Deskripsi Temuan Kasus : Marwan (39 tahun) hampir tiga hari bolak-balik Puskesmas dan RSU Chasan Boesoeiri Ternate. Ia menghabiskan waktu itu untuk mengurus rujukan sebagai keluarga tak mampu untuk operasi anaknya. Ceritanya, Ina—begitu anak gadisnya biasa dipanggil, menderita lever. Perutnya kian hari kian membesar. Berbagai upaya pengobatan tradisional (obat kampung) telah dilakukan. Hasilnya, kalaupun ada perubahan tak bertahan lama.
Semua orang termasuk dukun kampung menganjurkan agar anaknya dioperasi. Persoalanya, ia tergolong keluarga tak mampu. Tapi demi keselamatan si buah hatinya, ia nekad membawa anaknya ke RSU Hasan Boesoeiri, pertengahan Juli 2009 lalu. Disana dokter operasi memintanya menyiapkan uang Rp 7 juta jika anaknya mau dioperasi. Uang sebesar itu sudah harus dibayarkan sebelum anaknya naik meja operasi.
Sebagai keluarga tak mampu, ia tak mungkin menyanggupi permintaan sang dokter. Meski begitu, ia masih menawar agar biaya itu dibayar setengah. Dokter yang kabarnya akan menangani operasi anaknya, tak menerima atau menolak tawaran pembayaran setengah harga operasi, tapi menyarankan supaya meminta rujukan masyarakat tak mampu dari Puskesmas.
Ia kemudian mengurus surat dimaksud pada salah satu Puskesmas di Kota Ternate Selatan. Disana, ia dipingpong hampir tiga hari, sebelum akhirnya surat keluar walaupun. Toh, ia membayar sejumlah biaya administrasi yang menurut ukuran keluarga miskin seperti Marwan lumayan besar. Hati Marwan berbunga-bunga begitu menerima selembar surat rujukan itu. Harapannya, dengan surat itu anaknya bisa dioperasi gratis. Tapi betapa kagetnya, ketika surat tersebut diserahkan pada dokter RSUD yang awalnya menyarankan mengurus surat itu, kembali menolak. Sehingga biaya operasi diberlakukan secara normal Rp 7 juta.
Menyadari tak memiliki uang, menyusul kondisi perut anaknya kian membesar, ia memohon dokter supaya melakukan operasi, biayanya nanti akan bayar belakangan,. tapi permintaannya ditolak dokter. Merasa tak ada jalan negosiasi, Marwan memilih membawa pulang anaknya untuk mencari obat alternatif alias obat kampung.
“Sekarang ini kalau kita sakit dan tidak punya uang, tinggal tunggu mati. Jadi Jamkesmas bukan jaminan kesehatan masyarakat miskin, tapi jaminan kematian masyarakat miskin,” sindir salah salah seorang yang sempat menengok Ina di RSUD.
Hj Suhaimi Nada, AKP, Kepala Keperawatan RSUD Chasan Boesoeiri Ternate mengaku, warga yang memiliki kartu Jamkesmas, seluruh biaya pengobatannya gratis. Sebaliknya, warga yang kartu Jamkesmas belum ada atau hilang, sebagai gantinya KTP, Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTP) dari kelurahan atau surat rujukan dari Puskesmas untuk menjadi dasar pelayanan pengobatan gratis. “Peserta Jamkesmas tidak dikenakan pungutan sepeserpun. Semuanya ditanggung Rumah Sakit,” jelas Suhaimi.
Menurut Suhaimi, claen yang sudah tidak terdaftar di Jamkesmas namun awalnya terdaftar di Askeskin cukup meminta Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari Desa/Lurah setempat, atau rujukan dari Puskesmas. Begitu pula Jamkesda dan TRIGI.
Sesuai ketentuan umum, peserta program Jamkesmas adalah orang miskin dan tidak mampu selanjutnya disebut peserta Jamkesmas, yang terdaftar dan memiliki kartu, berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Kuota jumlah peserta per Kabupaten/Kota ditetapkan Menteri Kesehatan RI yang tertuang dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 125/Menkes/SK/II/2008 tentang pedoman penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Tahun 2008.
Berdasarkan kuota yang ditetapkan Menkes RI, Bupati/Wali Kota menetapkan surat keputusan yang dilampiri identitas peserta Jamkesmas Kabupaten/Kota secara lengkap. Apabila jumlah peserta Jamkesmas yang ditetapkan Bupati/Wali Kota melebihi kuota, maka kelebihan tersebut menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah setempat.
Fahria Safin, Kasi Askeskin mengaku, sesuai data Jamkesmas tahun 2008 dari Asuransi Kesehatan (ASKES), kuota yang dipersiapkan pemerintah pusat untuk Maluku Utara sebanyak 302.436 Jamkesmas yang tersebar pada delapan Kabupaten /Kota. “Kalau ada keluhan peserta Askeskin yang tidak terdaftar di Jamkesmas maka pengelola tidak berhak mengganti karena itu kebijakan Pemerintah Daerah,” jelasnya.
Sesuai data yang diperoleh pada RSUD tercatat, peserta Jamkesmas yang berkunjung ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Chasan Boesoeri Ternate pada tahun 2008 berjumlah 5.331 orang, terdiri dari 2.847 rawat jalan, 1.947 rawat inap dan 537 Unit Gawat Darurat (UGD). Dibandingkan rasio yang diberikan leh pemeritah pusat untuk Maluku Utara sebanyak 302.436, masih sangat jauh atau sekitar kurang lebih 0,018 persen.
Berapa anggaran pusat yang dialokasikan untuk Jamkesmas pada tahun 2008, antara Direktur RSUD dan bendahara tedapat perbedaan. Menurut dokter Idhar Sidi Umar, Direktur RSUD sekitar Rp 2 milyar lebih. Sementara Nursina Rauf, Bendahara mengaku sekitar Rp 1,3 milyar. Mana yang benar? Dinas Keshatan Provinsi Maluku Utara mengaku tidak tahu menahu soal pengelolaan keuangan terkait program Jamkesmas RSUD. Sebab Dinas Kesehatan hanya menerima laporan jumlah kunjungan pasien Jamkesmas dan obat yang digunakan.
Sejak diberlakukan Kartu Jamkesmas, maka kartu Askeskin, dinyatakan tidak berlaku. Bagi masyarakat miskin yang tidak mempunyai identitas seperti gelandangan, pengemis, anak terlantar yang karena sesuatu hal tidak terdaftar dalam SK Bupati/WaliKota, tetap akan diterbitkan kartu Jamkesmas oleh PT Askes (Persero) berdasarkan keputusan Kepala Dinas Sosial, atau institusi lain yang ditunjuk pemerintah Kabupaten/Kota setempat. Bayi yang baru lahir dari peserta Jamkesmas langsung menjadi peserta, sebaliknya yang meninggal langsung hilang hak kepesertaannya.
No comments:
Post a Comment