Monday, August 5, 2013

TINJAUAN MENGENAI EKOSISTEM MANGROVE

TINJAUAN MENGENAI EKOSISTEM MANGROVE
1. Definisi Mangrove
Mangrove berasal dari kata mangal yang menunjukkan komunitas suatu tumbuhan (Odum. 1983). Di Suriname, kata mangro pada mulanya merupakan kata yang umum dipakai untuk jenis Rhizophora mangle (Karsten 1890 dalam Chapman 1976). Di Portugal, kata mangue digunakan untuk menunjukkan suatu individu pohon dan kata mangal untuk komunitas pohon tersebut. Di Perancis, padanan yang digunakan untuk mangrove adalah kata menglier. MacNae (1968) menggunakan kata mangrove untuk individu tumbuhan dan mangal untuk komunitasnya. Di lain pihak, Tomlinson (1986) dalam Wightman (1989) menggunakan kata mangrove baik untuk tumbuhan maupun komunitasnya, dan  Davis (1940) dalam Walsh (1974) menyebutkan bahwa kata mangrove merupakan istilah umum untuk pohon yang hidup di daerah yang berlumpur, basah dan  terletak di perairan pasang surut daerah tropis. Meskipun terdapat perbedaan dalam penggunaan kata, Mepham dan Mepham (1985)dalam Wightman (1989) menyatakan bahwa pada umumnya tidak perlu dikacaukan dalam penggunaan kontekstual dari kata-kata tersebut.

Beberapa ahli mengemukakan definisi hutan mangrove, seperti Soerianegara dan Indrawan (1982) menyatakan bahwa hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daerah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: (1) tidak terpengaruh iklim; (2) dipengaruhi pasang surut; (3) tanah tergenang air laut; (4) tanah rendah pantai; (5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; (6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas api-api (Avicenia Sp), pedada (Sonneratia), bakau (Rhizophora Sp), lacang (Bruguiera Sp), nyirih (Xylocarpus Sp), nipah (Nypa Sp) dan lain-lain.

Kusmana (2002),  mengemukakan bahwa mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang  surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.Menurut Steenis (1978), yang dimaksud dengan “mangrove” adalah  vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut. 
Nybakken (1988), menyatakan hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa species pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.  Hutan mangrove disebut juga “Coastal Woodland” (hutan pantai) atau “Tidal Forest” (hutan surut)/hutan bakau, yang merupakan formasi tumbuhan litoral yang karakteristiknya terdapat di daerah tropika (Saenger,1983)

2. Fungsi dan Manfaat Hutan mangrove
Saenger (1983); Salim (1986); dan Naamin (1990) menyatakan bahwa fungsi ekosistem mangrove mencakup: fungsi fisik; menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut (abrasi) dan intrusi air laut;  dan mengolah bahan limbah.  Fungsi biologis ; tempat pembenihan ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota air; tempat bersarangnya burung; habitat alami  bagi berbagai jenis biota. Fungsi ekonomi sebagai sumber bahan bakar (arang  kayu bakar), pertambakan, tempat pembuatan garam, dan bahan bangunan.  Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis, disamping itu,  ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (misal,  mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah,  118 jenis fauna laut dan berbagai jenis fauna darat (Kusmana, 2002). Ekosistem mangrove juga merupakan perlindungan pantai secara alami  untuk mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan  di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan bahwa dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19635.26 joule (Pratikto dkk., 2002). Karena karakter pohon mangrove yang khas, ekosistem mangrove berfungsi sebagai peredam gelombang dan badai, pelindung abrasi, penahan lumpur, dan  perangkap sedimen.  Disamping itu, ekosistem mangrove juga merupakan  penghasil detritus dan merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk mencari makan (feeding ground), serta daerah pemijahan (spawning ground) bagi berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya.  Juga sebagai pemasok larva ikan, udang, dan sebagai tempat pariwisata. Menurut Hardjosento (1981) dalam Saenger       (1983), hasil dari hutan mangrove dapat berupa kayu, bahan bangunan, chip, kayu bakar, arang kulit kayu yang menghasilkan       tanin    (zat penyamak) dan lain-lain.  Selanjutnya Saenger, (1983) juga merinci hasil-hasil produk dari ekosistem hutan mangrove berupa :
  • Bahan bakar;  kayu bakar, arang dan alkohol.
  • Bahan bangunan; balok perancah, bangunan, jembatan, balok rel kereta api, pembuatan kapal, tonggak dan atap rumah. Tikar bahkan pagar pun menggunakan jenis yang berasal dari hutan mangrove.
  • Makanan; obat-obatan dan minuman, gula alkohol, asam cuka, obat- obatan.
  • Perikanan; tiang-tiang untuk perangkap ikan, pelampung jaring, pengeringan ikan, bahan penyamak jaring dan lantai. 
  • Pertanian, makanan ternak, pupuk dsb.
  • Produksi kertas; berbagai macam kertas
Hutan mangrove merupakan sumber daya alam daerah tropis yang  mempunyai manfaat ganda baik dari aspek sosial ekonomi maupun ekologi. Besarnya peranan ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk- tajuk pohon mangrove atau manusia yang bergantung pada hutan mangrove tersebut (Naamin, 1991).  Manfaat ekonomis diantaranya terdiri atas hasil berupa  kayu (kayu bakar, arang, kayu konstruksi) dan hasil bukan kayu (hasil hutan ikutan dan pariwisata).  Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindungan baik bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya :
• Sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang 
• Pengendali intrusi air laut 
• Habitat berbagai jenis fauna 
• Sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai
   jenis ikan dan udang 
• Pembangun lahan melalui proses sedimentasi 
• Pengontrol penyakit malaria 
• Memelihara kualitas air (meredukasi polutan, pencemar air) 
• Penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi disbanding tipe hutan lain. 
Lebih lanjut Dinas Perikanan Provinsi Jawa Timur (1994), menyatakan  bahwa ekosistem hutan mangrove mempunyai peranan dan fungsi penting yang dapat mendukung kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung,  adalah  sebagai berikut
1.    Fungsi ekologis ekosistem hutan mangrove menjamin terpeliharanya:
  • Lingkungan fisik, yaitu perlindungan pantai terhadap pengikisan oleh ombak dan angin, pengendapan sedimen, pencegahan dan pengendalian  intrusi air laut ke wilayah daratan serta pengendalian dampak pencemaran air laut.
  • Lingkungan biota, yaitu sebagai tempat berkembang biak dan berlindung  biota perairan seperti ikan, udang, moluska dan berbagai jenis reptil serta jenis-jenis burung serta mamalia. c. Lingkungan hidup daerah di sekitar lokasi (khususnya iklim makro).
2. Fungsi Sosial  dan ekonomis, yaitu sebagai: 
  • Sumber mata pencaharian dan produksi berbagai jenis hasil hutan dan hasil hutan ikutannya.
  • Tempat rekreasi atau wisata alam.
  • Obyek pendidikan, latihan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
  • Secara garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomi  Dahuri (2004). 
Fungsi ekologis ekosistem hutan adalah sebagai berikut :
  • Dalam ekosistem hutan  mangrove terjadi mekanisme hubungan antara ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang.
  • Dengan sistem perakaran yang  kokoh ekosistem hutan mangrove mempunyai  kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari abrasi, gelombang pasang dan taufan.
  • Sebagai pengendalian banjir, hutan  mangrove yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir.
  • Hutan mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar (environmental service), khususnya bahan-bahan organic.
  • Sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaring-jaring makanan di ekosistem pesisir, serasah mangrove yang gugur dan  jatuh ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan sekaligus berfungsi membantu proses pembentukan daun-daun tersebut menjadi detritus.  Selanjutnya detritus menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan seperti :  cacing, udang-udang kecil dan akhirnya hewan-hewan ini akan menjadi makanan larva ikan, udang, kepiting dan hewan lainnya.
  • Merupakan daerah asuhan (nursery ground) hewan-hewan muda (juvenile stage) yang akan bertumbuh kembang menjadi hewan-hewan dewasa dan juga merupakan daerah pemijahan (spawning ground) beberapa perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan.
3.  Kondisi Mangrove di Indonesia
Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera,  Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove  yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan  oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan sebagainya  (Dahuri, 2002). Indonesia memiliki vegetasi hutan mangrove yang keragaman jenis yang  tinggi.  Jumlah jenis yang tercatat mencapai 202 jenis yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas.  Terdapat sekitar 47 jenis vegetasi yang spesifik hutan mangrove.  Dalam hutan mangrove,  paling tidak terdapat salah satu jenis tumbuhan mangrove sejati, yang termasuk  ke dalam empat famili: Rhizoporaceae (Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia),   Avicenniaceae (Avicennia),     dan      Meliaceae  (Xylocarpus).  Pohon mangrove sanggup beradaptasi terhadap kadar oksigen yang rendah, terhadap salinitas yang tinggi, serta terhadap tanah yang kurang stabil dan pasang surut (Kusmana, 2002). Ekosistem mangrove terdiri dari hutan atau vegetasi mangrove  yang  merupakan komunitas pantai tropis.  Secara umum, karakteristik habitat hutan  mangrove tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,  berlempung, dan/atau berpasir.  Daerah habitat mangrove tergenang air laut secara berkala, setiap hari, atau pada saat pasang purnama.  Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove.  Hutan mangrove menerima  pasokan air tawar yang cukup dari darat serta terlindung dari gelombang besar  dan arus pasang surut yang kuat.  Habitat hutan mangrove memiliki air bersalinitas  payau (2-22 bagian per mil) hingga asin (mencapai 38 bagian permil).  Hutan  mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, dan  daerah pantai yang terlindung.  


VI. PENDEKATAN BUTTOM UP DALAM RANGKA PELESTARIAN HUTAN MANGROVE
Usaha pemulihan ekosistem mangrove di beberapa daerah, baik di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, maupun Irian Jaya telah sering kita lihat. Upaya ini  biasanya berupa proyek yang berasal dari Departemen Kehutanan ataupun dari  Pemerintah daerah setempat. Namun hasil yang diperoleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal dalam pelaksanaannya tersedia biaya yang cukup besar, tersedia tenaga ahli, tersedia  bibit yang cukup, pengawasan cukup memadai, dan berbagai fasilitas penunjang yang lainnya. Mengapa hasilnya kurang memuaskan? Salah satu penyebabnya adalah kurangnya peran    serta masyarakat dalam ikut terlibat upaya pengembangan wilayah, khususnya rehabilitasi hutan mangrove; dan masyarakat masih cenderung dijadikan obyek, bukan subyek dalam upaya pembangunan (Subing, 1995).   
Dalam pelaksanaan pemulihan ekosistem mangrove yang telah terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini dilakukan atas perintah dari atas. Seperti suatu kebiasaan dalam suatu proyek apapun yang namanya  rencana itu  senantiasa datangnya dari atas; sedangkan bawahan (masyarakat) sebagai ujung  tombak pelaksana proyek hanya sekedar melaksanakan perintah atau dengan  istilah populer dengan pendekatan top-down (Gambar 3). Pelaksanaan proyek semacam ini tentu saja kurang memberdayakan potensi masyarakat, padahal idealnya masyarakat tersebutlah yang harus berperan aktif dalam upaya pemulihan ekosistem mangrove tersebut, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai penyedia dana, pengontrol, dan fasilitator berbagai kegiatan yang terkait. Akibatnya setelah selesai proyek tersebut, yaitu saat dana telah habis tentu saja  pelaksana proyek tersebut juga merasa sudah habis pula tanggung jawabnya.
Di  sisi lain masyarakat tidak merasa ikut memiliki (sense of belonging tidak tumbuh) hutan mangrove tersebut. Begitu pula, seandainya hutan mangrove tersebut telah menjadi besar, maka masyarakat merasa sudah tidak ada lagi yang  mengawasinya, sehingga mereka dapat mengambil atau memotong hutan  mangrove tersebut secara bebas. Masyarakat beranggapan bahwa hutan  mangrove tersebut adalah milik pemerintah dan bukan milik mereka, sehingga jika  masyarakat membutuhkan mereka tinggal mengambil tanpa merasa diawasi oleh pemerintah atau pelaksana proyek. Begitulah pengertian yang ada pada benak masyarakat pesisir yang dekat dengan hutan mangrove yang telah mereka  rehabilitasi (Savitri dan Khazali, 1999). Seyogyanya upaya pemulihan ekosistem mangrove adalah atas biaya  pemerintah, sedangkan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan   semuanya dipercayakan kepada masyarakat.
Dalam pelaksanaannya kegiatan tersebut dapat juga melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bersama perangkat desa, pemimpin umat, dan lain-lain. Masyarakat pesisir secara keseluruhan perlu mendapat pengertian bahwa hutan mangrove yang akan mereka rehabilitasi akan menjadi milik masyarakat dan untuk masyarakat, khususnya yang berada di daerah pesisir.  Dengan demikian semua proses rehabilitasi atau reboisasi hutan mangrove yang  dimulai dari proses penanaman, perawatan, penyulaman tersebut dilakukan oleh  masyarakat. Melalui mekanisme ini, masyarakat tidak merasa dianggap sebagai “kuli”, melainkan ikut memiliki hutan mangrove tersebut, karena mereka merasa  ikut merencanakan penanaman dan lain-lain.
Masyarakat merasa mempunyai  andil dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove tersebut, sehingga status mereka akan berubah, yaitu bukan sebagai kuli lagi melainkan ikut memilikinya. Dari sini akan tergambar andaikata ada sekelompok orang yang bukan  anggota masyarakat yang ikut menaman hutan mangrove tersebut ingin  memotong sebatang tumbuhan mangrove saja, maka mereka tentu akan ramai- ramai mencegah atau mengingatkan bahwa mereka menebang pohon tanpa ijin. Ini merupakan salah satu contoh kasus kecil dalam perusakan hutan mangrove yang telah dihijaukan, kemudian dirusak oleh anggota masyarakat lainnya yang  bukan anggota kelompoknya. Pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove dengan penekanan pada pemberdayaan masyarakat setempat ini biasa dikenal dengan  istilah pendekatan bottom- up

Menurut Sudarmadji (2001) Hasil dari kegiatan dengan pendekatan bottom up ini akan menjadikan masyarakat enggan untuk merusak hutan mangrove yang  telah mereka tanam, sekalipun tidak ada yang mengawasinya; karena masyarakat  sadar bahwa kayu yang mereka potong tersebut sebenarnya adalah milik mereka  bersama.  Tugas pemerintah hanyalah memberikan pengarahan secara umum  dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan, sebab tanpa arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan dalam  jangka panjang. Dari sini nampak bahwa pendekatan bottom up relatif lebih baik jika dibandingkan dengan pendekatan top down dalam pelaksanan pemulihan ekosistem, selain  itu “pemerintah atau pemilik  modal” tidak terlalu berat melakukannya, karena masyarakat dapat berlaku aktif pada proses pelaksanaan  pemulihan tersebut, dan pada  masyarakat pesisir akan timbul rasa ikut memiliki terhadap hutan mangrove yang telah berhasil mereka hijaukan. Dengan demikian  pelaksanaan suatu proyek dengan pendekatan bottom up atau menumbuhkan  adanya partisipasi dari anggota masyarakat ini juga sekaligus merupakan proses  pendidikan pada masyarakat secara tidak langsung (Savitri dan Khazali, 1999).

DAFTAR PUSTAKA
 Bengen, D.G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Bengkulu Utara, Bengkulu. 2004. Jakarta
Dahuri, R, J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dahuri, R.  2002.  Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan  Ekosistem mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002
Golar, 2002. Presfektif Pengolahan Hutan Berbasis masyarakat: Antara Harapan  dan Kenyataa. Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Kolaboratif. Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Kusmana, C.  2005.  Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove dan Hutan Pantai  Pasca Tsunami di NAD dan Nias.  Makalah dalam Lokakarya Hutan mangrove Pasca sunami, Medan, April 2005
Fletcher, J.R., R.G. Gibb. 1992. Land Resource Survey Kandbook for Soil Conservation Planning in Indonesia. Alih Bahasa. 
Paimin, E. Savitri, S. Hartati. Pedoman Survai Sumberdaya Lahan Untuk Perencanaan Konservasi Tanah di Indonesia. Cet. Ke-3. Project Report No 2. Sci. Report No.11. MOF-DENGANRLR and DSIR. Hudson, N. 1971.  Soil Conservation. BT Basford Ltd.
Shaxson, F. 1999. New Consept and Approach to Land Management in the Tropics with Emphasis on Steeplands. FAO Soil Bul. 75. FAOUN. Rome.

No comments:

Post a Comment