Menyikapi Globalisasi.
Dari
paparan sebelumnya menjadi jelas bagi kita bahwa globalisasi sudah menjadi
sebuah realitas yang objektif. Bahkan kita semua sedang hidup dan bergelut di
dalamnya. Globalisasi tidak dapat kita hindari, karena itu globalisasi mau
tidak mau harus dihadapi. Persoalannya adalah bagaimana seharusnya kita
menyikapi globalisasi ini secara konseptual dan normatif sehingga di satu pihak
ia memberi manfaat yang baik bagi manusia dan di lain pihak dampak negatifnya
dapat diredam.
Berdasarkan
kebutuhan etis tersebut di atas maka pada tanggal 28 Agustus – 4 september 1993
di kota Chicago USA komunitas agama sedunia melaksanakan pertemuan Dewan
Parlemen Agama-Agama Dunia. Dengan jumlah peserta lebih dari 6.500 orang dari
berbagai komunitas agama dunia, pertemuan itu
berhasil mendeklarasikan sebuah piagam yang disebut “Declaration Toward a Global Ethic.”
Dokumen ini merupakan sebuah konsensus dasar (fundamental consensus) yang terkait dengan nilai-nilai yang
mengikat, standar-standar yang tidak dapat diganggu gugat, dan sikap-sikap
personal dalam menghadapi berbagai masalah dan ancaman global. Di dalam dokumen
deklarasi tersebut komunitas agama sedunia mendeklarasikan beberapa hal, yaitu:
Ø Kesadaran
akan saling ketergantungan antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan
lingkungannya,
Ø Komitmen
untuk menghormati kehidupan dan
martabat, individualitas dan keragaman, sehingga setiap orang diperlakukan
secara manusiawi dan setara tanpa kecuali.
Ø Panggilan
untuk mengikatkan diri pada budaya tanpa kekerasan, penghormatan, keadilan dan
perdamaian.
Ø Komitmen
untuk berjuang bagi terwujudnya sebuah tatanan sosial dan ekonomi yang adil, di
mana setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk meraih potensi yang
penuh sebagai manusia.
Berangkat dari
kesadaran, komitmen, dan panggilan tersebut komunitas agama sedunia merumuskan
prinsip-prinsip etik global sbb:
Ø Tidak
aka nada tatanan dunia baru yang adil apabila tidak ada etika global.
Ø Setiap
orang harus diperlakukan secara manusiawi.
Ø Empat
petunjuk yang tak terbatalkan: komitmen pada budaya non kekerasan dan hormat
pada kehidupan, komitmen pada budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil,
komitmen pada budaya toleransi dan hidup yang tulus, komitmen pada budaya
kesetaraan dan kerja sama.
Dengan etik global
tersebut diharapkan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan dengan
kebijaksanaan, penerapan teknologi yang
didasari oleh kekuatan spiritual, kemajuan industri yang dibarengi dengan
perlindungan ekologi, dinamika demokrasi dengan moral, dan terciptanya
masyarakat multi-kultural religius dengan semangat persaudaraan.[1]
Pada
waktu yang hampir bersamaan komunitas Kristen sedunia yang terhimpun dalam
organisasi oikumenis Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (DGD) dalam Sidang Rayanya di
Harare (1998) menggumuli pertanyaan bagaimana gereja-gereja dan keluarga
oikumenis harus menanggapi tragedi-tragedi kemanusiaan yang berakar pada proyek
globalisasi ekonomi. Atas dasar pergumulan etis tersebut maka lahirlah sebuah
program oikumenis yang disebut “Alternative
Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE)” (Globalisasi
Alternative Mengutamakan Rakyat dan Bumi).
Proses
awal tersebut ditindaklanjuti oleh Sidang Raya DGD di Porto Alegre pada tahun
2006 yang menghasilkan desakan untuk segera melakukan beberapa aksi, antara
lain:
Ø Menegakkan
tata ekonomi dunia yang adil.
Ø Mempromosikan
perdagangan yang adil.
Ø Memperjuangkan
sistem keuangan yang adil.
Ø Melakukan
aksi transformatif dan alternative kehidupan.
Ø Mengembangkan
kehidupan multi-kultural religius yang inklusif transformatif.
Ø Mengkampanyekan
dan mempelopori aksi perlindungan dan rehabilitasi ekologi[2]
Dokumen tersebut dijadikan
sebagai pola dasar pelayanan gereja di tengah masyarakat termasuk di Indonesia.
Karena itu pada tahun 2007 yang lalu, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia
(PGI) melaksanakan sebuah pertemuan tingkat nasional di Bogor, yang dihadiri
oleh wakil-wakil sinodal, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, lembaga-lembaga
pendidikan teologi, dan beberapa organisasi keagamaan dalam rangka menyamakan
persepsi dan merumuskan secara bersama aksi-aksi yang harus diambil oleh gereja
dalam menghadapi globalisasi. Aksi-aksi yang berhasil disepakati untuk
dilaksanakan antara lain:
Ø Advokasi
dan solidaritas terhadap kaum buruh dan anggota masyarakat lainnya yang menjadi
korban sistem ekonomi yang tidak adil. Hal ini dapat dilakukan dengan tindakan
boikot terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan
nasional dan multi nasional yang mengabaikan hal-hal seperti hak-hak buruh
untuk berkumpul dan berpendapat, jaminan perlindungan kerja, jaminan kesehatan,
dan jaminan hari tua, dan melaksanakan diskriminasi gender, dan eksploitasi
buruh anak (Amos 5: 24)
Ø Penguatan
dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada sistem ekonomi
kekeluargaan dan gotong royong. Hal ini dapat dilakukan dengan mendirikan
koperasi simpan pinjam, agro industry dan agro bisnis kerakyatan, industri
rumah tangga, dan penataan kembali pasar-pasar tradisional. (Lukas 4: 18 – 19)
Ø Penyediaan
perangkat hukum yang melindungi anggota masyarakat yang rentan terhadap praktek
diskriminasi, misalnya terhadap kaum perempuan, anak-anak, dan kelompok
minoritas dalam masyarakat.
Ø Peningkatan
dialog dan kerjasama antar umat beragama melalui aksi-aksi sosial untuk
menghadapi krisis ekologis dan HIV AIDS.
Semua
usaha ini adalah sikap yang berhasil dirumuskan dan akan terus diperjuangkan
oleh agama-agama pada umumnya dan kekristenan pada khususnya dalam konteks
proses sejarah dan proyek ekonomi global yang sedang bergulir. Tantangan utama
terhadap upaya ini datang dari paham-paham materialisme, individualisme,
liberalisme, konsumerisme, eksklusifisme, radikalisme, dan militerisme. Karena
itu, globalisasi harus juga dihadapi dengan sebuah transformasi yang mendasar
akan pandangan hidup, sistem kepercayaan, ideologi, dan gaya hidup. Hanya dengan
demikian kehidupan manusia di planet ini akan terhindar dari tragedi dan
kehancuran yang datang belum pada waktunya.
2. Penutup.
Globalisasi
dan agama memang tidak dapat dipisahkan. Baik secara historis maupun ideologis
agama akan selalu ada di balik setiap proses dan peristiwa sosial di era
globalisasi ini. Bahkan disinyalir bahwa globalisasi adalah misi agama itu
sendiri. Oleh sebab itu adalah benar
apabila membicarakan globalisasi dalam hubungan dengan agama dan adalah suatu
keharusan untuk meminta pertanggungjawaban moral, etika dan spiritual dari
agama-agama tentang ragam persoalan kemanusiaan dan lingkungan alam yang
terjadi dewasa ini.
Mahasiswa
sebagai bagian dari komunitas ilmiah dan komunitas beragama yang akan mewarisi
masa depan sudah seharusnya memahami realitas globalisasi dan permasalahannya
serta diperkenalkan dengan solusi-solusi konseptual agar mereka dapat mengambil
sikap positif, kritis, realistis, dan konstruktif terhadap globalisasi itu
sendiri.
Kepustakaan
Castello, Manuel. The Power of Identity. Oxford: Blackwell
Publishing, 2004.
Cobb, Kelton Theology and Popular Culture. Oxford: Blackwell Publishing, 2005.
Dewan Gereja-Gereja Se-Dunia. Globalisasi Alternatif Mengutamakan Rakyat
dan Bumi.
Diterjemahkan oleh Boni Sagi &
Nina Hutagalung. Jakarta: PMK HKBP, 2006.
Kung, Hans & Karl Josef
Kuschel. Etik Global. Diterjemahkan
oleh Ahmad Murtajib.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999.
Ritzer,
George. “The Postmodern Social Theory”. Diterjemahkan oleh Muhammad Taufik,
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004.
Seabrook,
Jeremy. Kemiskinan Global, Kegagalan Model Ekonomi
Neoliberalisme. Yogyakarta:
Resist Book, 2006.
Stuckelberger, Christoph (Ed.), Responsible Leadership, Global dan
Contextual Ethical
Perspective. Geneva: WCC,
2007.
Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas
Ekonomi UI, 2004.
Therik, Tom. “Masa
Depan Agama dalam Budaya Global”. Makalah dalam Seminar Agama- Agama –
PGI Cipayung Bogor, September 2008. (Tidak dipublikasikan)
0 komentar:
Post a Comment