Saturday, July 6, 2013

PEMANFAATAN TENAGA KERJA

PEMANFAATAN TENAGA KERJA
Masalah ketenaga kerjaan yang paling menonjol sampai saat ini masih berkisar pada pengangguran. Tingkat pengangguran memang merupakan salah satu indikator perekonomian yang penting. Maka tidak mengherankan bila itu dijadikan permasalahan yang penting pula.Secara sederhana pengangguran disebabkan oleh dua hal yaitu banyaknya tenaga kerja dan atau sempitnya kesempatan kerja. Hal lain di belakang itu tentu saja tidak sederhana. Pada wilayah yang tingkat penganggurannya tinggi seperti kita muncul masalah lain seperti penempatan tenaga kerja yang tidak sesuai dengan potensi serta latar belakangnya dan upah yang rendah.
Dalam rangka pemerataan sering juga terjadi kerja dengan jam yang kecil dan tentu saja upah yang kecil pula. Masalah seperti perlakuan terhadap pekerja yang tidak semestinya bukan tidak mungkin pula. Secara umum bisa muncul masalah underutilization, kurang termanfaatkannya tenaga kerja. Gejala ini biasanya diikuti dengan ketidakpuasan pekerja dan usaha mencari kerja lain yang Iebih sesuai. Karena itu terutama pada pekerja dengan jam kerja rendah, sering disebut kasus ini sebagai setengah menganggur.Dari hasil telaah (Manning dan Papayungan, 1984) di tahun 1980 terdapat 7,5% tenaga kerja kurang termanfaatkan untuk seluruh Indonesia. Angka ini diperkirakan lebih kecil dari keadaan sebenarnya. Persentase tersebut merupakan gabungan dari beberapa karakteristik tenaga kerja diantaranya ada yang bekerja dibawah 35 jam seminggu.

            Ada pula yang lebih banyak yang putus asa dengan pekerjaannya dan banyak pula yang berusaha mencari pekerjaan lain.Kurang pemanfaatan tenaga kerja merupakan gejala yang umum. Ini tidakhanya terjadi di negara-negara berkembang dengan tingkat pengangguran yangsangat tinggi tetapi juga di negara-negara maju. Perbedaannya pada spesifikasipenyebab dan proporsi. Di negara-negara maju penyebab utamanya adalah terlalutinggi tingkat pendidikan atau over edukasi dan deskilling (O'Brien, 1986).

           Tingkat pendidikan yang tinggi berarti memiliki kemampuan yang tinggi. Bi!a tidak termanfaatkan kemampuan itu tidak terman ifestasikan dan berkembang,bahkan bisa susut dan hilang. Tingkat pendidikan yang tinggi juga meningkatkan aspirasi, keinginan memiliki otonomi dan variasi dalam kerja. Bila hal ini tidak tersalurkan dengan baik maka efek negatif akan muncul.Padahal di sisi lain tidak seluruh pekerjaan menuntut pandidikan yang tinggi.Untuk menjadi operator mesin misalnya, tamatan sekolah menengah pertama bisa mengerjakannya. Anehnya ada kecenderungan menerima pekerjaan yang tingkat pendidikannya lebih tinggi tanpa melihat pekerjaan. Sering disyaratkan untuk tukangfotokopi saja lulusan SMA.Devaluasi tingkat pendidikan terjadi pada penempatantenaga kerja.Tuntutan kemampuan yang lebih rendah akan mengakibatkan deskilling, tidakhanya akan menambah jumlah tenaga kerja kurang termanfaatkan, tetapi juga tingkatpengangguran. Komputerisasi dan robotisasi adalah dua contoh yang cukupmenonjol. Juru gambar dan ahli farmasi merupakan contoh menonjol bagi korban
kasus ini.

Rangsangan
Paradoks antara masih sempitnya arti kerja di satu sisi dan kurang termanfaatkannya mereka yang berpotensi ada pada kita stekaligus. Bisa jadi secara akumulatif keduanya akan memberi dampak negatif pada produktivitas. Kurang produktifnya tenagi kerja kita sudah lama di permasalahkan dan tampaknya masihakan menjadi masalah di masa yang akan datang.Maka kebijaksanaan yang mengarah pada perluasan arti kerja dan pemanfaatan tenaga kerja potensial sangat urgen. Hal ini bukan barang mudah,namun bukan juga sesuatu yang mustahil.Setelah paket-paket deregulasi yang berkaitan dengan moneter merangsangpertumbuhan ekonomi idealnya masyarakat Iuas bisa ikut menikmatinya. Satu hal yang sangat diharapkan adalah perluasan kesempatan kerja. Makin luas kesempatanitu akan bisa menampung tenaga kerja. Terlebih lagi bila bisa sesuai dengan bidangkeahlian dan yang diminta maka ada semacam pengukuh yang mengembangkantenaga kerja pada suatu tingkat yang lebih baik. Tapi bukan berarti pula pemerintah harus menyediakan semuanya. Yang lebih penting adalah rangsangan ke arah itudan masyarakat tahu sehingga dapat mengantisipasinya.

KESIMPULAN
Dua penyebab utama dari rendahnya pemanfaatan sumber daya manusia adalah karena tingkat pengangguran penuh dan tingkat pengangguran terselubung yang terlalu tinggi dan terus melonjak. Pengangguran penuh atau terbuka yakni terdiri dari orang-orang yang sebenarnya mampu dan ingin bekerja, akan tetapi tidak mendapatkan lapangan pekerjaan sama sekali.
Elwin Tobing mengidentifikasikan bahwa meningkatnya pengangguran tenaga terdidik merupakan gabungan beberapa penyebab:

Pertama, ketidakcocokkan antara karakteristik lulusan baru yang memasuki dunia kerja (sisi penawaran tenaga kerja) dan kesempatan kerja yang tersedia (sisi permintaan tenaga kerja). Ketidakcocokan ini mungkin bersifat geografis, jenis pekerjaan, orientasi status, atau masalah keahlian khusus. Memang juga bahwa tidak setiap lulusan langsung mencari kerja.
Kedua, semakin terdidik seseorang, semakin besar harapannya pada jenis pekerjaan yang aman. Golongan ini menilai tinggi pekerjaan yang stabil daripada pekerjaan yang beresiko tinggi sehingga lebih suka bekerja pada perusahaan yang lebih besar daripada membuka usaha sendiri. Hal ini diperkuat oleh hasil studi Clignet (1980), yang menemukan gejala meningkatnya pengangguran terdidik di Indonesia, antara lain disebabkan adanya keinginan memilih pekerjaan yang aman dari resiko. Dengan demikian angkatan kerja terdidik lebih suka memilih menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Ketiga, terbatasnya daya serap tenaga kerja sektor formal, sementara angkatan kerja terdidik cenderung memasuki sektor formal yang kurang beresiko. Hal ini menimbulkan tekanan penawaran, yaitu tenaga kerja terdidik yang jumlahnya cukup besar memberi tekanan yang kuat terhadap kesempatan kerja di sektor formal yang jumlahnya relatif kecil.

Keempat, belum efisiennya fungsi pasar kerja. Di samping faktor kesulitan memperoleh lapangan kerja, arus informasi tenaga kerja yang tidak sempurna dan tidak lancar menyebabkan banyak angkatan kerja bekerja di luar bidangnya. Denga begitu ada banyak hal yang menyebabkan peningkatan pengangguran terdidik terutama dari sebab faktor gengsi pendidikan menyebabkan lulusan akademi atau universitas memilih menganggur, masalah skil lulusan serta sempitnya lowongan pekerjaan sektor formal.

Berdasarkan data yang disajikan tentang tingkat pengangguran menurut pendidikan dari tahun 2004 sampai Februari 2008 yang bersumber dari BPS (lihat lampiran). Data-data itu menunjukkan jumlah pengangguran di berbagai jenjang pendidikan yaitu jenjang pendidikan di bawah SD, SD, SMP, SMU, Diploma dan Universitas. Data dimulai dari tahun 2004, Februari 2005, November 2005, Februari 2006, Agustus 2006, Februari 2007, Agustus 2007, dan Februari 2008. Data ini didapat dari Survey Angkatan kerja Nasional yang dilakukan oleh BPS 2004, 2005, 2006 dan 2007. Untuk jenjang pendidikan di bawah SD terjadi penurunan jumlah pengangguran setiap tahunnya di mana dari tahun 2004 sampai dengan Februari 2008 terjadi penurunan 50%. Untuk tamatan SD, terjadi fluktuasi setiap tahunnya di mana besarnya fluktuasi tidak signifikan dan terjadi penurunan sebesar 4% dari tahun 2004 ke Februari 2008. Untuk tamatan SMP juga berfluktuasi tiap tahunnya dan antara tahun 2004 ke Februari 2008 terjadi penurunan sebesar 19%.

Daftar Pustaka
Edi Suharto. (2009) Pekerja Sosial di Dunia Industri. Bandung : PT Refika Aditama

No comments:

Post a Comment