TINJAUAN MENGENAI EKOSISTEM MANGROVE
1.
Definisi Mangrove
Mangrove berasal dari kata
mangal yang menunjukkan komunitas suatu tumbuhan (Odum. 1983). Di Suriname,
kata mangro pada mulanya merupakan kata yang umum dipakai untuk jenis Rhizophora
mangle (Karsten 1890 dalam Chapman 1976). Di Portugal, kata mangue
digunakan untuk menunjukkan suatu individu pohon dan kata mangal untuk
komunitas pohon tersebut. Di Perancis, padanan yang digunakan untuk mangrove
adalah kata menglier. MacNae (1968) menggunakan kata mangrove untuk individu
tumbuhan dan mangal untuk komunitasnya. Di lain pihak, Tomlinson (1986) dalam
Wightman (1989) menggunakan kata mangrove baik untuk tumbuhan maupun
komunitasnya, dan Davis (1940) dalam Walsh (1974)
menyebutkan bahwa kata mangrove merupakan istilah umum untuk pohon yang hidup
di daerah yang berlumpur, basah dan terletak
di perairan pasang surut daerah tropis. Meskipun terdapat perbedaan dalam
penggunaan kata, Mepham dan Mepham (1985)dalam Wightman (1989)
menyatakan bahwa pada umumnya tidak perlu dikacaukan dalam penggunaan
kontekstual dari kata-kata tersebut.
Beberapa ahli mengemukakan
definisi hutan mangrove, seperti Soerianegara dan Indrawan (1982) menyatakan
bahwa hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya
terdapat di daerah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: (1) tidak
terpengaruh iklim; (2) dipengaruhi pasang surut; (3) tanah tergenang air laut;
(4) tanah rendah pantai; (5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; (6)
jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas api-api (Avicenia Sp),
pedada (Sonneratia), bakau (Rhizophora Sp), lacang (Bruguiera
Sp), nyirih (Xylocarpus Sp), nipah (Nypa Sp) dan lain-lain.
Kusmana (2002), mengemukakan bahwa mangrove adalah suatu
komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas
tersebut di daerah pasang surut. Hutan
mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air
laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang
rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan
biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat
mangrove.Menurut Steenis (1978), yang dimaksud dengan “mangrove” adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis
pasang surut.
Nybakken (1988), menyatakan
hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu
komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa species pohon yang khas
atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan
asin. Hutan mangrove disebut juga “Coastal
Woodland” (hutan pantai) atau “Tidal Forest” (hutan surut)/hutan
bakau, yang merupakan formasi tumbuhan litoral yang karakteristiknya terdapat
di daerah tropika (Saenger,1983)
2. Fungsi dan Manfaat Hutan
mangrove
Saenger (1983); Salim
(1986); dan Naamin (1990) menyatakan bahwa fungsi ekosistem mangrove mencakup: fungsi
fisik; menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi
laut (abrasi) dan intrusi air laut; dan mengolah
bahan limbah. Fungsi biologis ;
tempat pembenihan ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota air; tempat
bersarangnya burung; habitat alami bagi
berbagai jenis biota. Fungsi ekonomi sebagai sumber bahan bakar
(arang kayu bakar), pertambakan, tempat
pembuatan garam, dan bahan bangunan.
Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan ekosistem
padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu
ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis, disamping itu, ekosistem mangrove merupakan sumber plasma
nutfah yang cukup tinggi (misal, mangrove
di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut dan berbagai jenis fauna
darat (Kusmana, 2002). Ekosistem mangrove juga merupakan perlindungan pantai
secara alami untuk mengurangi resiko
terhadap bahaya tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur,
menunjukkan bahwa dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi
gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19635.26
joule (Pratikto dkk., 2002). Karena
karakter pohon mangrove yang khas, ekosistem mangrove berfungsi sebagai peredam
gelombang dan badai, pelindung abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen. Disamping itu, ekosistem mangrove juga
merupakan penghasil detritus dan
merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk mencari makan (feeding
ground), serta daerah pemijahan (spawning ground) bagi berbagai
jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya.
Juga sebagai pemasok larva ikan, udang, dan sebagai tempat pariwisata. Menurut
Hardjosento (1981) dalam Saenger (1983),
hasil dari hutan mangrove dapat berupa kayu, bahan bangunan, chip, kayu bakar,
arang kulit kayu yang menghasilkan tanin (zat penyamak) dan lain-lain. Selanjutnya Saenger, (1983) juga merinci
hasil-hasil produk dari ekosistem hutan mangrove berupa :
- Bahan bakar; kayu bakar, arang dan alkohol.
- Bahan bangunan; balok perancah, bangunan, jembatan, balok rel kereta api, pembuatan kapal, tonggak dan atap rumah. Tikar bahkan pagar pun menggunakan jenis yang berasal dari hutan mangrove.
- Makanan; obat-obatan dan minuman, gula alkohol, asam cuka, obat- obatan.
- Perikanan; tiang-tiang untuk perangkap ikan, pelampung jaring, pengeringan ikan, bahan penyamak jaring dan lantai.
- Pertanian, makanan ternak, pupuk dsb.
- Produksi kertas; berbagai macam kertas
Hutan mangrove merupakan
sumber daya alam daerah tropis yang mempunyai
manfaat ganda baik dari aspek sosial ekonomi maupun ekologi. Besarnya
peranan ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya
jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk- tajuk
pohon mangrove atau manusia yang bergantung pada hutan mangrove tersebut
(Naamin, 1991). Manfaat ekonomis
diantaranya terdiri atas hasil berupa kayu
(kayu bakar, arang, kayu konstruksi) dan hasil bukan kayu (hasil hutan ikutan
dan pariwisata). Manfaat ekologis, yang
terdiri atas berbagai fungsi lindungan baik bagi lingkungan ekosistem daratan
dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya :
• Sebagai
proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang
• Pengendali intrusi air
laut
• Habitat berbagai jenis
fauna
• Sebagai tempat mencari
makan, memijah dan berkembang biak berbagai
jenis ikan dan udang
• Pembangun lahan melalui
proses sedimentasi
• Pengontrol penyakit
malaria
• Memelihara kualitas air
(meredukasi polutan, pencemar air)
• Penyerap CO2 dan
penghasil O2 yang relatif tinggi disbanding tipe hutan lain.
Lebih lanjut Dinas Perikanan
Provinsi Jawa Timur (1994), menyatakan bahwa
ekosistem hutan mangrove mempunyai peranan dan fungsi penting yang dapat
mendukung kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung, adalah
sebagai berikut
1. Fungsi ekologis ekosistem hutan mangrove menjamin terpeliharanya:
- Lingkungan fisik, yaitu perlindungan pantai terhadap pengikisan oleh ombak dan angin, pengendapan sedimen, pencegahan dan pengendalian intrusi air laut ke wilayah daratan serta pengendalian dampak pencemaran air laut.
- Lingkungan biota, yaitu sebagai tempat berkembang biak dan berlindung biota perairan seperti ikan, udang, moluska dan berbagai jenis reptil serta jenis-jenis burung serta mamalia. c. Lingkungan hidup daerah di sekitar lokasi (khususnya iklim makro).
2. Fungsi Sosial dan ekonomis, yaitu sebagai:
- Sumber mata pencaharian dan produksi berbagai jenis hasil hutan dan hasil hutan ikutannya.
- Tempat rekreasi atau wisata alam.
- Obyek pendidikan, latihan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
- Secara garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomi Dahuri (2004).
Fungsi
ekologis ekosistem hutan adalah sebagai berikut :
- Dalam ekosistem hutan mangrove terjadi mekanisme hubungan antara ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang.
- Dengan sistem perakaran yang kokoh ekosistem hutan mangrove mempunyai kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari abrasi, gelombang pasang dan taufan.
- Sebagai pengendalian banjir, hutan mangrove yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir.
- Hutan mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar (environmental service), khususnya bahan-bahan organic.
- Sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaring-jaring makanan di ekosistem pesisir, serasah mangrove yang gugur dan jatuh ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan sekaligus berfungsi membantu proses pembentukan daun-daun tersebut menjadi detritus. Selanjutnya detritus menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan seperti : cacing, udang-udang kecil dan akhirnya hewan-hewan ini akan menjadi makanan larva ikan, udang, kepiting dan hewan lainnya.
- Merupakan daerah asuhan (nursery ground) hewan-hewan muda (juvenile stage) yang akan bertumbuh kembang menjadi hewan-hewan dewasa dan juga merupakan daerah pemijahan (spawning ground) beberapa perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan.
3. Kondisi Mangrove di Indonesia
Luas
ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia
Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem
mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia.
Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove
terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar
3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada
tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi
degradasi hutan mangrove yang cukup
nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak,
penebangan liar dan sebagainya (Dahuri,
2002). Indonesia memiliki vegetasi hutan mangrove yang keragaman jenis yang tinggi.
Jumlah jenis yang tercatat mencapai 202 jenis yang terdiri dari 89 jenis
pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Terdapat sekitar 47 jenis vegetasi yang
spesifik hutan mangrove. Dalam hutan
mangrove, paling tidak terdapat salah
satu jenis tumbuhan mangrove sejati, yang termasuk ke dalam empat famili: Rhizoporaceae (Rhizophora,
Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia), dan Meliaceae
(Xylocarpus). Pohon mangrove sanggup beradaptasi terhadap
kadar oksigen yang rendah, terhadap salinitas yang tinggi, serta terhadap tanah
yang kurang stabil dan pasang surut (Kusmana, 2002). Ekosistem mangrove terdiri
dari hutan atau vegetasi mangrove yang merupakan komunitas pantai tropis. Secara umum, karakteristik habitat hutan mangrove tumbuh pada daerah intertidal yang
jenis tanahnya berlumpur, berlempung,
dan/atau berpasir. Daerah habitat
mangrove tergenang air laut secara berkala, setiap hari, atau pada saat pasang
purnama. Frekuensi genangan menentukan
komposisi vegetasi hutan mangrove. Hutan
mangrove menerima pasokan air tawar yang
cukup dari darat serta terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Habitat hutan mangrove memiliki air
bersalinitas payau (2-22 bagian per mil)
hingga asin (mencapai 38 bagian permil).
Hutan mangrove banyak ditemukan
di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, dan daerah pantai yang terlindung.
VI. PENDEKATAN BUTTOM UP DALAM RANGKA PELESTARIAN HUTAN
MANGROVE
Usaha pemulihan ekosistem
mangrove di beberapa daerah, baik di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi ,
maupun Irian Jaya telah sering kita lihat. Upaya ini biasanya berupa proyek yang berasal dari
Departemen Kehutanan ataupun dari Pemerintah
daerah setempat. Namun hasil yang diperoleh relatif tidak sesuai dengan biaya
dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal dalam pelaksanaannya
tersedia biaya yang cukup besar, tersedia tenaga ahli, tersedia bibit yang cukup, pengawasan cukup memadai,
dan berbagai fasilitas penunjang yang lainnya. Mengapa hasilnya kurang
memuaskan? Salah satu penyebabnya adalah kurangnya peran serta masyarakat dalam ikut terlibat upaya pengembangan wilayah,
khususnya rehabilitasi hutan mangrove; dan masyarakat masih cenderung dijadikan
obyek, bukan subyek dalam upaya pembangunan (Subing, 1995).
Dalam pelaksanaan pemulihan
ekosistem mangrove yang telah terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini
dilakukan atas perintah dari atas. Seperti suatu kebiasaan dalam suatu proyek
apapun yang namanya rencana itu senantiasa datangnya dari atas; sedangkan
bawahan (masyarakat) sebagai ujung tombak
pelaksana proyek hanya sekedar melaksanakan perintah atau dengan istilah populer dengan pendekatan top-down
(Gambar 3). Pelaksanaan proyek semacam ini tentu saja kurang memberdayakan
potensi masyarakat, padahal idealnya masyarakat tersebutlah yang harus berperan
aktif dalam upaya pemulihan ekosistem mangrove tersebut, sedangkan pemerintah
hanyalah sebagai penyedia dana, pengontrol, dan fasilitator berbagai kegiatan
yang terkait. Akibatnya setelah selesai proyek tersebut, yaitu saat dana telah
habis tentu saja pelaksana proyek
tersebut juga merasa sudah habis pula tanggung jawabnya.
Di sisi lain masyarakat tidak merasa ikut
memiliki (sense of belonging tidak tumbuh) hutan mangrove tersebut.
Begitu pula, seandainya hutan mangrove tersebut telah menjadi besar, maka
masyarakat merasa sudah tidak ada lagi yang mengawasinya, sehingga mereka dapat mengambil
atau memotong hutan mangrove tersebut
secara bebas. Masyarakat beranggapan bahwa hutan mangrove tersebut adalah milik pemerintah dan
bukan milik mereka, sehingga jika masyarakat
membutuhkan mereka tinggal mengambil tanpa merasa diawasi oleh pemerintah atau
pelaksana proyek. Begitulah pengertian yang ada pada benak masyarakat pesisir
yang dekat dengan hutan mangrove yang telah mereka rehabilitasi (Savitri dan Khazali, 1999). Seyogyanya
upaya pemulihan ekosistem mangrove adalah atas biaya pemerintah, sedangkan perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan semuanya dipercayakan kepada masyarakat.
Dalam pelaksanaannya
kegiatan tersebut dapat juga melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
bersama perangkat desa, pemimpin umat, dan lain-lain. Masyarakat pesisir secara
keseluruhan perlu mendapat pengertian bahwa hutan mangrove yang akan mereka
rehabilitasi akan menjadi milik masyarakat dan untuk masyarakat, khususnya yang
berada di daerah pesisir. Dengan
demikian semua proses rehabilitasi atau reboisasi hutan mangrove yang dimulai dari proses penanaman, perawatan,
penyulaman tersebut dilakukan oleh masyarakat.
Melalui mekanisme ini, masyarakat tidak merasa dianggap sebagai “kuli”,
melainkan ikut memiliki hutan mangrove tersebut, karena mereka merasa ikut merencanakan penanaman dan lain-lain.
Masyarakat merasa mempunyai andil dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove
tersebut, sehingga status mereka akan berubah, yaitu bukan sebagai kuli lagi
melainkan ikut memilikinya. Dari sini akan tergambar andaikata ada sekelompok
orang yang bukan anggota masyarakat yang
ikut menaman hutan mangrove tersebut ingin memotong sebatang tumbuhan mangrove saja, maka
mereka tentu akan ramai- ramai mencegah atau mengingatkan bahwa mereka menebang
pohon tanpa ijin. Ini merupakan salah satu contoh kasus kecil dalam perusakan
hutan mangrove yang telah dihijaukan, kemudian dirusak oleh anggota masyarakat
lainnya yang bukan anggota kelompoknya.
Pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove dengan penekanan pada pemberdayaan
masyarakat setempat ini biasa dikenal dengan istilah pendekatan bottom- up
Menurut Sudarmadji (2001)
Hasil dari kegiatan dengan pendekatan bottom up ini akan menjadikan masyarakat
enggan untuk merusak hutan mangrove yang telah mereka tanam, sekalipun tidak ada yang
mengawasinya; karena masyarakat sadar
bahwa kayu yang mereka potong tersebut sebenarnya adalah milik mereka bersama.
Tugas pemerintah hanyalah memberikan pengarahan secara umum dalam pemanfaatan hutan mangrove secara
berkelanjutan, sebab tanpa arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik
kepentingan dalam pengelolaan dalam jangka
panjang. Dari sini nampak bahwa pendekatan bottom up relatif lebih baik jika
dibandingkan dengan pendekatan top down dalam pelaksanan pemulihan ekosistem,
selain itu “pemerintah atau pemilik modal” tidak terlalu berat melakukannya,
karena masyarakat dapat berlaku aktif pada proses pelaksanaan pemulihan tersebut, dan pada masyarakat pesisir akan timbul rasa ikut
memiliki terhadap hutan mangrove yang telah berhasil mereka hijaukan. Dengan
demikian pelaksanaan suatu proyek dengan
pendekatan bottom up atau menumbuhkan adanya
partisipasi dari anggota masyarakat ini juga sekaligus merupakan proses pendidikan pada masyarakat secara tidak
langsung (Savitri dan Khazali, 1999).
Dahuri, R, J. Rais, S.P. Ginting, M.J.
Sitepu. 1996. Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pradnya Paramita.
Jakarta.
Dahuri, R.
2002. Integrasi Kebijakan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem mangrove di Jakarta , 6-7 Agustus 2002
Golar, 2002. Presfektif Pengolahan Hutan Berbasis masyarakat:
Antara Harapan dan Kenyataa.
Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Kolaboratif. Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. Indonesia . PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta .
Kusmana, C. 2005. Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove dan Hutan
Pantai Pasca Tsunami di NAD dan
Nias. Makalah dalam Lokakarya Hutan
mangrove Pasca sunami, Medan ,
April 2005
Fletcher, J.R., R.G. Gibb. 1992.
Land Resource Survey
Kandbook for Soil Conservation Planning in Indonesia . Alih Bahasa.
Paimin, E. Savitri, S. Hartati. Pedoman Survai
Sumberdaya Lahan Untuk Perencanaan Konservasi Tanah di Indonesia. Cet. Ke-3. Project Report No 2. Sci. Report No.11. MOF-DENGANRLR
and DSIR. Hudson ,
N. 1971. Soil Conservation. BT
Basford Ltd.
Shaxson, F. 1999. New Consept and
Approach to Land Management in the Tropics with Emphasis on Steeplands. FAO
Soil Bul. 75. FAOUN. Rome .
No comments:
Post a Comment