PEMANFAATAN
TENAGA KERJA
Masalah ketenaga kerjaan yang paling menonjol sampai
saat ini masih berkisar pada pengangguran. Tingkat pengangguran memang
merupakan salah satu indikator perekonomian yang penting. Maka tidak
mengherankan bila itu dijadikan permasalahan yang penting pula.Secara sederhana
pengangguran disebabkan oleh dua hal yaitu banyaknya tenaga kerja dan atau
sempitnya kesempatan kerja. Hal lain di belakang itu tentu saja tidak
sederhana. Pada wilayah yang tingkat penganggurannya tinggi seperti kita muncul
masalah lain seperti penempatan tenaga kerja yang tidak sesuai dengan potensi
serta latar belakangnya dan upah yang rendah.
Dalam rangka pemerataan sering juga terjadi kerja
dengan jam yang kecil dan tentu saja upah yang kecil pula. Masalah seperti
perlakuan terhadap pekerja yang tidak semestinya bukan tidak mungkin pula. Secara
umum bisa muncul masalah underutilization, kurang termanfaatkannya tenaga
kerja. Gejala ini biasanya diikuti dengan ketidakpuasan pekerja dan usaha mencari
kerja lain yang Iebih sesuai. Karena itu terutama pada pekerja dengan jam kerja
rendah, sering disebut kasus ini sebagai setengah menganggur.Dari hasil telaah
(Manning dan Papayungan, 1984) di tahun 1980 terdapat 7,5% tenaga kerja kurang
termanfaatkan untuk seluruh Indonesia. Angka ini diperkirakan lebih kecil dari
keadaan sebenarnya. Persentase tersebut merupakan gabungan dari beberapa
karakteristik tenaga kerja diantaranya ada yang bekerja dibawah 35 jam
seminggu.
Ada
pula yang lebih banyak yang putus asa dengan pekerjaannya dan banyak pula yang
berusaha mencari pekerjaan lain.Kurang pemanfaatan tenaga kerja merupakan
gejala yang umum. Ini tidakhanya terjadi di negara-negara berkembang dengan
tingkat pengangguran yangsangat tinggi tetapi juga di negara-negara maju.
Perbedaannya pada spesifikasipenyebab dan proporsi. Di negara-negara maju
penyebab utamanya adalah terlalutinggi tingkat pendidikan atau over edukasi dan
deskilling (O'Brien, 1986).
Tingkat
pendidikan yang tinggi berarti memiliki kemampuan yang tinggi. Bi!a tidak
termanfaatkan kemampuan itu tidak terman ifestasikan dan berkembang,bahkan bisa
susut dan hilang. Tingkat pendidikan yang tinggi juga meningkatkan aspirasi,
keinginan memiliki otonomi dan variasi dalam kerja. Bila hal ini tidak tersalurkan
dengan baik maka efek negatif akan muncul.Padahal di sisi lain tidak seluruh
pekerjaan menuntut pandidikan yang tinggi.Untuk menjadi operator mesin
misalnya, tamatan sekolah menengah pertama bisa mengerjakannya. Anehnya ada
kecenderungan menerima pekerjaan yang tingkat pendidikannya lebih tinggi tanpa
melihat pekerjaan. Sering disyaratkan untuk tukangfotokopi saja lulusan
SMA.Devaluasi tingkat pendidikan terjadi pada penempatantenaga kerja.Tuntutan
kemampuan yang lebih rendah akan mengakibatkan deskilling, tidakhanya
akan menambah jumlah tenaga kerja kurang termanfaatkan, tetapi juga
tingkatpengangguran. Komputerisasi dan robotisasi adalah dua contoh yang
cukupmenonjol. Juru gambar dan ahli farmasi merupakan contoh menonjol bagi
korban
kasus
ini.
Rangsangan
Paradoks antara masih sempitnya arti kerja di satu
sisi dan kurang termanfaatkannya mereka yang berpotensi ada pada kita
stekaligus. Bisa jadi secara akumulatif keduanya akan memberi dampak negatif
pada produktivitas. Kurang produktifnya tenagi kerja kita sudah lama di permasalahkan
dan tampaknya masihakan menjadi masalah di masa yang akan datang.Maka
kebijaksanaan yang mengarah pada perluasan arti kerja dan pemanfaatan tenaga
kerja potensial sangat urgen. Hal ini bukan barang mudah,namun bukan juga
sesuatu yang mustahil.Setelah paket-paket deregulasi yang berkaitan dengan
moneter merangsangpertumbuhan ekonomi idealnya masyarakat Iuas bisa ikut
menikmatinya. Satu hal yang sangat diharapkan adalah perluasan kesempatan
kerja. Makin luas kesempatanitu akan bisa menampung tenaga kerja. Terlebih lagi
bila bisa sesuai dengan bidangkeahlian dan yang diminta maka ada semacam
pengukuh yang mengembangkantenaga kerja pada suatu tingkat yang lebih baik.
Tapi bukan berarti pula pemerintah harus menyediakan semuanya. Yang lebih
penting adalah rangsangan ke arah itudan masyarakat tahu sehingga dapat
mengantisipasinya.
KESIMPULAN
Dua penyebab
utama dari rendahnya pemanfaatan sumber daya manusia adalah karena tingkat
pengangguran penuh dan tingkat pengangguran terselubung yang terlalu tinggi dan
terus melonjak. Pengangguran penuh atau terbuka yakni terdiri dari orang-orang
yang sebenarnya mampu dan ingin bekerja, akan tetapi tidak mendapatkan lapangan
pekerjaan sama sekali.
Elwin Tobing
mengidentifikasikan bahwa meningkatnya pengangguran tenaga terdidik merupakan
gabungan beberapa penyebab:
Pertama,
ketidakcocokkan antara karakteristik lulusan baru yang memasuki dunia kerja
(sisi penawaran tenaga kerja) dan kesempatan kerja yang tersedia (sisi permintaan
tenaga kerja). Ketidakcocokan ini mungkin bersifat geografis, jenis pekerjaan,
orientasi status, atau masalah keahlian khusus. Memang juga bahwa tidak setiap
lulusan langsung mencari kerja.
Kedua, semakin
terdidik seseorang, semakin besar harapannya pada jenis pekerjaan yang aman.
Golongan ini menilai tinggi pekerjaan yang stabil daripada pekerjaan yang
beresiko tinggi sehingga lebih suka bekerja pada perusahaan yang lebih besar
daripada membuka usaha sendiri. Hal ini diperkuat oleh hasil studi Clignet
(1980), yang menemukan gejala meningkatnya pengangguran terdidik di Indonesia,
antara lain disebabkan adanya keinginan memilih pekerjaan yang aman dari
resiko. Dengan demikian angkatan kerja terdidik lebih suka memilih menganggur
daripada mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Ketiga,
terbatasnya daya serap tenaga kerja sektor formal, sementara angkatan kerja
terdidik cenderung memasuki sektor formal yang kurang beresiko. Hal ini
menimbulkan tekanan penawaran, yaitu tenaga kerja terdidik yang jumlahnya cukup
besar memberi tekanan yang kuat terhadap kesempatan kerja di sektor formal yang
jumlahnya relatif kecil.
Keempat, belum
efisiennya fungsi pasar kerja. Di samping faktor kesulitan memperoleh lapangan
kerja, arus informasi tenaga kerja yang tidak sempurna dan tidak lancar
menyebabkan banyak angkatan kerja bekerja di luar bidangnya. Denga begitu ada
banyak hal yang menyebabkan peningkatan pengangguran terdidik terutama dari
sebab faktor gengsi pendidikan menyebabkan lulusan akademi atau universitas
memilih menganggur, masalah skil lulusan serta sempitnya lowongan pekerjaan
sektor formal.
Berdasarkan data
yang disajikan tentang tingkat pengangguran menurut pendidikan dari tahun 2004
sampai Februari 2008 yang bersumber dari BPS (lihat lampiran). Data-data itu
menunjukkan jumlah pengangguran di berbagai jenjang pendidikan yaitu jenjang
pendidikan di bawah SD, SD, SMP, SMU, Diploma dan Universitas. Data dimulai
dari tahun 2004, Februari 2005, November 2005, Februari 2006, Agustus 2006,
Februari 2007, Agustus 2007, dan Februari 2008. Data ini didapat dari Survey
Angkatan kerja Nasional yang dilakukan oleh BPS 2004, 2005, 2006 dan 2007.
Untuk jenjang pendidikan di bawah SD terjadi penurunan jumlah pengangguran
setiap tahunnya di mana dari tahun 2004 sampai dengan Februari 2008 terjadi
penurunan 50%. Untuk tamatan SD, terjadi fluktuasi setiap tahunnya di mana
besarnya fluktuasi tidak signifikan dan terjadi penurunan sebesar 4% dari tahun
2004 ke Februari 2008. Untuk tamatan SMP juga berfluktuasi tiap tahunnya dan
antara tahun 2004 ke Februari 2008 terjadi penurunan sebesar 19%.
Daftar Pustaka
Edi
Suharto. (2009) Pekerja Sosial di Dunia
Industri. Bandung : PT Refika Aditama
No comments:
Post a Comment