Tuesday, July 9, 2013

Motivasi Wirausaha

Motivasi 
Motivasi adalah kemauan untuk berbuat sesuatu, sedangkan motif adalah kebutuhan, keinginan, dorongan atau impuls. Motivasi seseorang tergantung kepada kekuatan motifnya. Motif dengan kekuatan yang sangat besarlah yang akan menentukan perilaku seseorang. Motif yang kuat ini seringkali berkurang apabila telah mencapai kepuasan ataupun karena menemui kegagalan. 

Jadi kekuatan motif ini dapat berubah karena: 
1. Terpuaskannya kebutuhan. 
Bila kebutuhan telah terpuaskan maka motif akan berkurang, dan beralih kepada kebutuhan lain dan seterusnya. 

2. Karena adanya hambatan, maka orang mencoba mengalihkan motifnya ke arah lain. 
Adanya frustasi memberikan beberapa kemungkinan terhadap kekuatan motif. Pertama bisa menimbulkan patch semangat, dan tidak mau mencoba lagi. akibatnya produktivitas atau prestasi kerja dari karyawan ini akan menurun. Namun ada pula karyawan yang karena frustasi memberikan balikan yang sangat positif lalu dia mencoba lagi sekuat tenaga. Hanya jika dia menghadapi frustasi lagi maka akibatnya menjadi fatal. Mereka dapat melakukan tindakan destruktif, demonstrasi, menyerang pimpinan, merusak kantor, dan sebagainya. 

1. Teori Motivasi Hirarki Kebutuhan Maslow 
Teori motivasi yang sangat populer ialah teori hirarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham Maslow. Maslow berpendapat bahwa hirarki kebutuhan manusia dapat dipakai untuk melukiskan dan meramalkan motivasinya. Teorinya tentang motivasi didasarkan oleh dua asumsi. Pertama, kebutuhan seseorang tergantung dari apa yang telah dipunyainya, dan kedua, kebutuhan merupakan hirarki dilihat dari pentingnya. Menurut Maslow ada lima kategori kebutuhan manusia, yaitu: Physiological needs, safety (secu­rity), social (affiliation), esteem (recognition), dan self actualization. 

Bila satu tingkat kebutuhan sudah terpenuhi, maka akan muncul tingkat kebutuhan yang lebih tinggi. Namun ini tidak berarti tingkat kebutuhan yang lebih rendah harus terpenuhi 100% atau sangat memuaskan. Bisa saja kebutuhan lebih rendah belum memuaskan sekali, sudah muncul tingkatan yang lebih tinggi. Hal ini terasa sekali pada negara yang sedang berkembang, yF g masyarakatn,,a ingin cepat sekali memenuhi tingkat kebutuhan yang lebih tinggi, yang kemudian merupakan gejala demonstration effect. 

2. Teori X dan Teori Y (Douglas Mc. Gregor) 
Teori X mengasumsikan bahwa kebanyakan orang lebih suka dipimpin tidak punya tanggung jawab dan ingin selamat saja, ia dimotivasi oleh uang, keuntungan dan ancaman hukuman. Manajer yang menganut teori X akan menganut sistem pengawasan dan disiplin yang ketat terhadap para pekerja. 

Sedangkan teori Y mengasumsikan bahwa orang itu malas bukan karena bakat atau pembawaan sejak lahir. Semua orang sebenarnya bersifat kreatif, yang harus dibangkitkan atau dirangsang oleh pimpinan. Inilah tugas manajer, yaitu membangkitkan daya kreasi para pekerja. Mc Gregor mengemukakan daftar asumsi tentang hakekat manusia dalam teori X dan teori Y sebagai berikut. 

Teori X 
1. Pekerjaan pada hakekatnya tidak disenangi orang banyak 
2. Kebanyakan orang rendah tanggung jawabnya dan lebih suka dipimpin. 
3. Kebanyakan orang kurang kreatif. 
4. Orang lebih suka memikirkan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat fisik saja, asal itu sudah dipenuhi, selesai 
    persoalannya. 
5. Kebanyakan orang harus dikontrol secara ketat, dan sering harus di­paksakan menerima tujuan organisasi 
    (dipaksa bekerja). 

Teori Y 
1. Pekerjaan itu sebetulnya sama dengan bermain, cukup menarik dan mengasyikkan. 
2. Orang mempunyai kemampuan mengawasi diri sendiri guna mencapai tujuan. 
3. Setiap orang mempunyai kemampuan kreativitas. 
4. Orang tidak hanya memiliki kebutuhan fisik saja tetapi juga memiliki kebutuhan rasa aman, ingin bergaul, 
    ingin dihargai dan ingin menonjolkan dirinya. 
5. Orang harus diberi motivasi agar dapat membangkitkan daya inisiatif dan kreativitasnya. 

Kedua teori ini jangan disimpulkan bahwa teori X jelek dan teori Y baik. Teori X dan Y hanya memberikan kira-kira arah atau kecenderungan or­ang. Orang yang menganut teori Y untuk hal tertentu, namun ia juga harus memimpin dan mengawasi para pekerja menurut teori X. 

3. Teori Hygiene dari Frederick Herzberg 
Teori motivasi hygiene ini adalah hasil studi Herzberg di Pittsburg. Dia menginterview 200 insinyur dan akuntan dari 11 industri. Dalam meng­interview ditanyakan hal-hal apa saja yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan dalam pekerjaan. 

Kesimpulan Hezberg ialah ada dua kategori yang berlainan yang mempengaruhi perilaku. la menemukan bahwa bila orang merasa tidak puas dengan pekerjaannya, maka mereka akan memperhatikan lingkungan sekitar tempat bekerjanya. Sebaliknya bila orang merasa senang dengan peker­jaannya, maka ia akan memperhatikan pekerjaannya. 

Herzberg mengatakan kategori pertama disebut faktor hygiene, yaitu faktor lingkungan yang mempengaruhi ketidakpuasan dalam melakukan pekerjaan. Kategori kedua sebagai motivator karena memotivasi orang untuk bekerja. 

Termasuk faktor hygiene ialah kebijaksanaan perusahaan, administrasi, supervise, kondisi kerja, hubungan interpersonal, uang, status, dan keamanan. Hal ini tidak termasuk bagian pekerjaan, tetapi berhubungan dengan gairah kerja. Istilah hygiene adalah istilah kesehatan, karena mencegah sesuatu penyakit. Faktor hygiene ini tidak ada hubungannya dengan peningkatan out­put secara langsung, tetapi hanya mencegah timbulnya kerugian karena kegairahan kerja buruh yang rendah. Sedangkan faktor motivator ialah yang memuaskan seperti rasa puas berkembangnya karir, ada pengalaman dalam pekerjaan. Faktor-faktor ini akan meningkatkan kegairahan kerja. Jika dirinci, faktor-faktor hygiene adalah sebagai berikut: 
1. Administrasi dan kebijaksanaan 
2. Supervise 
3. Kondisi kerja 
4. Hubungan interpersonal 
5. Uang, status, security. 

Sedangkan faktor motivator antara lain: 
1. Prestasi 
2. Penghargaan atas pekerjaan 
3. Tantangan pekerjaan 
4. Bertambah tanggung jawab 
5. Ada kemungkinan meningkat lebih maju. 
4. Teori Ekspektasi (harapan) dari Vroom 

Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Lewin dan dilanjutkan oleh teori motivasi Vroom. Teori ini mendasarkan pemikirannya pada dua asumsi: 
  1. Manusia biasanya meletakkan nilai kepada sesuatu yang diharapkan dari hasil karyanya, oleh karena itu ia mempunyai urutan kesenangan (preference) diantara sekian banyak hasil yang ia harapkan. Artinya ada sesuatu yang dia harapkan. 
  2. Selain mempertimbangkan hasil yang dicapai, juga mempertimbangkan keyakinan orang tersebut bahwa yang dikerjakannya itu akan memberikan sumbangan terhadap tercapainya tujuan yang diharapkan. 
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, Vroom mengusulkan suatu teori tentang motivasi: Motif seseorang untuk melakukan sesuatu pekerjaan adalah fungsi nilai dan kegunaan dari setiap hasil yang mungkin dapat dicapai/ ekspektasi dengan persepsi kegunaan suatu perbuatan dalam usaha tercapainya hasil tersebut. Jadi dapat dirumuskan sebagai berikut: 
M = E ( H.N) M= Motivasi H = Hasil 
E = Ekspektasi N = Nilai 

Untuk mengetes teori Vroom ini telah banyak dilakukan penelitian. Ada dua hal penting yang ditemukan dalam penelitian tersebut, yaitu: 
1. Perbedaan antara imbalan intrinsik dan ekstrinsik 
2. Spesifikasi dari suatu keadaan, di mana ekspektasi dan nilai mem­pengaruhi kualitas pekerjaan seseorang 

Pada penelitian-penelitian awal tidak dibedakan apakah hadiah itu datang dari luar subyek atau dari dalam subyek. Tetapi pada penelitian selanjutnya ditemukan bahwa usaha yang berhasil itu sendiri sudah merupakan hadiah yang menyebakan kepuasan. Disamping itu ditemukan pula dua kondisi yang harus dipenuhi agar ekspektasi dan kepuasan itu dapat mempengaruhi penampilan, yaitu: 

1. Persepsi yang tepat tentang peranan seseorang dalam organisasi. 
2. Kemampuan yang memadai untuk terlaksananya tugas. Penelitian lebih lanjut dari teori Vroom ini 
    dilakukan oleh Porter dan Lawyer. 

5. Teori Motivasi Model Porter dan Lawyer 
Model dan Lawyer ini digambarkan sebagai berikut: 
Pada gambar di atas ditunjukkan bahwa upaya (kekuatan dari motivasi dan energi yang dicurahkan) tergantung pada nilai imbalan serta probabilitas untuk memperoleh imbalan itu. Persepsi upaya dan probabilitas imbalan itu sebaliknya dipengaruhi juga oleh hasil penampilan sesungguhnya (actual performance). Jelas bahwa bila seseorang tahu dia mampu mengadakan suatu tugas atau pemah mengerjakannya maka, dia memiliki perkiraan yang lebih baik mengenai upaya yang dibutuhkan dan mengetahui lebih baik probabilitas imbalannya. Penampilan sesungguhnya dalam suatu pekerjaan ditentukan oleh upaya yang dicurahkan serta dipengaruhi oleh kemampuan untuk melaksanakan dan persepsinya tentang tugas. Penampilan, sebaiknya dilihat dari imbalan instrinsik (seperti rasa keberhasilan dan aktualisasi diri) dan imbalan ekstrinsik (seperti kondisi kerja dan status). 

Setelah imbalan dianggap seimbang, maka tedadilah kepuasan. Model motivasi Porter dan Lawyer ini lebih kompleks dari teori motivasi lainnya, tetapi jelas memberi gambaran yang lebih lengkap dari sistem motivasi. 

Dalam organisasi bisnis, para wirausahawan harus menilai struktur imbalan dengan hati-hati melalui perencanaan yang teliti, dan uraian yang jelas tentang tugas-tugas. 

6. Teori Prestasi (Achievement Theory) dari Mc Clelland 
Mc Clelland, Atkinson dan kawan-kawan telah melakukan penelitian yang ekstensif dalam mengembangkan teori prestasi. Pada dasarnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga kebutuhan: 
1. Kebutuhan akan kekuasaan (need for power) 
2. Kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation) 
3. Kebutuhan akan keberhas Han (need for achievement). 

Teori ini berusaha menjelaskan tingkah laku yang berorientasi kepada prestasi (achievement-oriented behaviour) yang didefinisikan sebagai tingkah laku yang diarahkan terhadap tercapainya standard of excellent. Menurut teori tersebut, seseorang yang mempunyai need for achievement yang tinggi selalu mempunyai pola pikir tertentu, ketika ia merencanakan untuk melaksanakan sesuatu, selalu mempertimbangkan apakah pekerjaan yang akan dilakukan itu cukup menantang atau tidak. Seandainya pekerjaan itu cukup memberikan tantangan, maka kemudian ia memikirkan kendala-kendala apa yang mungkin dihadapi dalam pencapaian tujuan, strategi apa yang dapat digunakan untuk mengatasi kendala dan mengantisipasi konsekuensinya. Ciri lain dari need for achievement tinggi ialah kesediaannya untuk memikul tanggung jawab sebagai konsekuensi usahanya, berani mengambil resiko yang sudah diperhitungkan, kesediaannya untuk mencari informasi untuk mengukur kemajuannya, dan ingin kepuasan dari apa yang telah dikerjakannya. 

7. Teori Z dari William G.Ouchi 
William G. Ouchi (1982) meneliti rahasia kesuksesan yang dinikmati oleh perusahaan-perusahaan Jepang yang melejit maju meninggalkan partnernya para pengusaha Amerika. Dikatakan oleh Ouchi bahwa issu yang populer bagi Amerika untuk dekade yang akan datang bukan persoalan teknologi, investasi, atau inflasi. Akan tetapi issu pokok ialah bagaimana menghadapi suatu kenyataan keunggulan Jepang yang bekerja jauh lebih baik dari Amerika. 

Orang Amerika sudah cukup bekerja keras sebagaimana halnya orang Jepang yang senang pada performance tinggi, tetapi harus ingat kata Ouchi, bahwa produktivitas bukan dihasilkan oleh kerja keras individu tersebut. Ouchi yakin bahwa produktivitas adalah masalah organisasi sosial, dengan kata lain merupakan masalah memimpin organisasi. Produktivitas merupakan masalah bekerja dengan koordinasi, dengan perasaan menyatu antara lembaga dan individu, dan juga antar individu sendiri, untuk jangka panjang tidak terbatas. 

Pelajaran pertama dari teori Z ini ialah; bahwa produktivitas dan kepercayaan saling bergandengan. Ciri umum kehidupan bangsa Jepang ialah adanya rasa intim. Bagi bangsa Amerika sifat intim ini hanya dijumpai dalam keluarga, klub, tetangga. Tetapi nampaknya sifat intim ini makin menurun dengan semakin banyaknya terjadi perceraian. Orang Amerika yang lahir tahun 1900, menyatakan pernah bercerai '(12,5 %) dan yang lahir tahun 1940-­1945 ada 40% pernah cerai, diantaranya ada sebanyak 40% yang pernah dua kali bercerai. Ahli sosiologi menyatakan bahwa sifat intim ini adalah unsur penting dalam menuju masyarakat sehat. Bila sifat intim ini tidak ada, maka masyarakat akan menuju kehancurannya, orang tak punya hubungan satu sama lain. Di Amerika pemupukan sifat intim itu sangat terbatas, bahkan di tempat kerja tidak ada sifat ini. Di Jepang, sifat intim ini selalu ada dalam perusahaan, sebagimana halnya di tempat-tempat lain. 

Pernah kejadian, sebuah perusahan Amerika di Jepang, dimana suatu hari pegawainya diminta tidak bekerja. Pegawai-pegawai yang semuanya orang Jepang itu, pada hari tidak bekerja tersebut, mereka membersihkan perusahaan dari segala kotoran, seperti membersihkan lantai, dinding, bekas­bekas minuman, bekas rokok dan sebagainya, sehingga semuanya betul-betul bersih. Kemudian keesokan harinya mereka bekerja seperti biasa, dan ternyata bekerja lembur mengganti hari kemarin, tanpa mengharapkan uang lembur. Manajernya yang orang Amerika baru mengerti setelah diberitahukan bahwa inilah cara kerja orang Jepang. Mereka loyal, mereka merasa memiliki p,erusahaan ini. Mereka akan bekerja di perusahaan tersebut seumur hidup. 

Demikianlah Ouchi memberi gambaran organisasi tipe Z, yang lebih lanjut dirinci sebagai berikut: 

Karakteristik organisasi tipe Z: 
  1. Mengharapkan pekerja akan bekerja untuk seumur hidup di perusahaan tersebut. 
  2. Bekerja dengan penuh rasa intim, seperti sebuah "clan" (paguyuban). 
  3. Tipe Z penuh dengan sistem informasi serba modern dan memiliki sistem pembukuan mutakhir, tetapi sistem pengawasan yang tegas secara eksplisit tidak ada. 
  4. Keputusan diambil secara kolektif. 
Perusahaan-perusahaan Barat cenderung berpendirian: rasional adalah lebih baik dari tidak rasional, obyektif adalah lebih rasional dari subjektif, kuantitatif adalah lebih daripada kualitatif. Dengan demikian analisa kuantitatif jauh lebih unggul dibandingkan dengan perkiraan, yang didasarkan atas wisdom atau kebijaksanaan. 

Dalam tipe Z, hal-hal di atas selalu ada dalam kesinambungan. Semua keputusan diambil berdasarkan kenyataan clan juga sangat memperhatikan apakah keputusan itu sesuai atau tidak. 

5. Perusahaan tipe Z tidak terlalu menekankan terhadap pentingnya laba. Tapi kenyataan perusahaan tipe Z cepat maju dan lebih besar labanya. Tipe Z tidak menetapkan "laba" sebagai tujuan terakhir, tidak menetapkan laba sebagai ukuran, tetapi laba adalah sebagai imbalan terhadap perusahaan yang telah melayani konsumen secara baik dan besar, yang telah memberi hidup yang layak pada karyawannya, dan cukup bertanggung jawab sebagai warga negara Jepang. 

6. Sifat egalitarian adalah prinsip yang dianut oleh tipe Z. Egalitarian yang dimaksudkan ialah masing-masing orang dapat membuat kebijaksanaan dan bekerja otonom, tanpa pengawasan ketat, karena mereka dipercaya. Hal ini ada hubungannya dengan teori X dan Y dari Douglas Mc. Gregor dan teori Argyris. Pengawasan dapat menunjang dalam teori Y hanya bila pengawas percaya pada pekerja, bahwa para pekerja itu akan mengambil kebijaksanaan sendiri tidak terlepas dari tujuan umum perusahaan. Oleh sebab itu ada hubungan antara teori Y ini dengan prinsip egalitarian. 

Menurut Dr. Satoshi Kuribayashi dari Lembaga Riset Nomura di Tokyo, menyatakan bahwa manajemen gaya Jepang sangat berbecla dengan manajemen gaya Amerika. Manajemen gaya Jepang mulai maju pesat sesudah tahun 1965, setelah ekonomi Jepang mengalami pertumbuhary pesat. Periode 1945 sampai 1965 adalah periode menjiplak teknologi Asing oleh bangsa Jepang. Setelah tahun 1965, Jepang baru mulai memperlihatkan identitasnya. 

Menurut Dr. Kuribayashi manajemen Jepang pada hakekatnya menitik beratkan buruh sebagai modal utama dan terpenting dalam perusahaan. Mereka tidak dianggap sebagai unit produksi seperti gaya Amerika, tetapi sebagai manusia-manusia utuh, perusahaan berkewajiban memenuhi segala kebutuhan mereka, material, sosial, dan spiritual. Perusahaan menjadi keluarga besar bersatu antara buruh dan majikan. Oleh sebab itu, mereka bekerja seumur hidup dalam perusahaan itu artinya sampai pensiun, setelah bekerja 35 sampai 40 tahun. 

Dengan adanya rasa kesatuan, buruh merasa aman bekerja, mereka mempunyai sifat lebih positif terhadap pembaharuan dan penggunaan teknologi baru. Mereka tidak perlu takut bila perusahaan menggunakan mesin robot yang akan menyaingi tenaga kerja mereka. Buruh dengan senang hati menciptakan teknologi baru dan diterapkan di lingkungan mereka. 

Ciri lain manajemen Jepang ini adalah sistem pengambilan keputusan bawah ke atas. Istilah mengambil keputusan tidak ada di Jepang. Keputusan biasanya terjadi dengan bincang-bincang atau diskusi tidak resmi, pada jam makan, waktu istirahat, dan lebih banyak membicarakan fakta yang penting. Pengutaraan pendapat pribadi banyak dihindari, tetapi yang penting adalah gagasan kelompok. Manajemen Jepang mengutamakan pendidikan dalam perusahaan, sehingga buruh meningkat pengetahuan dan pengalamannya, dengan cara magang dalam segala keterampilan pekerjaan. 

Mengutamakan pengawasan atas kualitas melalui apa yang disebut QCC (Quality Control Circle), Quality Control (QC) berasal dari Inggris dan embangkan di Amerika, kemudian dikembangkan di Jepang tahun 1950. 

Di negara Barat Quality Control bertujuan untuk mengurangi ketidak sempurnaan hasil produksi. Di Jepang, konsep ini dirubah, tidak mengutamakan mempertahankan kuantitas, tapi meningkatkan kualitas, dan melibatkan seluruh lapisan buruh. Akhirnya ini menjelma menjadi Quality Control Circle yaitu kontrol yang dilakukan bersama atas kualitas dan meningkatkan kualitas, sehingga produk Jepang kualitasnya makin lama kin sempurna, dan selalu saja ada unsur "baru". Hal ini dimungkinkan karena setiap prang mengawasi sendiri, bagaimana hasil pekerjaannya. Jika belum sempurna, maka akan terus disempurnakan. 

Di negara Barat Quality Control dilakukan oleh tenaga ahli, sedangkan di Jepang dilakukan oleh semua buruh, mulai dari pekerjaannya sendiri, seperti tukang sapu memperhatikan pekerjaan menyapunya, apakah sudah bersih, sampai kepada tenaga ahli yang lebih tihggi. Rata-rata setiap karyawan memberikan tujuh saran setiap tahunnya dan ini menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda. Berkat saran-saran ini maka produk mobil, arloji, kamera, kalkulator, dan barang elektronik lain dibuat semakin sempurna, hemat, manis, antik, mewah, irit, murah serta laris. Dalam industri elektronik dan komputer, sebagian besar penemuan baru berasal dari saran-saran QCC, bukan karena penemuan para ahli di laboratorium. 

No comments:

Post a Comment