Tuesday, July 9, 2013

Etika bisnis

Etika bisnis 
Sorotan terhadap perkembangan sosial ekonomi belakangan semakin marak. Meskipun tak secara terang-terangan, jelas masalah yang hendak dikemukakan adalah praktek dunia usaha yang tak sehat. Membiarkan persoalan moral yang sering dianggap oleh umum sebagai tindakan “sok suci”, belakangan mulai bisa dipahami. Banyak seminar, tulisan serta komentar-komentar para cendekiawan mengenai topik-topik krisis moral: korupsi, kolusi, oligopoli, manipulasi dan sebagainya. Bahkan, kini bermunculan lembaga-lembaga sosial yang secara spesifik menangani personal etika, seperti etika bisnis dan etika profesi. 

Fenomena ini menandai adanya suatu kesadaran untuk mencari alternatif solusi persoalan sosial di luar pertimbangan material dan rasional semata, tetapi juga pertimbangan-pertimbangan etik. Orang mulai percaya bahwa krisis politik, ekonomi lingkungan hidup, seta budaya seperti belakangan kita hadapi, bukan saja karena kesalahan epistemologi dan manajemen, tetapi justru berakar pada sikap mental manusia sebagai pelaku. Misalnya, menurut pengamat asing krisis moneter sekarang ini disebabkan oleh melemahnya kepercayaan pasar terhadap perekonomian kita yang salah satunya tidak transparan. 

Atas dasar keprihatinan semacam itulah barangkali belakangan ini kita melihat upaya-upaya mencair rumusan-rumusan etika kontemporer yang lebih tepat. 

1. Pengertian Etika dan Akhlak 
Meskipun telah lama etika menjadi bidang kajian dalam filsafat, tetapi bagi kebanyakan orang – baik dari kalangan umum maupun para sarjana sekalipun – masih sering kacau menggunakan istilah etika, moral dan etiket. Demikian pula di kalangan kaum muslimin, istilah akhlak, adab dan adat. Lebih kacau lagi jika istilah-istilah itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi budi pekerti, sopan santun dan tata krama (ketiga istilah Indonesia ini sungguh mempersempit makna etika atau akhlak). 

Istilah etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan istilah moral dari kata mores juga berarti adat kebiasaan, hanya yang terakhir ini bukan berasal dari bahasa Yunani tetapi dari bahasa Latin. Karena secara etimologi mempunyai arti yang sama dan dalam kenyataan sering disamakan penggunaannya. Kedua istilah tersebut oleh sebagian ahli tidak dibedakan secara tegas. Mengikuti pendapat beberapa ahli, selanjutnya dapat dibedakan arti etika menjadi tiga : 
1. Nilai-nilai dan norma-norma modal sebagai landasan perilaku. 
2. Kumpulan azas atau nilai moral atau kode etik 
3. Ilmu tentang baik buruk sebagai cabang filsafat 

Etika merupakan ilmu tentang norma-norma, nilai-nilai dan ajaran moral, sedangkan moral adalah rumusan sistematik terhadap anggapan-anggapan tentang apa yang bernilai serta kewajiban-kewajiban manusia. 

Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan kenyataan tidak terlalu dapat dibedakan pengertian etika dan moral, tetapi menegaskan arti etika bisa berarti ilmu tentang baik buruk dan bisa juga norma, nilai serta ajaran moral itu sendiri. Adapun istilah etiket (etiquette) berarti tata cara suatu perbuatan yang bersifat teknis, relatif, dan lahiriyah, serta menyangkut hubungan pergaulan (tata krama). Misalnya, tata krama makan dalam pesta. 

Lalu bagaimana istilah-istilah yang berlaku umum di atas disamakan dengan akhlak dan adab dalam Islam. 

Kata akhlak berasal dari bentuk jama’ bahasa Arab Khuluq yang berarti budi pekerti atau perangai. Dalam kebanyakan literatur Islam, akhlak diartikan dalam dua macam: 
  1. pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk, tujuan perbuatan, seta pedoman yang harus diikuti 
  2. Pengetahuan yang menyelidiki perjalanan hidup manusia sebagai parameter perbuatan, perkataan serta ikhwal kehidupannya. 
  3. Suatu sifat permanen pada iri orang yang melahirkan perbuatan secara mudah tanpa membutuhkan proses berpikir 
  4. Sekumpulan nilai-nilai yang menjadi pedoman berperilaku dan berbuat. 
Dari definisi akhlak di atas dapat disimpulkan beberapa hal berikut : 
  1. Akhlak merupakan falsafah perbuatan yang membahas dasar-dasar baik buruk. Dengan pengertian ini, akhlak termasuk dalam kategori ilmu normatif. 
  2. Sebagai ilmu, akhlak mengadakan penelitian (deskripsi) tentang berbagai bentuk perilaku manusia untuk dijadikan landasan penilaian baik buruk atas dasar norma yang berkembang dalam tradisi Islam. Pada tataran ini, akhlak dapat dimasukkan dalam kategori ilmu positif seperti sosiologi. 
  3. Disisi lain akhlak berarti ilmu dan falsafah yang bersifat teoritis, tetapi juga bentuk-bentuk tindakannya lahir dari sebuah kesadaran nilai yang bersifat praktis. 
Adapun istilah adab dapat disamakan dengan istilah etiket. Sementara itu istilah akhlak secara umum dapat disamakan (meski tidak sama persis) dengan istilah etika. Meskipun secara akademik telah dijelaskan demikian terperinci, namun arti akhlak dalam realitas digunakan secara fleksibel bahkan cenderung kacau. 

Kegagalan etika bisnis bukan terletak pada ketidaktahuan atau keengganan para pelaku bisnis untuk menyelenggarakan bisnis secara etis 9faktor internal), melainkan terletak pada faktor eksternal. Hal ini disebabkan oleh dua hal berikut : 
  1. Pertama, konsep normatif yang kaku sarat dengan rambu-rambu moralitas, yang menjadi kendala bagi praktek bisnis di lapangan. 
  2. Kedua, lingkungan bisnis yang tak kondusif bagi berlakunya bisnis secara etis. Ini mudah dipahami, karena bisnis adalah kegiatan yang terfokus pada uang, efisiensi dan ekspansi. Karena itu demi eksistensi dan kemapanan, setiap, pelaku bisnis akan menghalalkan segala cara. 
Manusia adalah makhluk berbudi, oleh karena itu segala kegiatan yang bebas nilai memerlukan budi nurani manusia yang disebut kata hati. Maka istilah etika bisnis mengandung arti memberi nilai pada kegiatan bisnis. Contohnya hasil produksi tertentu harus melalui perjalanan panjang sebelum sampai ke konsumen. Pada sistem ekonomi tradisional, perjalanan itu dibuat singkat karena ada hubungan langsung antara konsumen dan produsen. 

Demikian pula, penjaja keliling dapat berhubungan langsung dengan pelanggan. Mereka berbisnis tanpa iklan, distributor, serta agen. Dalam skala yang lebih luas, muncul ekonomi pasar tradisional dengan transaksi yang sangat sederhana: cash and carry. Meskipun berlangsung unsur tipu menipu, kegiatan ekonomi ini dilakukan dengan sangat transparan karena yang berusaha menipu dan yang berkelit untuk tak ditipu mengetahui medan masing-masing. Tak jarang, “perang tanding hara” alias pelanggan. Hubungan langsung antara konsumen dan produsen itulah yang memberi nilai pada kualitas dagang dan akhirnya menentukan harga pasar. 

Tipu menipu memang dipandang sebagai nilai yang menyimpang. Tetapi dalam konteks perdagangan tradisional, kegiatan tipu menipu menjadi lain sebab ada semacam kesepakatan tak tertulis bahwa “harga yang saya tawarkan” bukanlah harga yang sebenarnya. Karenanya, pedagang pun rela jika harga barangnya ditawar. Biasanya harga pasarlah yang paling menentukan. Keterbukaan inilah yang masih dapat ditoleransi oleh prinsip etika ekonomi terapan. 

Apa yang terjadi dengan sistem ekonomi sekarang? Semua transaksi berujung pada pernyataan-pernyataan di atas kertas perjalanan panjang sebuah produk dari produsen ke konsumen harus melewati beberapa “terminal” yang memerlukan ongkos. Ketika barang sampai di tangan konsumen, harga menjadi dua kali lipat. Konsumen menjadi korban sistem. Uang bukan lagi sebagai alat tukar menukar, melainkan sebagai senjata ampuh untuk mengalahkan lawan dan tujuan hidup. 

Tragedi ilmu ekonomi adalah: ia lahir untuk keadilan masyarakat, tetapi justru tumbuh dan berkembang untuk ketidakadilan. Persoalannya, apakah kita mampu melihat dan membiarkan proses ekonomi berjalan bukan saja bebas nilai, melainkan juga menjadi tak etis karena manusia mencampurinya dengan nilai yang tak manusiawi. 

Untuk menjadi masyarakat abad ke-21, ada dua agenda yang harus kita lakukan. Pertama, mencair strategi penyebaran tindakan etis agar etika bisnis menjadi konsensus nasional. Kedua, merekayasa budaya etika bisnis Indonesia, yang mencakup kepentingan pengusaha, konsumen, pengguna jasa, pekerja, dan lingkungan demi masa depan yang cerah. Dengan demikian, etika bisnis perlu berperan sebagai mitos baru bukan sekedar rambu-rambu moralitas. 

Bisnis merupakan ujung tombak pengembangan. Dengan sendirinya, bagi bangsa Indonesia yang tengah mempersiapkan diri menghadapi tahun 2003, bisnis menjadi the flying carpet seperti dalam cerita 1001 malam yang diharapkan dapat membawa bangsa menuju abad 21. Oleh karena itu sosialisasi etika bisnis merupakan suatu keperluan yang tak dapat ditunda. 

Semua unsur masyarakat perlu terlibat agar dapat berfungsi secara serentak sebagai kontrol sosial demi terselenggaranya praktek bisnis yang etis. Tanpa etika bisnis, kita akan terbawa oleh “permadani terbang” tersebut ke suatu tempat antah berantah dan bisa jadi kita akan berjatuhan.

No comments:

Post a Comment