TB Ekstraparu
Standar 3. Bagi seluruh pasien (dewasa, remaja, anak) yang dicurigai memiliki tuberkulosis ekstrapulmoner, spesimen yang tepat dari tempat yang dicurigai harus diambil untuk pemeriksaan mikroskopis, kultur, maupun histopatologi.
Dari urutan terjadinya, tuberkulosis ekstrapulmoner paling banyak terjadi di nodus limfa, pleura, sistem genitourinaria, tulang dan sendi, meninges, peritoneum, dan perikardium. Secara singkat tuberkulosis ekstrapulmoner diterangkan sebagai berikut:1
Limfadenitis tuberkulosis dicirikan dengan pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri (pada umumnya servikalis posterior dan supraklavikular).
Tuberkulosis pleura dapat bermanifestasi mulai dari efusi yang kecil, hingga efusi besar sehingga menimbulkan nyeri pleura dan dispnu. Pemeriksaan fisik menunjukkan efusi pleura (redup pada perkusi, suara napas menghilang). Jenis efusi perlu ditentukan dengan melakukan pungsi pleura. Dapat pula terjadi empiema tuberkulosis yang lebih jarang, pada umumnya disebabkan oleh ruptur kavitas.
Tuberkulosis saluran napas atas merupakan komplikasi dari tuberkulosis paru dengan kavitasi. Tuberkulosis jenis ini melibatkan laring, faring, dan/atau epiglotis sehingga memunculkan gejala serak, disfonia, dan disfagia disertai dengan batuk produktif.
Tuberkulosis genitourinaria dapat menimbulkan gejala frekuensi, disuria, nokturia, hematuria, serta nyeri abdomen.
Tuberkulosis sistem muskuloskeletal mengenai tulang dan sendi, dan patogenesisnya terkait dengan reaktivasi dari fokus hematogen dan penyebaran melalui nodus limfa paravertebra. Dapat pula mengenai vertebra sehingga terkena tuberkulosis spinal (Pott’s disease atau spondilitis tuberkulosis).
Tuberkulosis meningitis dan tuberkuloma
Tuberkulosis perikardial akibat ekstensi langsung nodus limfa mediastinal atau hilus.
Kejadian tuberkulosis ekstrapulmoner dapat terjadi sekitar 15-20% pada populasi yang prevalensi HIV-nya rendah. Kejadian ini akan semakin meningkat dengan tingginya prevalensi infeksi HIV. Sebagaimana yang diketahui bahwa tuberkulosis merupakan infeksi poportunistik tersering pada ODHA di Indonesia. Tuberkulosis paru adalah jenis tuberkulosis yang paling banyak ditemukan pada ODHA, sedangkan tuberkulosis ekstrapulmoner sering ditemukan pada ODHA dengan hitung CD4 yang lebih rendah.5,6
Untuk mendiagnosis tuberkulosis ekstrapulmoner, sampel perlu didapakan dari tempat-tempat yang cenderung sulit, sehingga konfirmasi bakteriologis tuberkulosis ektrapulmoner menjadi lebih sulit dibandingkan tuberkulosis paru. Selain itu terdapat kecenderungan jumlah mikroorganisme M. tuberculosis pada situs ekstrapulmoner lebih sedikit sehingga pemeriksaan mikroskopis basil tahan asam (BTA) menjadi lebih sulit. Sebagai contoh, pemeriksaan cairan pleura pada pleuritis tuberkulosis hanya berhasil menemukan BTA pada sekitar 5-10% kasus, dan temuan sama rendahnya pada meningitis tuberkulosis. Mengingat fakta ini, kultur dan pemeriksaan histopatologi terhadap jaringan (misal: biopsi jarum halus nodus limfa) menjadi penting sebagai alat diagnostik.1
Pemeriksaan foto toraks juga sebaiknya silakukan untuk mengetahui adanya TB paru atau TB milier bersamaan dengan TB ekstraparu. Pada pasien anak, bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan dahak.
DAFTAR PUSTAKA
- Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International Standards for Tuberculosis Care (ISTC). 2nd ed. The Hague: Tuberculosis Coalition for Technical Assistance, 2009.
- Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta: Depkes RI; 2007
- Frieden TR, ed. Toman’s tuberculosis. Case detection, treatment and monitoring, 2nd Edition. Geneva: World Health Organization, 2004: 46–50.
- Petunjuk Pengambilan Sputum TB. Diunduh dari http://public.health.oregon.gov/DiseasesConditions/CommunicableDisease/Tuberculosis/Documents/patiented/sput/sputIND.pdf (8 November 2012, 19.00 WIB)
- Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal medicine. 18th edition. New York: McGraw Hill; 2012
- Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z. Infeksi oportunistik pada aids. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta; 2005
No comments:
Post a Comment