INTERVENSI TANAMAN PAKAN
Pola Tanam Tumpangsari
Pola tanam tumpangsari adalah suatu pertamanan dua jenis atau lebih tanaman cultivar pada bidang tanah dan waktu yang sama dengan membentuk baris – baris yang teratur untuk tiap jenis tanaman (Thahir, 1985). Pola tanam tumpangsari dapat dengan cara penambahan atau cara penggantian sebagian populasi tanaman utama. Beets (1982) menegaskan bahwa, pola tanam tumpangsari adalah bentuk pertamanan campuran antara jenis – jenis tanaman yang ditanam dalam jarak dan baris – baris yang teratur. Salah satu bentuk pola tanam tumpangsari termasuk juga pertamanan campuran antara tanaman ekonomi dengan tanaman makanan ternak (Humphreys, 1979).
Pertanaman campuran yang termasuk
di dalamnya adalah pola tanam tumpangsari. Pada umumnya bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas tanah, karena meningkatnya jumlah energi radiasi
matahari yang mampu ditangkap oleh tajuk tanaman (Soeriatmadja, 1981; Ofori dan
Stern, 1987). Menurut Wahua dan Miller (1978), pola tanam tumpangsari sangat
populer di kalangan petani skala kecil di daerah tropika dan sub-tropika,
karena (1) memberikan imbangan suplai nutrisi, energi dan protein, (2)
memaksimumkan keuntungan dan penggunaan sumberdaya lingkungan, (3) sebagai
kontrol terhadap tanaman pengganggu, (4) menekan risiko usaha tani, dan (5)
mempertahankan kesuburan tanah. Pertanaman campuran juga mempunyai manfaat
untuk mencegah erosi (Sitanala, 1983), untuk mencegah kecenderungan peningkatan
populasi hama (Sutater, 1981), dan sebagai modifikasi penggunaan pupuk hijau
(Rosa et al, 1980; Kang, Wilson dan
Sipkens, 1981). Shelton dan Humphreys (1975), Humphreys (1979) dan Helsel dan
Wedin (1981) memperoleh manfaat dari pertanaman campuran tanaman pakan dan
tanaman pangan untuk meningkatkan penyediaan hijauan pakan dan meningkatkan
efisiensi manfaat jerami dari tanaman utama.
Hasil per satuan luas dari
masing – masing tanaman dalam tumpangsari pada umumnya lebih rendah
dibandingkan hasil dalam monokultur (Donald, 1963 dan Trenbath, 1974). Walaupun
demikian seringkali hasil per individu tanaman masing – masing atau salah satu
justru meningkat, sehingga masing – masing atau salah satu menjadi lebih tinggi
daripada pola tanam monokulturnya. Keadaan ini bisa apabila yang
ditumpangsarikan adalah jenis leguminosa dan kesuburan tanahnya rendah (Agboola
dan Fayemi, 1972; Ofori dan Stern, 1987).
Ahmed dan Rao (1982)
menunjukkan bahwa, pola tanam tumpangsari tanaman jagung dengan kedelai dapat
meningkatkan produktivitas tanah. Nilai NKT tumpangsari jagung dan kedelai
adalah 1.64 apabila tanpa pemupukan nitrogen, dan diperoleh 1.42 apabila diberi
pemupukan nitrogen sesuai dosis rekomendasi. Hasil ini memperlihatkan bahwa,
efisiensi biologis yang diukur dari nilai NKT, pola tanam tumpangsari mempunyai
efisiensi 64% dan 42% lebih tinggi daripada monokulturnya.
Francis et
al (1982)a menyimpulkan dari tumpangsari jagung dengan kacang
jogo (Phaseolus Vulgaris L) bahwa,
kepadatan tanaman kacang jogo tidak mempengaruhi hasil biji jagung, sebaliknya
kepadatan tanaman jagung menekan hasil biji kacang jogo. Peneliti yang sama
juga menyimpulkan bahwa, kompetisi sesama jenis (intra – specific) lebih kuat
daripada kompetisi antar jenis (inter – specific). Agustina (1980) yang meneliti
pada tanaman yang sama mendapatkan bahwa, apabila tanaman jagung ditanam dengan
jarak 120 cm antar baris, maka tanaman kacang jogo yang ditumpangsarikan masih
dapat menerima radiasi matahari 80% sampai 97% pada umur 65 hari setelah tanam.
Pola
tanam tumpangsari disimpulkan sangat bermanfaat bagi petani skala kecil karena
mengalami kesulitan penyediaan pupuk nitrogen (Kang et al, 1981; Ahmed dan Rao,
1982). Pola tanam tumpangsari antara tanaman lamtoro dan jagung juga telah
banyak dilaporkan, terutama dimaksudkan untuk memperoleh pupuk nitrogen –
organik dari daun lamtoro (Mendoza et al,
1981; Kang et al, 1981; Palled et al, 1983).
Mendoza
et al (1981) melaporkan bahwa, pemotongan pertama hijauan lamtoro menghasilkan
59 sampai 74 kg N/ha, penggunaannya sebagai pupuk hijau dalam tumpangsari
dengan jagung setara dengan 45 – 90 kg N / ha pupuk buatan. Kang et al (1981)
mendapatkan bahwa, pemotongan hijauan lamtoro menghasilkan 180 – 250 kg
N/ha/tahun, penggunaannya sebagai pupuk hijau dalam budidaya lorong mampu
mempertahankan produksi biji jagung 3.8 ton/ha. Rosa et al (1980) mendapatkan
bahwa, tanaman lamtoro yang ditanam diantara baris tanaman jagung dengan jarak
tanam 100 cm dengan kepadatan tanaman lamtoro 10, 15, dan 20 cm jarak tanam
dalam baris, dari pemotongan hijauan diperoleh berturut – turut 102, 115, dan
126 kg N / ha. Penggunaannya sebagai pupuk hijau diperoleh dari tiga kali
pemotongan, hasil yang diperoleh dari biji jagung adalah 70, 73, dan 71 g per
individu tanaman. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan tanpa pemupukan yang
hanya diperoleh biji jagung 49 g per individu tanaman. Hasil penelitian
Sumarsono et al (1985) menunjukan
produksi biji jagung tumpangsari lebih tinggi dibanding tunggal yang menerima
pupuk N rendah (Tabel 1). Walaupun produksi jagung masih lebih tinggi dengan
pemupukan N tinggi (Sumarsono, 1989), tetapi produksi hijauan pakan dari
lamtoro dan jerami jagung diperoleh dalam tumpangsari jagung – lamtoro.
Peranan Leguminosa
Suatu
pertanaman produktif setiap tahun menguras nitrogen sekurang – kurangnya 200
kg/ha dari tanah (Middleton, 1981). Kasus pada tanaman rumput yang mengandung
nitrogen 2 – 3 %, setiap 2 ton bobot kering hijauan memerlukan 50 kg N dari
tanah (Ahlgreen, 1956), Menurut
Whitehead (1970), rumput – rumputan setiap tahunnya dapat memproduksi nitrogen
180 – 238 kg/ha dalam hijauannya tergantung jenis tanamannya. Pertanaman ini
harus dipupuk dengan 326 kg N/ha/tahun, dengan rata – rata pemberian setiap pemanenan
70 kg N, apabila pemanenan dilakukan 4 – 5 kali per tahun. Hasil penelitian
Vicente – Chandler, Figarella dan Silva (1961), dilaporkan bahwa rumput pangola
yang dipupuk 800 kg N/ha/tahun dengan interval pemotongan 60 hari diperoleh
kadar protein kasar hijauan 10.8%.
Pemenuhan kebutuhan nitrogen dapat mengandalakan
leguminosa dalam pertanaman. Leguminosa hijauan pakan mampu mengikat nitrogen dari
udara antara 100 – 400 kg N/ha/tahun (Henzel dan Vallis, 1975). Varietas baru Leucaena Latisiliqua yang diseleksi di
Hawai dan Australia mampu menghasilkan 900 kg N/ha/tahun (Whitney, 1975). Pada
lingkungan terkontrol Stylosanthes
humilis mampu mencapai hasil 1,5 ton/ha/tahun (Whiteman, 1974). Desmodium intortum banyak digunakan di
Hawaii, dibuktikan mampu menghasilkan 400 kg N/ha/tahun (Whitney, Kanehiro dan
Skerman, 1967). Tanaman centro mampu mengfiksasi nitrogen minimal 123 – 132 kg
N/ha/tahun (Whitney et al, 1967).
Hasil tertinggi yang diperoleh peneliti adalah 269 kg N/ha/tahun. Menurut Moore
(1960), pada pertanaman campuran centro dengan Cynodon plectostachyus, Centro dapat menyumbangkan 280 kg
N/ha/tahun kepada pastura tersebut. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh
Nutman (Frederick, 1978) didapatkan bahwa Centro mampu memfiksasi nitrogen
antara 126 – 395 kg N/ha/tahun dengan rata – rata 259 kg N/ha/tahun. Hasil
penelitian Sumarsono (1985) produksi nitrogen lamtoro, Stylo-Cook, dan
Stylo-Verano dalam tumpangsari dengan jagung adalah 324,87; 123, 37; dan 499,53
kg/ha (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil Penelitian Berbagai Sistem Tumpang Sari
dengan Tanaman Pakan
Pola Tanam
|
Bijian Jagung
|
BK Pakan
Kasar
|
BK Hijauan Legume
|
BK Pakan Kasar +
Hijauan
|
Produksi Nitrogen Legum
|
Referensi
|
. . . .
. . . . . . (ton/ha) . . . . . . . . .
.
|
(kg/ha)
|
|||||
Setaria1 -
Centro
|
-
|
4,39
|
2,25
|
6,64
|
180.18
|
Sumarsono
|
Setaria2 -
Centro
|
-
|
4,36
|
2,62
|
6,98
|
176,45
|
(1983)
|
Jg - sendiri
|
1,95
|
3,17
|
-
|
3,17
|
-
|
Sumarsono
|
Jg - Lamtoro
|
2,28
|
2,83
|
1,13
|
3,96
|
324,97
|
(1985)
|
Jg - Stylo Cook
|
3,30
|
3,80
|
0,96
|
4,75
|
123,37
|
|
Jg - Stylo
Verano
|
2,11
|
3,67
|
3,73
|
7,40
|
499,53
|
|
Lamtoro -
sendiri
|
-
|
-
|
8,77
|
8,77
|
253,18
|
Sumarsono
|
Jg - Lamtoro1
|
3,40
|
2,78
|
4,36
|
7,14
|
136,86
|
(1989)
|
Jg - Lamtoro 2
|
3,30
|
3,32
|
5,95
|
9,27
|
180,76
|
|
Jg - Sendiri
|
6,76
|
5,81
|
-
|
5,81
|
-
|
|
Transfer Hasil Fiksasi Nitrogen
Dalam pertanaman campuran
rumput dan leguminosa, fungsi utama leguminosa adalah sebagai sumber hijauan
makanan ternak yang berkualitas tinggi dan hasil fiksasi nitrogen dari udara
dapat tersedia bagi rumput yang tumbuh bersamanya (Middleton, 1981). Bukti-bukti telah banyak dilaporkan bahwa
tanaman non leguminosa menunjukkan kenaikan kandungan nitrogen apabila
ditumbuhkan bersama tanaman leguminosa (Whitney dan Kanehiro, 1967; Whitney dan
Green, 1969; Agboola dan Fayemi, 1972). Menurut
Virtanen (1963), hasil fiksasi nitrogen oleh tanaman leguminosa sebagian dirembeskan
ke media tumbuhnya. Sedangkan menurut Whitney dan Kanehiro (1967), pada
leguminosa yang tumbuh merayap, bagian daun yang gugur lebih penting sebagai
sumber penambahan nitrogen tanah daripada pencucian bagian tanaman atau
lepasnya bintil dan akar akibat tindakan defoliasi.
Menurut
Henzell dan Vallis (1975), cara mempertinggi transfer hasil fiksasi nitrogen
adalah menggunakan tanaman leguminosa sebagai pupuk hijau, atau mengembalikan
sebagian nitrogen kotoran ternak karena tanaman leguminosa digunakan sebagai
hijauan pakan (Whitehead, 1970). Permasalahannya adalah bahwa kebanyakan
tanaman biji – bijian yang tumbuh tinggi akan menaungi leguminosa yang tumbuh
bersama dibawahnya, akibatnya laju fotosintesis dan kemampuan fiksasi nitrogen
juga turun (Lawn dan Brum, 1974; Wahua dan Miller, 1978c ).
Ternak
yang digembalakan pada pastura campuran rumput dan leguminosa mengembalikan
sebagian nitrogen dari hijauan yang dimakan ternak melalui kotoran ternaknya
(Whitehead, 1970). Disinilah secara teoritis dimungkinkan bahwa nitrogen hasil
fiksasi oleh leguminosa dikembalikan ke tanah dan diserap oleh rumput.
Sedangkan menurut Whitney dan Kanehiro (1967), tanpa penggembalaan ternak juga
terjadi transfer nitrogen dari leguminosa kepada rumput dalam pastura campuran
tersebut. Peneliti disini menyimpulkan menyimpulkan bahwa pada Desmodium intortium dan Centro, bagian
daun yang gugur lebih penting sebagai sumber transfer nitrogen dibandingkan
pencucian bagian hidup tanaman atau lepasnya bintil dan akar akibat defoliasi.
Transfer nitrogen umumnya sangat kecil pada awal pertumbuhan leguminosa,
selanjutnya sangat tergantung dari frekuensi dan intensitas defoliasi, ada
tidaknya hewan dan iklim yang mempengaruhi imbangan antara fiksasi nitrogen dan
fotosintesa (Whitehead, 1970).
Sudah
lama Vicente – Chandler, Figarella dan Caro-Costas (1953), menyimpulkan adanya
hubungan positif antara produksi kudzu tropis (Pueraria phalseloides) dengan kadar protein kasar rumput mollasses
(Mellinis minutiflora). Produksi
rumput tidak akan tertekan oleh peningkatan produksi leguminosa di dalam
pertanaman campuran tersebut, karena peningkatan produksi leguminosa berarti
peningkatan hasil fiksasi nitrogen udara (Whitney et al, 1967).
Hasil
penelitian Whitney dan Green (1979), rumput pangola (Digitaria decumbens) yang tumbuh bersama Desmodium canum adalah setara dengan pemupukan 240 kg N/ha/tahun,
apabila bersama Desmodium intortum
setara dengan pemupukan 525 kg N/ha/tahun. Transfer nitrogen disini
diperkirakan sebesar 33% pada D. canum,
dan 20% pada D. Intortum. Menurut Akinola (1981), transfer nitrogen leguminosa Centro
52% pada pertanaman campuran Centro dengan rumput signal (Brachiaria decumbens).
Menurut
hasil penelitian Soedarmadi (1977) di Filipina, juga Sumarsono (1983) leguminosa
secara nyata meningkatkan produksi bahan kering dan menekan kadar serat kasar.
Centro yang digunakan disini meningkatkan kadar protein kasar, tetapi pada
presentase leguminosa Centro 27,41% belum diperoleh peningkatan produksi
protein kasar yang nyata.
No comments:
Post a Comment