Paradigma Kajian : Istilah paradigma (paradigm) dikenalkan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution. Paradigma merupakan terminologi kunci dalam model perkembangan ilmu pengetahuan. Selanjutnya, istilah tersebut dipopulerkan oleh Robert Friedrichs yang merumuskan pengertian paradigma sebagai suatu pandangan mendasar suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Kemudian George Ritzer merumuskan pengertian paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang seharusnya dipelajari oleh suatu cabang (baca: disiplin) ilmu pengetahuan. Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang harus dijawab, bagaimana harus menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tersebut (pengertianahli.com).
Berdasarkan beberapa pengertian paradigma itu dapat ditarik kesimpulan bahwa paradigma adalah suatu kerangka konseptual termasuk nilai, teknik dan metode yang disepakati dalam memahami atau mempersepsi segala sesuatu. Fungsi utama paradigma adalah sebagai acuan dalam mengarahkan tindakan, baik tindakan sehari-hari maupun tindakan ilmiah. Penelitian pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan suatu kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mencari kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti maupun para praktisi melalui model-model tertentu. Model-model tertentu biasanya disebut dengan paradigma. Dengan kata lain, paradigma dapat diartikan sebagai cara memahami gejala dan fenomena semesta yang dianut oleh sekelompok masyarakat (world view).
Harmon mendefinisikan paradigma sebagai cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang visi realitas.Sementara itu Baker mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat aturan yang melakukan dua hal yaitu: hal itu membangun atau mendefinisikan batas-batas dan hal itu menceritakan kepada kita bagaimana seharusnya melakukan sesuatu di dalam batas-batas itu agar bisa berhasil (Moleong, 2012: 47). Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Peneliti menggunakan paradigma konstruktivisme sebagai cara pandang peneliti dalam memahami bagaimana konstruksi pemahaman remaja di kota Medan tentang etika komunikasi di media sosial facebook dan twitter.
Konstruktivisme
Konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia dan sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Gagasan tersebut lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia mengatakan jika manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci dari pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta. Kemudian Socrates memperkenalkan ucapannya yaitu “saya berpikir karena itu saya ada” (Bungin, 2006: 193). Sementara itu, Von Glaserfield menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri (Pannen dkk, 2001: 3). Pernyataan para ahli tersebut menjelaskan bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Pengetahuan merupakan bentukan dari individu yang mengetahui dan tidak dapat ditularkan kepada individu yang pasif, sehingga sangat diperlukan sekali keaktifan dari seorang individu dalam merespon pengetahuan dengan menggunakan lingkungan sebagai sarana untuk mengkonstruksi pemahamannya.
Paradigma ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya, menurut Dedy N. Hidayat ada 3 paradigma: Pertama, paradigma klasik yang bersifat interventionist yakni melakukan pengujian hipotesis melalui eksperimen dengan analisis kuantitatif. Kedua, paradigma kritis yang berorientasi participative dengan mengutamakan analisis. Ketiga, paradigma konstruktivisme yang bersifat reflektif dan dialektikal dimana antara peneliti dan subjek yang diteliti menciptakan interaksi dialektis agar mampu mengkonstruksi realitas yang diteliti melalui metode kualitatif (Bungin, 2006: 242).
Paradigma konstruktivis dalam ilmu komunikasi yaitu suatu pendekatan teoritis yang dikembangkan pada tahun 1970-an oleh Jesse Delia dan rekan-rekannya. Penggunaan teori ini pada waktu itu untuk meneliti komunikasi antarpesonal yang dikembangkan akademisi secara sistematik dengan membuat peta terminologi secara teoritik dan hubungan-hubungannya (Ardianto & Q. Annes, 2007: 158).
Sementara itu, Frans M. Parera (Bungin, 2006: 201) mengemukakan 3 tahap konstruksi yang berlangsung antara diri (self) dengan dunia sosiokultural yaitu:
- Tahap eksternalisasi yaitu tahap penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai bagian dari produk manusia.
- Tahap objektivasi yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Proses ini bisa terjadi melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang berkembang di masyarakat melalui diskursus opini masyarakat tentang produk sosial tanpa harus terjadi tatap muka antar individu dan pencipta produk sosial itu.
- Tahap internalisasi yaitu tahap dimana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya.
Suparno, menetapkan 3 macam konstruktivisme: Pertama, konstruktivisme radikal yang menyatakan bahwa individu hanya mengakui apa yang dibentuk oleh pikirannya sendiri berdasarkan pengalamannya sendiri. Kedua, realisme hipotesisnya itu memaknai pengetahuan sebagai sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju pada pengetahuan yang hakiki. Ketiga, kontruktivisme biasa memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya sendiri (Bungin, 2008:14).
Sementara itu, Piaget (terwujud.com) menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang adalah bentukan orang itu sendiri. Proses pembentukan pengetahuan itu terjadi apabila seseorang mengubah atau mengembangkan skema yang telah dimiliki dalam berhadapan dengan tantangan, rangsangan atau persoalan. Teori Piaget sering disebut konstruktivisme personal karena lebih menekankan pada keaktifan pribadi seseorang dalam mengkonstruksikan pengetahuannya. Belajar menurut pandangan konstruktivistik bukanlah sekadar menghafal akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil “pemberian” dari orang lain akan tetapi hasil dari proses konstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari “pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap individu.
Pembentukan pengetahuan menurut Jean Piaget (terwujud.com) memandang bahwa subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Berkat bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah.Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi. Proses konstruksi yang dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:
Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema (schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin sempurnalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan skema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah pemaduan data baru dengan struktur kognitif yang ada atau proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skema melainkan perkembangan skema. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru.
Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru. Dalam perjumpaan individu dengan lingkungan, akomodasi menyertai asimilasi. Terkadang, ketika dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru, seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skema yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Kemudian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidakseimbangan (disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada akan mengalami struktur yang baru.
No comments:
Post a Comment