Mekanisasi, Pemecahan Masalah Efisiensi Kerja Petani : Dewasa ini strategi pembangunan nasional khususnya pembangunan sektor pertanian dipusatkan pada upaya mendorong percepatan perubahan struktural, meliputi proses perubahan dari sistem pertanian tradisional ke sistem pertanian yang maju dan modern, dari sistem pertanian subsistem ke sistem pertanian yang berorientasi pasar dan dari kedudukan ketergantungan kepada kedudukan kemandirian.
Perubahan struktural tersebut merupakan langkah dasar yang meliputi pengalokasian sumber daya (baik alam, manusia maupun mekanik), penguatan kelembagaan dan pemberdayaan manusia. Dalam pelaksanaannya harus meliputi langkah-langkah nyata untuk meningkatkan akses kepada aset produktif berupa teknologi harus dapat dimanfaatkan dan dikembangkan untuk tujuan-tujuan yang lebih maju dan lebih bermanfaat termasuk antara lain pengolahan tanah, pemberian air pemilihan bibit unggul, pemupukan, pengendlaian hama dan penyakit, dan pemanenan secara bijaksana.
Pembangunan pertanian harus diarahkan pada terciptanya tenaga petani yang terampil dalam mengelola usaha taninya. Juga terbentuknya masyarakat petani yang maju, bersemangat profesional sehingga mampu menghadapi tantangan dan permasalahan dalam melaksanakan usaha taninya.
Di Indonesia dapat dicatat adanya berbagai tantangan dan permasalahan dalam pengelolaan usaha tani yang masing-masing mempunyai kekhususan yang berbeda-beda seperti kenaikan produksi, peningkatan di bidang pemasaran dan sistem kredit, serta efisiensi. Dari berbagai ragam tantangan dan permasalahan tersebut yang sering kali terlupakan oleh pengamat adalah efisiensi dalam pengelolaan usaha tani terutama yang berhubungan dengan kerja petani.
Perlunya Efisiensi
Menurut Clifford Geertz dalam Involusi Pertanian, pemakaian tenaga kerja di sektor pertanian di Indonesia tergolong sangat besar dibanding negara lain. Di Amerika Serikat kurang lebih 0,002 Kw/ha, Jepang 0,014 Kw/ha, sedang Indonesia 0,127 Kw/ha. Tetapi tenaga kerja manusia di Jepang dan Amerika Serikat lebih intensif dibanding di Indonesia. Terlihat adanya perbedaan nyata antara petani Indonesia dengan petani Jepang.
Langkah yang menyebabkan pertanian di Jepang jauh meninggalkan Indonesia dalam jangka waktu yang sama adalah produktivitas pekerja. Yang utama dalam produktivitas pekerja (petani) Jepang adalah terjadinya perbaikan yang esensial dalam praktik pertanian Jepang sesuai dengan produksi kecil yang efisien. Selain itu di Jepang produktivitas pekerja (petani) bukan hanya diperhitungkan per ha sawah, tetapi penggunaan tenaga kerja dimanfaatkan se efisien mungkin dengan menggunakan perhitungan yang baik.
Di Indonesia, efisiensi yang diartikan sebagai kedayagunaan suatu sumber tenaga dapat menangani suatu bahan, masih belum mendapat perhatian secara serius. Padahal fungsi perbaikan pertanian adalah menaikkan pendapatan, kesejahteraan, taraf hidup dan daya beli petani. Sangat kecilnya efisiensi petani merupakan hambatan bagi faktor-faktor lain yang merupakan penetrasi pembangunan pertanian.
Perbaikan taraf hidup petani memang tidak dilakukan dengan hanya memberi landreform (Redistribusi Tanah Pertanian) atau credit reform (Pemberian Kredit Usaha Tani), tetapi perlu juga diperhatikan situasi kerja petani. Situasi kerja yang monoton dengan hasil yang rendah menyebabkan petani mengalami kejenuhan. Ditilik lebih jauh, perlu diakui bahwa kejenuhan petani ini terus berlangsung. Hal ini disebabkan oleh miskinnya inovasi dan tiadanya gebrakan-gebrakan baru yang menggairahkan petani.
Hambatan pembangunan dalam sektor pertanian di Indonesia adalah lambatnya kemajuan teknologi. Kontras teknologi selalu dipersoalkan. Tingkat teknologi yang rendah menyebabkan petani sulit memperoleh hasil dalam proses produksi yang maksimal. Kehilangan hasil dalam proses produksi sangat besar, sementara biaya yang diperlukan sangat tinggi. Contoh paling sederhana adalah dalam memanen padi. Untuk 9 kg gabah harus dibayar 1 kg gabah. Jika total hasil panen padi (dalam satu musim tanam) dalam 1 ha adalah 9 ton gabah, maka biaya pemanenan yang dikeluarkan sebesar 1 ton gabah.
Efisiensi teknologi yang memperkecil tingkat kejerihan kerja dengan produktivitas tinggi masih dicemburui. Harapan memperkenalkan teknologi yang efisien selalu dihantui oleh pembengkakan pengangguran terutama di wilayah perdesaan. Akibatnya jumlah tenaga pengangguran semu dalam sektor pertanian di Indonesia sangat besar. Tidak jelas lahirnya tenaga kerja semu ini karena efektivitas kerja rendah yang menyerap banyak tenaga manusia atau memang karena distribusi kerja yang tidak merata.
Tuntutan Inovasi
Dalam arah kebijakan pembangunan nasional, pembangunan sektor pertanian diarahkan untuk meningkatkan pendapatan kesejahteraan, daya beli, taraf hidup, kapasitas dan kemandirian serta akses masyarakat pertanian dalam proses pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas produksi serta distribusi dan keanekaragaman hasil pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan pada pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan yang berbudaya industri, maju dan efisien ditingkatkan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pembangunan pertanian memang sudah saatnya menganut pendekatan industri bukan lagi agraris, artinya menangani pertanian secara industri bukan lagi tergantung sepenuhnya kepada faktor alam. Pengertian industri dalam hal ini bukan semata-mata mendirikan pabrik, tetapi yang lebih mendasar adalah mentransformasikan budaya (pola pikir, sikap mental dan perilaku) masyarakat industri di kalangan para petani.
Kebudayaan industri tersebut antara lain mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, pertama pengetahuan merupakan landasan utama dalam menentukan langkah atau tindakan dalam pengambilan keputusan (bukan berdasarkan kebiasaan semata). Kedua, perekayasan harus menggantikan ketergantungan pada faktor alam. Ketiga, kemajuan teknologi merupakan sarana utama dalam pemanfaatan sumber daya. Keempat, efisiensi dan produktivitas sebagai dasar utama dalam alokasi sumber daya agar penggunaan sumber daya tersebut hemat. Kelima, mekanisme pasar merupakan media utama transaksi barang dan jasa. Keenam, profesionalisme merupakan karakter yang menonjol.
Untuk memenuhi tuntutan di atas, alternatif inovasi yang sampai sekarang tampaknya relevan walaupun tidak terlalu baru adalah penerapan mekanisasi pertanian (penggunaan alat dan mesin pertanian). Sudah saatnya dimulai penerapan mekanisasi pertanian dalam sistem pertanian nasional meskipun tetap dilakukan secara selektif.
Upaya menuju pertanian industri antara lain dapat dikembangkan dengan peningkatan penggunaan alat dan mesin pertanian dalam pengolahan tanah dan penanganan pasca panen. Salah satu keuntungan yang diperoleh adalah terjadinya peningkatan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan sumber daya alam.
Mekanisasi Dan Distribusi Kerja
Penggunaan alat dan mesin pertanian saat ini memang sudah merupakan suatu kebutuhan. Efisiensi tinggi saat ini harus mulai diperkenalkan kepada petani. Hal ini tentu beralasan karena tenaga kerja yang digunakan saat ini tidak mempunyai kesinambungan (kontinuitas). Seorang buruh tani hanya akan dibutuhkan pada saat pengolahan tanah dan panen. Pada proses lain mereka kurang dibutuhkan, akhirnya terjadi pengangguran yang tidak kentara (disguised unemployment). Pembuangan waktu yang lama dan sia-sia ini menyebabkan efisiensi menjadi lebih rendah.
Berdasarkan data dalam Involusi Pertanian, pada saat pengolahan tanah, traktorisasi di Indonesia sangat rendah dibanding negara lain. Pada hakikatnya Indonesia masih sangat ketinggalan pada pengembangan traktor. Pemakaian traktor di Indonesia hanya 0,005 Kw/ha. Amerika Serikat 1,7 Kw/ha, Belanda 3,6 Kw/ha dan Jepang 5,6 Kw/ha. Rendahnya pemakaian traktor ini disebabkan oleh rendahnya perkembangan mekanisasi di Indonesia.
Akibatnya, untuk menggarap tanah seluas 1 ha diperlukan waktu berhari-hari dan melibatkan banyak tenaga manusia. Tenaga manusia akhirnya tidak mendapat harga yang layak sehingga produktivitas juga semakin rendah. Tenaga manusia adalah tenaga riskan, hanya digunakan paling cepat 4 bulan sekali menjadi buruh tani.
No comments:
Post a Comment