FAHAM NEO-LEBERALISME DAN AGENDA YANG DIUSUNG
Neoliberalisme pada dasarnya adalah kelanjutan dari faham liberalisme yang pernah berkembang dan mengalami krisis pada tahun 1930-an. Inti faham Neoliberalisme ini adalah dilepaskannya hak istimewa atas modal dari berbagai tata aturan teritorial maupun nasional. Gejala ini kemudian melahirkan satu monster baru dalam skala global, yaitu kekuatan bisnis internasional.
Pengertian neoliberalisme dapat diringkas dalam dua lapis definisi. Pertama, neoliberalisme adalah faham/agenda pengaturan masyarakat yang didasarkan pada dominasi homo economicus atas dimensi lain dalam diri manusia (sebagai homo culturalis, zoon politikon, homo sosialis, dan sebagainya). Kedua, sebagai kelanjutan pengertian pertama, neoliberalisme bisa juga difahami sebagai dominasi sektor finansial atas sektor riel dalam tata ekonomi-politik. Pengertian pertama lebih menunjuk pada ‘kolonisasi eksternal’ homo oeconomicus atas berbagai dimensi antropologis lain dalam multidimensionalitas manusia. Sedangkan definisi kedua menunjuk ‘kolonisasi internal’ homo financialis atas aspek-aspek lain dalam multidimensionalitas tata homo oeconomicus itu sendiri. (Herry-Priyono, 2004)
Inti neoliberalisme terletak pada dua gagasan utama berikut. Pertama, manusia dilihat hanya sebagai homo oeconomicus. Artinya, cara-cara manusia bertransaksi dalam kegiatan ekonomi bukanlah salah satu dari sekian banyak dimensi hubungan antarmanusia, tetapi sebagai satu-satunya corak yang mendasari semua tindakan dan relasi antarmanusia. Dengan kata lain, tindakan dan hubungan antarpribadi manusia maupun tindakan dan hubungan legal, sosial, dan politis manusia, hanyalah sebagai ungkapan dari model hubungan menurut kalkulasi untung-rugi dalam transaksi ekonomi.
Kedua, gagasan ekonomi-politik neoliberal adalah argumen bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal jika dan hanya jika lalu lintas modal yang dimiliki oleh pribadi (orang-perorang) dilepaskan dari hal-hal yang terkait dengan survival sosial dan ditujukan semata untuk akumulasi laba. Bila dalam liberalisme klasik (Adam Smith) kepemilikan privat masih dianggap punya tugas sosial untuk mensejahterakan seluruh masyarakat, maka dalam neoliberalisme, kepemilikan privat tersebut sudah demikian absolut dan keramat, tanpa peran sosial apapun juga, kecuali untuk akumulasi laba privat.
Agenda utama neolibrelisme adalah globalisasi ekonomi, sebagai agenda tata dunia baru yang bertumpu pada kekuasaan modal dan pemilik modal. Dalam hal ini ada tiga agenda utama yaitu: (1) tataran tindakan, tata kekuasaan global yang bertumpu pada praktek bisnis raksasa lintas negara; (2) pelaku utamanya adalah perusahaan-perusahaan trans-nasional (Multinational Corporation, MNCs) ; dan (3) proses kultural ideologis yang dibawanya adalah konsumerisme.
Dalam globalisasi, praktek perdagangan bisnis tran-nasional didorong dan didukung oleh regulasi dan kesepakatan internasional yang kerap disebut sebagai ‘aturan baru’ dalam kerangka pasar bebas. Kesepakatan tersebut seperti GATT (General Agreement on Tariffs and Trade), WTO (World Trade Organisation), GATS (General Agreement on Trade in Services), TRIPs (Trade Related Intellectual Property Right), TRIMs (Trade Related Invesment Measures), AoA (Agreement on Agriculture) dan sebagainya. Pada saat yang sama ideologi konsumerisme juga didesakkan oleh kekuasaan luar biasa dari bisnis periklanan dalam bentuk logo, merek, dan label, dibawah sadar menanamkan prinsip ‘kenikmatan-gengsi-kemewahan’ pada banyak individu. Sehingga dengan demikian globalisasi tidak saja terjadi dalam skala makro, dalam rupa berbagai tata kebijakan ekonomi politik global yang dipaksanakan pada kebijakan publik melalui tiga ‘matra sakti’: deregulasi-privatisasi-liberalisasi. Tetapi, globalisasi juga terjadi dalam skala mikro individu manusia, yang disuntikkan ke dalam berbagai pilihan individu yang merujuk pada ragam budaya, identitas, dan gaya hidup global. Meskipun hakekatnya adalah pemaksaan untuk memilih keseragamaan budaya, identitas, dan gaya hidup. Seperti gaya hidup mengkonsumsi makanan cepat saji ala Amerika, McDonal, KFC, Pizza Hut, A&W, gaya musik ala MTV, dan gaya busana ala Barat.
Strategi dasar neoliberalisme adalah penyingkiran segenap rintangan yang menghambat pasar bebas, perlindungan hak milik intelektual, good governance, deregulasi pasar, dan penghapusan subsidi pelayanan publik. Dalam prakteknya neolibral memberikan kebebasan kepada perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah. Misalnya pemerintah tidak ikut campur tangan dalam urusan perburuan, investasi, harga, dan membiarkan mereka memiliki ruang untuk tumbuh dan berkembang mengatur dirinya sendiri. Negara kemudian menyediakan kawasan-kawasan pertumbuhan yang bersifat otonom dan memberikan perlakuan yang khusus atas pajak, bea masuk, dan investasi. Seperti kawasan NAFTA, AFTA, SIJORI (Singapura-Johor-Riau), BIMP-EAGA (Brunai-Indonesia-Malaysia-Philipines East Growt Triangle), Otorita Batam, dan sebagainya. Praktek lainnya adalah penghentian subsidi pelayanan sosial karena selain dianggap bertentangan dengan prinsip neoliberal tentang campur tangan pemerintah, juga bertentangan dengan asas pasar dan persaingan bebas. Oleh karena itu, pemerintah kemudian melakukan swastanisasi semua perusahaan negara, sebab perusahaan negara dibuat untuk memberikan subsidi pada rakyat, dan itu dapat menghambat persaingan bebas. (Faqih, 2000)
Bagi neoliberal ideologi ‘kesejahteraan bersama’ dan ‘pemilikan komunal’ seperti yang dianut oleh kebanyakan masyarakat tradisional, dianggap sebagai rintangan untuk mencapai agenda utama neoliberal. Oleh sebab itu, mereka berusaha keras menghambat kedua faham itu dengan berbagai argumen dan promosinya. Akibatnya mereka memaksa untuk menyerahkan pengelolaan sumberdaya alam pada para pakar, bukan kepada kelompok-kelompok masyarakat adat tradisional setempat yang dianggap tidak mampu mengelola secara efisien dan efektif. Padahal justru masyarakat adatlah yang sudah berpengalaman dan memiliki kerifan lokal (local wisdom), serta mengenal secara turun temurun karakter sumber daya alam yang berkembang di sekitar wilayah ingkungannya.
Jadi suatu negara yang sudah menganut faham neoliberalisme dan mengikuti arus globalisasi ekonomi secara ringkas terlihat bila negara hanya mengembangkan pola-pola sebagai berikut (Jhamtani, 2005, yang mengutip IFS report 2002): (1) Pertumbuhan tinggi (hypergrowth) dan eksploitasi sumber daya alam serta lingkungan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, (2) Swastanisasi (privatisasi) pelayanan publik, (3) Penyeragaman (homogenisasi) budaya dan ekonomi global serta promosi konsumerisme, (4) Integrasi dan konversi ekonomi nasional, dari swasembada menjadi berlandasakan pada pasar, (5) Deregulasi korporat dan perpindahan modal lintas-batas negara tanpa penghalang atau pembatas, (6) Pemusatan korporasi menjadi segelintir perusahaan besar saja, (7) Penghapusan bantuan atau subsidi program pelayanan kesehatan dasar masyarakat, pelayanan sosial lainnya, dan pemeliharaan lingkungan hidup, karena dianggap sebagai biaya, (8) Penggusuran kekuasaan negara demokrasi dan masyarakat lokal oleh birokrasi korporasi global.
Maka dengan demikian korporasi diikat dengan hukum yang longgar atau bahkan tidak diikat dengan hukum samasekali (deregulasi), kecuali hukum pasar. Korporasi diberi akses ke pasar manapun secara bebas (liberalisasi) dan diberi wewenang mengatur hajat hidup orang banyak (privatisasi pelayanan publik). Peran negara yang seharusnya melindungi kepentingan masyarakat dalam menghadapi persaingan dengan korporasi raksasa, justru dikeberi. (Bourdieu, 2003)
Kalau dilihat secara umum, kekuatan besar korporasi pada dasarnya didukung oleh empat hal yaitu penguasaan atas teknologi, informasi, modal, dan peraturan global. Melalui empat tersebut MNCs melakukan penjajahan atas hajat hidup dan pikiran manusia melalui paradigma neoliberlisme. (Jhamtani, 2005)
Untuk menjajah wilayah hidup, langkah awal adalah penjajahan pikiran. Hal ini dilakukan melalui dominasi terhadap informasi melalui monopoli media massa, dalam bentuk iklan serta berita yang dipiuhkan (distorted). Langkah selanjutnya adalah penyeragaman budaya, pola hiudp bahkan, bahkan sistem serta produk pertanian. Untuk mendapatkan legitimasi sebagai pelaku pembangunan global, MNCs mendominasi lembaga-lembaga multilateral seperti WTO, IMF dan Bank Dunia. Dan mulai mencoba mempengaruhi PBB yang selama ini dikenal sebagai lembaga yang mempromosikan hak asasi, lingkungan hidup, dan sistem multilateralisme yang berimbang.
Dalam proses dominasi ini, kendali atas teknologi memainkan peranan penting. Monopoli atas teknologi, atau gabungan teknologi baru yang nyaris tanpa peraturan pengamanan, akan memperkuat penjajahan atas hajat hidup dan pikiran. Di anatara teknologi tersebut adalah berupa; (a) Nanoteknologi untuk menguasai materi melalui manipulasi, (b) Bioteknologi untuk menguasai kehidupan melalui manipulasi gen, (c) Teknologi informasi untuk menguasai pengetahuan melalui bit (byte), (d) Cognitive neuroscience untuk menguasai benak atau pikiran melalui manipulasi neuron, (e) Memetic engineering untuk mengendalikan kebudayaan melalui manipulasi meme atau gagasan. Meme adalah unsur mendasar dari kebudayaan yang analog dengan gen dalam organisme hidup. (Jhamtani, 2005)
Dominasi teknologi korporasi ini berakibat pada tidak berdayanya masyarakat dalam mengembangkan kreatifitas diri, akibat adanya pematenan hak kekayanan intelektual (HAKI). Masyarakat yang memiliki kemampuan kreatifitas intelektual seperti petani, pengrajin, bahkan akademisi sekalipun, tidak mampu mematenkan hasil temuan dan kreatifitasnya karena membutuhkan biaya mahal. Bagi korporasi untuk memperoleh HAKI sangat mudah, tetapi akan menindas masyarakat. Contoh kasus Tukirin (62) dan teman-temannya, petani asal Nganjuk, Jawa Timur diseret ke pengadilan dengan tuduhan mencuri benih perusahaan produsen benih jagung hybrida, PT. BISI anak perusahaan Charoen Pokphand, konglomerasi usaha input pertanian terbesar di Asia. Demikian pula Tukirin dituduh melakukan sertifikasi liar atas benih jagung yang mereka patenkan. Tukirin dianggap melanggar pasal Pasal 61 (1) “b” junto pasal 14 (1) UU No.12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Akhirnya Tukirin masuk penjara dua tahun (Ashadi).
Dengan dominasi teknologi, korporasi melakukan penjajahan ruang-hidup (hajat hidup) manusia. Korporasi dicitrakan sebagai wahana pembangunan ekonomi dan alih teknologi serta membuat dunia semakin dekat. Mereka dicitrakan menciptakan ‘desa global’. Akan tetapi, dalam kenyataanya 200 MNCs teratas di dunia sedang menciptakan ‘apartheid ekonomi global’, yaitu ketimpangan kesejahteraan dan akses pada sumberdaya yang luar biasa besar. Apartheid Economy Global pada dasarnya adalah penjajahan hajat hidup. Hajat hidup bukanlah satu konsep kewilayahan fisik, melainkan seperangkat kebutuhan dasar hidup mencakup pangan, energi, air bersih, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan informasi. Hajat hidup juga mencakup kebebasan menganut kepercayaan, gaya hidup dan pikiran tertentu (Jhamtani, 2004). Secara keseluruhan hak atas hajat hidup berarti hak ekonomi, sosial, dan budaya seperti yang diakui oleh PBB dalam kovenan internasional atas hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak untuk membangun. Berdasarkan isi kovenan tersebut, jaminan keamanan atas hajat hidup adalah hak asasi seorang manusia. Apartheid Economy Global merampas jaminan keamanan atas hajat hidup tersebut. Penjajahan hajat hidup dilakukan dengan memberikan label ‘industri’ pada banyak hal yang menyangkut kehidupan. Misalnya, pelayanan kesehatan berubah menjadi industri kesehatan; penyediaan pangan menjadi industri pertanian atau agrobisnis; pendidikan menjadi industri pendidikan; ilmu hayat menjadi industri sains kehidupan.
Ideologi korporasi adalah laba melalui dominasi pasar dan sumber daya, bukan pemenuhan lapangan pekerjaan atau pemerataan manfaat, atau persaingan yang adil. Melalui manipulasi informasi, mereka mencitrakan diri sebagai agen yang mendorong kesejahteraan masyarakat. Tanpa disadari, korporasi mengambil alih pikiran masyarakat melalui pencitraan iklan dan berita media yang tidak seimbang. Dengan kata lain pikiran manusia dijajah oleh kepentingan korporasai untuk memperoleh untuk sebesar-besarnya. Seperti iklan minuman ringan yang diiklankan mengandung nilai gizi yang tinggi dan berimplikasi pada gaya hidup modern, padahal justru minuman ringan tersebut mengandung bahan kimia yang berbahaya kalau dikonsumsi terus menerus dan sama sekali tidak memeliki implikasi gaya hidup, kecuali hanya perasaan saja.
Dilaporkan jurnal ilmiah bahwa banyak anak-anak di Zambia mengidap penyakit ‘Fanta Baby’ karena setiap hari diberi minuman ringan tersebut sebagai ganti makanan bergizi. Demikian juga halnya yang terjadi di Reo de Janeiro, Meksiko dan kota-kota lain. Demikian pula citra yang ditimbulkan iklan krim pemutih: seorang perempuan yang percaya diri berhasil dalam berhubungan dengan para lelaki dan juga baik hati, semua karena krim pemutih. Bahkan perempuan terdidik sekalipun banyak yang terpengaruh dengan iklan tersebut. Nampaknya iklan ini seolah bersifat rasis, karena hanya orang berkulit gelap saja yang menjadi sasaran. Akan tetapi nyatanya tidak. Perusahaan krim pemutih itu juga memproduksi krim yang membuat kulit gelap dan dijual pada negara-negara yang penduduknya berkulit terang dengan pesan sama tetapi berlawanan “kulit berwarna itu cantik”. Artinya konsumen didorong berfikir bahwa ‘menjadi diri sendiri’ itu tidaklah baik, ‘menjadi orang lain’ lebih baik.
Pikiran bahwa produsen punya hak untuk membentuk citra dan konsumen punya hak memilih dilandasi oleh asumsi bahwa pasar tidak pernah salah. Bahwa semua orang memiliki nalar, pendidikan, dan kebebasan untuk memilih. Tentu saja anggapan dasarnya ini tidak sepnuhnya benar. Para ibu miskin di Afrika sebagai konsumen tidak bisa membaca kandungan apa saja yang terdapat pada minuman ringan. Kalaupun bisa membaca, tidak mengerti bahaya apa bagi kesehatan akibat mengkonsumsi minuman tersebut. Karena itu citra yang mereka lihat, mereka anggap benar. Tetapi akibatnya hak anak-anak mereka atas kesehatan tidak terpenuhi.
Ada paradigma tertentu yang dibentuk dalam benak masyarakat konsumen, mungkin ini cikal bakal memetic engineering. Paradigma itu adalah penyeragaman cara berfikir guna memudahkan perusahaan menghasilkan produk yang seragam untuk pasar yang seragam secara global. Contoh yang paling jelas adalah bagaimana selera makan anak-anak Indonesia dibentuk melalui citra bahwa McDonald, KFC, Pizza Hut, A&W dan makanan cepat saji yang sejenis adalah ‘trendi, enak, modern, murah, bersih, dan sehat’
Penjajahan pikiran diarahkan pada penyeragaman cara berpikir dan dilakukan melalui sistem pendidikan, sistem politik, dan ekonomi, serta media yang seragam, unilateral dan satu arah. Bahkan, dalam sistem negara yang disebut ‘demokrasi’, pikiran dan opini masyarakat sebenarnya, tanpa disadari, dikendalikan melalui propaganda media massa (yang juga dikuasai korporasi), dan sistem pendidikan serta pemerintahan. Seperti dapat dilihat dari cara mencitrakan demokrasi. India, AS, dan Indonesia dikatakan sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Alasannya karena adanya ‘pemilihan umum yang dinyatakan bebas’. Padahal hajat-hidup dan cara berfikir ketiga negara tersebut berbeda dan masih terjajah. Kebutuhan dasar minimum bagi rakyat India dan Indonesia belum terpenuhi. Padahal rakyat Amerika sendiri sebagian besar tidak dapat berpartisipasi secara berarti dalam proses pembuatan keputusan di dalam negaranya sendiri. Jika masyarakat terdidik seperti AS saja masih tidak sadar kalau negara mereka belum berdemokrasi secara sebenarnya, bagaimana dengan sebagain besar rakyat di Dunia Ketiga.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Agus, dkk. (2005) Catatan Pinggir di Tiang Pancang Suramadu, Yogyakarta: Arrus.
Ashadi, Ridho Saiful, Paten Benih Menyeret Petani Jagung ke Meja Hijau, http://www.walhi.or.id/ kampanye/psda/050928_benihjagung_cu/
Bourdieu, Pierre (2003) “Kritik terhadap Neoloberalosme: Utopia Eksploitasi tanpa Batas menjadi Kenyataan” dalam Basis, November-Desember 2003.
Budisusila, A. Dan Gito Haryanto (2000), “ Gerakan Perlawanan Rakyat terhadap Dominasi Kekuasaan: Studi Kasus di Wonosari, Gunung Kidul Yogyakarta” dalam Wacana Ed.5 tahun II. Yohyakarta: Insist Press.
Faqih, Mansour (2000) “Pembangunan: Pelajaran Apa yang Kita Peroleh?” dalam Wacana, Ed. 5 Tahun II. Yogyakarta: Insist Press.
Fatchan, Ach. Dan Basrowi (2004), Pembelotan Kaum Pesantren dan Petani di Jawa. Surabaya: Yayasan Kampusiana.
Freire, Paulo (1986), Pedagogy of the Oppressed, New York: Praeger.
Herry-Priyono, B. (2004)”Marginalisasi ala Neo Liberal” dalam Basis Mei-Juni, 2004.
Jhamtani, Hira (2005), “Kuasa Korporasi: Penjajahan Pikiran dan Ruang-hidup” dalam Wacana, Ed. 19, Tahun VI, Yogyakarya: Insist Press.
Kuntowijoyo (2003) Radikalisme Petani. Yogyakarta: Gerbang.
Topatimasang, Roem, Dkk. (2005) Pendidikan PopulerMembangun Kesadaran Kritis, Yogyakarta: Insist Press.
No comments:
Post a Comment