Wednesday, March 27, 2013

Pencampuran Polimer (Polymer Blends).

Pencampuran Polimer (Polymer Blends).
Pencampuran polimer adalah cara yang paling sesuai untuk pengembangan material baru karena dapat menghasilkan bahan baru yang mempunyai sifat yang unggul dibandingkan masing-masing materi pembentuknya. Metode ini biasanya lebih murah dan hanya memerlukan waktu singkat untuk menghasilkan bahan polimer baru dibandingkan dengan metode polimerisasi dengan penemuan polimer baru dari monomer baru.
Sifat suatu campuran polimer sangat ditentukan oleh kompatibilisasi komponen komponen dalam campuran tersebut. Tujuan kompatibilisasi paduan polimer adalah untuk mendapatkan fasa terdispersi yang stabil dan merata sehingga morfologi dan sifat campuran yang diinginkan dapat tercapai. ( Bahruddin, dkk., 2010)
Keuntungan lain dari pencampuran lain adalah  sifat-sifat bahan dapat disesuaikan dengan menggabungkan komponen polimer dengan cara mengubah komposisi campuran.
Hasil penelitian (Sitepu, I.W., 2009), pencampuran antara HDPE/MA/BPO ditunjukkan pada tabel.2.11. Dimana reaksi grafting antara HDPE dengan MA dengan inisiator BPO didalam alat internal mixer pada suhu 1450C dapat terjadi dan variasi konsentrasi MA yang maksimum pada HDPE adalah sebesar 6 % dengan derajat grafting 12,38% dapat dilihat pada tabel 2.9


Tabel Data Hasil Pencampuran Polimer
Sampel HDPE (%)
MA (%)
BPO (%)
Berat Endapan (gram)
Volume KOH (ml)
Derajat Grafting (%)
95
3
2
0,855
1,3
3,72
92
6
2
0,910
4,6
12,38
89
9
2
0,980
2,1
5,24
86
12
2
0,963
2,0
5,08
83
15
2
0,912
1,8
4,83
(Sitepu, I.W., 2009)

Polietilen Grafted Maleated Anhidride (PE- g- MA)
Penelitian mengenai Polietilena-graft-Maleat Anhidrida (PE-g-MAH) telah banyak dilakukan disebabkan aplikasinya yang sangat luas, seperti untuk blending, compatibilizer agent terhadap polimer polar, bahan perekat dan pada teknologi nano. (Jayathu, dkk., 2006)
Gugus anhidrida pada PE-g-MAH memegang peranan penting dalam meningkatkan sifat mekanik dari campuran seperti kekuatan tarik (tensile strength) dan daya pemanjangan terakhir (ultimate elongation). Sifat akhir dari PE-g-MAH selain tergantung pada derajat grafting MAH, tetapi dapat juga di tentukan oleh distribusi dari MAH dalam rantai molekul PE. (Machado, dkk., 2005) ditunjukkan pada gambar 2.10
Gambar 2.10. Struktur LDPE dan PE-G-MA
(Majid, R.A., dkk., 2010)

Polietilen adalah salah satu dari poliolefin yang paling banyak digunakan sebagai bahan dasar untuk pembuatan berbagai jenis peralatan rumah tangga dan kemasan makanan maupun minuman. Pemanfaatannya yang sangat luas dimungkinkan karena polimer ini memiliki banyak sifat-sifat yang bermanfaat antara lain daya tahan terhadap zat kimia dan benturan yang baik, mudah dibentuk dan dicetak, ringan dan harganya yang murah. Akan tetapi, karena kekristalan dan sifat hidrofobnya yang tinggi, energi permukaanya yang rendah, serta terbatasnya situs aktif yang ada pada permukaan PE, membatasi pemanfaatan PE tersebut dalam beberapa bidang aplikasinya seperti perekatan, pengecatan, dan pencetakan.
Secara umum, beberapa sifat tertentu seperti komposisi kimia, hidrofilitas, kekasaran, kekristalan, daya hantar listrik, daya adhesi, dan kelumasan dibutuhkan untuk pemanfaatan polimer tersebut. Untuk meningkatkan kesesuaian sifatnya (compatibility ), salah satu cara yang sudah dikembangkan adalah dengan memodifikasi permukaan PE agar dapat berinteraksi dengan bahan lain sehingga memenuhi persyaratan sesuai dengan peruntukan yang diinginkan.
Salah satu metoda modifikasi yang diketahui efektif untuk memasukkan sifat sifat yang diinginkan ke dalam PE adalah teknik grafting (tempel/cangkok). Kelebihan teknik grafting ini adalah PE dapat difungsionalisasi berdasarkan sifat yang dimiliki oleh monomer yang terikat secara kovalen tanpa mempengaruhi struktur dasar PE. Modifikasi suatu polimer dengan teknik grafting melibatkan pembentukan situs aktif berupa radikal bebas atau ion terlebih dahulu pada polimer induk. (Hendri, dkk., 2007)

Setrimonium Bromida  (Cetyl trimethylammonium bromide, CTAB)
CTAB termasuk golongan surfaktan yang merupakan zat yang dapat mengaktifkan permukaan, karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan (antar muka), atau zat yang dapat menaik dan menurunkan tegangan permukaan. Berikut ini gambar struktur kimia CTAB produksi Jerman dan tabel sifat kimia dan fisika CTAB.
Gambar 2.11. Struktur Kimia CTAB

Tabel 2.10. Sifat Kimia dan Fisika CTAB
Sifat Kimia dan Fisika
Kelarutan di dalam air
0.192 g/l (200C)
Titik Leleh
250-2560C
Massa Molar
364.45 g/mol
Bulk Density
390 kg/m3
Angka pH
5-7 (50 g/l, H2O, 200C)

Dalam CTAB terjadi emulsi yaitu campuran dua larutan yang tidak saling larut, larutan yang satu terdispersi ke larutan yang lainnya dan stabil terus menerus. Emulsi mempunyai sifat transparan, isotropik, stabil secara termodinamik dalam media cair. Agar emulsi stabil diperlukan stabilizer yang disebut surfaktan (surface active agent). Surfaktan biasanya merupakan senyawa organik yang bersifat amphiphilic, artinya mempunyai dua gugus, yang bersifat hydrophobic atau tak suka air dan yang satunya bersifat hydrophilic atau suka air.( Wardiyati,S., dkk., 2007). Pada pembentukan emulsi tersebut ditambahkan surfaktan (CTAB = Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) sebagai penstabil emulsi dan pengontrol pembentukan partikel

Analisa Termal
Analisa termal dapat didefinisikan sebagai pengukuran sifat-sifat fisik dan kimia material sebagai fungsi dari suhu. Pada prakteknya, istilah analisa termal seringkali digunakan untuk sifat-sifat spesifik tertentu. (Sutiani, A., 2009)
Analisis termal dalam pengertian luas adalah pengukuran sifat kimia fisika bahan sebagai fungsi suhu (Mufty, M., 2009). Uji termal diperlukan untuk melihat perubahan sifat termal dari bahan komposit polimer (Deswita, dkk., 2007)
Penetapan dengan metode ini dapat memberikan informasi pada kesempurnaan kristal, polimorfisma, titik lebur, sublimasi, transisi kaca, dedrasi, penguapan, pirolisis, interaksi padat-padat dan kemurnian. Data semacam ini berguna untuk karakterisasi senyawa yang memandang kesesuaian, stabilitas, kemasan dan pengawasan kualitas. Pengukuran dalam analisis termal meliputi suhu transisi, termogravimetri dan analisis cemaran. (Mufty, M., 2009)

Analisa Termogravimetrik (TGA)
Thermogravimetri adalah teknik untuk mengukur perubahan berat dari suatu senyawa sebagai fungsi dari suhu ataupun waktu. Hasilnya biasanya berupa rekaman diagram yang kontinu; reaksi dekomposisi satu tahap yang skematik diperlihatkan pada Gambar 2.11.
Gambar 2.12.Skema Termogram Bagi Reaksi Dekomposisi Satu Tahap
Dalam Thermogravimetri (TGA), perubahan massa sampel diukur sebagai fungsi temperatur. Pengukuran atau perubahan massa sampel ini diukur secara kontinyu dengan kecepatan tetap.  Hasil pengukuran dinyatakan sebagai kurva antara berat yang hilang terhadap temperatur yang disebut termogram. Kurva ini dapat memberikan informasi baik kualitatif maupun kuantitatif tentang sampel yang dianalisa. Termogram TGA memperlihatkan tahap-tahap dekomposisi yang terjadi akibat perlakuan termal, seperti ditunjukkan Gambar 2.13.
Gambar 2.13. Termogram TGA
Pada Gambar 2.13 terlihat bahwa pada temperatur T1,  bahan mengalami kehilangan berat sebesar W0 – W1. Pada temperatur T2 dan T3, sampel mengalami pengurangan berat sebesar W1-W2 dan W2-W3. Persentase pengurangan berat ini berkaitan dengan perubahan kimia yang menyebabkan perubahan berat sampel. Dalam bidang polimer, analisis termogravimetri ini terutama dipakai untuk mempelajari degradasi termal, kestabilan termal, degradasi oksidatif, komposisi dan identifikasi polimer. (Sutiani, A., 2009)
Preparasi Sampel TGA
·         Memaksimalkan luas permukaan dari sampel untuk meningkatkan resolusi kehilangan berat dan reprodusibilitas temperatur
·         Berat sampel : 10-20 mg untuk aplikasi pada umumnya
50-100 mg untuk pengukuran zat-zat yang mudah menguap
·         Kebanyakan TGA memiliki baseline drift dari 10 mg sampel
·         TGA terdiri dari sebuah sample pan yang ditempatkan pada furnace dan dipanaskan atau didinginkan selama eksperimen
·         Massa dari sampel dipantau dan sampel dialiri oleh suatu gas untuk mengontrol lingkungan sampel
·         Gasnya berupa gas inert atau gas reaktif yang mengalir melalui sampel dan keluar melalui exhaust.

Differential Thermal Analysis (DTA)
Differential Thermal Analysis (DTA) adalah suatu teknik dimana suhu dari suatu sampel dibandingkan dengan material inert. Suhu dari sampel dan pembanding pada awalnya sama sampai ada kejadian yang mengakibatkan perubahan suhu seperti pelelehan, penguraian, atau perubahan struktur kristal sehingga suhu pada sampel berbeda dengan pembanding. Bila suhu sampel lebih tinggi daripada suhu pembanding maka perubahan yang terjadi adalah eksotermal, dan endotermal bila sebaliknya.( Onggo, D., dan Fansuri, H., 1999)

No comments:

Post a Comment