Wednesday, June 12, 2013

SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA

SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA YANG BERBASIS RESTORATIVE JUSTICE
Oleh : Dr.Setyo Utomo.SH.,M.Hum
A. Latar Belakang 
KUHP yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada prakteknya sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang. KUHP yang merupakan warisan KUHP Kerajaan Belanda diberlakukan di Indonesia dengan beberapa penyesuaian, bahkan Prof. Soedarto menyatakan bahwa teks resmi KUHP hingga saat ini masih dalam bahasa Belanda. 

Pasca kemerdekaan, baik pada masa demokrasi terpimpin maupun Orde Baru, KUHP warisan Belanda ini masih tetap berlaku termasuk pula hatzaai artikelen (pasal-pasal penyebar kebencian) terhadap pimpinan politik, pejabat atau golongan etnis. 

Kenyataan inilah yang menyebabkan kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana (penal reform) di Indonesia. Kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana sejalan dengan hasil dari Kongres PBB tahun 1976 tentang pencegahan kejahatan dan perlakuan kepada pelaku kejahatan. Dalam kongres tersebut dinyatakan bahwa hukum pidana yang ada selama ini di berbagai negara yang sering berasal dari hukum asing dari zaman kolonial yang pada umumnya telah asing dan tidak adil (obsolete and unjustice) serta ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded and unreal) karena tidak berakar dan pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. 

Kondisi perubahan hukum yang adil dan sesuai dengan kenyataan yang berakar dari nilainilai yang ada dalam masyarakat kemudian secara tegas juga dinyatakan dalam konsideran Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menyatakan bahwa materi hukum pidana nasional harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia. Sementara tujuan penyusunan hukum pidana dinyatakan sebagai perwujudan upaya pembaharuan hukum nasional Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. 

Penjelasan Umum RKUHP juga menyatakan bahwa Penyusunan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional untuk menggantikan KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang, sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat. 

Berdasarkan atas landasan yang terkandung dalam konsideran RKUHP tersebut, reformulasi atas pengaturan hukum pidana yang dilakukan meliputi penentuan tindak pidana (kriminalisasi) yang sangat jauh berbeda dengan KUHP sekarang. Tercatat ada 743 pasal dalam RKUHP dimana 513 di antaranya adalah pasal mengenai tindak pidana, selebihnya adalah pasal yang berkaitan dengan ketentuan umum. Jumlah rancangan pasal yang sedemikian besar terutama berkaitan dengan banyaknya pasal tentang tindak pidana dalam RKUHP ini menimbulkan berbagai reaksi dan sorotan yang mengkritisi bahwa RKUHP ini mempunyai gejala over criminalization. 

Sorotan lainnya adalah berkaitan dengan pola pemidanaan dan penetapan sanksi pidana yang masih menempatkan pidana mati sebagai pidana yang terberat. Kritik atas masih dipertahankannya pidana mati bagi pelaku ini didasarkan atas pelanggaran terhadap konstitusi dimana dalam UUD Amandemen Kedua, secara tegas dinyatakan tentang jaminan atas hak hidup dan hak ini adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaaan apapun (non derogable rights). Selain itu, mempertahankan hukuman mati juga bertentangan dengan beberapa prinsip dan standar internasional dalam mengenai pemidanaan. PBB juga telah mengeluarkan beberapa dokumen penting berkaitan dengan pemidanaan. Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoner tahun 1957 dan Konvenan Sipil Politik pada tahun 1966 menyatakan bahwa tujuan dari pemidanaan adalah untuk merehabilitasi pelaku kejahatan. PBB juga menyoroti tentang pentingnya perhatian kepada korban kejahatan dengan dikeluarkannya Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power oleh Majelis Umum PBB. Dengan rumusan yang demikian, sorotan khusus berkenaan dengan pola pemidanaan dan penentuan sanksi dalam RKHUP ini perlu dilakukan karena pemidanaan ini dapat memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak pidana. Pembaharuan hukum pidana, dalam hal ini berkaitan dengan sistem sanksi dalam RKUHP, harus dilandasi dengan re-orientasi atas tujuan pemidanaan. Hal ini penting untuk melihat apa maksud dan capaian yang hendak diharapkan atas sebuah proses pembaharuan dalam hukum pidana. Mengetahui maksud dan capaian tentang tujuan pemidanaan akan menunjukkan paradigma negara atas perlindungan dan jaminan keadilan dan perlindungan hak asasi terhadap warga negaranya sebagaimana dicantumkan dalam konsiderannya. Namun tujuan pemidanaan dan bentuk-bentuk sanksi dalam RKUHP perlu dilakukan peninjauan untuk melihat sejauh mana landasan tujuan pemidanaan dan bentuk-bentuk sanksi yang ditetapkan, karena penetapan sanksi dalam peraturan perundang-undangan adalah sangat penting dan strategis untuk mencapai tujuan dari kebijakan hukum pidana (penal policy). 

B. Permasalahan 
Selama ini belum ada rumusan tentang tujuan pemidanaan dalam hukum positif Indonesia. Sebagai akibat tidak adanya rumusan pemidanaan ini menyebabkan banyak sekali rumusan jenis dan bentuk sanksi pidana yang tidak konsisten dan tumpang tindih. RKUHP yang telah disusun ini nampaknya akan mengalami problem yang sama dimana kecenderungan adanya pencampuran konsep pemidanaan dan penetapan sanksi. Persoalan penetapan sanksi (bentuk-bentuk pidana) dalam RKUHP Indonesia, dalam sejarahnya, mengalami beberapa kali perubahan. Tercatat terdapat lebih dari delapan konsep RKUHP yang dalam beberapa konsepnya mempunyai persamaan namun juga terdapat beberapa perbedaan. 

Hal ini menunjukkan bahwa konsep pemidanaan dan penetapan sanksi dalam RKUHP selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Adanya perubahan yang cukup mendasar dari konsep awal sampai dengan konsep yang terakhir menunjukkan bahwa persoalan pemberian sanksi dalam RKUHP selalu disesuaikan dengan perkembangan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal. Menentukan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan digunakan. 

Kebijakan menetapkan sanksi pidana apa yang dianggap paling baik untuk mencapai tujuan, setidaktidaknya mendekati tujuan, tidak dapat dilepaskan dari persoalan pemilihan berbagai alternatif sanksi. Masalah pemilihan berbagai alternatif untuk memperoleh pidana mana yang dianggap paling baik, paling tepat, paling patut paling berhasil atau efektif merupakan masalah yang tidak mudah. Dilihat dari sudut politik kriminil, maka tidak terkendalikannya perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat, justru dapat disebabkan oleh tidak tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih dan ditetapkan. 

Ketentuan mengenai pemidanaan dalam RKUHP, jika dibandingkan dengan KUHP yang saat ini berlaku mengalami beberapa perubahan mendasar. Bagian mengenai pemidanaan di antaranya berisi tentang tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan alasan-alasan mengenai dapat dijatuhkannya pemidanaan bagi pelaku tindak pidana. Pengaturan ini lebih lengkap dibandingkan dengan ketentuan dalam KUHP yang berlaku saat ini. 

Rancangan KHUP menganut sistem pemidanaan dua jalur (double track system) dimana di samping pelaku tindak pidana dapat dijatuhi sanksi pidana (criminal punishment), dapat juga dikenakan berbagai tindakan (treatment). Selain itu, dalam jenis-jenis pemidanaan dalam RKUHP ini juga bertambah dengan adanya pidana pengawasan dan pidana kerja sosial yang merupakan bagian dari pidana pokok, jenis tindak pidana yang sebelumnya belum pernah dikenal dalam KUHP Indonesia. Namun di tengah beberapa perubahan yang mendasar tersebut, ternyata dalam RKUHP masih mengatur beberapa ketentuan yang selama ini menjadi kontroversi, misalnya ketentuan tentang hukuman mati. Di samping itu, RKUHP juga memasukkan beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pemidanaan (denda) adat yang mempunyai rumusan tidak rinci dan sangat tergantung pada putusan hakim. RKUHP sejak awal terlihat tidak cukup konsisten dalam menentukan tujuan pemidanaan dan penetapan sanksi-sanksinya. 

Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam perumusan tujuan pemidanaan adalah : a) Pada hakekatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan sehingga dirumuskan pidana dan aturan pemidanaan dalam undang-undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan, b) Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan yang konkretasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahap. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, maka dirumuskan tujuan pemidanaan, c) Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai ”fungsi pengendalian kontrol” dan sekaligus memberikan landasan filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah. 

Setiap masyarakat mengembangkan mekanismenya sendiri-sendiri guna mengontrol perilaku anggota-anggotanya yang melakukan atau yang dianggap melakukan perilaku yang menyimpang. Khususnya bila penyimpangan tersebut dianggap intensional, tidak dapat diterima dan mengakibatkan kerugian serius (berupa timbulnya korban atau biaya dalam arti luas), muncullah konsep penghukuman (punishment). Pada awalnya, penghukuman dilakukan dengan paradigma retributive dan merupakan reaksi langsung atas perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. Paradigma retributive ini terlihat dalam semangat mengganjar secara setimpal berkaitan dengan perbuatan dan atau efek dari perbuatan yang telah dilakukan. Paradigma penghukuman belakangan muncul dengan semangat agar orang tidak melakukan perbuatan yang diancamkan. Dengan kata lain, penghukuman dilakukan dengan semangkat menangkal (deterrence).

Perkembangan pemahaman mengenai kegunaan penghukuman sebagai instrumen dalam rangka metode pengubahan tingkah laku terlihat melalui munculnya paradigma rehabilitative. Paradigma tersebut melihat bahwa seseorang yang melanggar atau menyimpang dari aturan yang ada pada dasarnya adalah orang yang rusak, sakit, kekurangan, bermasalah atau memiliki ketidakmampuan sehingga melakukan perilaku tersebut. Oleh karena itu, melalui penghukuman atasnya, orang tersebut pada dasarnya hendak diperbaiki atau disembuhkan dari kekurangannya. Seiring dengan perubahan paradigma tersebut, bentuk-bentuk penghukuman pun berkembang, bervariasi dan, konon, semakin manusiawi. 

C. Ruang Lingkup Sistem Pemidanaan 
Secara singkat, “sistem pemidanaan” dapat diartikan sebagai “sistem pemberian atau penjatuhan pidana”. Sistem pemberian/penjatuhan pidana (sistem pemidanaan) itu dapat dilihat dari 2 (dua) sudut, Dari sudut fungsional (dari sudut bekerjanya/berfungsinya/proses-nya), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionali-sasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana, Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. 

Dengan pengertian demikian, maka sistem pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub-sistem Hukum Pidana Materiel/Substantif, sub-sistem Hukum Pidana Formal dan sub-sistem Hukum Pelaksanaan Pidana. Ketiga sub-sistem itu merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan/ditegakkan secara konkret hanya dengan salah satu sub-sistem itu. Pengertian sistem pemidanaan yang demikian itu dapat disebut dengan “sistem pemidanaan fungsional” atau “sistem pemidanaan dalam arti luas”. 

Dari sudut norma-substantif (hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pe-midanaan atau Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana. Dengan pengertian demikian, maka keseluruhan peraturan perundang-undangan (“statutory rules”) yang ada di dalam KUHP maupun UU khusus di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari “aturan umum” (“general rules”) dan “aturan khusus” (“special rules”). Aturan umum terdapat di dalam Buku I KUHP, dan aturan khusus terdapat di dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam UU Khusus di luar KUHP. 

D. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan 
Berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku, di dalam Konsep dirumuskan tentang “Tujuan dan Pedoman Pemidanaan”. Dirumuskan-nya hal ini, bertolak dari pokok pemikiran bahwa : 
  1. Sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang ber-tujuan (“purposive system”) dan pidana hanya merupakan alat/ sarana untuk mencapai tujuan; 
  2. “Tujuan pidana” merupakan bagian integral (sub-sistem) dari ke-seluruhan sistem pemidanaan (sistem hukum pidana) di samping sub-sistem lainnya, yaitu sub-sistem “tindak pidana”, “pertang-gungjawaban pidana (kesalahan)”, dan “pidana”; 
  3. Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan se-bagai fungsi pengendali/kontrol/pengarah dan sekaligus mem-berikan dasar/landasan filosofis, rasionalitas, motivasi, dan justifi-kasi pemidanaan; 
  4. Dilihat secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan meru-pakan suatu rangkaian proses melalui tahap “formulasi” (kebi-jakan legislatif), tahap “aplikasi” (kebijakan judisial/judikatif), dan tahap “eksekusi” (kebijakan administratif/eksekutif); oleh karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan atara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumus-an tujuan dan pedoman pemidanaan. 
E. Ide-ide Dasar Sistem Pemidanaan
Sistem pemidanaan yang dituangkan di dalam Konsep, dila-tarbelakangi oleh berbagai ide-dasar atau prinsip-prinsip sebagai berikut : 
  • ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyara-kat (umum) dan kepentingan individu; 
  • ide keseimbangan antara “social welfare” dengan “social defen-ce”; 
  • ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku/ “offender” (individualisasi pidana) dan “victim” (korban); 
  • ide penggunaan “double track system” (antara pidana/punish-ment dengan tindakan/treatment/measures); 
  • ide mengefektifkan “non custodial measures (alternatives to imprisonment)”. 
  • Ide elastisitas/fleksibilitas pemidanaan (“elasticity/flexibility of sentencing”); 
  • Ide modifikasi/perubahan/penyesuaian pidana (“modification of sanction”; the alteration/annulment/revocation of sanction”; “re-determining of punishment”); 
  • Ide subsidiaritas di dalam memilih jenis pidana; 
  • Ide permaafan hakim (“rechterlijk pardon”/”judicial pardon”); 
  • Ide mendahulukan/mengutamakan keadilan dari kepastian hu-kum; 
Bertolak dari ide-ide dasar itu, maka di dalam Konsep ada ketentutuan-ketentuan yang tidak ada dalam KUHP (WvS) yang berlaku saat ini, yaitu antara lain : 
  1. adanya pasal yang menegaskan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (asas culpabilitas) yang diimbangi dengan adanya ketentuan tentang “strict liability” dan “vicarious liability” (Pasal 35); 
  2. adanya batas usia pertanggungajawaban pidana anak (“the age of criminal responsibility”); Pasal 46. 
  3. adanya bab khusus tentang pemidanaan terhadap anak (Bab III Bagian Keempat); 
  4. adanya kewenangan hakim untuk setiap saat menghentikan atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan perkara pidana terhadap anak (asas diversi), Pasal 111; 
  5. adanya pidana mati bersyarat (Pasal 86); 
  6. dimungkinkannya terpidana seumur hidup memperoleh pelepasan bersyarat (Pasal 67 jo. 69); 
  7. adanya pidana kerja sosial; pidana pembayaran ganti rugi, dan pe-menuhan kewajiban adat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup (Pasal 62 jo 64); 
  8. adanya pidana minimal khusus yang disertai juga dengan aturan/pe-doman pemidanaannya atau penerapannya (Pasal 66, 82, 120, 121, 130, 137); 
  9. dimungkinkannya penggabungan jenis sanksi (pidana dan tindakan); 
  10. dimungkinkannya pidana tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang berdiri sendiri (Pasal 64 ayat 2); 
  11. dimungkinkannya hakim menjatuhkan jenis pidana lain yang tidak tercantum dalam perumusan delik yang hanya diancam dengan pida-na tunggal (Pasal 56-57); 
  12. dimungkinkannya hakim menjatuhkan pidana secara kumulatif wa-laupun ancaman pidana dirumuskan secara alternatif (Pasal 58); 
  13. dimungkinkannya hakim memberi maaf/pengampunan (“rechterlijk pardon”) tanpa menjatuhkan pidana/tindakan apapun kepada terdak-wa, sekalipun telah terbukti adanya tindak pidana dan kesalahan (Pasal 52 ayat 2). 
  14. adanya kewenangan hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan/ memidana si pelaku walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dipersalahkan (dicela) atas terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut (dikenal dengan asas “culpa in causa” atau asas “actio libera in causa”); Pasal 54 *)
  15. dimungkinkannya perubahan/modifikasi putusan pemidanaan, wa-laupun sudah berkekuatan tetap (Pasal 55 dan Pasal 2 ayat 3); 

No comments:

Post a Comment