Friday, July 12, 2013

KOORDINASI KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER DI INDONESIA


KOORDINASI KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER DI INDONESIA 
I. Pendahuluan
            Secara umum terdapat empat permasalahan ekonomi makro, yaitu: (1) tingkat harga agregat (inflasi); (2) produk domestik bruto (PDB); (3) penyerapan tenaga kerja (employment); dan (4) neraca pembayaran atau balance of payment (BOP). Keempat permasalahan ekonomi makro tersebut dapat dipengaruhi oleh pemerintah melalui kebijakan fiskal dan moneter, yang umumnya dilaksanakan oleh dua institusi yang berbeda, yaitu, institusi fiskal (Departemen Keuangan) dan institusi moneter (Bank Indonesia). Dengan demikian koordinasi antara dua institusi ini sangat diperlukan untuk mencapai target-target ekonomi makro yang sudah ditetapkan. Di Indonesia, dan juga di banyak negara lain, koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter selalu menjadi masalah. Sumber-sumber dari permasalahan tersebut, antara lain
  1. Ketidakjelasan penugasan dalam peraturan perundang-undangan yang   berlaku kepada Departemen Keuangan dan Bank Sentral ;
  2. Kedudukan Bank Sentral dalam pemerintahan, yaitu sejauh mana Bank Sentral mempunyai kedudukan yang independen dari pemerintah;
  3. Persepsi dari pimpinan tertinggi Bank Sentral dan Departemen Keuangan mengenai koordinasi yang harus dilakukan;
  4. Instrumen yang dipakai oleh Bank Sentral dalam operasi pasar;
  5. Tingkat kemajuan pasar modal.
            Oleh karena itu mungkin tidak atau sulit sekali memperoleh suatu bentuk koordinasi yang universal, yang dapat diterapkan di semua negara. Khususnya di negara-negara berkembang, di mana struktur keuangan dan finansial masih berkembang, diperlukan koordinasi yang berbeda-beda sesuai dengan perkembangan yang ada.


II. Kebijakan fiskal dan pengaruhnya terhadap perekonomian
Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan negara dan pengeluaran negara. Disamping pengaruh dari selisih antara penerimaan dan pengeluaran (defisit atau surplus), perekonomian juga dipengaruhi oleh jenis sumber penerimaan negara dan bentuk kegiatan yang dibiayai pengeluaran negara.

Di dalam perhitungan defisit atau surplus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), perlu diperhatikan jenis-jenis penerimaan yang dapat dikategorikan sebagai penerimaan negara, dan jenis-jenis pengeluaran yang dapat dikategorikan sebagai pengeluaran negara. Pada dasarnya yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah dari perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan kontraksi dalam perekonomian. Dengan demikian hibah dari negara donor serta pinjaman luar negeri tidak termasuk dalam penerimaan negara.

Di lain sisi, yang dimaksud dengan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran untuk operasi pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara ataupun badan usaha milik negara. Dengan demikian pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tidak termasuk dalam perhitungan pengeluaran negara.

Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, akan diperoleh besarnya surplus atau defisit APBN. Dalam hal terdapat surplus dalam APBN, hal ini akan menimbulkan efek kontraksi dalam perekonomian, yang besarnya tergantung kepada besarnya surplus tersebut . Pada umumnya surplus tersebut dapat dipergunakan sebagai cadangan atau untuk membayar hutang pemerintah (prepayment). Dalam hal terjadi defisit, maka defisit tersebut dapat dibayai dengan pinjaman luar negeri (official foreign borrowing) atau dengan pinjaman dalam negeri. Pinjaman dalam negeri dapat dalam bentuk pinjaman perbankan dan non-perbankan yang mencakup penerbitan obligasi negara (government bonds) dan privatisasi. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa penerbitan obligasi negara merupakan bagian dari pembiayaan defisit dalam negeri non-perbankan yang nantinya diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih tinggi. Hal yang paling penting diperhatikan adalah menjaga agar hutang luar negeri atau hutang dalam negeri tersebut masih dalam batas-batas kemampuan negara (sustainable). Pada dasarnya defisit dalam APBN akan menimbulkan efek ekspansi dalam perekonomian . Dalam hal defisit APBN dibiayai dengan pinjaman luar negeri, maka hal ini tidak menimbulkan tekanan inflasi jika pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang-barang impor, seperti halnya dengan sebagian besar pinjaman dari CGI selama ini. Akan tetapi bila pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang dan jasa di dalam negeri, maka pembiayaan defisit dengan memakai pinjaman luar negeri tersebut akan menimbulkan tekanan inflasi. Demikian juga jika, pembiayaan defisit APBN dengan penerbitan obligasi negara akan menambah jumlah uang yang beredar dan akan menimbulkan tekanan inflasi. Adapun pembiayaan defisit dengan menggunakan sumber dari pinjaman luar negeri akan berpengaruh pada neraca pembayaran khususnya pada lalu lintas modal pemerintah . Semakin besar jumlah pinjaman luar negeri yang dapat ditarik, lalu lintas modal Pemerintah cenderung positif. Adapun kinerja pemerintah dapat dilihat dari besarnya nilai lalu lintas moneter. Nilai lalu lintas moneter yang positif menunjukkan adanya cash inflow.


III. Kebijakan moneter dan pengaruhnya terhadap perekonomian
Pada dasarnya, kebijakan moneter ditujukan agar likuiditas dalam perekonomian berada dalam jumlah yang “tepat” sehingga dapat melancarkan transaksi perdagangan tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Umumnya pelaksanaan pengaturan jumlah likuiditas dalam perekonomian ini dilakukan oleh bank sentral, melalui berbagai instrumen , khususnya open market operations (OMOs). Dalam melaksanakan OMO, pada umumnya bank sentral menjual atau membeli obligasi negara jangka panjang. Jika likuiditas dalam perekonomian dirasakan perlu ditambah, maka bank sentral akan membeli sejumlah obligasi negara di pasar sekunder, sehingga uang beredar bertambah. Dilain pihak bila bank sentral ingin mengurangi likuiditas dalam perekonomian, bank sentral akan menjual sebagian obligasi negara yang berada dalam portofolio bank sentral. Perlu difahami bahwa portofolio obligasi negara di bank sentral tersebut memberikan pendapatan kepada bank sentral berupa bunga obligasi. 
            Dalam kasus Indonesia, sampai saat ini Bank Indonesia belum memiliki obligasi negara yang dapat dipakai untuk OMO. Walaupun pemerintah Indonesia telah menerbitkan obligasi, yang dimulai pada masa krisis untuk rekapitalisasi bank-bank yang bermasalah, tetapi pasar sekunder bagi obligasi negara baru pada tahap awal dan volume transaksi jual beli di pasar sekunder tersebut masih sedikit. Selama ini Bank Indonesia masih mempergunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk melaksanakan OMOs. Disamping menimbulkan beban pada Bank Indonesia, karena BI harus membayar bunga SBI yang cukup tinggi, jangka waktu SBI juga sangat pendek, umumnya 1 (satu) bulan, sehingga instrumen ini sebenarnya kurang memadai untuk dipakai dalam OMOs. 

IV. Perlunya koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter 
Perlunya koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter adalah untuk menetapkan dan mencapai target-target moneter dan defisit APBN secara konsisten dalam rangka mencapai pembangunan ekonomi yang cukup tinggi dan stabil. Disamping itu koordinasi yang baik juga diperlukan untuk mendorong perkembangan pasar finansial, serta mendukung pelaksanaan kebijakan moneter dan fiskal melalui pertukaran informasi. Bentuk koordinasi antara kebijakan fiskal (Departemen Keuangan) dan kebijakan moneter (Bank Indonesia) sangat tergantung kepada :
(1)    Apakah bank sentral mempunyai otonomi penuh dan mempunyai objectives dan instruments yang terpisah, dan
(2)    Apakah pasar modal dan pasar uang sudah berada pada tingkat yang cukup maju.
            Pada saat ini Indonesia masih dalam tahap awal dan menuju ke tahap peralihan ke arah ekonomi yang maju. Hal ini ditandai oleh :
(1) Obligasi negara baru saja diperkenalkan, yaitu dengan adanya program rekapitalisasi sektor perbankan sehubungan dengan terjadinya krisis ekonomi;
(2)    Pasar sekunder bagi obligasi negara baru saja terbentuk dan masih dalam tahap awal;
(3)    Interbank loan masih lemah, akibat dari krisis ekonomi; dan
(4) Obligasi negara belum dipakai sebagai instrumen moneter oleh Bank Indonesia.
            Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, pemerintah tidak dimungkinkan lagi untuk meminjam uang dari Bank Indonesia untuk menutup defisit APBN, bahkan tidak dimungkinkan untuk meminjam uang untuk jangka pendek dalam hal pemerintah menghadapi masalah cash- flow. Dalam hal ini Bank Indonesia mempunyai kekuasaan penuh di dalam menetapkan/mengatur jumlah uang yang beredar dalam perekonomian, karena mempunyai objective yang terpisah (inflation targeting). Akan tetapi asumsi yang dipakai dalam hal ini adalah bahwa kurs mata uang adalah tetap (fixed exchange rate). Dalam hal floating exchange rate system, pelaksanaannya akan lebih rumit, oleh karena kebijakan fiskal akan mempengaruhi kurs rupiah, yang pada gilirannya akan mempengaruhi jumlah uang yang beredar. Oleh karena itu, walaupun Bank Indonesia mempunyai “kebebasan penuh” dalam mengatur jumlah uang yang beredar dalam perekonomian, koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter tetap diperlukan walaupun detail koordinasi tersebut akan berubah dari masa ke masa, tergantung kepada perkembangan ekonomi dan pasar uang atau pasar modal.

AKelembagaan dan Pengaturan Operasional
Koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter harus didukung oleh pembentukan lembaganya dan pengaturan operasionalnya.
Pertama, mengenai ketentuan otonomi bank sentral, yaitu seberapa jauh Bank Indonesia dapat memberikan pinjaman kepada pemerintah. Dalam hal ini berdasarkan undang-undang yang berlaku (UU No.23 Tahun 1999) Bank Indonesia tidak diijinkan untuk memberi pinjaman kepada pemerintah, dengan alasan dan jangka waktu apapun.
Kedua, pembentukan suatu komite yang beranggotakan pejabat-pejabat Bank Indonesia dan pejabat-pejabat Departemen Keuangan akan sangat membantu menghilangkan perbedaan pendapat mengenai peranan dari tingkat suku bunga. Apalagi karena instrumen yang dipakai oleh Bank Indonesia dalam OMO adalah SBI, dan bukan obligasi.
Ketiga, pengaturan operasional, di mana perlu dilakukan tukar menukar informasi antara Bank Indonesia dan Departemen Keuangan akan sangat membantu operasi sehari-hari Departemen Keuangan dan Bank Indonesia di dalam mencapai target-target yang telah ditetapkan.
Keempat, baik Departemen Keuangan maupun Bank Indonesia mempunyai kepentingan yang sama untuk mempunyai pasar sekunder bagi obligasi negara yang berfungsi baik.
            Akan tetapi koordinasi ini tidak terlalu penting artinya bila instrumen yang dipakai oleh Bank Indonesia (bank sentral) berbeda dengan instrumen yang dipakai oleh Departemen Keuangan. Walaupun demikian, Bank Indonesia terlibat dalam penerbitan obligasi negara, paling tidak dalam dua hal. Pertama, Bank Indonesia bertindak sebagai penasihat pemerintah yang akan memberitahu pemerintah mengenai situasi likuiditas dalam perekonomian, perkembangan tingkat bunga, kredit perbankan, dan sebagainya. Kedua, sebagai fiscal agent, Bank Indonesia melakukan pembayaran kepada dan menerima pembayaran dari investor. Di samping itu Bank Indonesia juga bertindak sebagai kasir pemerintah atas simpanan pemerintah di Bank Indonesia.

B. Koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter
            Koordinasi antara Departemen Keuangan sebagai pengelola fiskal dan Bank Indonesia sebagai pengelola moneter perlu dilakukan. Masing-masing pihak perlu memanfaatkan informasi dan data yang diterbitkan oleh pihak lain, untuk dipakai dalam penentuan target-target. Bank Indonesia dan Departemen Keuangan dapat membentuk tim koordinasi yang akan membantu dalam pencapaian target-target secara lebih akurat. Selain dari itu secara bertahap harus diusahakan agar instrument utama Bank Sentral dalam pengendalian moneter diubah dari SBI menjadi obligasi negara.

No comments:

Post a Comment