Monday, August 5, 2013

PENDEKATAN BUTTOM UP DALAM RANGKA PELESTARIAN HUTAN MANGROVE

PENDEKATAN BUTTOM UP DALAM RANGKA PELESTARIAN HUTAN MANGROVE 
Usaha pemulihan ekosistem mangrove di beberapa daerah, baik di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, maupun Irian Jaya telah sering kita lihat. Upaya ini biasanya berupa proyek yang berasal dari Departemen Kehutanan ataupun dari Pemerintah daerah setempat. Namun hasil yang diperoleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal dalam pelaksanaannya tersedia biaya yang cukup besar, tersedia tenaga ahli, tersedia bibit yang cukup, pengawasan cukup memadai, dan berbagai fasilitas penunjang yang lainnya. Mengapa hasilnya kurang memuaskan? Salah satu penyebabnya adalah kurangnya peran serta masyarakat dalam ikut terlibat upaya pengembangan wilayah, khususnya rehabilitasi hutan mangrove; dan masyarakat masih cenderung dijadikan obyek, bukan subyek dalam upaya pembangunan (Subing, 1995). 

Dalam pelaksanaan pemulihan ekosistem mangrove yang telah terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini dilakukan atas perintah dari atas. Seperti suatu kebiasaan dalam suatu proyek apapun yang namanya rencana itu senantiasa datangnya dari atas; sedangkan bawahan (masyarakat) sebagai ujung tombak pelaksana proyek hanya sekedar melaksanakan perintah atau dengan istilah populer dengan pendekatan top-down (Gambar 3). Pelaksanaan proyek semacam ini tentu saja kurang memberdayakan potensi masyarakat, padahal idealnya masyarakat tersebutlah yang harus berperan aktif dalam upaya pemulihan ekosistem mangrove tersebut, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai penyedia dana, pengontrol, dan fasilitator berbagai kegiatan yang terkait. Akibatnya setelah selesai proyek tersebut, yaitu saat dana telah habis tentu saja pelaksana proyek tersebut juga merasa sudah habis pula tanggung jawabnya. 

Di sisi lain masyarakat tidak merasa ikut memiliki (sense of belonging tidak tumbuh) hutan mangrove tersebut. Begitu pula, seandainya hutan mangrove tersebut telah menjadi besar, maka masyarakat merasa sudah tidak ada lagi yang mengawasinya, sehingga mereka dapat mengambil atau memotong hutan mangrove tersebut secara bebas. Masyarakat beranggapan bahwa hutan mangrove tersebut adalah milik pemerintah dan bukan milik mereka, sehingga jika masyarakat membutuhkan mereka tinggal mengambil tanpa merasa diawasi oleh pemerintah atau pelaksana proyek. Begitulah pengertian yang ada pada benak masyarakat pesisir yang dekat dengan hutan mangrove yang telah mereka rehabilitasi (Savitri dan Khazali, 1999). Seyogyanya upaya pemulihan ekosistem mangrove adalah atas biaya pemerintah, sedangkan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan semuanya dipercayakan kepada masyarakat. 

Dalam pelaksanaannya kegiatan tersebut dapat juga melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bersama perangkat desa, pemimpin umat, dan lain-lain. Masyarakat pesisir secara keseluruhan perlu mendapat pengertian bahwa hutan mangrove yang akan mereka rehabilitasi akan menjadi milik masyarakat dan untuk masyarakat, khususnya yang berada di daerah pesisir. Dengan demikian semua proses rehabilitasi atau reboisasi hutan mangrove yang dimulai dari proses penanaman, perawatan, penyulaman tersebut dilakukan oleh masyarakat. Melalui mekanisme ini, masyarakat tidak merasa dianggap sebagai “kuli”, melainkan ikut memiliki hutan mangrove tersebut, karena mereka merasa ikut merencanakan penanaman dan lain-lain. 

Masyarakat merasa mempunyai andil dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove tersebut, sehingga status mereka akan berubah, yaitu bukan sebagai kuli lagi melainkan ikut memilikinya. Dari sini akan tergambar andaikata ada sekelompok orang yang bukan anggota masyarakat yang ikut menaman hutan mangrove tersebut ingin memotong sebatang tumbuhan mangrove saja, maka mereka tentu akan ramai- ramai mencegah atau mengingatkan bahwa mereka menebang pohon tanpa ijin. Ini merupakan salah satu contoh kasus kecil dalam perusakan hutan mangrove yang telah dihijaukan, kemudian dirusak oleh anggota masyarakat lainnya yang bukan anggota kelompoknya. Pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove dengan penekanan pada pemberdayaan masyarakat setempat ini biasa dikenal dengan istilah pendekatan bottom- up (Gambar 4). 


Menurut Sudarmadji (2001) Hasil dari kegiatan dengan pendekatan bottom up ini akan menjadikan masyarakat enggan untuk merusak hutan mangrove yang telah mereka tanam, sekalipun tidak ada yang mengawasinya; karena masyarakat sadar bahwa kayu yang mereka potong tersebut sebenarnya adalah milik mereka bersama. Tugas pemerintah hanyalah memberikan pengarahan secara umum dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan, sebab tanpa arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan dalam jangka panjang. Dari sini nampak bahwa pendekatan bottom up relatif lebih baik jika dibandingkan dengan pendekatan top down dalam pelaksanan pemulihan ekosistem, selain itu “pemerintah atau pemilik modal” tidak terlalu berat melakukannya, karena masyarakat dapat berlaku aktif pada proses pelaksanaan pemulihan tersebut, dan pada masyarakat pesisir akan timbul rasa ikut memiliki terhadap hutan mangrove yang telah berhasil mereka hijaukan. Dengan demikian pelaksanaan suatu proyek dengan pendekatan bottom up atau menumbuhkan adanya partisipasi dari anggota masyarakat ini juga sekaligus merupakan proses pendidikan pada masyarakat secara tidak langsung (Savitri dan Khazali, 1999). 

DAFTAR PUSTAKA 
Fletcher, J.R., R.G. Gibb. 1992. Land Resource Survey Kandbook for Soil Conservation Planning in Indonesia. Alih Bahasa. 

Paimin, E. Savitri, S. Hartati. Pedoman Survai Sumberdaya Lahan Untuk Perencanaan Konservasi Tanah di Indonesia. Cet. Ke-3. Project Report No 2. Sci. Report No.11. MOF-DENGANRLR and DSIR. Hudson, N. 1971. Soil Conservation. BT Basford Ltd. 

Shaxson, F. 1999. New Consept and Approach to Land Management in the Tropics with Emphasis on Steeplands. FAO Soil Bul. 75. FAOUN. Rome.

No comments:

Post a Comment