APRESIASI KEBIJAKAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH MENURUT PERSPEKTIF UNDANG - UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999.
Kebijakan desentralisasi yang telah ditetapkan pemerintah dalam rangka reformasi perundang - undangan politik dan pemerintahan, dengan memberikan keleluasaan penyelenggaraan otonomi daerah yang tertuang dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah suatu strategi dan paradigma baru dalam upaya mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang kuat, bersih dan bertanggung jawab, serta berpihak kepada rakyat.
Berbagai upaya dan terobosan politik telah banyak dilakukan dalam rangka membangun pemerintahan daerah yang baik dan berpihak kepada rakyat. Dengan melihat perspektif historis ketata-negaraan Indonesia, Pemerintah NKRI telah berhasil mengundangkan berbagai perundang - undangan pemerintahan daerah yang diwarnai dengan berbagai perkembangan konfigurasi politik sejak lahirnya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang - Undang Nomor 32 Tahun 1956, Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang - Undang Nomor 6 Tahun 1959, Penetapan Presiden (PenPres) No. 6 Tahun 1959, PenPres No. 5 Tahun 1960, Undang - Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1979, sampai kepada paket kebijakan terakhir, yaitu Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa paket Undang - Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 sebagai produk kebijakan politik desentralisasi dan otonomi daerah pada masa pemerintahan transisi, masih mengandung berbagai kelemahan dan masalah, baik ditinjau dari tataran konsep maupun tataran operasional.
Yang menjadi fokus pertanyaan adalah apakah kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dituangkan dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 itu, baik secara konsep akademik maupun operasional signifikan dalam upaya menerapkan prinsip - prinsip akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, terutama dalam mewujudkan pemerintahan daerah yang baik, bersih, berwibawa dan bertanggung jawab (“Good Governance”) serta berpihak kepada rakyat. Hal tersebut, adalah suatu prasyarat yang harus terjawab dalam upaya menjalankan “keinginan politik” (political will”) pemerintah untuk menjadikan Daerah Otonom yang mandiri berdasarkan prinsip - prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, peningkatan daya saing daerah, serta menjamin tetap terjaga dan terpeliharanya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berbagai pendapat dan pandangan telah banyak dilontarkan orang terhadap kelahiran Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999. Ada yang menganggap Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 terlalu luas memberikan kewenangan kepada daerah, sehingga dengan keleluasaan (“discretionary power”) yang diberikan kepada Daerah, dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan (“disintegrasi”) karena terkotak - kotaknya antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, dan tidak terkendalinya oleh pemerintah pusat, yang akhirnya daerah yang merasa sangat kuat akan tidak peduli terhadap daerah lainnya, sehingga timbul kesenjangan antar daerah dan laju pertumbuhan antar daerah, yang pada gilirannya akan mengakibatkan lemahnya persatuan dan kesatuan bangsa. Bahkan ada yang beranggapan bahwa dengan otonomi daerah ini, dikhawatirkan akan memindahkan birokrasi pusat ke daerah dengan segala ekses -eksenya seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) akan merajalela di daerah, arogansi kekuasaan, egoisme kedaerahan yang sempit, timbulnya raja - raja kecil di daerah dlsb.
Namun sebaliknya, ada pula yang beranggapan bahwa Undang - Undang ini masih jauh dari harapan, dan masih berbau “status quo”, pemerintah yang menamakan dirinya sebagai “pemerintah orde reformasi” nyatanya tidak reformis dan dalam memberikan otonomi kepada daerah, masih setengah hati. Apalagi Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999 dengan segala peraturan pelaksanaannya, dianggapnya masih terlalu berorientasi ke pusat, adanya arogansi pusat dengan pencerminan pembagian sumber - sumber keuangan yang tidak proportional, tidak adil dan sangat berat ke pusat.
Dalam pada itu, sebagian masyarakat beranggapan bahwa Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999 mampu menjawab tuntutan demokrasi, desentralisasi dan otonomi yang kini semakin nyaring terdengar, sementara sebagian lainnya justru menganggap kedua UU tersebut sebagai sumber malapetaka bagi beberapa daerah tertentu dan bahkan bagi Indonesia.[1] Maraknya korupsi di daerah, baik yang dilakukan oleh para pejabat Eksekutif, maupun para anggota badan Legislatif (DPRD) membuktikan kebenaran anggapan masyarakat tersebut.
Ditinjau dari perspektif Daerah, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah menurut Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999 adalah merupakan angin segar dan sangat menguntungkan daerah, karena sebagian besar kewenangan dan sumber keuangan telah diserahkan kepada daerah, terutama Daerah Kabupaten/Kota, sehingga daerah bisa mengatur dan mengurus kepentingan masyrakat setempat. Inilah sesungguhnya yang didambakan oleh daerah sejak lama. Namun, ditinjau dari perspektif nasional, pemerintah pusat yang telah memberikan kewenangan yang luas kepada daerah sebagaimnana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 11 Undang – Undang Nomorr 22 Tahun 1999, justru merasa sangat risau dan khawatir terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena sisa kewenangannya sangat dibatasi. Demikian pula, otonomi daerah yang diberikan kepada daerah Propinsi sangat terbatas yang hanya meliputi kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/ kota sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan PP 25/2000. Inilah pula antara lain salah satu pertimbangan mengapa Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang baru berumur kurang dari 5 (lima) tahun telah diganti dengan Undang – Undang yang baru, yaitu Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah telah diganti dengan Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2004.
Konsep hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi penting untuk dikaji, karena ia merupakan salah satu komponen utama dari fondasi yang menopang keberadaan “bangunan” desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan kata lain, karakteristik desentralisasi dan otonomi daerah yang diterapkan dalam suatu negara, antara lain, sangat ditentukan oleh format pengaturan distribusi kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah. Kategorisasi, seperti – desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, otonomi luas, otonomi terbatas, dan otonomi khusus – semuanya sangat ditentukan oleh seberapa jauh kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh pemerintah daerah.[2] Oleh karena itu, ditinjau dari tataran teoritis, karakteristik hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah telah didudukkan sebagai variabel penting yang membedakan dua konsep antara perspektif “desentralisasi politik” (“political decentralization perspective”) dan perspectif “desentralisasi administrative” (“administrative decentralization perspective”)[3]
Salah satu hal yang amat penting dan mungkin terlupakan adalah bahwa urusan/kewenangan yang sudah dimiliki oleh Daerah otonom sejak pembentukannya dengan Undang - Undang yang secara materiil sudah diserahkan kepada Daerah ybs, yang menurut Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 (Pasal 7, 8, dan 11 serta penjelasannya) harus ada “pengakuan” (“erkennen”) dari Pemerintah sampai sekarang belum dijalankan secara tuntas sampai dicabutnya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 oleh Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004.
No comments:
Post a Comment