MEMBUMIKAN KEADILAN MENEGUHKAN PEMIHAKAN
Kajian tentang Teori-teori Keadilan Ekonomi Kontemporer
dan Prinsip-prinsip Alternatif Tatanan Ekonomi Etis Pro-Mustad`afin
Zakiyuddin Baidhawy*
Pendahuluan
Ketidakadilan
ekonomi merupakan problem umiversal yang dihadapi oleh semua sistem
kontemporer. Dalam hampir semua bagian dunia, dan dalam seluruh wilayah
sejarah, sistem-sistem ekonomi yang dilandaskan pada ketamakan telah mengalami
kebuntuan dalam melahirkan keadilan. Sistem-sistem semacam itu biasanya berakar
pada ekstrem-ekstrem ideologis yang kurang berhasil mengantarkan kondisi ekonomi yang lebih baik bagi seluruh partisipan.
Pada skala global, banyak orang menolak Kapitalisme tanpa regulasi dan
Sosialisme ekstrem, serta Neoliberalisme yang telah berjasa melahirkan
kemiskinan dan pemiskinan struktural dalam jumlah masif.
Kapitalisme dalam bentuk klasiknya laissez
faire telah runtuh, yang masih bertahan adalah Kapitalisme yang telah
dimofidikasi. Kapitalisme berasumsi bahwa dalam sistemnya terdapat suatu distribusi
pendapatan dan kekayaan yang merata dan fair dalam perekonomian. Dengan
tidak adanya mekanisme filter dan pemuasan keinginan secara serampangan,
pendapatan tidak didistribusikan secara
merata, sebab ketidakmerataan dalam pewarisan kekayaan berkaitan dengan akses yang tidak adil
terhadap fasilitas kredit dan pendidikan, perbedaan bakat, stamina fisik, latar
belakang keluarga, dan ambisi pribadi. Ketidakmerataan memungkinkan kelompok
berpendapatan tinggi memperoleh bagian
pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan kuantitas mereka. Dengan cara
ini konfigurasi barang-barang dan
jasa yang diproduksi oleh sistem
pasar tidak selaras dengan keinginan
mayoritas konsumen. Kesenjangan pendapatan yang besar diterima sebagai wajar
dan tak terhindarkan. Ini merupakan ketidakadilan yang nyata, namun
dirasionalisasi dengan argumen bahwa
seseorang yang memikirkan diri sendiri yang telah melahirkan
situasi ini merupakan "kekuatan sosial yang perlu dan
bermanfaat".
Sementara itu, Sosialisme dan Marxisme sebagai
antitesis dari Kapitalisme juga tak dapat diandalkan. Ideologi ini bahkan
mengalami kemunduran lebih cepat dari yang diprediksikan. Ini disebabkan
kelemahan-kelemahan utama yang inheren di dalamnya. Pertama, ideologi
ini mengimplikasikan ketidakpercayaan pada kemampuan manusia untuk mengelola
kepemilikan pribadi dalam
batasan-batasan kesejahteraan sosial. Kedua, mesin kekuasaan negara dijalankan oleh sekelompok orang yang
kepentingannya selaras dengan kepentingan seluruh masyarakat. Dalam praktik yang
terjadi sebaliknya, sekelompok orang
yang mengendalikan kekuasaan negara memanfaatkan kekayaan dan pendapatan negara
untuk kepentingan mereka sendiri. Ketiga, subsidi umum yang besar hanya
menguntungkan si kaya dan orang-orang istimewa dibanding si miskin yang daya
belinya terbatas.
Tujuan utama Sosialisme adalah menegakkan
keadilan, namun pada praktiknya Sosialisme hanya mengurangi sedikit
ketidakmerataan atau menimbulkan ketidakadilan yang lain. Kaum buruh yang tidak
mempunyai hak milik tetap menjadi buruh tanpa hak milik, mereka bekerja pada
majikan yang lebih bekuasa. Mereka juga tidak mempunyai hak untuk memilih,
semua tergantung pada pimpinan. Perjuangan akan hak-hak buruh akan berujung
pada penjara atau kematian. Dengan demikian,
negara Sosialis jauh lebih mematikan daripada Kapitalisme. Alienasi para
pekerja dari sarana-sarana produksi masih tetap, karena pusat kendali
dipisahkan dari pekerja. Praktik semacam ini bertentangan dengan ajaran
Marx sendiri tentang bagaimana alienasi
terjadi: yakni ketika pekerjaan terpisah
dari pekerjanya dalam arti pekerjaan bukan milik si pekerja sehingga dalam
pekerjaannya ia tidak mengafirmasi dirinya sendiri bahkan menolak dirinya
sendiri; dan pekerja terasing dari
pekerjaannya muncul ketika pekerjaan itu bukan miliknya namun milik orang lain.[3] Dengan cara demikian, kemungkinan eksploitasi sebagaimana terdapat
dalam Kapitalisme, yang menjadi sasaran kritik oleh Sosialisme itu sendiri,
masih hidup.
Sistem keadilan Negara Sejahtera[4] merupakan langkah maju dari Kapitalisme. Tujuan sistem ini adalah melunakkan ekses
Kapitalisme yang berlebihan dan dengan cara ini dapat mengurangi daya tarik
Sosialisme. Sistem ini cukup menarik
semua lapisan masyarakat, baik pekerja maupun kapitalis. Dari segi filosofinya,
Negara Sejahtera meyakini bahwa
kesejahteraan individu merupakan tujuan yang sangat penting yang tidak mungkin
tergantung hanya pada operasi kekuatan-kekuatan pasar; kemiskinan dan
ketidakmampuan seseorang tidak mesti merupakan bukti dari kegagalannya. Karena
itu, sistem ini mengakui full
employment (sebagaimana juga dipercaya Kapitalisme) dan distribusi
pendapatan dan kekayaan yang adil sebagai bagian dari tujuan pokok kebijakan
negara. Meski sistem ini menerapkan strateginya melalui enam perangkat negara –
regulasi, nasionalisasi industri pokok, gerakan buruh, kebijakan fiskal,
pertumbuhan yang tinggi dan full employment— subsidi umum telah
melahirkan kepincangan yang tidak adil antara si kaya dan si miskin.
Setelah krisis Kapitalisme selama 25 tahun
terakhir dan semakin berkurangnya tingkat profit yang berakibat jatuhnya
akumulasi kapital, meneguhkan tekad korporasi besar untuk kembali ke sistem
liberalisme. Melalui corporate globalization mereka merebut kembali ekonomi dan berhasil mengembalikan paham Liberalisme,
bahkan dalam skala global. Inilah yang disebut sebagai paham Neoliberalisme.
Sejak 1970-an Keynesianisme yang menjadi fondasi Welfare State telah
masuk dalam catatan kaki sejarah. Panggung kini menjadi milik dua bapak ekonom
Neoliberalisme Friederich August von Hayek[5] dan Milton Friedman.[6] Mulai dekade 1980-an,
aliran kanan baru yang diwakili oleh Margaret Thatcher dan Ronald Reagan
memperjuangkan pasar bebas dan menolak dengan tegas paham negara
intervensionis. Satu dekade kemudian, tepatnya
pada 1990-an, Kapitalisme
Neoliberal pasar bebas dari dua
tokoh tersebut telah menjadi ideologi dunia yang dominan.
Keyakinan-keyakinan Neoliberalisme
menggarisbawahi bahwa: pasar harus bekerja secara bebas tanpa campur tangan
negara, menekan pengeluaran upah dan melenyapkan hak-hak buruh, menghilangkan
kontrol atas harga; mengurangi pemborosan anggaran negara dengan memangkas
semua subsidi untuk pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan dan jaminan
sosial, dan pada saat yang sama subsidi besar-besaran diberikan kepada
perusahaan transnasional (TNCs) melalui tax holidays; memercayai
deregulasi ekonomi; privatisasi adalah jalan menuju persaingan bebas yang
dibungkus dengan efisiensi dan mengurangi korupsi, meski kenyataannya terjadi
konsentrasi kapital di tangan sedikit orang dan memaksa rakyat kecil membayar
lebih mahal kebutuhan dasar mereka; dan mempetieskan paham tentang public
goods dan solidaritas sosial dan menggantinya dengan tanggung jawab
individual.
Gambaran di muka menyatakan bahwa
kekuatan-kekuatan yang bermain di bawah sistem Kapitalisme, Sosialisme, Negara Sejahtera, dan Neoliberalisme masih menyisakan sejumlah
masalah dalam hubungannya dengan keadilan ekonomi – baik dalam soal produksi,
konsumsi, dan distribusi – dan ini perlu diatasi secara langsung dan menangani sumber masalahnya bukan hanya
dari gejala lahiriah. Perlu ada reformasi struktur sosio-ekonomi dan
nilai-nilai keadilan yang membimbingnya.
Keterbatasan
Teori-teori Keadilan Kontemporer
Sistem-sistem ekonomi yang telah disebut di muka –
Kapitalisme, Sosialisme, Marxisme, Negara Sejahtera, dan Neoliberalisme – pada
hakikatnya bersandar kepada paham tertentu mengenai keadilan. Perdebatan
tentang keadilan itu telah melahirkan
sejumlah teori dan prinsip-prinsip keadilan. Meskipun para penganjurnya
memiliki cita-cita dan pandangan yang sama
tentang keinginan untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat, mereka memiliki perbedaan
cukup mendasar dalam menentukan makna dan definisi yang tepat tentang keadilan.
Teori-teori keadilan yang menjadi landasan pijak sistem-sistem ekonomi
kontemporer itu meliputi Prinsip Egalitarianisme Radikal, Prinsip Perbedaan,
Prinsip Berbasis Sumber Daya, Prinsip Berbasis Kesejahteraan, Prinsip Berbasis
Balasan, dan Prinsip Libertarian. Lihat prinsip-prinsip dari teori-teori
keadilan di atas dan perbandingannya pada tabel 1.
Memerhatikan
prinsip-prinsip dari enam teori keadilan sebagaimana pada tabel di atas,
terlihat jelas bahwa teori-teori tersebut mengandung keterbatasan dan kurang
memuaskan untuk menjawab persoalan-persoalan ketidakadilan secara komprehensif.
Beberapa keterbatasan dapat disebutkan di sini antara lain: Pertama, dalam hal kepemilikan, Prinsip
Egalitarianisme Radikal dan Prinsip Libertarian berada pada posisi saling
bertentangan. Yang pertama mementingkan kepemilikan kolektif, sedangkan yang
terakhir mengedepankan kepemilikan pribadi dan self-interest. Keduanya
mengalami kebuntuan dalam memecahkan masalah keadilan dalam kepemilikan. Kedua, dalam masalah sumber daya,
Prinsip Libertarianisme menyatakan bahwa dunia ini pada asalnya tidak ada yang
memiliki. Jika demikian, bagaimana dunia ini mesti diperlakukan bukan merupakan problem penting keadilan.
Ketiga, ada beberapa teori keadilan yang terlalu menekankan pada satu aspek semata
dari fakta dan problem keadilan ekonomi sehingga kurang dapat memberikan
jawaban secara tepat atas masalah keadilan itu sendiri: Prinsip Berbasis Sumber
Daya secara nyata tidak memberikan tempat bagi tanggung jawab sosial atas
mereka yang kurang beruntung, dan tidak
ada subsidi bagi mereka yang kurang
pendapatannya; Prinsip Berbasis Kesejahteraan (Utilitarianisme), dengan
berpedoman pada the great happiness for the great number,
mengorbankan sekelompok kecil orang atas nama kepentingan atau kesejahteraan mayoritas; dan
Prinsip Berbasis Balasan juga tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan
bila setiap orang harus menerima balasan atau upah sesuai dengan usaha dan
kontribusi aktualnya bagi masyarakat, lalu siapakah yang bertanggung jawab atas
kondisi mereka yang kurang beruntung dalam masyarakat?
Tabel 1
Perbandingan Prinsip-prinsip Keadilan
Kontemporer
No
|
Konsep Keadilan
|
Prinsip-prinsip Utama
|
1
|
Egalitarianisme/
Persamaan Radikal
|
1.
setiap orang harus memiliki tingkat yang sama dalam
kebutuhan barang dan jasa
2.
terlalu membatasi kebebasan individu
|
2
|
Prinsip Perbedaan
|
1.
kekayaan yang lebih banyak dapat diproduksi dalam sistem
di mana mereka yang lebih produktif memperoleh pendapatan lebih besar
2.
memaksimalkan
posisi absolut mereka yang kurang beruntung
|
John Rawls (Theory of
Justice)
|
1.
Setiap orang harus mempunyai hak yang sama atas
kebebasan-dasar yang seluas mungkin sesuai
dengan sistem kebebasan serupa yang berlaku untuk orang lain.
2. Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus
diatur sedemikian rupa, sehingga:
(a) kedua ketidaksamaan itu dapat diharapkan
akan menguntungkan bagi setiap orang,
(b)
dan kedua ketidaksamaan itu melekat pada kedudukan-kedudukan dan
fungsi-fungsi yang terbuka bagi semua orang.
Prinsip 1 harus dipenuhi lebih dulu sebelum prinsip 2, dan 2b lebih dulu
dari 2a
|
|
3
|
Prinsip Berbasis Sumber
Daya (Dworkin)
|
1.
setiap orang harus dibuat menerima akibat-akibat dari
pilihannya:
setiap orang yang memilih bekerja keras untuk memperoleh pendapatan lebih
tidak dikehendaki untuk mensubsidi mereka yang malas dan karenanya kurang
pendapatan
2.
Setiap orang tidak boleh merasakan penderitaan akibat
dari lingkungan yang berada di luar kendali mereka:
Setiap orang yang terlahir dengan cacat, sakit, atau anugerah alamiah
yang rendah tidak bertanggung jawab atas lingkungan
|
4
|
Prinsip Berbasis
Kesejahteraan
|
1.
berupaya memaksimalkan kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan
2.
utilitarianisme, the great happines for the great
numbers
|
5
|
Prinsip Berbasis Balasan
|
1.
setiap orang harus diberi balasan/upah berdasarkan:
kontribusi aktual dan usahanya
2.
berupaya mengangkat standar hidup dengan membayar usaha
dan capaian
3.
hanya diterapkan pada pekerja dewasa
|
6
|
Prinsip Libertarian
(Robert Nozick)
|
1.
setiap orang memiliki dirinya sendiri
2.
dunia ini pada asalnya tidak ada yang memiliki
3.
anda dapat memperoleh hak-hak mutlak atas pembagian
dunia yang tidak proporsional, asalkan anda tidak memperburuk kondisi orang
lain
4.
relatif mudah untuk memperoleh hak-hak absolut atas
pembagian dunia yang tidak proporsional
5.
karena itu, kepemilikan pribadi sangat layak, pasar
bebas dalam kapital dan pekerjaan secara moral dikehendaki
|
Keempat, dalam Prinsip Egalitarianisme Radikal, bila setiap orang harus memiliki tingkat yang sama dalam kebutuhan barang dan jasa, di manakah penghargaan atas kenyataan adanya perbedaan antar orang perorang dan atas mereka yang secara ekonomi lebih produktif? Kelima, berdasarkan kompetisi, pasar bebas secara moral dikehendaki sebagai alat yang dipercaya untuk mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya secara adil. Fakta menunjukkan kekuatan pasar tidak sepenuhnya dapat memenuhi tugas alokasi dan distribusi secara adil. Dalam kondisi demikian, siapakah yang bertanggung jawab atas redistribusi bagi mereka yang kurang beruntung?
Keenam, apa yang sejati dari prinsip keadilan John Rawls adalah berkenaan dengan prinsip ketidaksamaan. Prinsip ini biasa disebut sebagai Prinsip Perbedaan. Prinsip ini hanya dapat menjawab persoalan bagaimana ketidaksamaan diatasi. Sementara perbedaan dan konsekuensinya tidak dilihat sebagai suatu kenyataan yang tak dapat ditolak, perbedaan tidak dipandang sebagai potensi untuk saling mengambil manfaat dan titik tolak untuk mengukir prestasi. Di samping itu, dalam Prinsip Perbedaan tidak terlihat jelas apa yang memotivasi tindakan orang-orang yang beruntung untuk berkorban bagi mereka yang kurang beruntung. Terakhir, hampir semua teori keadilan di atas cenderung fokus pada keadilan distributif, sehingga aspek-aspek lain dari kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan soal perlakuan atas sumber daya alam dan lingkungan luput dari perhatian.
No comments:
Post a Comment