PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL KIMIA BERBASIS KONTROVERSI ISU YANG BERKEMBANG DI MASYARAKAT
Das Salirawati, M.Si
Dosen Jurdik Kimia FMIPA UNY
ABSTRAK
Adanya Kurikulum 2006 yang berlaku saat ini, seorang guru tidak hanya dituntut keberhasilannya menanamkan pengetahuan kepada peserta didik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai dan keterampilan, termasuk kecakapan hidup. Kesemua aspek tersebut harus dapat ditampilkan oleh peserta didik, inilah makna dari kompetensi yang dimunculkan dalam hurikulum. Selain harus memahami arti dan esensi kurikulum yang baru, seorang guru juga dituntut menjadi profesional agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karena itulah setiap guru harus mengikuti program sertifikasi guru.
Era globalisasi mengakibatkan kemaju-an IPTEK yang luar biasa di berbagai bidang. Kecanggihan teknologi pangan, sandang, papan, pertanian, kesehatan, dan bidang-bidang lainnya kadang-kadang memunculkan berbagai kontro-versi terhadap produk-produk IPTEK yang sedang berkembang.
Guru kimia sebagai bagian masyarakat yang profesional seharusnya dapat berperan penting dalam mendidik masyarakat, baik melalui jalur formal (di kelas) maupun jalur non formal (pengabdian masyarakat) ketika terjadi keresahan yang disebabkan kontroversi suatu produk IPTEK. Bukan sebaliknya, justru menambah keresahan masyarakat. Sebagai guru kimia yang dalam jiwanya telah terinternalisasi nilai-nilai afektif yang baik yang berupa sikap ilmiah, seperti jujur, objektif, tidak mudah percaya dengan suatu kesimpulan, teliti dalam berpikir dan bertindak, sudah selayaknya mereka mampu unjuk gigi dan berperan meluruskan kontroversi yang terjadi dengan ilmu yang dimiliki. Sikap inilah yang harus dikedepankan dan ditunjukkan untuk meluruskan berbagai kontroversi yang sedang marak di masyarakat.
PENDAHULUAN
Perubahan kurikulum di suatu negara adalah hal yang wajar, karena kurikulum sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan harus selalu disesuaikan dengan perkembangan IPTEK, juga tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Perubahan kurikulum adalah proses yang harus terjadi dan tidak pernah berhenti, sehingga perubahan ini tidak perlu ditakutkan atau disesalkan, tetapi esensi perubahan itu yang harus ditangkap dan diimplementasikan dalam kegiatan pembelajaran (Olivia, 1992).
Saat ini kita menerapkan Kurikulum 2006 yang berorientasi pada kompetensi (compe-tency oriented curriculum), artinya selain peserta didik diharapkan mampu menguasai materi dan proses mencapai tujuan pembelajaran, juga diharapkan dapat mengaplikasikan konsep-konsep yang telah dikuasainya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itulah lahirnya Kurikulum 2006 melahirkan adanya pendekatan kontekstual, yaitu konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupannya sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Elaine B. Johnson, 2002). Dengan pembelajaran kontekstual, maka pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) akan tercipta.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang salah satunya kimia dibangun dibangun berdasarkan langkah-langkah metode ilmiah, hingga menghasilkan produk-produk ilmiah berupa konsep, prinsip, aturan, hukum dan teori. Dengan demikian mempelajari kimia berarti mempelajari dua hal, yaitu kimia sebagai produk (aspek teoretis) dan kimia sebagai proses (aspek empiris). Oleh karena itu pada pembelajaran kimia sebaiknya peserta didik tidak hanya disuguhi produk metode ilmiah, tetapi harus diarahkan untuk melakukan proses, sehingga mereka mempunyai keterampilan atau sikap seperti yang dimiliki para ilmuwan dalam memperoleh dan mengembangkan pengetahuan (Conny Semiawan dkk, 1992).
Berkaitan dengan kimia sebagai proses, maka sudah sewajarnya guru kimia senantiasa menyertakan kegiatan eksperimen dalam proses pembelajarannya di kelas, agar pembelajaran menjadi efektif dan komprehensif dalam memenuhi aspek teoretis dan aspek empiris. Hal ini berarti dalam pembelajaran kimia harus lebih diarahkan pada kegiatan yang mendorong peserta didik belajar lebih aktif, baik secara fisik, sosial, maupun psikis dalam memahami dan menguasai konsep, sehingga pengetahuan yang diperoleh menjiwai secara keseluruhan kehidupannya.
Metode ilmiah yang diterapkan ketika peserta didik melakukan aktivitas eksperimen akan menghasilkan berbagai sikap ilmiah yang berguna dalam pembentukan nilai-nilai afektifnya. Sikap ilmiah ini tentu saja dimiliki juga oleh para guru kimia, karena mereka adalah sarjana-sarjana kimia yang dahulu juga melakukan aktivitas eksperimen dalam pembelajarannya. Dengan kepemilikan sikap ilmiah, diharapkan guru dan peserta didik bijak menyikapi berbagai fenomena di sekitarnya.
Seperti diketahui, di era globalisasi saat ini terjadi peningkatan kemajuan IPTEK yang luar biasa di berbagai bidang. Kecanggihan teknologi pangan, sandang, papan, pertanian, kesehatan, dan bidang-bidang lainnya kadang-kadang memunculkan berbagai kontroversi terhadap produk-produk IPTEK yang sedang berkembang. Adanya kontroversi ini dengan cepat berkembang di masyarakat, tak terkecuali masyarakat pendidikan (sekolah dan kampus). Sesuatu yang kontroversi selalu menjadi buah bibir yang menarik dibicarakan dimana-mana yang akhirnya berakibat pada munculnya keresahan masyarakat.
Guru kimia sebagai bagian masyarakat yang dipandang memiliki peran penting dalam mendidik masyarakat, baik melalui jalur formal (di kelas) maupun jalur non formal (pengab-dian masyarakat) diharapkan mampu mengambil peran ketika terjadi keresahan yang disebabkan kontroversi suatu produk IPTEK. Bukan sebaliknya, justru menambah keresahan masyarakat. Sebagai guru kimia yang dalam jiwanya telah terinternalisasi nilai-nilai afektif yang baik yang berupa sikap ilmiah, seperti jujur, objektif, tidak mudah percaya dengan suatu kesimpulan, teliti dalam berpikir dan bertindak, sudah selayaknya mereka mampu unjuk gigi dan berperan meluruskan kontroversi yang terjadi dengan ilmu yang dimiliki. Sikap inilah yang harus dikedepankan dan ditunjukkan untuk meluruskan berbagai kontroversi yang sedang marak di masyarakat.
Bagaimanakah bentuk konkret peran guru kimia dalam melakukan pembelajaran bagi masyarakat sekolah dan masyarakat sekitarnya dengan basis kontroversi tersebut sebagai bentuk pembelajaran kontekstual ? Hal inilah yang akan dibahas dengan mengambil contoh-contoh kontroversi isu di masyarakat saat ini.
PEMBAHASAN
1. Sikap Ilmiah, Modal Utama Guru Kimia
Dengan berlakunya Kurikulum 2006 saat ini, seorang guru dituntut untuk dapat menyajikan materi ajar dengan berbagai pendekatan dan strategi yang kesemuanya diharapkan mampu mengaktifkan peserta didik. Menurut John W. Hansen & Gerald G. Lovedahl (2004) ”belajar dengan melakukan” merupakan sarana belajar yang efektif, artinya seseorang akan belajar efektif bila ia melakukan. Confucius menyatakan bahwa “what I do, I understand” (apa yang saya lakukan, saya mengerti) (Mel Silberman, 2002 : 1), artinya ketika seorang guru banyak memberikan aktivitas yang bersifat keterampilan, maka peserta didik akan memahaminya secara lebih baik.
Penelitian yang dilakukan Amy J. Phelps & Cherin Lee (2003) menunjukkan semua guru yang menjadi sampel setuju bahwa mengajar sains tidak dapat dilakukan tanpa eksperimen. Namun demikian, kompetensi kerja ilmiah seorang guru tidak hanya dapat diamati melalui cara mengajar dan mendemonstrasikan suatu percobaan di laboratorium, tetapi juga ditinjau dari bagaimana seorang guru dapat berkomunikasi ilmiah dan menunjukkan sikap ilmiah dalam kesehariannya. Di Amerika Serikat sebuah institusi penghasil guru (semacam Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) menetapkan standar persyaratan bagi mahasiswa untuk lulus dalam pelatihan laboratorium sebagai bekal ketika mereka nanti mengajar (Aldrin E. Sweeney & Jeffrey A. Paradis, 2003).
Seorang guru kimia dituntut mampu menyelaraskan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam proses pembelajaran. Di Singapura, penyelarasan ketiga aspek ini telah dicontohkan secara jelas dalam kurikulum kimia, sehingga guru tinggal melaksanakan dan mengembangkan di kelas (Kok Siang Tan, Ngoh Khang Goh, & Lian Sai Chia, 2006). Guru kimia harus mengajarkan kimia sedemikian rupa sehingga peserta didik memiliki kemampuan transfer of knowledge dan transfer of value.
Nilai-nilai afektif dan psikomotorik ditanamkan guru ketika peserta didik melakukan kerja di laboratorium, dimana mereka diajarkan untuk selalu jujur menulis data, jujur melihat hasil percobaan, objektif melihat kesesuaian teori dengan kenyataan dalam praktik, memiliki rasa ingin tahu yang besar, tidak berprasangka buruk terhadap kebenaran teori, teliti dan cermat dalam berpikir dan bertindak, tidak mudah menerima kesimpulan tanpa adanya bukti-bukti yang nyata,. Dasar-dasar sikap ilmiah ini merupakan modal utama bagi guru dan peserta didik dalam menyikapi keresahan tentang berbagai isu yang berkaitan dengan produk IPTEK.
Sebagai guru kimia, isu yang berkembang di masyarakat seyogyanya disikapi dengan bijak kebenarannya dan masyarakat dibantu dengan penjelasan yang logis, ilmiah, dan rasional sesuai kapasitasnya. Setiap ada isu baru yang berkembang yang meresahkan masyarakat, sesegera mungkin seorang guru kimia mencari tahu dan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi untuk segera dapat menjelaskan secara tepat dan benar tentang isu tersebut di hadapan peserta didik. Dengan demikian, peserta didik akan dapat menyampaikan penjelasan guru kepada orangtua dan masyarakat di sekitarnya. Inilah peran yang seharusnya ditonjolkan guru KIMIA dalam mengatasi terjadinya keresahan di masyarakat.
2. Kontroversi Berbagai Isu Di Masyarakat
Masyarakat kita adalah masyarakat yang heterogen dalam hal latar belakang budaya, pendidikan, status ekonomi, bahasa, agama, dan lain-lain. Latar belakang pendidikan yang berbeda akan mempengaruhi cara berpikir dan menerima informasi yang berkembang di masyarakat. Apalagi saat ini kita berada di era globalisasi dimana kemajuan di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) demikian canggih, sehingga semua informasi dengan mudah dan cepat dapat diterima.
Bagi masyarakat dengan latar belakang pendidikan yang relatif rendah akan menelan mentah-mentah segala informasi yang diterima dari berbagai media, karena keterbatasan ilmu yang dimiliki. Namun bagi guru kimia (golongan intelektual) tentunya tidak berpikir sama dengan mereka, karena guru kimia memiliki bekal ilmu pengetahuan yang relatif cukup untuk dapat mencerna dan mengkaji kebenaran informasi yang masih bersifat isu.
Ball (1988) menyatakan bahwa penguasaan guru terhadap bidang ilmunya merupakan sesuatu yang fundamental agar peserta didik dapat dibantu dalam mempelajari bidang ilmu tersebut. Menurut Amy J. Phelps & Cherin Lee (2003), guru akan dapat memberikan pengetahuan kepada peserta didiknya dalam suatu prosedur yang sederhana dan tepat bila ia menguasai materi yang akan diajarkan dengan baik. Hal ini sejalan dengan kebijakan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28 PP RI No 19/2005 bahwa seorang guru harus memiliki empat jenis kompetensi, salah satunya kompetensi profesional. Keprofesionalan guru harus ditunjukkan melalui aktivitas penggalian dan pengembangan wawasan bidang ilmu yang ditekuninya secara terus menerus tanpa batas waktu dan ruang. Termasuk ketika ada suatu isu yang berkembang di masyarakat yang ada kaitannya dengan bidang ilmu yang ditekuninya, guru harus secara cepat dan tanggap mencari informasi lebih lanjut untuk mengetahui lebih jelas dan benar tentang isu tersebut.
Constance Blasie & George Palladino (2005) berpendapat bahwa pengetahuan dan penggunaan teknologi informasi secara tepat dalam pengajaran dan pembelajaran adalah kemampuan yang harus dikuasai oleh para guru sekolah lanjutan. Hal ini mengisyaratkan pada kita selaku guru akan pentingnya penguasaan penggunaan kemajuan TIK dalam menunjang kelancaran dan keberhasilan menjalankan tugas. Contoh konkretnya penguasaan penggunaan internet dalam menelusuri informasi yang diperlukan untuk mengkaji kebenaran isu yang berkembang di masyarakat.
Berikut ini dipaparkan beberapa contoh isu yang berkembang di masyarakat yang membuat masyarakat bingung dan resah dan bagaimana penjelasan ilmiah yang mampu menepis isu-isu yang kontroversial tersebut yang seharusnya dimiliki guru kimia.
a. Isu Mono Sodium Glutamate (MSG) menyebabkan kanker
Pada tahun 1989, Iwan Budiarso, seorang dokter hewan menulis di harian KOMPAS bahwa MSG dapat menghasilkan Glu-P1 dan Glu-P2 yang bersifat mutagenik dan karsino-genik. Pada tahun 1994 kita dikejutkan lagi adanya tulisan Moh. Yani, seorang anggota Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di harian MERDEKA yang menganjurkan kepada masyarakat untuk tidak menggunakan MSG dalam makanannya, karena katanya MSG dapat menimbulkan penyakit kanker dan liver. Sejak itulah masyarakat kita dibuat resah tentang penggunaan MSG dalam makanannya, karena rasa was-was terhadap penyakit kanker dan liver yang ditimbulkannya. Isu ini semakin gencar karena dihubungkan dengan isu terjadinya Chinese Restaurant Syndrome (CRS) atau sindrom restaurant China yang konon kabarnya disebabkan MSG.
Betapa resahnya masyarakat kita waktu itu, bahkan mungkin sampai sekarangpun masih terasa keresahan itu, karena tidak adanya informasi yang benar dapat diterima masyarakat kita. Guru-guru, terutama guru kimia pun terkesan tidak peduli akan keresahan yang dirasakan masyarakat, atau mungkin guru-guru itupun termasuk masyarakat yang resah? Ini semua disebabkan kurangnya pengetahuan yang dimiliki guru dan kurang tanggapnya guru akan keadaan yang terjadi.
Ilmu kimia adalah ilmu yang bersifat aplikatif dalam kehidupan dan selalu mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat, sehingga mengharuskan guru untuk memperluas wawasan bidang ilmu kimia yang digelutinya (Brown, LeMay, & Bursten, 1991). Isu tentang MSG tersebut seharusnya menjadi tugas guru kimia untuk mengkaji dan mencari tahu kebenarannya, sehingga dapat membantu keresahan masyarakat di sekitar kehidupannya.
Adanya isu tersebut dapat dikemas dalam pembelajaran kontekstual yang mampu mengajak peserta didik berpikir bagaimana mengaitkan MSG dengan materi yang sedang diajarkan, seperti materi Golongan Alkali, Protein, Aspek-aspek Biokimia, dan Perubahan Materi. Adapun penjelasannya sebagai berikut (P2MI, 2007, 2008) :
1) MSG adalah senyawa yang terbentuk dari ion natrium dan gugus glutamate. Natrium juga terkandung dalam garam dapur (NaCl), tetapi dalam MSG keberadaannya hanya 1/3 dibandingkan dalam garam dapur. Glutamat merupakan salah satu asam amino non esensial (tubuh dapat mensintesis sendiri) yang dibutuhkan tubuh untuk sintesis protein, yang juga terdapat pada susu, keju, daging ayam, tomat, kedelai, gandum, dan kacang-kacangan. Tubuh kita mampu mengubah glutamat menjadi senyawa alanin di dalam usus yang selanjutnya diubah menjadi a-ketoglutarat, dan sisanya digunakan dalam glukoneogenesis. Perhatikan tahap reaksi pentingnya :
HOOC - CH2 – CH2 – CH – COONa à
MSG NH2
HOOC – CH2 – CH2 – CH – COO- + Na+
Glutamat NH2
CH3 – CH – COOH
Alanin NH2
HOOC – CH2 - CH2 – C - COOH a-ketoglutarat O
Perubahan dari MSG menjadi a-ketoglutarat berlangsung hanya kurang dari 30 menit. Selanjutnya a-ketoglutarat masuk ke dalam siklus asam sitrat (siklus Krebbs) untuk menghasilkan energi. Oleh karena itu adanya isu bahwa MSG dapat terakumulasi dalam tubuh setelah 10 – 20 tahun dan menyebabkan glaucoma (penyakit mata yang berakibat kebutaan) adalah tidak benar.
2) Manusia memerlukan makan dan minum untuk kelangsungan hidupnya. Namun demikian apapun makanan dan minuman yang dikonsumsi haruslah dalam batas-batas kewajaran. Jangankan MSG, nasi, telur, daging yang bergizipun jika kita konsumsi dalam jumlah berlebihan juga akan menimbulkan penyakit, bukan ? Dahulu ADI (Acceptable Daily Intake) untuk MSG ditetapkan JECFA (Joint Expert Committee on Food Additives) sebesar 153 mg MSG / kg berat badan atau 7500 mg / 50 kg berat badan / hari seumur hidup. Sejak 1987 batasan itu dihapus, artinya kita dapat mengkonsumsi MSG sesuai selera dan tanpa batasan usia. Hal ini berarti penggunaan MSG bersifat self limiting, seperti penggunaan garam dapur atau gula, artinya batas pengguna-an tergantung selera. Dengan kata lain, tidak akan mungkin seseorang menggunakan MSG dalam jumlah yang berlebihan, karena akan menyebabkan rasa yang bukan selera wajar, seperti halnya penggunaan garam atau gula jika berlebihan. Riset yang dilakukan Dr. Hiroshi Ohguro Di Universitas Hirosaki Jepang adalah contoh riset yang tidak logis, karena memberi MSG sebanyak 10% selama 2 tahun dalam makanan tikus dan anjing. Kita sehari-hari hanya membubuhkan 0,1 – 0,8% MSG (sekitar 75 mg jika batasan konsumsi MSG sehari 7500), maka sangat tidak logis jika tikus dan kucing diberikan 10% / hari (berarti 750 mg / hari).
3) MSG tergolong dalam daftar GRAS (Generally Recognized as Safe) yaitu dinyatakan aman untuk dikonsumsi, artinya tidak akan menimbulkan penyakit. Adanya isu bahwa MSG pada suhu tinggi menghasilkan glu-P1 (aminomethyl dipyridoimidazole) dan Glu-P2 (amino dipyridoimidazole) adalah tidak benar, karena suatu zat (MSG) jika terurai, maka massa molekul senyawa hasil peruraian pasti lebih kecil, padahal kedua senyawa tersebut massa molekulnya tiga kali lebih besar dari MSG. Fakta yang sesungguhnya adalah adanya riset ikan yang dibakar tanpa penambahan MSG sampai menjadi arang hingga menghasilkan kedua senyawa tersebut. Tentu saja dalam kehidupan yang sesungguhnya, tidak ada seorangpun yang mau makan ikan yang telah menjadi arang. Untuk membuktikan bahwa MSG tidak mengalami perubahan pada pemanasan suhu tinggi adalah dengan melakukan pemanasan terhadap gula pasir dan MSG dalam oven bersama-sama selama 5 menit. Ternyata gula pasir menjadi karamel hitam (arang), sedangkan MSG tetap putih dan tetap gurih. Kenyataan ini dapat dijelaskan bahwa ikatan antara ion natrium dan gugus glutamat adalah ikatan ion, sehing-ga senyawa MSG memiliki titik lebur yang tinggi.
4) Isu adanya CRS adalah tidak benar, karena yang terjadi sesungguhnya Dr. Ho Man Kwok hanya menulis surat pribadi kepada redaksi majalah kedokteran The New England Journal (bukan laporan) yang isinya menceritakan pengalaman pribadinya setelah makan di restoran China ia merasa mual, kaku pada leher, dan pening, lalu ia menduga-duga penyebabnya mungkin rempah-rempah, arak China atau MSG. Jadi ia tidak memastikan bahwa keluhannya itu disebabkan adanya MSG.
b. Isu MSG Mengandung Minyak Babi
Isu ini sempat mencuat dan menimbulkan keresahan di masyarakat. Seperti kita ketahui, pembuatan MSG diawali dengan mengambil asam glutamat dari bahan seperti gandum, jagung atau molase. Asam glutamat terbentuk dengan melarutkan bahan-bahan tersebut ke dalam HCl hingga pH 3,2 sehingga terbentuk kristal secara lambat. Hasilnya dinetralisasi dengan NaOH atau Na2CO3, dekolorisasi dan dikristalisasi hingga jadilah vetsin (MSG) yang berupa kristal putih.
Perubahan dari bahan nabati tersebut menjadi asam glutamat melalui proses peragian (fermentasi) dimana bakteri (starter) yang bertugas dalam perubahan tersebut membutuhkan media hidup. Diisukan bahwa dalam media tersebut ditambahkan minyak babi untuk memberikan rasa yang sedap adalah tidak benar, karena rasa sedap MSG disebabkan MSG mampu menstimulasi sel reseptor pada lidah untuk lebih peka, sehingga kita dapat menikmati rasa lebih baik. Berdasarkan penelusuran, isu tersebut juga muncul karena MSG yang dijual dengan kadar 100% juga ditambahkan penguat rasa guanilat dan inosinat. Guanilat ini juga dapat dijumpai dalam jumlah kecil di daging babi, tetapi bukan berarti MSG mengandung minyak babi. Hal inilah yang diartikan dan dikemukakan salah oleh orang-orang yang tidak memahami konsep dengan benar.
Berbicara masalah haram dan halal, kita semua tidak tahu darimana asal unsur-unsur yang ada di alam (ada 92 unsur). Salah satu keunikan ilmu kimia adalah ketika unsur-unsur bergabung membentuk senyawa, maka sifat unsur asalnya sudah tidak akan muncul lagi. Hal ini berarti senyawa-senyawa yang terbentuk di alam ini membentuk sifat baru. Bagaimana sifat baru dari senyawa yang terbentuk merupakan kajian yang dipelajari dalam ilmu kimia. Minyak babi adalah salah satu bentuk campuran berbagai senyawa dimana kita semua tidak mengetahui senyawa manakah yang menjadikan minyak babi haram untuk dikonsumsi. Kita menyatakan haram mendasarkan pada ajaran agama karena dianggap minyak babi merupakan media yang baik untuk tumbuhnya berbagai organisme yang berbahaya bagi kesehatan, bukan karena senyawa yang terkandung dalam minyak babi. Dengan demikian isu-isu tentang haram dan halalnya suatu jenis produk makanan atau minuman harus selalu dikaji secara cermat dan mendalam agar tidak meresahkan masyarakat.
c. Isu Formalin sebagai Pengawet Makanan
Formalin merupakan bahan kimia yang terdiri dari 37% formaldehida dan 7 - 15% metanol dalam air, biasanya digunakan sebagai reagensia, bahan penghilang bau untuk sumbu lampu dan lilin, untuk mengawetkan contoh biologi (preparat) atau mengawetkan mayat, bukan mengawetkan makanan. Formaldehida adalah zat yang pada suhu kamar berwujud gas yang tidak berwarna dan berbau menyengat, mudah disimpan / diangkut sebagai larutan.
Adanya isu penggunaan formalin sebagai pengawet untuk beberapa jenis makanan, seperti bakso, tahu, mie, ikan segar, dan ikan asin membuat masyarakat menjadi resah. Apalagi isu ini diangkat di media elektronik (televisi) dengan kemasan acara yang semakin meresahkan, bukan memberikan solusi yang dapat menenangkan pikiran masyarakat.
Seharusnya guru kimia berperan kembali dan tampil sebagai penenang hati masyarakat yang sedang resah. Formalin mengandung formaldehida (metanal) dan metanol, maka guru kimia dapat mengaitkan isu formalin pada pembelajaran tentang senyawa turunan alkana, khususnya mengenai Aldehida / Alkanal dan Alkohol / Alkanol.
Guru kimia dapat menjelaskan mulai dari sifat formaldehida dan metanol, ciri-ciri makanan yang diisukan mengandung formalin, sampai pada identifikasi menggunakan bahan kimia dan cara antisipasi agar efek buruk makanan yang mengandung formalin tidak berakibat fatal bagi kesehatan masyarakat.
Guru kimia dapat menginformasikan ciri-ciri dan cara mengidentifikasi makanan yang mengandung formalin agar masyarakat dapat mengenali dengan mudah. Cara mengidentifikasi adanya formalin dalam makanan dapat dilakukan menggunakan Test Strip Serim (kertas indikator) atau dengan larutan formates yang sudah dikembangkan oleh Fakultas Farmasi unversitas Pancasila Jakarta.
Guru dapat juga menambahkan wawasan lain kepada peserta didik tentang bahan kimia lain yang masih berkaitan dengan formalin, yaitu boraks. Boraks adalah senyawa kimia yang memiliki banyak nama, yaitu natrium tetraborat / natrium biborat / natrium piroborat dengan rumus kimia H3BO3. Boraks berbentuk kristal lunak, bersifat antiseptik, dan mudah larut dalam air menjadi natrium hidroksida dan asam borat. Tujuan penambahan boraks dalam makanan agar makanan menjadi lebih awet, empuk, kenyal, dan memiliki cita rasa yang enak adalah tidak dibenarkan mengingat sifat yang sesungguhnya dari boraks sebagai antiseptik (boorwater / obat cuci mata dan pengawet kayu) dan dapat terurai menjadi basa kuat, bukan untuk dimakan. Dengan informasi ini, maka peserta didik akan dapat menginformasikan kepada orang-orang di sekitarnya untuk tidak menggunakan boraks dalam makanan. Tidak kalah pentingnya guru juga memberikan solusi pengganti pengawet makanan yang tidak berbahaya, seperti cengkeh, kayu manis, asam askorbat, asam cuka (F. G. Winarno, 2002).
d. Isu Bahan Kimia Berbahaya
Sebagai guru kimia harusnya peka dan tanggap dengan isu ini. Setiap kali masyarakat mendengar kata bahan kimia selalu yang ada di benaknya sesuatu yang berbahaya dan beracun, bahkan mematikan. Hal ini terjadi, karena yang ada di benak setiap orang ketika mendengar kata bahan kimia langsung berpikir pada berbagai hal yang mengerikan, seperti bom atom, senjata kimia, racun, gas berbahaya. Namun seharusnya ini tidak terjadi di benak guru-guru kimia, karena mereka memiliki dasar ilmu tentang kimia.
Coba sekarang kita contohnya tentang pupuk. Ketika mendengar tentang pupuk buatan yang terpikir di kepala kita adalah pasti berbahaya bagi kehidupan, karena mengandung zat-zat kimia. Coba pikirkan, apakah kalau pupuk alami (misal pupuk kandang) tidak mengandung zat kimia ? Baik pupuk buatan maupun pupuk alami keduanya terdiri dari zat-zat kimia, hanya bedanya pada pupuk buatan zat-zat kimia yang merupakan zat hara yang berguna bagi pertumbuhan tanaman jumlahnya banyak sedangkan pupuk alami sedikit. Kandungan zat hara yang banyak inilah yang kemudian jika ditambahkan berlebihan berbahaya bagi lingkungan dan pertumbuhan tanaman, bahkan mungkin tanaman menjadi layu dan mati. Hal ini karena setiap tanaman membutuhkan tempat tumbuh dengan pH dan kebutuhan zat hara yang berbeda-beda. Beda dengan pupuk alami yang mengandung sedikit zat hara, tidak akan membahayakan pertumbuhan tanaman dan lingkungan jika berlebihan.
Contoh lainnya adalah kontroversi jamu dan obat. Jamu yang terbuat dari bahan alam dikatakan tidak berbahaya bagi kesehatan karena tidak mengandung zat kimia. Benarkah itu ? Senyawa aktif pada bahan alam yang digunakan sebagai jamu adalah zat kimia, namun memang tingkat bahayanya relatif kecil karena kadar zat aktif yang terkandung di dalamnya juga relatif kecil. Beda dengan obat yang memang disintesis dari zat-zat kimia tertentu sesuai dosis yang ditetapkan. Oleh karena kandungan zat aktif dalam obat relatif besar, maka efek sampingnya terhadap kesehatan jika tubuh tidak mampu menetralisir juga akan besar. Informasi penting yang harus disampaikan guru kepada peserta didik adalah bahwa semua materi yang ada di dunia ini mengandung zat kimia.
e. Isu Merkuri dalam Kosmetik
Isu ini tidak kalah hebohnya dengan isu yang lain. Cantik adalah dambaan setiap wanita dan harapan setiap pria, bukan ? Oleh karena itu wanita terutama, akan berusaha sekuat tenaga untuk selalu dapat tampil cantik dengan berbagai cara. Kemajuan TIK telah membelenggu dan memprovokasi wanita untuk dapat menjadi seperti yang ditayangkan di iklan-iklan. Salah satu produk yang bombatis dan diminati wanita adalah skin whitening. (krim pemutih). Produk ini menawarkan perubahan kulit menjadi putih mulus dalam selang waktu yang sangat singkat (kurang dari 1 bulan).
Namun tiba-tiba jenis produk ini diisukan mengandung merkuri yang berbahaya bagi kulit, karena merkuri (raksa) dapat memicu timbulnya keracunan karena merkuri mudah diserap masuk ke dalam darah, lalu memasuki sistem saraf tubuh dan mengendap di bawah kulit, sehingga setelah bertahun-tahun kulit akan biru kehitaman bahkan dapat memicu timbulnya kanker. Oleh karena itulah keberadaan merkuri dalam kosmetika dilarang keras, karena membahayakan kesehatan pemakai.
Sebagai guru kimia kita dapat memberikan penjelasan kepada peserta didik bagaimana cara mudah mengidentifikasi adanya merkuri dalam kosmetika dengan menggunakan metode amalgam, yaitu mencelupkan / menancapkan lempeng tembaga (dapat mengambil tembaga yang ada dalam kabel) selama 1 – 2 jam. Jika tembaga berubah menjadi keperak-perakan, itu berarti krim pemutih tersebut positif mengandung merkuri.
KESIMPULAN
Era globalisasi menuntut peningkatan profesional guru kimia, khususnya dalam menyikapi berbagai kemajuan IPTEK, termasuk di dalamnya profesional dalam menjalankan tugas dan perannya sebagai pelaku pendidikan dan sekaligus bagian dari masyarakat intelektual. Salah satu wujud nyatanya, guru diharapkan mampu menerapkan pendekatan dan metode pembelajaran baru yang dipandang sesuai dengan nuansa dan esensi kurikulum yang berlaku. Banyaknya isu yang terekspose di masyarakat melalui kecanggihan TIK menuntut guru kimia untuk mampu tampil sebagai “pahlawan” dalam menenangkan keresahan masyarakat, sekaligus sarana bagi guru dalam mengembangkan ilmunya. Jika pembelajaran kontekstual kimia berbasis kontroversi isu yang berkembang di masyarakat ini dapat terimplementasi dengan baik secara terus menerus, maka citra dan martabat guru semakin gemilang.
REFERENSI
Anonim. (2007). Provokasi DR. drh. Iwan Budiarso tentang bahaya MSG / vetsin. Jakarta : Layanan Masyarakat P2MI.
_______ (2008). MSG : aman dan halal, informasi dan tanya jawab. Jakarta : Layanan Masyarakat P2MI.
Aldrin E. Sweeney & Jeffrey A. Paradis. (2003). Addressing the professional preparation of future science teachers to teach hands – on science : a pilot study of a laboratory model. 80 (2), 171 – 173.
Amy J. Phelps & Cherin Lee. (2003). The power of practice : what students learn from how we teach. Journal of Chemical Education, 80 (7), 829 – 832.
Ball, D. L. (1988). Unlearning to teach mathematics. East Lansing : Michigan State University, National Center for Research on Teacher Education.
Brown, T. L., LeMay, H. E. Jr., & Bursten, B. E. (1991). Chemistry the central science. Englewood Cliffs, N. J. : Prentice Hall.
Conny Semiawan, dkk. (1992). Pendekatan keterampilan proses, bagaimana mengaktifkan siswa dalam belajar. Jakarta : Gramedia.
Constance Blasie & George Palladino. (2005). Implementing the professional development standards : a research department’s innovative masters degree program for high school chemistry teachers. Journal of Chemical Education. 82 (4), 567 – 570.
Elaine B. Johnson. (2002). Contextual teaching and learning. California : Corwin Press, Inc.
F. G. Winarno. (2002). Kimia pangan dan gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
John W. Hansen & Gerald G. Lovedahl. (2004). Developing technology teachers : questioning the industrial tool use model. Journal of Technology Education. 15 (2), 20 – 32.
No comments:
Post a Comment