KEBIJAKAN SOSIAL DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAAT:
PERSPEKTIF PEKERJAAN SOSIAL
ABSTRACT
This paper
discusses relation between social policy and community development. It
basically addresses three paramount questions: Why community development needs
to involve social policy? What are the roles of policy makers in community
empowerment programmes? What capacities needed by the policy actors in performing their mandate? After
highlighting concepts of community development and community organisations,
this article then identifies community development tragedies delineating the
importance of social policy. Finally, roles and competencies of policy actors conclude
this paper.
Key words:
social policy, community development, social work
PENDAHULUAN
Banyak disiplin
mengklaim memiliki keahlian dalam bekerja dengan individu, keluarga dan
kelompok. Namun, hanya sedikit profesi yang memfokuskan pada keberfungsian
klien dalam konteks organisasi, masyarakat dan kebijakan, salah satunya adalah pekerjaan
sosial
(Social Work). Sebagaimana dinyatakan Netting et al. (2004),
dalam perspektif pekerjaan
sosial
konsep “orang-dalam-lingkungan” bukan sekadar slogan yang membuat para pekerja
sosial
perlu menyadari pengaruh-pengaruh lingkungan, melainkan, memberi pesan
jelas bahwa dalam kondisi tertentu perubahan sosial hanya bisa dicapai melalui
pengubahan lingkungan dan bukan pengubahan orangnya.
Oleh karena itu,
meskipun pengembangan
masyarakat
(PM) seringkali didasari oleh kebutuhan dan isu-isu yang berkaitan dengan
kehidupan individu dan kelompok pada area lokal, PM yang
berkelanjutan menekankan pentingnya strategi-strategi kebijakan sosial
yang beroperasi melebihi pendekatan-pendekatan individu dan kelompok.
PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Disiplin pekerjaan
sosial
menetapkan bahwa PM adalah bagian dari strategi praktik pekerjaan
sosial
makro. Beberapa frase lain yang sering dipertukarkan dengan PM
antara lain: Community Organizing
(CO), Community Work, Community Building,
Community Capacity Building, Community Empowerment, Community Participation,
Ecologically Sustainable Development, Community Economic Development,
Asset-Based Community Development, Faith-Based Community Development, Political
Participatory Development, Social Capital Formation, dst. (Suharto 2006; 2007).
Di
jagat pekerjaan sosial, PM seringkali didefinisikan sebagai proses penguatan masyarakat yang
dilakukan secara aktif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip keadilan sosial,
partisipasi dan kerjasama yang setara (Suharto 2008; Suharto 2006; Ife 1995;
Netting et al. 1993; DuBois dan Milley 1992). PM adalah strategi pekerjaan sosial
dengan mana anggota masyarakat didorong agar memiliki kepercayaan diri dan
kemampuan untuk memperbaiki kehidupannya. Target utama PM pada umumnya adalah
kelompok miskin dan lemah yang tidak memiliki akses kepada sumber pembangunan,
meskipun tidak menafikan kelompok lain untuk berpartisipasi.
Tujuan
utama PM adalah memberdayakan individu-individu dan kelompok-kelompok orang
melalui penguatan kapasitas (termasuk kesadaran, pengetahuan dan
keterampilan-keterampilan) yang diperlukan untuk mengubah kualitas kehidupan
komunitas mereka. Kapasitas tersebut seringkali berkaitan dengan penguatan aspek
ekonomi dan politik melalui pembentukan kelompok-kelompok sosial besar yang
bekerja berdasarkan agenda bersama.
PM bukanlah pendekatan
“cetak biru” (blueprint), sekali jadi. Melainkan proses yang partisipatif dan
berkelanjutan; anggota-anggota masyarakat bekerjasama dalam kelompok-kelompok
formal dan informal untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, serta mencapai
tujuan bersama. Dalam proses ini masyarakat dibantu untuk mengidentifikasi
masalah, kebutuhan dan kesempatan hidup; difasilitasi dalam merancang
solusi-solusi yang tepat; serta dilatih agar memiliki kapasitas agar mampu
mengakses sumber-sumber yang ada di dalam maupun di luar komunitasnya.
PM
mengekspresikan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, akuntabilitas, kesempatan, pilihan,
partisipasi, kerjasama dan proses belajar yang berkelanjutan. Pendidikan,
pendampingan dan pemberdayaan adalah inti PM. PM berkenaan dengan bagaimana
mempengaruhi struktur dan relasi kekuasaan untuk menghilangkan
hambatan-hambatan yang mencegah orang berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
yang mempengaruhi kehidupan mereka. Merujuk pada Payne (1986), prinsip utama
Pekerjaan Sosial adalah “making the best
of the client’s resources.”
Payne (1986: 26) menyatakan:
Whenever
a social worker tries to help someone, he or she is starting from a position in
which there are some useful, positive things in the client’s life and
surroundings which will help them move forward, as well as the problems or
blocks which they are trying to overcome. Part of social work is finding the
good things, and helping the client to take advantage of them.
Sejalan dengan
perspektif kekuatan (strengths perspective), para pekerja
sosial
tidak boleh memandang klien dan lingkungannya sebagai sistem yang pasif dan
tidak memiliki potensi apa-apa. Melainkan sebagai aktor dan sistem sosial yang
memiliki kekuatan positif dan bermanfaat bagi proses pemecahan masalah. Bagian
dari pendekatan pekerjaan
sosial
adalah menemukan sesuatu yang baik dan membantu klien memanfaatkan hal itu.
PENGORGANISASIAN MASYARAKAT
Pengorganisasian
masyarakat (Community Organizing/CO) adalah nama lain dari pengembangan masyarakat
(Community Development/CD). Saat ini, di negara asal
pekerjaan sosial, seperti Inggris dan Amerika Serikat, mata kuliah ini umumnya
dinamakan Social Work Macro Practice,
Community Work, CD atau CO saja.
Selama
puluhan tahun para pendidik dan praktisi pekerjaan sosial di Indonesia selalu
menggabungkan konsep CO dan CD secara tandem. Mata kuliah inti pekerjaan sosial
di banyak sekolah pekerjaan sosial di Indonesia hingga kini masih menggunakan
nama COCD: Community Organization/Organizing and Community Development. Karena
demikian populernya maka frase ini nyaris tidak diterjemahkan lagi ke dalam
Bahasa Indonesia. Para pengajar pekerjaan sosial di Indonesia seakan merasa berdosa jika tidak
menggunakan istilah COCD atau CO/CD secara terintegrasi.
CO
pada hakikatnya merupakan sebuah proses dimana warga masyarakat didorong agar
bekerjasama untuk bertindak berdasarkan kepentingan bersama. Makna
“pengorganisasian” menegaskan segala kegiatan yang melibatkan orang
berinteraksi dengan orang lain secara formal. Karenanya, tujuan utama CO adalah
mencapai tujuan bersama berdasarkan cara-cara dan penggunaan sumber daya yang
disepakati bersama. Banyak program CO yang menggunakan cara-cara populis dan
tujuan-tujuan ideal demokrasi partisipatoris. Para aktivis CO atau CO workers biasanya menciptakan
gerakan-gerakan dan aksi-aksi sosial melalui pembentukan kelompok massa, dan
kemudian memobilisasi para anggotanya untuk bertindak, mengembangkan
kepemimpinan, serta relasi di antara mereka yang terlibat.
Meskipun
identik, CO sejatinya dapat dibedakan dengan CD. Dalam sejarahnya, CD lebih
sering diterapkan pada masyarakat perdesaan di negara-negara berkembang. Karena
permasalahan sosial utama di negara ini adalah kemiskinan massal dan
struktural, maka dalam praktiknya CD lebih sering diwujudkan dalam bentuk
“pengembangan ekonomi masyarakat” atau
Community Economic Development (lihat Suharto 2008; 2006; Ife, 1995). PM biasanya difokuskan pada kegiatan-kegiatan pembangunan
lokal (locality development) di sebuah permukiman atau wilayah yang relatif
kecil. Program-programnya biasanya berbentuk usaha ekonomi mikro atau perawatan
kesehatan dasar, pemberantasan buta aksara, peningkatan kesadaran dan
partisipasi politik warga yang bersifat langsung dirasakan oleh penduduk
setempat.
Sebaliknya,
CO lebih sering diterapkan pada masyarakat perkotaan yang relatif sudah maju.
CO lebih banyak bersentuhan dengan aspek politik warga, seperti penyadaran hak-hak
sipil (civil rights), pembentukan forum warga, penguatan demokrasi, pendidikan
warga yang merayakan pluralisme, kesetaraan dan partisipasi publik. PM seringkali melibatkan kegiatan-kegiatan advokasi atau aksi sosial yang
melibatkan pengorganisasian masyarakat
(CO) dan menuntut adanya perubahan kebijakan publik dan menyentuh konteks
politik. Program-programnya bisa berupa perumusan dan pengusulan naskah
kebijakan (policy paper) mengenai pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis,
pengusulan draft Peraturan Daerah tentang perlindungan sosial warga miskin,
advokasi upah buruh yang manusiawi, peningkatan kesadaran akan bahaya HIV/AIDS,
pengarusutamaan jender dan kesetaraan sosial, perlindungan anak, penanganan
KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) dan sebagainya.
Sebagai
ilustrasi, jika CD menanggulangi kemiskinan melalui pemberian kredit dan
pelatihan ekonomi mikro, maka, CO menanggulangi kemiskinan dengan mendidik
warga agar membentuk organisasi massa atau forum warga, sehingga mereka mampu
bertindak melawan status quo, kaum pemodal, rentenir, atau kebijakan pemerintah
yang dirasakan tidak adil dan menindas. Tentu saja, pembedaan antara CD dan CO tidak
bersifat absolut. Dalam kenyataan dan pada kasus-kasus tertentu, percampuran
pendekatan keduanya sangat mungkin terjadi di antara berbagai kategori
masyarakat. Pendekatan
CO dan CD akan digabungkan dan hanya akan dipakai istilah PM saja. Selain
konsep ini lebih populer, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, konsep PM
lebih tepat dan sesuai dengan karakteristik mereka.
1.2. Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Bagaimanakah tingkat kepuasan Nasabah Prioritas terhadap bauran pemasaran yang diterapkan BCA.
Apakah
ada perbedaan tingkat kepuasan dan tingkat kepentingan Nasabah
Prioritas berdasarkan kategori nasabah individu, nasabah pinjaman dan
nasabah kemitraan.
1.3. Tujuan dan Manfaat
Penelitian
bertujuan untuk: 1) Mejelaskan tingkat kepuasan Nasabah Prioritas atas
pelaksanaan bauran pemasaran di PT.BCA,Tbk Jambi dan 2) mejelaskan
perbedaan tingkat kepuasan dan tingkat kepentingan antarnasabah
Prioritas. Sedangkan manfaat penelitian berkontribusi dalam perkayaan
khasanah kepuasan pelanggan khususnya terhadap bauran pemasaran.
1.3. Kerangka Pemikiran dan Tinjauan Pustaka
Peran
jasa dalam perekonomian global semakin penting: semakin maju
perekonomian satu negara peran jasa di dalamnya semakin besar pula
Fitizsimmons dan Fitizsimmons (2006). Kotler (2006) mendefinisikan jasa
sebagai “any act or performance that one party can offer to another that
is essentially intangible and does not result in the ownership of
anything, its production may or may not be tied to physical product”.
Hal penting dari batasan ini bahwa segala sesuatu dapat ditambahkan
untuk membuat produk terdiferensiasi guna menciptakan kepuasan. Hanya
dengan didapatnya kepuasan pelangganlah sesungguhnya didapat kondisi
pelanggan yang loyal sehingga diperoleh manfaat jangka panjang bagi
perusahaan (Andersen, 2001).
Kepuasan
menjadi konsep banyak digunakan untuk memeriksa kinerja perusahaan .
Dalam kaitan ini dikenal “disconfirmation and expectation” untuk
menjelaskan dan sebagai ukuran kepuasan. Pendekatan ini mengasumsikan
bahwa konsumen sebelum mengkonsumsi telah mempunyai harapan kemudian
dapat “dikonfirmasi” apakah harapan terpenuhi. Akademisi seperti:
Oliver, 1977, 1981, Olson dan Dove, 1979, Tse dan Wilton, 1988 dalam
Parker dan Mathews (2001) menegaskan bahwa pendekatan terhadap kepuasan
dapat dilihat dari dua sisi yaitu kepuasan sebagai hasil (outcome) dan
kepuasan sebagai proses. Sementara Giese dan Cote (2000) merumuskan tiga
hal penting yang berkaitan dengan kepuasan yaitu:
a) ringkasan reaksi afektif dari berbagai intensitas
b) dibatasi dalam rentang waktu yang terbatas
c) terarah kepada aspek fokal dari produk yang dikonsumsi
Konsep
kepuasan menjadi banyak digunakan, lembaga pelayanan publik, politisi
juga tidak lekang dari permasalahan kepuasan. Hal yang harus
digarisbawahi adalah bahwa kepuasan dapat ditujukan kepada seperangkat
tindakan organisasi dalam pelayanan.
Terciptanya
kepuasan pelanggan menjadi syarat mutlak untuk perkembangan satu
perusahaan, pelanggan yang puas akan melakukan pembelian ulang dan
menjadi pelanggan yang loyal. Oleh karena itu, terciptanya kepuasan
pelanggan menjadi bagian daripada strategi perusahaan. Sesuai dengan
itu, pendekatan akademis terhadap kepuasan juga mengalami perkembangan.
Sebahagian menggunakan pendekatan multidimensi yang memilah kepuasan ke
dalam berbagai dimensi dan membandingkan antara harapan dan pengalaman
setelah mengkonsumsi. Akan tetapi, dalam hal lain dapat juga dilakukan
dengan memeriksa kepuasan sesaat setelah mengkonsumsi barang dan jasa.
Konsep
tentang 4P (product, price, place dan promotion) yang dikenalkan oleh
McCharty seiring dengan perkembangan bisnis mengalami modifikasi
khususnya di bidang pemasaran jasa. Dalam pemasaran jasa, instrumen 4P
berkembang menjadi 7P, dimana di dalamnya ditambahkan orang (people),
proses (process) dan bukti fisik (physical evident) (Lovelock, C.H, dan
Wright, L.K. 1999). Adapun tambahan bauran pemasaran sehingga menjadi 7P
secara ringkas adalah sebagai berikut.
- Orang (People). Orang sangat berperan dalam perusahaan jasa karena terlibat langsung menyampaikan produk ke pelanggan. Bagaimanapun kemajuan teknologi, fungsi orang sebagai bagian dari pelayanan tidak dapat digantikan.
- Proses (Process). Proses menyangkut kegiatan menggerakkan aktivitas perusahaan memenuhi kebutuhan pelanggan. Untuk itu, semua aktivitas kerja adalah proses melibatkan prosedur, jadwal, tugas mekanisme, aktivitas dan rutinitas. Unsur proses yang dipahami pelanggan dan sesuai dengan yang dijanjikan akan turut menentukan kepuasan pelanggan.
- Penampilan Fisik (Physical Evidence). Penampilan fisik suatu perusahaan sangat berpengaruh sekali terhadap nasabah untuk membeli atau menggunakan produk jasa yang ditawarkan.
Sebagai satu instrumen,
satu organisasi dapat menjadikan ukuran kepentingan dan kesesuaian
kinerja pelayanan sebagai ukuran kepuasan. Keadaan kepuasan demikian
dapat ditunjukkan dengan menggunakan Diagram Kartesius yang
menggambarkan 4 kuadran (Supranto, 2003):
Kuadran
A. Menunjukkan bahwa unsur-unsur service yang sangat penting bagi
pelanggan, akan tetapi perusahaan belum mampu memenuhinya.
Kuadran B. Menunjukkan bahwa unsur-unsur service pokok telah dilaksanakan dengan baik dan dapat dipenuhi perusahaan .
Kuadran
C. Menunjukkan bahwa unsur-unsur yang memang dianggap kurang penting
oleh nasabah dimana kurang dijalankan oleh perusahaan.
Kuadran
D. Menunjukkan bahwa unsur-unsur service yang dianggap kurang penting
oleh nasabah tetapi telah dijalankan dengan sangat baik oleh
perusahaan.
Adapun
posisi antara kepentingan dan kinerja sebagaimana digambarkan dalam 4
kuadran tersebut dijadikan diagnosa dalam mempertahankan kepuasan
pelanggan. Bilamana kinerja dapat memenuhi kepentingan sesungguhnya itu
adalah menunjukkan kemampuan perusahaan memenuhi kepentingan pelanggan.
Berkaitan
dengan paradigma mempertahankan pelanggan, diyakini bahwa
mempertahankan nasabah jauh lebih sulit daripada mendatangkan pelanggan
baru. Oleh karena itu segala upaya harus digunakan untuk mempertahankan
pelanggan. Nasabah yang bertahan adalah yang loyal; nasabah hanya bisa
loyal bilamana mereka memperoleh kepuasan. Sesuai dengan itu, perusahaan
yang maju adalah yang mendasarkan daya saingnnya kepada pelayanan dan
kepuasan pelanggan.
No comments:
Post a Comment