Wednesday, June 26, 2013

MEMBUMIKAN KEADILAN MENEGUHKAN PEMIHAKAN

MEMBUMIKAN KEADILAN MENEGUHKAN PEMIHAKAN
Kajian tentang Teori-teori Keadilan Ekonomi Kontemporer dan Prinsip-prinsip Alternatif Tatanan Ekonomi Etis Pro-Mustad`afin
Zakiyuddin Baidhawy*

Pendahuluan
Ketidakadilan ekonomi merupakan problem umiversal yang dihadapi oleh semua sistem kontemporer. Dalam hampir semua bagian dunia, dan dalam seluruh wilayah sejarah, sistem-sistem ekonomi yang dilandaskan pada ketamakan telah mengalami kebuntuan dalam melahirkan keadilan. Sistem-sistem semacam itu biasanya berakar pada ekstrem-ekstrem ideologis yang kurang berhasil mengantarkan kondisi  ekonomi yang lebih baik bagi seluruh partisipan. Pada skala global, banyak orang menolak Kapitalisme tanpa regulasi dan Sosialisme ekstrem, serta Neoliberalisme yang telah berjasa melahirkan kemiskinan dan pemiskinan struktural dalam jumlah masif.

Kapitalisme dalam bentuk klasiknya laissez faire telah runtuh, yang masih bertahan adalah Kapitalisme yang telah dimofidikasi. Kapitalisme berasumsi bahwa dalam sistemnya terdapat suatu distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata dan fair dalam perekonomian. Dengan tidak adanya mekanisme filter dan pemuasan keinginan secara serampangan, pendapatan  tidak didistribusikan secara merata, sebab ketidakmerataan dalam pewarisan kekayaan  berkaitan dengan akses yang tidak adil terhadap fasilitas kredit dan pendidikan, perbedaan bakat, stamina fisik, latar belakang keluarga, dan ambisi pribadi. Ketidakmerataan memungkinkan kelompok berpendapatan tinggi  memperoleh bagian pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan kuantitas mereka. Dengan cara ini  konfigurasi barang-barang dan jasa  yang diproduksi oleh sistem pasar  tidak selaras dengan keinginan mayoritas konsumen. Kesenjangan pendapatan yang besar diterima sebagai wajar dan tak terhindarkan. Ini merupakan ketidakadilan yang nyata, namun dirasionalisasi  dengan argumen bahwa seseorang yang memikirkan diri sendiri yang telah  melahirkan  situasi ini merupakan "kekuatan sosial yang perlu dan bermanfaat".

Sementara itu, Sosialisme dan Marxisme sebagai antitesis dari Kapitalisme juga tak dapat diandalkan. Ideologi ini bahkan mengalami kemunduran lebih cepat dari yang diprediksikan. Ini disebabkan kelemahan-kelemahan utama yang inheren di dalamnya. Pertama, ideologi ini mengimplikasikan ketidakpercayaan pada kemampuan manusia untuk mengelola kepemilikan pribadi  dalam batasan-batasan kesejahteraan sosial. Kedua, mesin kekuasaan negara  dijalankan oleh sekelompok orang yang kepentingannya selaras dengan kepentingan seluruh masyarakat. Dalam praktik yang terjadi sebaliknya,  sekelompok orang yang mengendalikan kekuasaan negara memanfaatkan kekayaan dan pendapatan negara untuk kepentingan mereka sendiri. Ketiga, subsidi umum yang besar hanya menguntungkan si kaya dan orang-orang istimewa dibanding si miskin yang daya belinya terbatas.

Tujuan utama Sosialisme adalah menegakkan keadilan, namun pada praktiknya Sosialisme hanya mengurangi sedikit ketidakmerataan atau menimbulkan ketidakadilan yang lain. Kaum buruh yang tidak mempunyai hak milik tetap menjadi buruh tanpa hak milik, mereka bekerja pada majikan yang lebih bekuasa. Mereka juga tidak mempunyai hak untuk memilih, semua tergantung pada pimpinan. Perjuangan akan hak-hak buruh akan berujung pada penjara atau kematian. Dengan demikian,  negara Sosialis jauh lebih mematikan daripada Kapitalisme. Alienasi para pekerja dari sarana-sarana produksi masih tetap, karena pusat kendali dipisahkan dari pekerja. Praktik semacam ini bertentangan dengan ajaran Marx  sendiri tentang bagaimana alienasi terjadi: yakni ketika pekerjaan  terpisah dari pekerjanya dalam arti pekerjaan bukan milik si pekerja sehingga dalam pekerjaannya ia tidak mengafirmasi dirinya sendiri bahkan menolak dirinya sendiri; dan   pekerja terasing dari pekerjaannya muncul ketika pekerjaan itu bukan miliknya namun milik orang lain.[3] Dengan cara demikian,  kemungkinan eksploitasi sebagaimana terdapat dalam Kapitalisme, yang menjadi sasaran kritik oleh Sosialisme itu sendiri, masih hidup.

Sistem keadilan Negara Sejahtera[4]  merupakan langkah maju dari Kapitalisme.  Tujuan sistem ini adalah melunakkan ekses Kapitalisme yang berlebihan dan dengan cara ini dapat mengurangi daya tarik Sosialisme.  Sistem ini cukup menarik semua lapisan masyarakat, baik pekerja maupun kapitalis. Dari segi filosofinya, Negara Sejahtera  meyakini bahwa kesejahteraan individu merupakan tujuan yang sangat penting yang tidak mungkin tergantung hanya pada operasi kekuatan-kekuatan pasar; kemiskinan dan ketidakmampuan seseorang tidak mesti merupakan bukti dari kegagalannya. Karena itu, sistem ini mengakui  full employment (sebagaimana juga dipercaya Kapitalisme) dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil sebagai bagian dari tujuan pokok kebijakan negara. Meski sistem ini menerapkan strateginya melalui enam perangkat negara – regulasi, nasionalisasi industri pokok, gerakan buruh, kebijakan fiskal, pertumbuhan yang tinggi dan full employment— subsidi umum telah melahirkan kepincangan yang tidak adil antara si kaya dan si miskin.

Setelah krisis Kapitalisme selama 25 tahun terakhir dan semakin berkurangnya tingkat profit yang berakibat jatuhnya akumulasi kapital, meneguhkan tekad korporasi besar untuk kembali ke sistem liberalisme. Melalui corporate globalization mereka merebut kembali  ekonomi dan berhasil mengembalikan paham Liberalisme, bahkan dalam skala global. Inilah yang disebut sebagai paham Neoliberalisme. Sejak 1970-an Keynesianisme yang menjadi fondasi Welfare State telah masuk dalam catatan kaki sejarah. Panggung kini menjadi milik dua bapak ekonom Neoliberalisme Friederich August von Hayek[5] dan Milton Friedman.[6] Mulai dekade 1980-an, aliran kanan baru yang diwakili oleh Margaret Thatcher dan Ronald Reagan memperjuangkan pasar bebas dan menolak dengan tegas paham negara intervensionis. Satu dekade kemudian, tepatnya  pada 1990-an, Kapitalisme  Neoliberal pasar bebas  dari dua tokoh tersebut telah menjadi ideologi dunia yang dominan.

Keyakinan-keyakinan Neoliberalisme menggarisbawahi bahwa: pasar harus bekerja secara bebas tanpa campur tangan negara, menekan pengeluaran upah dan melenyapkan hak-hak buruh, menghilangkan kontrol atas harga; mengurangi pemborosan anggaran negara dengan memangkas semua subsidi untuk pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial, dan pada saat yang sama subsidi besar-besaran diberikan kepada perusahaan transnasional (TNCs) melalui tax holidays; memercayai deregulasi ekonomi; privatisasi adalah jalan menuju persaingan bebas yang dibungkus dengan efisiensi dan mengurangi korupsi, meski kenyataannya terjadi konsentrasi kapital di tangan sedikit orang dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal kebutuhan dasar mereka; dan mempetieskan paham tentang public goods dan solidaritas sosial dan menggantinya dengan tanggung jawab individual.

Gambaran di muka menyatakan bahwa kekuatan-kekuatan yang bermain di bawah sistem Kapitalisme, Sosialisme,  Negara Sejahtera,  dan Neoliberalisme masih menyisakan sejumlah masalah dalam hubungannya dengan keadilan ekonomi – baik dalam soal produksi, konsumsi, dan distribusi – dan ini perlu diatasi  secara langsung  dan menangani sumber masalahnya bukan hanya dari gejala lahiriah. Perlu ada reformasi struktur sosio-ekonomi dan nilai-nilai keadilan yang membimbingnya.

Keterbatasan Teori-teori Keadilan Kontemporer
Sistem-sistem ekonomi yang telah disebut di muka – Kapitalisme, Sosialisme, Marxisme, Negara Sejahtera, dan Neoliberalisme – pada hakikatnya bersandar kepada paham tertentu mengenai keadilan. Perdebatan tentang keadilan itu  telah melahirkan sejumlah teori dan prinsip-prinsip keadilan. Meskipun para penganjurnya memiliki cita-cita dan pandangan yang sama  tentang keinginan untuk menegakkan keadilan  dalam masyarakat, mereka memiliki perbedaan cukup mendasar dalam menentukan makna dan definisi yang tepat tentang keadilan. Teori-teori keadilan yang menjadi landasan pijak sistem-sistem ekonomi kontemporer itu meliputi Prinsip Egalitarianisme Radikal, Prinsip Perbedaan, Prinsip Berbasis Sumber Daya, Prinsip Berbasis Kesejahteraan, Prinsip Berbasis Balasan, dan Prinsip Libertarian. Lihat prinsip-prinsip dari teori-teori keadilan di atas dan perbandingannya pada tabel 1.

Memerhatikan prinsip-prinsip dari enam teori keadilan sebagaimana pada tabel di atas, terlihat jelas bahwa teori-teori tersebut mengandung keterbatasan dan kurang memuaskan untuk menjawab persoalan-persoalan ketidakadilan secara komprehensif. Beberapa keterbatasan dapat disebutkan di sini antara lain: Pertama, dalam hal kepemilikan, Prinsip Egalitarianisme Radikal dan Prinsip Libertarian berada pada posisi saling bertentangan. Yang pertama mementingkan kepemilikan kolektif, sedangkan yang terakhir mengedepankan kepemilikan pribadi dan self-interest. Keduanya mengalami kebuntuan dalam memecahkan masalah keadilan dalam kepemilikan. Kedua, dalam masalah sumber daya, Prinsip Libertarianisme menyatakan bahwa dunia ini pada asalnya tidak ada yang memiliki. Jika demikian, bagaimana dunia ini mesti diperlakukan  bukan merupakan problem penting keadilan.

Ketiga, ada beberapa teori keadilan yang terlalu menekankan pada satu aspek semata dari fakta dan problem keadilan ekonomi sehingga kurang dapat memberikan jawaban secara tepat atas masalah keadilan itu sendiri: Prinsip Berbasis Sumber Daya secara nyata tidak memberikan tempat bagi tanggung jawab sosial atas mereka yang kurang beruntung,  dan tidak ada  subsidi bagi mereka yang kurang pendapatannya; Prinsip Berbasis Kesejahteraan (Utilitarianisme), dengan berpedoman pada the great happiness for the great number, mengorbankan  sekelompok kecil  orang atas nama  kepentingan atau kesejahteraan mayoritas; dan Prinsip Berbasis Balasan juga tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan bila setiap orang harus menerima balasan atau upah sesuai dengan usaha dan kontribusi aktualnya bagi masyarakat, lalu siapakah yang bertanggung jawab atas kondisi mereka yang kurang beruntung dalam masyarakat?

Tabel 1
Perbandingan Prinsip-prinsip Keadilan Kontemporer
No
Konsep Keadilan

Prinsip-prinsip Utama

1
Egalitarianisme/
Persamaan Radikal

1.        setiap orang harus memiliki tingkat yang sama dalam kebutuhan barang dan jasa

2.        terlalu membatasi kebebasan individu
2
Prinsip Perbedaan


1.        kekayaan yang lebih banyak dapat diproduksi dalam sistem di mana mereka yang lebih produktif memperoleh pendapatan lebih besar

2.        memaksimalkan posisi absolut mereka yang kurang beruntung
John Rawls (Theory of Justice)
1.        Setiap orang  harus mempunyai hak yang sama atas kebebasan-dasar yang seluas mungkin sesuai  dengan sistem kebebasan serupa yang berlaku untuk orang lain.
2.    Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa,   sehingga:
(a)  kedua ketidaksamaan itu dapat diharapkan akan menguntungkan bagi setiap orang,
(b) dan kedua ketidaksamaan itu melekat pada kedudukan-kedudukan dan fungsi-fungsi yang terbuka bagi semua orang.
Prinsip 1 harus dipenuhi lebih dulu sebelum prinsip 2, dan 2b lebih dulu dari 2a
3
Prinsip Berbasis Sumber Daya (Dworkin)
1.        setiap orang harus dibuat menerima akibat-akibat dari pilihannya:
setiap orang yang memilih bekerja keras untuk memperoleh pendapatan lebih tidak dikehendaki untuk mensubsidi mereka yang malas dan karenanya kurang pendapatan
2.        Setiap orang tidak boleh merasakan penderitaan akibat dari lingkungan yang berada di luar kendali mereka:
Setiap orang yang terlahir dengan cacat, sakit, atau anugerah alamiah yang rendah tidak bertanggung jawab atas lingkungan
4
Prinsip Berbasis Kesejahteraan
1.        berupaya memaksimalkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan
2.        utilitarianisme, the great happines for the great numbers
5
Prinsip Berbasis Balasan
1.        setiap orang harus diberi balasan/upah berdasarkan: kontribusi aktual dan usahanya
2.        berupaya mengangkat standar hidup dengan membayar usaha dan capaian
3.        hanya diterapkan pada pekerja dewasa
6
Prinsip Libertarian (Robert Nozick)
1.        setiap orang memiliki dirinya sendiri
2.        dunia ini pada asalnya tidak ada yang memiliki
3.        anda dapat memperoleh hak-hak mutlak atas pembagian dunia yang tidak proporsional, asalkan anda tidak memperburuk kondisi orang lain
4.        relatif mudah untuk memperoleh hak-hak absolut atas pembagian dunia yang tidak proporsional
5.        karena itu, kepemilikan pribadi sangat layak, pasar bebas dalam kapital dan pekerjaan secara moral dikehendaki

Keempat, dalam Prinsip Egalitarianisme Radikal, bila setiap orang harus memiliki tingkat yang sama dalam kebutuhan barang dan jasa, di manakah penghargaan atas kenyataan adanya perbedaan antar orang perorang dan atas mereka yang secara ekonomi lebih produktif? Kelima, berdasarkan kompetisi, pasar bebas secara moral dikehendaki sebagai alat yang dipercaya untuk mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya secara adil. Fakta menunjukkan kekuatan pasar tidak sepenuhnya dapat memenuhi tugas alokasi dan distribusi secara adil. Dalam kondisi demikian, siapakah yang bertanggung jawab atas redistribusi bagi mereka yang kurang beruntung? 

Keenam, apa yang sejati dari prinsip keadilan John Rawls adalah berkenaan dengan prinsip ketidaksamaan. Prinsip ini biasa disebut sebagai Prinsip Perbedaan. Prinsip ini hanya dapat menjawab persoalan bagaimana ketidaksamaan diatasi. Sementara perbedaan dan konsekuensinya tidak dilihat sebagai suatu kenyataan yang tak dapat ditolak, perbedaan tidak dipandang sebagai potensi untuk saling mengambil manfaat dan titik tolak untuk mengukir prestasi. Di samping itu, dalam Prinsip Perbedaan tidak terlihat jelas apa yang memotivasi tindakan orang-orang yang beruntung untuk berkorban bagi mereka yang kurang beruntung. Terakhir, hampir semua teori keadilan di atas cenderung fokus pada keadilan distributif, sehingga aspek-aspek lain dari kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan soal perlakuan atas sumber daya alam dan lingkungan luput dari perhatian.

No comments:

Post a Comment