Saturday, June 22, 2013

Menyikapi Globalisasi.

Menyikapi Globalisasi. 

Dari paparan sebelumnya menjadi jelas bagi kita bahwa globalisasi sudah menjadi sebuah realitas yang objektif. Bahkan kita semua sedang hidup dan bergelut di dalamnya. Globalisasi tidak dapat kita hindari, karena itu globalisasi mau tidak mau harus dihadapi. Persoalannya adalah bagaimana seharusnya kita menyikapi globalisasi ini secara konseptual dan normatif sehingga di satu pihak ia memberi manfaat yang baik bagi manusia dan di lain pihak dampak negatifnya dapat diredam.
Berdasarkan kebutuhan etis tersebut di atas maka pada tanggal 28 Agustus – 4 september 1993 di kota Chicago USA komunitas agama sedunia melaksanakan pertemuan Dewan Parlemen Agama-Agama Dunia. Dengan jumlah peserta lebih dari 6.500 orang dari berbagai komunitas agama dunia, pertemuan itu  berhasil mendeklarasikan sebuah piagam yang disebut “Declaration Toward a Global Ethic.” Dokumen ini merupakan sebuah konsensus dasar (fundamental consensus) yang terkait dengan nilai-nilai yang mengikat, standar-standar yang tidak dapat diganggu gugat, dan sikap-sikap personal dalam menghadapi berbagai masalah dan ancaman global. Di dalam dokumen deklarasi tersebut komunitas agama sedunia mendeklarasikan beberapa hal, yaitu:
Ø  Kesadaran akan saling ketergantungan antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan lingkungannya,
Ø  Komitmen untuk menghormati kehidupan  dan martabat, individualitas dan keragaman, sehingga setiap orang diperlakukan secara manusiawi dan setara tanpa kecuali.
Ø  Panggilan untuk mengikatkan diri pada budaya tanpa kekerasan, penghormatan, keadilan dan perdamaian.
Ø  Komitmen untuk berjuang bagi terwujudnya sebuah tatanan sosial dan ekonomi yang adil, di mana setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk meraih potensi yang penuh sebagai manusia.
Berangkat dari kesadaran, komitmen, dan panggilan tersebut komunitas agama sedunia merumuskan prinsip-prinsip etik global sbb:
Ø  Tidak aka nada tatanan dunia baru yang adil apabila tidak ada etika global.
Ø  Setiap orang harus diperlakukan secara manusiawi.
Ø  Empat petunjuk yang tak terbatalkan: komitmen pada budaya non kekerasan dan hormat pada kehidupan, komitmen pada budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil, komitmen pada budaya toleransi dan hidup yang tulus, komitmen pada budaya kesetaraan dan kerja sama.
Dengan etik global tersebut diharapkan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan dengan kebijaksanaan,  penerapan teknologi yang didasari oleh kekuatan spiritual, kemajuan industri yang dibarengi dengan perlindungan ekologi, dinamika demokrasi dengan moral, dan terciptanya masyarakat multi-kultural religius dengan semangat persaudaraan.[1]
            Pada waktu yang hampir bersamaan komunitas Kristen sedunia yang terhimpun dalam organisasi oikumenis Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (DGD) dalam Sidang Rayanya di Harare (1998) menggumuli pertanyaan bagaimana gereja-gereja dan keluarga oikumenis harus menanggapi tragedi-tragedi kemanusiaan yang berakar pada proyek globalisasi ekonomi. Atas dasar pergumulan etis tersebut maka lahirlah sebuah program oikumenis yang disebut “Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE)” (Globalisasi Alternative Mengutamakan Rakyat dan Bumi).
            Proses awal tersebut ditindaklanjuti oleh Sidang Raya DGD di Porto Alegre pada tahun 2006 yang menghasilkan desakan untuk segera melakukan beberapa aksi, antara lain:
Ø  Menegakkan tata ekonomi dunia yang adil.
Ø  Mempromosikan perdagangan yang adil.
Ø  Memperjuangkan sistem keuangan yang adil.
Ø  Melakukan aksi transformatif dan alternative kehidupan.
Ø  Mengembangkan kehidupan multi-kultural religius yang inklusif transformatif.
Ø  Mengkampanyekan dan mempelopori aksi perlindungan dan rehabilitasi ekologi[2]
Dokumen tersebut dijadikan sebagai pola dasar pelayanan gereja di tengah masyarakat termasuk di Indonesia. Karena itu pada tahun 2007 yang lalu, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) melaksanakan sebuah pertemuan tingkat nasional di Bogor, yang dihadiri oleh wakil-wakil sinodal, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, lembaga-lembaga pendidikan teologi, dan beberapa organisasi keagamaan dalam rangka menyamakan persepsi dan merumuskan secara bersama aksi-aksi yang harus diambil oleh gereja dalam menghadapi globalisasi. Aksi-aksi yang berhasil disepakati untuk dilaksanakan antara lain:
Ø  Advokasi dan solidaritas terhadap kaum buruh dan anggota masyarakat lainnya yang menjadi korban sistem ekonomi yang tidak adil. Hal ini dapat dilakukan dengan tindakan boikot terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan nasional dan multi nasional yang mengabaikan hal-hal seperti hak-hak buruh untuk berkumpul dan berpendapat, jaminan perlindungan kerja, jaminan kesehatan, dan jaminan hari tua, dan melaksanakan diskriminasi gender, dan eksploitasi buruh anak (Amos 5: 24)
Ø  Penguatan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada sistem ekonomi kekeluargaan dan gotong royong. Hal ini dapat dilakukan dengan mendirikan koperasi simpan pinjam, agro industry dan agro bisnis kerakyatan, industri rumah tangga, dan penataan kembali pasar-pasar tradisional.  (Lukas 4: 18 – 19)
Ø  Penyediaan perangkat hukum yang melindungi anggota masyarakat yang rentan terhadap praktek diskriminasi, misalnya terhadap kaum perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas dalam masyarakat.
Ø  Peningkatan dialog dan kerjasama antar umat beragama melalui aksi-aksi sosial untuk menghadapi krisis ekologis dan HIV AIDS.
Semua usaha ini adalah sikap yang berhasil dirumuskan dan akan terus diperjuangkan oleh agama-agama pada umumnya dan kekristenan pada khususnya dalam konteks proses sejarah dan proyek ekonomi global yang sedang bergulir. Tantangan utama terhadap upaya ini datang dari paham-paham materialisme, individualisme, liberalisme, konsumerisme, eksklusifisme, radikalisme, dan militerisme. Karena itu, globalisasi harus juga dihadapi dengan sebuah transformasi yang mendasar akan pandangan hidup, sistem kepercayaan, ideologi, dan gaya hidup. Hanya dengan demikian kehidupan manusia di planet ini akan terhindar dari tragedi dan kehancuran yang datang belum pada waktunya.

2. Penutup.
Globalisasi dan agama memang tidak dapat dipisahkan. Baik secara historis maupun ideologis agama akan selalu ada di balik setiap proses dan peristiwa sosial di era globalisasi ini. Bahkan disinyalir bahwa globalisasi adalah misi agama itu sendiri.  Oleh sebab itu adalah benar apabila membicarakan globalisasi dalam hubungan dengan agama dan adalah suatu keharusan untuk meminta pertanggungjawaban moral, etika dan spiritual dari agama-agama tentang ragam persoalan kemanusiaan dan lingkungan alam yang terjadi dewasa ini.
Mahasiswa sebagai bagian dari komunitas ilmiah dan komunitas beragama yang akan mewarisi masa depan sudah seharusnya memahami realitas globalisasi dan permasalahannya serta diperkenalkan dengan solusi-solusi konseptual agar mereka dapat mengambil sikap positif, kritis, realistis, dan konstruktif terhadap globalisasi itu sendiri.
  
Kepustakaan
Castello, Manuel. The Power of Identity. Oxford: Blackwell Publishing, 2004.

Cobb, Kelton Theology and Popular Culture. Oxford: Blackwell Publishing, 2005.

Dewan Gereja-Gereja Se-Dunia. Globalisasi Alternatif Mengutamakan Rakyat dan Bumi.
           Diterjemahkan oleh Boni Sagi & Nina Hutagalung. Jakarta: PMK HKBP, 2006.

Kung, Hans & Karl Josef Kuschel. Etik Global. Diterjemahkan oleh Ahmad Murtajib.
               Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Ritzer, George. “The Postmodern Social Theory”.  Diterjemahkan oleh Muhammad Taufik,
               Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004.

Seabrook, Jeremy.  Kemiskinan Global, Kegagalan Model Ekonomi Neoliberalisme. Yogyakarta:
               Resist Book, 2006.  

Stuckelberger, Christoph (Ed.), Responsible Leadership, Global dan Contextual Ethical
               Perspective. Geneva: WCC, 2007.

Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2004.

Therik, Tom. “Masa Depan Agama dalam Budaya Global”. Makalah dalam Seminar Agama-                                     Agama – PGI Cipayung Bogor, September 2008. (Tidak dipublikasikan)


No comments:

Post a Comment