Friday, June 14, 2013

Penemuan Foto Toraks pada Diagnosis TB

Penemuan Foto Toraks pada Diagnosis TB 
Standar 4. Semua pasien dengan temuan radiografi thoraks mengarah kepada TB harus dilakukan uji sputum mikrobiologi. 

Radiografi thoraks merupakan uji yang sensitif namun tidak spesifik untuk mendeteksi TB sehingga diagnosis TB tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan radiografi, namun dapat dipakai untuk mengidentifikasi seseorang untuk evaluasi TB lebih lanjut. Apabila radiografi dipakai sebagai satu-satunya alat diagnostik untuk TB, dapat terjadi over-diagnosis maupun missed diagnosis.1 

Radiografi thoraks berguna untuk mengevaluasi pasien dengan suspek TB namun BTA negatif untuk mencari bukti untuk TB paru dan untuk mengidentifikasi kelainan lain yang dapat menyebabkan gejala.1 

Pemeriksaan standar menggunakan foto toraks PA. Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB aktif adalah:1,2 
Bayangan berawan atau noduler pada segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah 
Kavitas (terutama lebih dari satu) yang dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular. 
Bayangan bercak milier 
Efusi pleura, umumnya unilateral 

Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif yaitu:1,2 
Fibrotik 
Kalsifikasi 
Schwarte atau penebalan pleura 

Gambaran radiologi pada luluh paru yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat yaitu atelektasis, ektasis atau multikavitas, serta fibrosis parenkim paru.1 

BTA Negatif 
Standar 5. Diagnosis tuberkulosis paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan kriteria berikut : minimal pemeriksaan dahak mikroskopik 3 kali negatif (termasuk minimal 1 kali dahak pagi hari); temuan foto toraks sesuai tuberkulosis dan tidak ada respons terhadap antibiotika spektrum luas (Catatan : fluorokuinolon harus dihindari karena aktif terhadap M.tuberculosis complex sehingga dapat menyebabkan perbaikan sesaat pada penderita tuberkulosis). Untuk pasien ini, jika tersedia fasiliti, biakan dahak harus dilakukan. Pada pasien yang diduga terinfeksi HIV evaluasi diagnostik harus disegerakan. 

Diagnosis tuberkulosis paru dengan hasil apusan dahak negatif dapat ditegakkan berdasarkan kriteria berikut : 
Minimal 2 kali hasil pemeriksaan mikroskopis sputum negatif (termasuk minimal 1 kali spesimen sputum pagi hari) 
Hasil temuan radiologis sesuai dengan gambaran tuberkulosis 
Tidak ada respon terhadap antibiotika spektrum luas (tidak termasuk pengobatan anti TB dan fluroquinolon)1,2 

Pada pasien seperti kriteria diatas harus dilakukan kultur sputum untuk memperjelas diagnosis tuberkulosis. Kultur lebih dipilih karena sifatnya lebih sensitif, 100 organisme / ml sputum sudah cukup untuk menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Namun kekurangannya adalah biaya yang cukup mahal, teknik yang lebih kompleks, dan memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan hasil. Meskipun hasil kultur belum tersedia, keputusan untuk memulai terapi anti TB dapat diambil, terlebih untuk pasien dengan tuberkulosis berat (misal disertai infeksi HIV). Terapi dapat dihentikan jika terbukti hasil kultur dahak negatif, pasien tidak memberikan respon secara klinis, dan terdapat bukti yang mendukung diagnosis banding.1 

Pada pasien yang hasil pemeriksaan apusan dahaknya negatif minimal 2 kali dengan perjalanan penyakit serta gejala yang kurang khas untuk TB, wajar jika dipertimbangkan kemungkinan adanya penyakit lain yang mendasari. Namun hal tersebut juga tidak menutup kemungkinan adanya tuberkulosis. Misalnya saja pada pasien dengan infeksi HIV. Karena sistem imun yang memburuk, biasanya pasien TB dengan HIV menunjukkan hasil BTA negatif. Namun hal-hal seperti ini kadang meragukan sehingga muncullah berbagai diagnosis banding yang justru mengarah pada kesalahan diagnosis. Salah diagnosis, baik over maupun under-diagnosis seringkali menyebabkan perburukan penyakit karena tatalaksana yang tidak tepat atau kurang cepat. Oleh karena itu, WHO mengambangkan suatu algoritma yang tujuannya memudahkan penegakan diagnosis untuk pasien dengan hasil apusan dahak negatif. Perlu diingat bahwa alur di dalam algoritma tidak selalu berjalan satu demi satu sesuai tahapan. Beberapa pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologi, uji antibiotic, ataupun kultur dapat dilakukan secara paralel dalam satu waktu yang sama.1 

Terdapat beberapa poin penting yang harus diperhatikan dalam mengaplikasikan algoritma di bawah ini, antara lain : 
  1. Proses untuk menyelesaikan seluruh tahapan tersebut memakan waktu yang lama, sehingga tidak dianjurkan bagi pasien yang mengalami perburukan penyakit dengan cepat. Misalnya saja pada pasien dengan infeksi HIV atau infeksi lainnya yang menyebabkan tuberkulosis berkembang secara progresif. 
  2. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebagian pasien tuberkulosis mungkin memberi respon terhadap antibiotik spektrum luas. Hal ini seringkali menyamarkan gejala sehingga penegakkan diagnosis tuberkulosis ditunda. Selain itu, pemberian flurokuinolon juga sering menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis dan terapi TB. Flurokuinolon bekerja aktif pada kompleks M. tuberculosis sehingga dapat menyebabkan perbaikan. 
  3. Penegakkan diagnosis berdasarkan algoritma diatas memakan biaya yang cukup mahal, sehingga penerapannya harus sangat efisien. Pemeriksaan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial ekonomi pasien.1 
Pemeriksaan kultur sangat dibutuhkan untuk memastikan diagnosis pada kasus hasil apusan dahak negatif. Metode tradisional yang biasa digunakan yaitu menggunakan medium padat seperti Lowenstein-Jensen dan Ogawa. Namun terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri di medium padat pada umumnya lebih lambat dan kurang sensitif dibandingkan medium cair sehingga dikembangkanlah sistem medium cair seperti BACTEC® dan MGITT®. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mendeteksi pertumbuhan mikobakterium dengan metode konvensional Lowenstein-Jensen sekitar 40 hari (rentang : 30-56 hari). Sedangkan dengan metode MGITT®, rata-rata hanya dibutuhkan waktu 21 hari (rentang : 4-53 hari). Prinsip kerja BACTEC® adalah memanfaatkan karbondiaoksida radioaktif untuk mendeteksi pertumbuhan bakteri. Sedangkan MGITT® menggunakan sensor fluorescent yang ditanam pada bahan dasar silikom sebagai indikator pertumbuhan mikobakterium tersebut.1,2 

Pada bulan Juni 2008, WHO juga merekomendasikan molecular line-probe assays sebagai uji screening cepat pada pasien MDR-TB. Namun pemeriksaan ini bukanlah pemeriksaan utama, sistem kultur sputum tetap menjadi pilihan pertama bagi pasien dengan apusan dahak negatif. Sedangkan pada pasien yang dicurigai MDR-TB, uji sensitifitas antibiotik tetap menjadi pilihan.1 

Pemeriksaan lainnya, misalnya dengan metode nucleic acid amplification tests (NAATs) juga sudah dikembangkan. Metode ini mempurifikasi, membuat konsentrat dan amplifikasi (dengan real time PCR) dan mengidentifikasi sekuens asam nukleat pada genom TB. Walaupun hasil didapatkan dalam waktu singkat (sekitar 1-2 jam), hasil negatif tidak dapat mengeksklusi keberadaan tuberkulosis sehingga NAATs tidak dapat dijadikan pemeriksaan rutin pada kasus apusan dahak negatif.1,2 

Radiologi juga memiliki peranan penting dalam diagnosis kasus TB. Pada beberapa area yang menyediakan fasilitas radiologi, chest X-ray dilakukan sebelum uji sputum. Namun hal yang perlu diingat adalah penegakkan diagnosis TB tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan 1 modalitas.1

Daftar Pustaka 
  1. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International Standards for Tuberculosis Care (ISTC). 2nd ed. The Hague: Tuberculosis Coalition for Technical Assistance, 2009. 
  2. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta: Depkes RI; 2007 
  3. Frieden TR, ed. Toman’s tuberculosis. Case detection, treatment and monitoring, 2nd Edition. Geneva: World Health Organization, 2004: 46–50. 
  4. Petunjuk Pengambilan Sputum TB. Diunduh dari http://public.health.oregon.gov/DiseasesConditions/CommunicableDisease/Tuberculosis/Documents/patiented/sput/sputIND.pdf (8 November 2012, 19.00 WIB) 
  5. Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal medicine. 18th edition. New York: McGraw Hill; 2012 
  6. Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z. Infeksi oportunistik pada aids. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta; 2005

No comments:

Post a Comment