Thursday, June 13, 2013

Hubungan antara Etika dengan Krisis Kemanusiaan

Hubungan antara Etika dengan Krisis Kemanusiaan 
Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan moral. Etika berasal dari bahasa yunani yaitu kata “ethos” yang berarti suatu kehendak atau kebiasaan baik yang tetap. Manusia yang pertama kali menggunakan kata-kata itu adalah seorang filosof Yunani yang bernama Aristoteles ( 384 – 322 SM ). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika / moral adalah ajaran tentang baik dan buruk mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Menurut K. Bertenes, etika adalah nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang dalam mengatur tingkah lakunya. Etika berkaitan erat dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan tentang masalah-masalah predikat nilai ”susila” dan ”tidak susila”, ”baik” dan ”buruk”. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan tidak susila. Sesungguhnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungannya dengan tingkah laku manusia (Katsoff, 1986). 

Etika dibagi menjadi 2 kelompok, etika umum dan etika khusus. Etika khusus dibagi menjadi 2 kelompok lagi menurut Suseno (1987), yaitu etika individual dan etika sosial yang keduanya berkaitan dengan tingkah laku manusia sebagai warga masyarakat. Etika individual membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dalam kaitannya dengan kedudukan manusia sebagai warga masyarakat. Etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat atau umat manusia. Dalam masalah ini, etika individual tidak dapat dipisahkan dengan etika sosial karena kewajiban terhadap diri sendiri dan sebagai anggota masyarakat atau umat manusia saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain baik secara langsung maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, dan negara), sikap kritis terhadap pandangan-pandangan dunia, idiologi-idiologi maupun tanggungjawab manusia terhadap lingkungan hidup. Etika sosial berfungsi membuat manusia menjadi sadar akan tanggungjawabnya sebagai manusia dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat. 

Di dunia kita sekarang ini, kesadaran akan etika individual dan etika sosial sangatlah rendah. Contoh nyatanya adalah adanya kelangkaan perspektif etika di kalangan para penguasa politik dan ekonomi yang telah memicu penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam berbagai sudut kehidupan. Parliament of the World's Religion II, tahun 1993, yang diselenggarakan di Chicago, menghasilkan deklarasi yang disebut dengan etika global (global ethic) sebagai penjabaran praktis berupa paradigma etika dan moral untuk diejawantahkan dalam kehidupan empiris. Lahirnya Deklarasi Etika Global tersebut merupakan realisasi antisipasif dan solutif atas sebuah kekuatan dahsyat bernama globalisasi yang dewasa ini tidak hanya memasuki wilayah kehidupan material seperti ekonomi, budaya, dan politik pada banyak negara di seluruh belahan dunia, tetapi kekuatan tersebut juga merambah wilayah nonmeterial, yaitu etika. Globalisasi sendiri telah banyak menimbulkan dampak positif, tetapi juga dampak negatif, yaitu krisis kemanusiaan. Dunia manusia saat ini sedang dilanda suatu krisis multidimensi global, yang meliputi krisis ekonomi global, krisis ekologi global, dan krisis politik global. Berbagai terpaan krisis tersebut lalu bermuara pada krisis kemanusiaan seperti kemiskinan, kelaparan, pengangguran, kezaliman, kekerasan, penindasan, pengisapan, pembunuhan, dan lain-lain. 

Jika ditelusuri secara seksama, kita ketahui krisis kemanusiaan yang ada berpangkal mula dari krisis etika. Kelangkaan wawasan dan pengetahuan etika, terutama di kalangan penguasa politik dan ekonomi, mendorong merajalelanya perusakan yang kemudian mengarah pada kerusakan dunia dan segala tatanannya. Dari perspektif etika global, permasalahan yang dihadapi proses peradaban bangsa-bangsa di dunia belakangan ini, tidak lain adalah masalah etik, yaitu rendahnya kadar apresiasi terhadap etika peradaban. Proses peradaban berkembang sedemikian cepat, terutama pada aspek material yang mengatas namakan kebebasan, kekuatan dan kepercayaan atas diri manusia. Dengan demikian, proses peradaban menempatkan manusia sebagai "pencipta yang memiliki kuasa besar" terhadap hidup dan kehidupannya. Kehidupan manusia kemudian berorientasi pada paradigma "antropo-centris", yaitu berpusat pada diri manusia itu sendiri, sehingga manusia diliputi paham "egoisme kemanusiaan". Egosime kemanusian tersebut, sebagai mana diketahui, menjelma dalam paham, baik yang bersifat individualistis maupun kolektif, sebut saja rasisme, nasionalisme, sekterianisme, atas seksisme (feminisme dan maskulinisme). Semua bentuk egoisme manusia tersebut menghalangi manusia untuk menjadi manusia sejati, manusia berkemanusiaan. 

Sebuah paragraf dalam Declaration toward a Global Ethic of the Parliament of the World's Religions yang dikeluarkan di Chicago pada 1993 berbunyi sebagai berikut, "Dalam tradisi etika dan agama umat manusia, kita menemukan perintah: kalian tidak boleh mencuri! Atau dalam bahasa positifnya: berdaganglah secara jujur dan adil! Makna dari perintah ini adalah tidak seorang pun berhak dengan cara apa pun merampas atau merebut hak orang lain atau hak kesejahteraan bersama. Begitu juga tidak seorang pun berhak menggunakan apa yang dimilikinya tanpa peduli akan kebutuhan masyarakat dan bumi. Dalam pandangan deklarasi etika global, tidak mungkin ada suatu tatanan dunia baru tanpa tatanan etika global. Etika global, mengacu pada suatu permufakatan mendasar tentang nilai-nilai mengikat, ukuran-ukuran pasti, dan sikap-sikap pribadi yang harus dimiliki setiap manusia, khususnya manusia beragama. 

Pemecahan problematika sosial, ekonomi, politik dan lingkungan hidup mungkin dilakukan dengan proses pembangunan yang berkesinambungan lewat perencanaan ekonomi dan politik serta pembelakuan hukum dan undang-undang. Namun, semua itu belum cukup tanpa perubahan "orientasi batin" (inner orientation) dan sikap mental yang berkualitas dari masyarakat. Masyarakat membutuhkan reformasi sosial dan ekologis, tapi dalam waktu bersamaan mereka juga membutuhkan pembaruan spiritual. Untuk benar-benar berperilaku manusiawi berarti : 
  • Kita harus menggunakan kekuasaan ekonomi dan politik untuk melayani kemanusiaan, bukan menyalahgunakannya dalam persaingan merebut dominasi yang kejam. Kita harus mengembangkan semangat mengasihi mereka yang menderita, khususnya kepada anak-anak, kaum lanjut usia, masyarakat miskin, penderita cacat, dan mereka yang berada dalam kesepian. 
  • Kita harus mengembangkan saling respek dan peduli agar tercapai keseimbangan kepentingan yang layak, bukan cuma memikirkan kekuasaan tanpa batas dan persaingan yang tidak terhindarkan. 
  • Kita harus menghargai nilai-nilai kesederhanaan, bukan keserakahan tanpa terpuaskan akan uang, prestis, dan pemuasan konsumtif. Dalam keserakahan, manusia kehilangan "rohnya", kebebasannya, ketenangan, dan kedamaian diri serta dengan demikian kehilangan apa yang membuatnya manusiawi".

No comments:

Post a Comment