Friday, June 21, 2013

Pengertian Kekerasan

1. Pengertian Kekerasan 
Kekerasan merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan - hingga batas tertentu - kepada binatang dan harta-benda. Istilah "kekerasan" juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.
Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk —kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak —seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme.

Kekerasan (violence) adalah ancaman atau penggunaan kekuatan fisik untuk menimbulkan kerusakan pada orang lain.
Berkaitan dengan kekerasan, teori belajar sosial menjelaskan bahwa anak mempelajari perilaku baru melalui pengamatan terhadap model, mengimitasi dan mempraktikkanya ke dalam perilaku nyata 
Domestic violence atau yang lebih akrab dikenal sebagai kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang terjadi di lingkungan rumah tangga. Biasanya dilakukan oleh suami terhadap istri maupun anak-anaknya. Walaupun tak jarang pula dilakukan oleh istri. Bentuknya dapat berupa penyiksaan fisik, seksual maupun psikologis atau penyiksaan emosi. Tekanan dalam hal finansial dan isolasi sosial juga dapat digolongkan sebagai kekerasan dalam rumah tangga (Written on Oktober 31, 2008 by Ratih Putri Pratiwi )

2. Macam-masam Kekerasan dan Faktor Penyebabnya
Macam-macam kekerasan menurut Wikipedia, antara lain:
a. Kekerasan legislatif
b. Mutilasi
c. Kebrutalan polisi
d. Kekerasan agama
e. Kekerasan di sekolah
f. Kekerasan sektarian
g. Kekerasan oleh negara
h. Tawuran
i. Kekerasan terhadap perempuan
j. Kekerasan terhadap laki-laki
k. Kekerasan dalam olah raga

Kekerasan yang dibahas dalam makalah ini adalah:
1) Kekerasan dan kemiskinan
2) Kekerasan di sekolah
3) Kekerasan dalam rumah tangga
4) Kekerasan dalam olah raga
5) Kekerasan terhadap anak

Faktor Penyebab kekerasan, antara lain:
1) Kemiskinan dan kekerasan
World Social Summit di Mumbai beberapa waktu lalu pun disebut-sebut meyakini adanya kaitan yang erat sekali antara kemiskinan dan kekerasan. Beberapa studi empiris memang telah memberikan indikasi bahwa ada benarnya kondisi sosial dan ekonomi yang buruk dan terasa tidak adil merupakan salah satu sebab dari terjadinya konflik kekerasan. Lantas, pertumbuhan ekonomi pun dinilai penting agar masyarakat mampu mengelola konflik yang muncul. Pada situasi dimana kesejahteraan relatif memadai dan stabil, kekerasan mungkin lebih minimal. Pendapat seperti ini kerap dikaitkan dengan kenyataan banyak negara-negara miskin, di Afrika khususnya, yang bertahun-tahun tenggelam dalam perang antar suku, sementara hal serupa tidak terjadi di negara-negara kaya.

Kekerasan merupakan fenomena yang kompleks, dan oleh karena itu tidak bisa dilihat dari kacamata tunggal semata. Dengan tetap mengingat hal ini, kiranya menarik untuk menyimak faktor-faktor ekonomi apa saja yang dapat ikut menjadi penyebab terjadinya kekerasan. Dari beberapa ahli, beberapa faktor ekonomi yang diyakini erat kaitannya dengan kemiskinan adalah sebagai berikut:

a. Pertama adalah parahnya kesenjangan antara pendapatan dan kesejahteraan antara yang kaya dan miskin. Dalam kenyataannya, memang masih banyak penduduk hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan boleh jadi ada yang disebabkan oleh kemalasan. Namun, dalam konteks ini yang dimaksudkan adalah kemiskinan sebagai akibat perilaku jahat dari kelompok yang kaya. Banyak yang bekerja keras dan bertindak jujur, namun toh tidak juga lepas dari kemiskinan ketika di dalam hubungan-hubungan antar pelaku ekonomi tersebut terjadi tindak-tindak eksploitatif. Kekecewaan yang berlarut-larut ini bukan tidak mungkin akhirnya memunculkan keinginan untuk melakukan tindakan balasan dimana kekerasan mungkin menjadi cara yang dipilih. Namun, terdapat catatan di sini, yaitu bahwa yang memilih jalan ini pun sebetulnya hanya sebagian kecil dari mereka yang tertindas. Ada kekhawatiran pula bahwa bagian inilah yang mudah diagitasi dan dibentuk untuk menjadi pelaku kekerasan dan kekacauan oleh pihak-pihak lain yang justru mungkin datang dari kelompok yang makmur dengan menyembunyikan motivasi atau kepentingan mereka yang sesungguhnya.

b. Faktor lain adalah tingginya tingkat pengangguran, khususnya di kalangan muda di daerah perkotaan. Persoalan ini amat terasa ketika situasi ekonomi mengalami kemerosotan. Setiap tahun begitu banyak kaum muda yang masuk ke pasar tenaga kerja. Namun oleh karena terbatasnya lapangan kerja maka banyak yang menjadi pengangguran. Sebagian mungkin ada yang kemudian memilih untuk masuk ke sektor informal, menjadi pekerja mandiri kendati tetap menyimpan keinginan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Kaum muda yang pendidikannya tidak cukup baik, mungkin tidak perlu berpikir lama untuk mengambil keputusan masuk ke sektor informal. Namun, kaum muda yang terdidik mungkin memilih untuk tetap mencoba ke sector formal. Di sinilah mereka tersadar betapa amat kecil peluang mereka untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Tentu, hal ini diperparah pula dengan seringnya nepotisme, koneksi, korupsi menjadi penentu pengalokasian pekerjaan dan makin meningkatkan kekecewaan mereka yang telah menyelesaikan pendidikannya, namun tidak punya koneksi atau uang untuk memperoleh pekerjaan. Menumpuknya kekecewaan ini bisa saja kemudian berbuah pada pilihan untuk bergabung dengan kelompok-kelompok yang ektrim dan menggunakan kekerasan sebagai cara untuk meluapkan kekecewaan mereka.

c. Faktor lain yang juga dapat memperkuat pengaruh hal-hal di atas adalah situasi lingkungan, khususnya di perkotaan, yang kacau berikut tidak memadainya akses pelayanan-pelayanan publik yang penting sementara kota itu sendiri terus berkembang dan bertambah penduduknya. Dalam hal ini tentu pemerintahan yang tidak berfungsi baik dalam melayani publik dan penuh tindak korupsi harus ditempatkan sebagai pendorong terjadinya kekerasan oleh karena kepercayaan publik pun menjadi amat minim terhadap pemerintah dan institusi-insitusi lainnya sehingga tidak aneh sering terjadi praktik main hakim sendiri. Orang kemudian lebih nyaman untuk melakukan sendiri proses penghakiman terhadap pelaku kejahatan misalnya, ketimbang menyerahkannya kepada institusi hukum yang ada.

d. Faktor penyebab yang dapat ditambahkan di sini misalnya dalam kasus konflik-konflik vertikal antara masyarakat dan pemerintah/negara. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa kemiskinan, ketimpangan, public service dan governance yang buruk seringkali adalah akibat dari kebijakan-kebijakan ekonomi yang serampangan yang bias pada pertumbuhan semata yang secara bersamaan cenderung menyepelekan mereka yang masih tertinggal dan miskin. Lantas, maka kebijakan-kebijakan ekonomi tersebut pun sebetulnya adalah juga bentuk dari kekerasan. Korupsi, kolusi, nepotisme tidak lain adalah bentuk dari kekerasan ekonomi. Ketika terjadi penggusuran di sana-sini dengan dalih pembangunan, maka di saat itulah telah terjadi pula kekerasan pembangunan. Tentu saja kekerasan ekonomi dan kekerasan pembangunan semacam ini amat bersangkut paut dengan kekerasan-kekerasan lainnya seperti kekerasan fisik, kekerasan hukum, kekerasan budaya dan sebagainya.

Bila demikian halnya, kiranya menyesatkan jika disebutkan bahwa yang gemar melakukan kekerasan adalah mereka yang miskin dan kurang terdidik. Lagi pula, untuk melakukan kekerasan dengan dampak yang luas dan menakutkan, membutuhkan kemampuan baik itu kekuasaan maupun uang yang justru tidak dimiliki oleh mereka yang miskin dan terbelakang.

Keputusasaan pada mereka yang miskin dan terbelakang itu bahkan sampai ada yang berujung pada tindak kekerasan terhadap dirinya sendiri, bahkan sampai mati dan bukannya membabi-buta mengamuk pada orang lain. Ada anak kecil yang mencoba bunuh diri lantaran uang sekolahnya belum dibayar sekian bulan. Sementara kasus-kasus bunuh diri di Gunung Kidul, seperti disimpulkan Darmaningtyas, penyebabnya bukanlah mitos pulung gantung melainkan kondisi daerahnya yang gersang, tandus dan kemiskinan yang diderita masyarakatnya.

2) Kekerasan di sekolah
Kekerasan sepertinya sudah mendarah daging pada sistem pendidikan di Indonesia. Seperti biasa, penerimaan siswa baru selalu diikuti oleh kegiatan yang dinamakan ospek (atau MOS, atau OS, atau istilah-istilah lainnya). Kekerasan di sekolah bisa terjadi, penyebabnya antara lain:
  • Kekerasan seperti ini sudah terjadi secara tradisional dan turun temurun. Sebelum memasuki suatu sistem yang mendukung kekerasan kemungkinan besar para peserta bukanlah orang-orang yang mendukung kekerasan itu sendiri. Tetapi ketika memasuki sistem, peserta terpengaruh dengan nilai yang ada dalam sistem itu sendiri.
  • Selain itu mungkin beberapa acara orientasi tidak direncanakan dalam bentuk kekerasan, tetapi kenyataan yang terjadi di lapangan tidak seperti yang direncanakan. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh psikologi orang yang berkumpul (crowd psychology). Teori contagion mengatakan bahwa kumpulan orang-orang secara hipnotis mempengaruhi anggota-anggotanya secara individu. Orang-orang tersebut menganggap kumpulan mereka sebagai perisai sehingga mereka meninggalkan tanggungjawab mereka sebagai individu masing-masing dan mengikuti emosi kumpulan orang secara keseluruhan. Hasilnya, kumpulan orang-orang tersebut seakan-akan mengajak anggota-anggotanya untuk menjurus kepada aksi-aksi brutal.
  • Penyebab lainnya adalah sindrom Stockholm. Sindrom Stockholm adalah keadaan psikologis dimana korban yang disekap atau disiksa menjalin hubungan positif dengan penangkap atau penyiksanya. Terkadang bahkan korban membantu penyiksanya sendiri untuk mencapai tujuan si penyiksa. Sindrom ini dapat menerangkan mengapa korban masa orientasi siswa/mahasiswa dapat berbaikan dengan senior-seniornya setelah masa penyiksaan dan bahkan melakukan hal yang sama ke junior-juniornya pada tahun berikutnya. 

3) Kekerasan dalam rumah tangga (istri atau suami)
Kekerasan dalam rumah tangga akhir-akhir ini sering terjadi. Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga itu terjadi karena banyak faktor, antara lain:

a. Faktor ideologi dan culture (budaya-Red), di mana perempuan cenderung dipersepsi sebagai orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja.

Atau, misalnya, dalam kasus kekerasan terhadap anak, selalu muncul pemahaman bahwa anak dianggap lebih rendah, tidak pernah dianggap sebagai mitra sehingga dalam kondisi apa pun anak harus menuruti apa pun kehendak orangtua.

Ideologi dan kultur itu juga muncul karena transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu. Zaman dulu, anak diwajibkan tunduk pada orangtua, tidak boleh mendebat barang sepatah kata pun.

Kemudian, ketika ada informasi baru, misalnya dari televisi atau dari kampus, tentang pola budaya yang lain, misalnya yang menegaskan bahwa setiap orang punya hak yang sama, masyarakat kita sulit menerima.

Jadi, persoalan kultur semacam itu ada di benak manusia dan direfleksikan dalam bentuk perilaku. Akibatnya, bisa kita lihat. Istri sedikit saja mendebat suami, mendapat aniaya. Anak berani tidak menurut, kena pukul.Gerakan feminisme sulit untuk dapat mengubah tatanan nilai yang sudah ada di masyarakat kita. Karena budaya lama itu sudah mendarah daging atau internalized di dalam diri mereka. Mungkin yang bisa mengubah hanya dengan pendidikan yang betul-betul menanamkan pengertian bahwa perempuan dan laki-laki sama derajatnya.

Di dalam rumah tangga, yang membedakan antara perempuan dan laki-laki adalah persoalan fungsi. Dan fungsi masing-masing itu bisa ditukar, kecuali fungsi kodrati, seperti hamil dan menyusui. Tetapi, untuk fungsi mengasuh anak, misalnya, bisa dipertukarkan sehingga istri seharusnya bisa mendebat sesuatu kalau, misalnya, suami bersikap tidak proporsional.
b. Faktor yang lain adalah tidak berjalannya komunikasi secara efektif sehingga yang muncul adalah stereotyping (stigma-Red) dan prejudice (prasangka-Red). Dua hal itu kemudian mengalami proses akumulasi yang kadang dibumbui intervensi pihak ketiga. Bisa saja intervensi itu dari significant others.

Significant others itu tidak selalu orangtua atau keluarga sendiri, tetapi bisa juga tetangga. Tergantung sejauh mana dia punya keterikatan kepada orang itu, dan itu tergantung dari banyak sedikitnya interaksi di antara mereka.

c. Faktor ekonomi, kalau ada masalah ekonomi dan tidak ada kesepakatan, lantas tidak ada komunikasi yang dapat melahirkan jalan keluar, bisa saja terjadi kekerasan di dalam rumah tangga.

Kuncinya memang pada komunikasi. Kalau tidak ada komunikasi, lahir stereotyping dan prejudice yang besar di antara kedua pihak, lebih besar daripada keyakinan untuk menyelesaikan masalah itu sendiri. 

4) Kekerasan dalam olah raga
Kekerasan dalam olah raga dapat terjadi, misalnya antar penonton, penonton dengan pemain, pemain dengan wasit, penonton dengan wasit, penonton dengan aparat, dsb, faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam olah raga, antara lain disebabkan oleh:
a. Kecurangan pemain
b. Kecurangan wasit
c. Ketidakpuasan penonton menyaksikan kekalahan team yang didukungnya
d. Tidak menjunbjung tinggi sportivitas dalam olah raga (siap menang atau kalah dalam setiap pertandingan).

5). Kekerasan terhadap anak
a). Komisi Nasional Perlindungan Anak menilai faktor ekonomi sebagai pemicu utama maraknya kekerasan terhadap anak. Kemiskinan menyumbang stres terhadap orang tua yang kemudian melampiaskan ke anak. Faktor kemiskinan, tekanan hidup yang semakin meningkat, kemarahan terhadap pasangan dan ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orang tua mudah meluapkan emosi kepada anak.

b) Kebijakan pembiaran yang dilakukan negara terhadap pelanggaran hak anak. Kejadian seperti busung lapar, polio, demam berdarah, anak terlantar, anak putus sekolah sampai pada kenaikan BBM merupakan sebagian daftar panjang kebijakan negara yang semakin mempersulit kehidupan masyarakat menengah bawah.

Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak selama tahun 2005 diketemukan 736 kasus kekerasan terhadap anak yang terbagi atas 327 kasus perlakuan salah secara seksual, 233 kasus perlakuan salah secara fisik, 176 kasus kekerasan psikis dan 130 kasus penelantaran anak. Banyaknya kasus tersebut sangat memprihatinkan, apalagi tahun 2006 telah dicanangkan sebagai Tahun Hentikan Kekerasan terhadap Anak.

3. Usaha Mengatasi Kekerasan
a. Kekerasan dan kemiskinan, munculnya kekerasan akibat kemiskinan dapat diatasi dengan pemberian kesejahteraan hidup yang lebih baik dan pemberdayaan masyarakat agar tidak menggantungkan diri terhadap orang lain, jaminan kesejahteraan sosial, asuransi kesehatan, biaya pendidikan yang murah, harga kebutuhan pokok yang terjangkau, dsb.

b. Kekerasan di sekolah, antara lain diatasi dengan cara pihak pengajar yang bertanggung jawab atas keberadaan siswa/mahasiswa di sekolah/kampus tentunya bertanggung jawab untuk menghentikan kegiatan- kegiatan yang tidak bertanggung jawab tersebut. Pihak orang tua siswa/mahasiswa juga bertanggung jawab untuk melarang anak-anaknya mengikuti acara-acara yang tidak jelas maksud dan tujuannya. Tetapi yang terpenting adalah sikap dari anak didik itu sendiri yang harus dapat menolak kegiatan-kegiatan semacam itu, mereka bukanlah pihak yang sepenuhnya tidak berdaya. Sekali mengikuti acara kekerasan semacam itu, psikologi dan idealisme mereka akan berubah arah.

c. Kekerasan dalam rumah tangga dapat diatasi dengan adanya saling pengertian diantara pasangan suami istri, saling percaya, keterbukaan, saling membantu, saling memafkan, saling menghargai, saling mencintai, kesetaraan gender, pembagian tugas yang jelas antara suami dan istri, terpenuhinya kebutuhan hidup, dll.

d. Kekerasan dalam olah raga dapat diatasi dengan adanya kesadaran pihak terkait (pemain, penonton dan wasit) agar mampu menjaga sportivitas dalam olah raga, siap kalah dan siap menang.

e. Kekerasan terhadap anak
Komisi Nasional Perlindungan Anak mendesak pemerintah untuk benar- benar melaksanakan kewajibannya dalam menghentikan kekerasan, penelantaran, diskriminasi dan eksploitasi terhadap anak. Komnas juga mendesak pemerintah untuk memberi alokasi anggaran khusus untuk anak- anak korban kekerasan. Anak Indonesia harus memperoleh jaminan untuk memperoleh aksesbilitas layanan kesehatan, pendidikan, kelangsungan hidup, tumbuh kembang serta hak partisipasi baik secara fisik maupun psikis.

B. PENUTUP
Kesimpulan
Kekerasan pada umumnya muncul akibat adanya, ketidakpuasan terhadap pemegang kebijakan, sportivitas, kesenjangan ekonomi dan sosial, psikologi massa, tayangan media massa, ketidaksetaraan gender, kultur/budaya, politik dan agama.

Kekerasan dapat dihindari apabila terjadi rasa saling cinta kasih terhadap sesama manusia, cinta damai dan menghargai orang lain sebagai makhluk Tuhanh Yang Maha Esa. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

No comments:

Post a Comment