalah hak mendasar (fundamental) yang tidak boleh dikurangi sedikitpun. 

Lalu dimana letak hak pilih pasif (hak dipilih) warga Negara? 
Hak pilih pasif adalah salah satu contoh hak konstitusional warga Negara dalam bidang politik yang juga merupakan bagian daripada HAM. Jadi, hak pilih pasif seorang warga Negara, sudah seharusnya untuk dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan pemerintah. Mengenai perlindungan hak pilih pasif itu juga, telah diatur dan dilindungi oleh UUD 1945 negara Republik Indonsia, yaitu pada ketentuan pasal 28C ayat (2)[1], pasal 28D ayat (1)[2], pasal 28D ayat (3)[3], pasal 28I ayat (2)[4]

Disamping UUD 1945 yang mengatur tentang perlindungan hak pilih pasif tersebut, article 21 Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, juga mengatur tentang hal tersebut. Article 21 berbunyi : everyone has the right to take part in the government of his country, directly or through freely chosen representatives. The will of the people shall be the basis of the authority of government; this will shall be expressed in periodic and genuine elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret vote or by equivalent free voting procedures. Dengan demikian jelas bahwa dalam suatu masyarakat demokratis, yang telah diterima secara universal oleh bangsa-bangsa beradab, hak atas partisipasi politik adalah suatu hak asasi manusia, yang dilakukan melalui pemilu yang jujur sebagai manifestasi dari kehendak rakyat yang menjadi dasar dari otoritas pemerintah.[5]

Jadi, berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan diatas, ketentuan pasal suatu peraturan perundang-undangan yang melarang bagi eks tapol mempergunakan hak pilih pasifnya dalam pemilu, telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). 

2. Putusan MK Terkait Permohonan Judicial Review 
Dasar atau permasalahan pokok dalam pengajuan judicial review ini adalah dimuatnya ketentuan pasal 60 huruf g pada UU No. 12 tahun 2003, yang mana dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa adanya larangan menjadi anggota DPR, DPD, dan DPRD bagi mereka yang “bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung atau pun tak langsung dalam G30S PKI atau organisasi terlarang lainnya”. 

Pemerintah dalam keterangannya dalam sidang pleno MK mengenai permohonan diatas menegaskan baha pada saat penyusunan undang-undang dimaksud, pemerintah dan DPR RI sangat taat asas terhadap sumber hukum yaitu dengan memperhatikan masih diberlakukannya Tap. MPRS-RI No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara RI bagi PKI Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunis/Leninisme.[6]

Selain dari pihak pemerintah yang memberikan keterangan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi, pihak pemohon pun juga tiada hentinya memberikan opini-opini guna meloloskan niatnya tersebut untuk menghapuskan pasal 60 huruf g UU No. 12 tahun 2003 tersebut. Bahkan sampai terjadinya dissenting opinion antara pihak yang terkait dalam sidang pleno tersebut. Jika kita mengingat sejarah pada dahulu kala, Partai Komunis Indonesia (PKI) memang merupakan suatu partai yang begitu “kejam” dan memiliki haluan yang bertolak belakang dengan Indonesia yang mana Indonesia menganut Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Setelah melalui masa-masa sidang pleno yang cukup alot, pada akhirnya Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal 60 huruf g UU No. 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277) bertentangan dengan UUD 1945. Menyatakan pasal 60 huruf g UU No. 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

[1] Pasal 28C ayat (2) menyatakan bahwa, “setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. 
[2] Pasal 28D ayat (1) menyatakan bahwa, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukumyang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum”. 
[3] Pasal 28D ayat (3) menyatakan bahwa, “setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. 
[4] Pasal 28I ayat (2) menyatakan bahwa, “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu”. 
[5] Soedarsono, Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Demokrasi, Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, hal. 172. 
[6] Soedarsono, Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Demokrasi, Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, hal. 178.

DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945
Soedarsono, S. H.. Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Demokrasi. Sekjen dan _______Kepaniteraan MKRI. Jakarta : 2006.
Soekanto, Soerjono, Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. PT. Raja Grafindo _______Persada. Jakarta : 2003.

No comments:

Post a Comment