Monday, September 21, 2015

Kronologis dan Latar Belakang Krisis

Menjelang akhir triwulan III-2008, perekonomian dunia dihadapkan pada satu babak baru yaitu runtuhnya stabilitas ekonomi global, seiring dengan meluasnya krisis finansial ke berbagai negara. Krisis finansial global mulai muncul sejak bulan Agustus 2007, yaitu pada saat salah satu bank terbesar Perancis BNP Paribas mengumumkan pembekuan beberapa sekuritas yang terkait dengan kredit perumahan berisiko tinggi AS (subprime mortgage). Pembekuan ini lantas mulai memicu gejolak di pasar finansial dan akhirnya merambat ke seluruh dunia. Di penghujung triwulan III-2008, intensitas krisis semakin membesar seiring dengan bangkrutnya bank investasi terbesar AS Lehman Brothers, yang diikuti oleh kesulitan keuangan yang semakin parah di sejumlah lembaga keuangan berskala besar di AS, Eropa, dan Jepang. Krisis keuangan dunia tersebut telah berimbas ke perekonomian Indonesia sebagaimana tercermin dari gejolak di pasar modal dan pasar uang. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada bulan Desember 2008 ditutup pada level 1.355,4, terpangkas hampir separuhnya dari level pada awal tahun 2008 sebesar 2.627,3, bersamaan dengan jatuhnya nilai kapitalisasi pasar dan penurunan tajam volume perdagangan saham. Arus keluar kepemilikan asing di saham, surat utang negara (SUN), maupun SBI masih terus berlangsung. Hingga akhir Desember 2008, posisi asing di SUN tercatat Rp.87,4 triliun, menurun dibandingkan posisi September 2008 yang sempat mencapai Rp104,3 triliun. Sementara posisi asing di SBI tercatat Rp.8,4 triliun, menurun tajam dibandingkan posisi Agustus 2008 sebesar Rp.68,4 triliun. Bersamaan dengan itu, nilai tukar Rupiah ikut terkoreksi tajam hingga mencapai level Rp10.900/USD pada akhir Desember 2008. Kondisi ini sejalan dengan kinerja neraca pembayaran yang menunjukkan penurunan sejak Triwulan III-2008, sebagaimana tercermin dari peningkatan defisit transaksi berjalan (current account) dan mulai defisitnya neraca transaksi modal dan finansial (financial account). Peningkatan defisit transaksi berjalan terutama bersumber dari anjloknya kinerja ekspor sejalan dengan kontraksi perekonomian global yang diiringi dengan merosotnya harga berbagai komoditas ekspor. Sementara, kesulitan likuiditas keuangan global dan meningkatnya perilaku risk aversion dari pemodal asing memicu terjadinya realokasi ke aset yang lebih aman (flight to quality) juga berdampak pada menurunnya kinerja neraca transaksi modal dan finansial. Menyusul tertekannya kinerja ekspor secara signifikan, dunia usaha pun mulai terkena imbas dan gelombang pemutusan hubungan kerja mulai terjadi, khususnya di industri-industri berorientasi ekspor seperti industri kayu, tekstil, dan pengalengan ikan. Pada periode laporan, krisis global masih berlangsung dan bahkan pada akhir Januari 2009, Inggris secara resmi dinyatakan telah memasuki periode resesi menyusul pertumbuhan PDB triwulan IV-2008 yang kembali negatif dalam dua triwulan terakhir. Di tengah berbagai upaya penyelamatan perekonomian yang dilakukan pemerintah berbagai negara1 , gelombang kebangkrutan bisnis perbankan maupun industri yang diikuti dengan pemutusan hubungan kerja terus terjadi di berbagai belahan dunia. Dengan latar belakang kondisi seperti ini, pertanyaan paling relevan yang kemudian muncul adalah seberapa jauh krisis ini akan mempengaruhi perekonomian Indonesia. Pembahasan dampak krisis global terhadap perekonomian Indonesia tersebut akan diawali dari kronologis dan latar belakang krisis. Selanjutnya pembahasan dilengkapi dengan kajian mengenai transmisi masuknya dampak krisis global tersebut ke dalam perekonomian Indonesia.

3.1 Kronologis dan Latar Belakang Krisis 
3.1.1 Kronologis Krisis2 Pengumuman BNP Paribas, Perancis, pada 9 Agustus 2007 yang menyatakan ketidaksanggupannya untuk mencairkan sekuritas yang terkait dengan subprime mortgage dari AS, menandai dimulainya krisis3 yang dengan segera meluas menjadi krisis likuiditas terburuk di berbagai belahan dunia. Subprime mortgage merupakan istilah untuk kredit perumahan (mortgage) yang diberikan kepada debitur dengan sejarah kredit yang buruk atau belum memiliki sejarah kredit sama sekali, sehingga digolongkan sebagai kredit yang berisiko tinggi. Penyaluran subprime mortgage di AS mengalami peningkatan pesat mulai di bawah USD200 miliar pada tahun 2002 hingga menjadi sekitar USD500 miliar pada 2005. Meskipun subprime mortgage inilah yang menjadi awal terciptanya krisis, namun sebenarnya jumlahnya relatif kecil dibandingkan keseluruhan kerugian yang pada akhirnya dialami oleh perekonomian secara keseluruhan. Kerugian besar yang terjadi sebenarnya bersumber dari praktik pengemasan subprime mortgage tersebut ke dalam berbagai bentuk sekuritas lain, yang kemudian diperdagangkan di pasar finansial global (lihat Diagram 3.1). Pada tahap pertama, sekuritisasi dilaksanakan terhadap sejumlah subprime mortgage sehingga menjadi sekuritas yang disebut mortgage-backed securities (MBS). Dalam sistem keuangan modern, praktik sekuritisasi MBS ini merupakan suatu hal yang telah lazim, dan bahkan pada tahun 2006 jumlah kredit perumahan di AS (mortgage) yang disekuritisasi menjadi MBS telah mencapai hampir 60% dari seluruh outstanding kredit perumahan. Proses sekuritisasi ini melibatkan pihak ketiga baik institusi pemerintah (antara lain lembaga Fannie Mae dan Freddie Mac) maupun swasta. Dalam proses sekuritisasi ini, pihak ketiga seringkali melakukan pengemasan dengan melakukan penggabungan sejumlah mortgage, yang selanjutnya dijual kepada investor yang berminat. Untuk menanggulangi risiko gagal bayar (default), maka pihak ketiga ini sekaligus bertindak sebagai penjamin. Praktik sekuritisasi mortgage ini ternyata tidak berhenti sampai di sini. Melalui rekayasa keuangan (financial engineering) yang kompleks, MBS kemudian diresekuritisasi lagi menjadi jenis sekuritas yang dikenal sebagai Collateralised Debt Obligations (CDOs). 4 Sejalan dengan jumlah MBS yang terus meningkat, persentase jumlah MBS



















yang diresekuritisasi menjadi CDOs juga mengalami peningkatan pesat (Grafik 3.1 dan 3.2). Dalam skala global, total penerbitan CDOs pada 2006 telah melebihi USD500 milar, dengan separuhnya didominasi oleh CDOs yang bersumber dari MBS. Pada tahun 2004 total penerbitan CDOs global baru berada pada level sekitar USD150 miliar. Selain dalam bentuk CDOs, MBS juga diresekuritisasi dalam beberapa bentuk sekuritas lain yang sudah sulit dilacak bentuk maupun jumlahnya, di antaranya sekuritas SIV (Structured Investment Vehicles). Maraknya perdagangan CDOs di pasar global juga dipengaruhi hasil rating yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemeringkat internasional, yang cenderung underpricing terhadap risiko dari produk-produk derivatif di atas. Dipicu oleh perubahan arah kebijakan moneter AS yang mulai berubah menjadi ketat memasuki pertengahan 2004, tren peningkatan suku bunga mulai terjadi dan terus berlangsung sampai dengan 2006. Kondisi ini pada akhirnya memberi pukulan berat pada pasar perumahan AS,


yang ditandai dengan banyaknya debitur yang mengalami gagal bayar. Gelombang gagal bayar yang terjadi bersamaan dengan jatuhnya harga rumah di AS, akhirnya menyeret semua investor maupun lembaga yang terlibat dalam penjaminan ke dalam persoalan likuiditas yang sangat besar. Pengumuman BNP Paribas pada Agustus 2007 secara tiba-tiba memicu krisis kepercayaan di pasar keuangan global. Sulitnya mendeteksi bank atau institusi mana yang memiliki aset yang terkait dengan subprime mortgage dari AS, menyebabkan munculnya perilaku menghindar dari risiko (risk aversion) yang berlebihan dari pelaku pasar. Kondisi ini segera menciptakan kekeringan likuiditas yang sangat parah di pasar keuangan global. Untuk mengatasi kekurangan likuiditas tersebut, Federal Reserve (The Fed) dan ECB bertindak cepat dengan memompa likuiditas ke pasar sebesar masing-masing USD24 miliar dan €95 miliar pada Agustus 2007. Selain menambah likuiditas, The Fed juga mengambil langkah menurunkan suku bunga. Namun tindakan ini ternyata tidak mampu meredam gejolak pasar keuangan. Setelah pengumuman BNP Paribas di Agustus 2007, berturut-turut terungkap kerugian besar yang dialami bank maupun lembaga keuangan lain, akibat kepemilikan lembagalembaga ini pada subprime mortgage dari AS (lihat Tabel Kronologis Krisis Finansial Global). Bank sentral di negara-negara maju terus berusaha menenangkan pasar dengan melakukan suntikan likuiditas maupun menurunkan suku bunga. Namun langkah-langkah ini hanya mampu sesaat menenangkan pasar. Selanjutnya, laporan kerugian dari berbagai lembaga keuangan berskala besar terus bermunculan yang dibarengi dengan kekeringan likuiditas di pasar keuangan berbagai negara, khususnya AS dan Eropa. Akhirnya, pada September 2008 Fannie Mae dan Freddie Mac5 , dua lembaga penyalur kredit perumahan yang menguasai hampir separuh outstanding kredit perumahan di AS juga terkena imbas krisis. Dan pada 15 September 2008 Lehman Brothers dinyatakan bangkrut, menjadikannya sebagai bank investasi besar pertama yang benar-benar mengalami kolaps sejak terjadinya krisis. Sementara itu, dampak krisis keuangan telah semakin berimbas ke sektor riil, angka penjualan eceran di AS dan berbagai negara Eropa tercatat terus menurun, sementara angka pengangguran mulai bergerak naik. Sejalan dengan kelesuan di sektor riil, perkembangan harga komoditas dunia juga mengalami penurunan secara signifikan (Grafik 3.3 dan 3.4). Kebangkrutan Lehman Brothers ini segera meningkatkan intensitas dampak krisis ke seluruh dunia. Hilangnya kepercayaan terhadap investor dan kreditur pada kemampuan pelaku bisnis untuk memenuhi kewajibannya, menyebabkan akses 



pelaku bisnis ke pasar modal dan pasar pembiayaan jangka pendek menjadi terhambat. Di tengah kejatuhan harga berbagai komoditas dunia, terbatasnya akses pembiayaan pelaku bisnis semakin meningkatkan ketidakpastian prospek sektor keuangan dan ekonomi secara keseluruhan. Kondisi ini memicu kejatuhan harga saham yang lebih dalam di bursa saham seluruh dunia (Grafik 3.6). Selain itu, ketatnya likuiditas dan perilaku risk aversion mendorong terjadinya realokasi dan rekomposisi struktur aset para pemodal, dari aset yang dipandang berisiko ke aset yang dianggap lebih aman (flight to quality), yang segera memicu outflows dari negara-negara emerging markets. Sebagai akibatnya, yield bond negara-negara berkembang terus meningkat bersamaan dengan melemahnya nilai tukar di negara-negara tersebut (Grafik 3.5). Sebagai upaya untuk menahan kemerosotan nilai tukar lebih jauh, sejumlah negara terpaksa menggunakan cadangan devisanya.

No comments:

Post a Comment