Tuesday, October 29, 2013

Defenisi Kecerdasan Emosi

Kecerdasan Emosi : Konsep kecerdasan emosi mengacu pada penjabaran persoalan nafsu, rasa dan emosi. Istilah-istilah kecerdasan emosi dalam konteks budaya Jawa meliputi waskita ing nepsu, landheping panggraito, lanthiping panggraito dan rasa pangrasa. Cerdas dalam bahasa Jawa identik dengan waskita, landhep, lanthip yang berarti wasis (lincah), dan prigel (cakap). serta emosi adalah panggraito. Kecerdasan emosi dalam bahasa Jawa disebutkan dengan waskita ing nepsu atau landeping atau lanthiping panggraito. Waskita ing nepsu adalah kemampuan seseorang dalam mengelola nafsu (emosi) sebagai sumber energi dan informasi dalam mencapai keseimbangan hidup. Landheping panggraito/lanthiping panggraito yaitu ketajaman dalam menggunakan perasaan dalam mencapai keselarasan kehidupan. Rasa pangrasa adalah kemampuan mengedepankan rasa untuk diri dan orang lain untuk mewujudkan keselarasan sosial. 

Kecerdasan emosi dalam makna nafsu dipahami sebagai potensi yang dapat dikelola ke arah kebaikan, karena nafsu bukan bermakna negatif semata seperti kemarahan, kesedihan, namun jika potensi marah dan sedih mendapat pengelolaan yang optimal pada diri manusia, semuanya akan mengarahkan manusia ke dalam kesuksesan hidup. Konsep pemanfaatan nafsu dalam diri manusia relevan dengan konsep psikologi Islam yang menyatakan bahwa setiap manusia memiliki nafsu yang diibaratkan seperti api, tidak boleh dipadamkan dan ditiadakan, akan tetapi dibutuhkan pengaturan untuk mendorong aktivitas-aktivitas demi terwujudnya cita-cita. Namun demikian nafsu juga tidak selalu berada dalam jalan positif, tetapi bisa berada dalam jalan yang negatif, mengenaskan dan bahkan lebih hina dari yang tidak mempunyai akal pikiran. Dengan demikian, pernyataan ini identik dengan pernyataan Heider bahwa emosi berkaitan dengan sikap yang bersifat positif atau negatif (Heider, 1991). Efek positif mendekatkan pada suatu objek dan efek negatif menjauhkan dari objek (Lazarus, 1991). Dalam firman Allah disebutkan yang artinya: Maka pernahkah kamu lihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (al-Jasiyah 22). 

Orang Jawa sering menyebut istilah nafsu ini dengan kata nepsu. Nafsu merupakan lawan kata dari nafsi. Nafsi berarti diri sendiri, kedirian seseorang sebagai dirinya sendiri; sedangkan nafsu berarti keinginan (kecenderungan, dorongan) hati yang kuat (Herusatoto & Digdoatmadja, 2004). Wujud nafsi adalah sikap, pendapat, pendirian, keyakinan, sedangkan wujud nafsu adalah berkehendak, berkeinginan, berhasrat, dan mengharapkan. Perbedaan yang mencolok hanya pada sudut pandang penggunaannya. Nafsi dalam kondisi netral atau pasif, sedangkan nafsu dalam arti kondisi kausal (aktif) atau dalam arti kedirian yang negatif. Pengertian umum yang negatif yaitu dalam pengertian sebagai pengendalian diri dan dalam makna positif adalah sebagai pengembangan diri. 

Proses akulturasi, sosialisasi dan internalisasi budaya cukup kuat berpengaruh terhadap simbolisasi dan pemaknaan konsep-konsep Jawa (Lonner & Malpass, 1994; Koentjaraningrat, 2004). Proses akulturasi, sosialisasi dan internalisasi budaya tersebut tampak pada temuan konsep unsur-unsur nepsu dalam konteks Jawa yang identik dengan konsep Islam dalam perspektif kaum sufi. Konsep unsur-unsur nepsu dalam budaya Jawa meliputi empat sifat, yaitu a) aluwamah yaitu nafsu angkara murka yang dilambangkan dengan warna hitam, b) amarah yaitu orientasi pada sifat kemarahan, c) sufiah yaitu keinginan jasmaniah, dan d) muthmainah yaitu rasa terima kasih atas apa yang diberikan Tuhan ( W. Sugeng W. 11/3/2005 ; Woro, 1996). 

Penjabaran tentang nafsu ini relevan dengan kandungan Serat Dewa Ruci tentang hakekat warna cahaya hidup. Cahaya hidup ditunjukkan oleh Dewa Ruci kepada Bima berjumlah lima (cahya lima) atau disebut Pancamaya, yakni nafsu mutmainnah disimbolkan dengan cahaya putih, nafsu amarah disimbolkan dengan cahaya merah, nafsu sufiyah disimbolkan dengan cahaya kuning, nafsu lauwamah disimbolkan dengan cahaya hitam, dan penggabungan nafsu disimbolkan dengan cahaya gemerlapan (sinar zamrut). Kelima cahaya disebut dengan Nur Rajah Kalacaraka, yaitu daya atau kekuatan hidup yang berputar sepanjang masa. 

Dalam konteks Psikologi Islam, pembahasan tentang persoalan nafsu atau jiwa terkait dengan ruh, nafs, dan qalbu. Penjabaran tentang jiwa manusia menurut Al-Ghazali (dalam Nashori, 2003) meliputi hati, akal dan nafsu. Hati adalah raja, akal adalah perdana menterinya (wazir), nafs syahwat adalah tax collector (pengumpul pajak) dan nafs ghadhab diumpamakan sebagai polisi. Qalbu adalah alat untuk memahami realitas dan nilai-nilai, yang memiliki karakter tidak konsisten, dan substansi yang mandiri berupa qalbu yang sudah baik disebut dengan bashirah. 

Selain nafsu, temuan konsep istilah kecerdasan emosi juga dimaknai dengan olah rasa. Temuan ini mendukung pandangan Wimbarti (dalam Djuwarijah, 2002), yang menyatakan bahwa kecerdasan emosi dikenal dalam budaya Jawa dengan olah rasa. Dalam bahasa Indonesia, perkataan rasa mencakup baik dalam arti fisik (indera) maupun emosional (suka duka). Dalam Bahasa Jawa, perkataan ini juga berarti perasaan intuitif (bisikan kalbu) (Handayani & Novianto, 2004). Konsep rasa inilah yang dalam konteks Islam sufi identik dengan bashirah karena rasa merupakan pengalaman estetis yang dapat dijabarkan melalui jiwa yang dalam yaitu pengalaman spiritual. 

Deskripsi rasa dalam konteks Jawa misalnya dijabarkan oleh Suryomentaram (1989). Suryomentaram (1989) menggunakan istilah rasa (bahasa Jawa= roso atau raos) untuk mendeskripsikan emosi. Defiisi lebih tentang rasa dijelaskan oleh Mulder (1985) sebagai perasaan batin (intuisi) yang merupakan milik setiap orang. Rasa berarti menembus ke yang hakiki. Dalam rasa terjadi suatu pertumbuhan atau pendalaman keperibadian (Magnis-Suseno, 1984). Rasa sebagai pengalaman estetis berbeda dengan emosi, karena dalam rasa didapatkan kesungguhan pencerahan rohani dan pengalaman-pengalaman inti dasariah (Wiryomartono, 1993). Orang Jawa, lebih mengedepankan “rasa” yang merupakan sarana untuk menangkap kebenaran-kebenaran alam batin (dunia subjektif). Kebenaran dalam arti Barat adalah dunia obyektif yang ditemukan dengan pikiran, sedangkan kebenaran dalam arti Jawa adalah dunia subjektif yang ditemukan melalui “rasa”. Semakin tajam “rasa” seseorang maka semakin dekat orang itu dengan sumber kebenaran sejati (Mulder,1999; 2001). Dengan demikian rasa dalam konteks Jawa bermakna lebih dari sekedar rasa yang diungkapkan sebagai feeling, emotion, sentimentality, lust, mood, atau sensation. Orang Jawa memaknai rasa sebagai pengecapan, perasaan, karakter manusia, pernyataan dari kodrat Illahi dan hati nurani (Jatman, 2008). 

Rasa dalam konteks Jawa mempunyai dua makna, yaitu kemampuan (Drijarkara, 1989) dan sebuah alat (Stange, 1998). Rasa bermakna kemampuan lebih mengacu kepada kebijaksanaan yang sangat tinggi, sehingga dengan rasa manusia dapat memahami tempatnya sendiri, dirinya sendiri, dan memberi penilaian terhadap segala sesuatu (Drijarkara, 1989). Rasa dalam makna sebuah alat merupakan organ kognitif, yakni rasa sebagai kemampuan menunjukkan tingkat kedalaman atau ketinggihan kualitas seseorang. Rasa adalah alat kesadaran yang membawa individu masuk dalam kesadaran di luar pikiran dan panca indera. Kemampuan rasa dapat menerobos lapisan luar, meraih inti kedalaman untuk menuju ke perkembangan lebih lanjut, dari tataran personal ke tataran transpersonal ( Barry McWaters dalam Noesjirwan, 2000). 

Rasa merupakan tolok ukur pragmatis dari segala mistik orang Jawa atau kejawen. Berdasarkan hasil wawancara, FGD dan kuisioner pembuktian konsistensi terbuka dapat dikatakan bahwa rasa akan membawa keadaan diri menjadi puas, tenang, tentram batin (tentrem ing manah), dan ketiadaan ketegangan. Karena rasa merupakan respon kejiwaan yang diterima oleh indera atau bagian tubuh dari suatu obyek tertentu, ia dapat juga dipandang sebagai unsur psikologis manusia pada ranah afektif yang digunakan untuk menangkap kebenaran batiniyah (Endraswara, 2006). Rasa dalam konteks Jawa, pertama-tama merupakan kesadaran fisik di dalam badan, namun rasa yang kasar atau bertingkat rendah ini menjadi lebih halus dan secara progresif menembus melalui perasaan fisik batin ke dalam kesadaran emosi dan akhirnya memasuki rasa sejati yang merupakan kesadaran mistik dari getaran atau energi fundamental yang ada dalam seluruh kehidupan. 

Kedalaman pemaknaan kecerdasan emosi Jawa (menyangkut dunia lahir dan batin manusia) menjadi penyebab sulitnya orang Jawa mendefinisikan kecerdasan emosi dalam definisi yang lugas. Sebagaimana perolehan data subjek dalam wawancara mendalam, observasi dan hasil pembuktian konsistensi konsep kecerdasan emosi menyatakan bahwa definisi kecerdasan emosi sulit diungkapkan dalam bentuk kalimat, tetapi dideskripsikan dalam bahasa simbol. Simbol-simbol definisi kecerdasan emosi yang muncul misalnya kayu cendana, mega, air, warna, dan lampu menunjukkan bahwa kedalaman pemaknaan orang Jawa tentang keperibadian manusia. 

Kesulitan mendefinisikan kecerdasan emosi dipengaruhi pula oleh lingkungan budaya atau konteks kultur Jawa itu sendiri. Jawa (baca: Yogyakarta) termasuk ke dalam budaya kolektif yang secara garis besar masyarakatnya mengungkapkan pesan-pesan mereka melalui bahasa dan ungkapan-ungkapan yang implisit, sehingga perilaku yang tampak belum tentu sesuai dengan maksud yang sebenarnya. Lebih lagi dalam budaya Jawa masih melekat label stereotip bahwa budaya Jawa halus dan sopan, namun lemah dan tidak suka berterus terang. Apa yang dikatakan oleh orang Jawa adalah kemunafikan dan kelemahan, bukan kejujuran dan keterus-terangan (Mulyana, 1999). 

Agaknya penjelasan tentang ketidak-terusterangan orang-orang Jawa dalam konteks sekarang telah mengalami pemudaran. Berdasarkan pengakuan subjek dalam kuisioner pembuktian konsistensi konsep tertutup dari 214 subjek di dapatkan bahwa berbasa-basi dalam rangka rukun dan hormat disetujui hanya oleh 81 orang (38 %) dan mereka setuju bahwa konsep tersebut adalah memang konsep Jawa. Penjelasan tentang pengaruh kultur dalam berkomunikasi oleh Hall (dalam Gudykunst & Kim, 1997) dikeemukakan bahwa sebuah konteks (context) memang memainkan peranan kunci dalam menjelaskan beberapa perbedaan komunikasi. Namun demikian, dalam konteks Jawa kekinian agaknya proses akulturasi dan sosialisasi budaya cukup memberikan pengaruh terhadap keperibadian orang-orang Jawa, sehingga memunculkan terjadinya pergeseran konsep tadi di mana sebagian besar orang Jawa sudah berterus terang dalam berkomunikasi dengan orang lain. 

Temuan konsep tentang memudarnya basa-basi pada orang Jawa mendukung temuan Heppell (2004) tentang “Penyebab dan Akibat Perubahan Budaya Jawa di Yogyakarta” yang menyatakan bahwa selama dua belas tahun terakhir ini telah terjadi perubahan perilaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta. Generasi tua menyebutkan bahwa sering anak-anak muda sekarang ini menggunakan cara-cara baru dalam berinteraksi dengan teman-teman dan dengan masyarakat mereka, banyak orang muda yang tidak lagi menghormati orang tuanya dan norma-norma kebudayaan Jawa seperti sopan santun dalam berbicara, dan tampak perilaku generasi muda mempunyai kecenderungan lebih ekspresif, berani dan lugas (blak-blakan = Jawa) dalam interaksi sosial. Hal ini senada pula dengan ungkapan yang dikemukakan oleh Suraya (2003) yang mengatakan bahwa dengan adanya kemajuan teknologi dan arus globalisasi, maka terjadi perubahan dalam segala aspek kehidupan manusia dan berdampak pada sendi-sendi kehidupan masyarakat. Hal itu terjadi tidak terkecuali pada masyarakat Yogyakarta. 

Indikasi untuk mengatakan seseorang memiliki kecerdasan emosi pada masyarakat Jawa mencakup aspek spiritual, individual dan sosial. Perihal yang paling mendasar adalah kesadaran diri yang dalam kontek budaya Jawa senada dengan ajaran Socrates (dalam Hall & Lindzey, 1993) “kenalilah dirimu”, yaitu kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu-waktu perasaan itu muncul. Goleman (1996) menyebutnya dengan kesadaran diri, yaitu perhatian secara terus-menerus terhadap keadaan batin seseorang. Kesadaran dalam pemaknaan Jawa adalah penemuan ingsun atau dhiri yang sejati. Kesadaran ini ditemukan melalui pengalaman kesatuan mistis yaitu kawula lan gusti. Kesatuan kawula dan Gusti ini akan membuka realitas kesadaran diri manusia yang paling dalam dengan perwujudan awal berupa kawruh (tidak hanya sekedar pengetahuan), sebuah kejadian yang merubah diri manusia ke dalam hakikak eksistensinya. Secara riil, kesadaran diri ini dipraktekkan dengan membuat peralihan dari kesadaran yang berpusat pada pikiran pada kesadaran yang berpusat pada rasa. Penjelasan ini menunjukkan perbedaan dengan pandangan Barat yang mengandalkan pencarian kebenaran pada akal pikiran atau pikiran rasional saja. Sedangkan bagi orang Jawa, kebenaran sejati ditemukan melalui pengelolaan rasa, dan rasa inilah merupakan tolok ukur tertinggi bagi tercapainya tingkat kemajuan rohani manusia, yang menurut Jatman (2008) kebahagiaan hidup hanya dapat dicapai atau diraih dengan menata rasa. Kesadaran melalui rasa mengantarkan pribadi Jawa menjadi pribadi yang peka kepada dirinya dan situasi sosial, yaitu kemampuan dalam mengembangkan sikap empati kepada diri dan orang lain. 

Bangunan kesadaran diri akan menjadikan diri seseorang semakin terampil dalam membaca perasaan diri dan orang lain, dan ini dikenal dengan konsep tata. Kunci kemampuan untuk membaca perasaan orang lain ini ditandai dengan kemampuan dalam membaca isyarat non-verbal; nada bicara, gerak-gerik, atau mimik orang yang berkomunikasi. Sesungguhnya kebenaran emosional berada pada cara atau bagaimana mengatakan, bukan pada apa yang dikatakan. Secara nyata, kultur Jawa menghindari perilaku yang menunjukkan emosi secara eksplisit, lebih-lebih dengan kata-kata. Kenyataan ini seakan-akan merupakan kesepakatan yang harus dipegang bersama untuk tetap menjaga harmoni dan keselarasan sosial. 

Konsep ciri-ciri kecerdasan emosi ini juga menunjukkan bahwa orang Jawa itu rila dan narima ing pandum, berarti bahwa orang Jawa berprinsip hidup sak madya dan mengindikasikan bahwa orang Jawa selalu berusaha menempatkan segala sesuatu dalam keadaan seimbang atau cenderung berada di tengah. Dalam kondisi gembira mereka tidak mengekspresikan kegembiraan yang berlebihan dan dalam kondisi marah pun mereka tidak memperlihatkan kemarahannya secara meletup-letup serta, dan dalam kondisi sedih mereka tidak mengekspresikan dengan kesedihan yang mendalam. Hal ini membuat kesan bahwa orang Jawa terkesan tanpa emosi dan tampak datar, karena kuatnya mereka dalam mengendalikan dan mengontrol setiap dorongan emosi yang muncul (Prawitasari, 1991). 

Kecerdasan Emosi hanya dapat dicapai melalui proses pengembangan rasa melalui pendalaman ngelmu dan laku Jawa. Hal ini relevan dengan temuan Stange (1998) yang menyatakan bahwa “ilmu” yang utama adalah ngelmu. Dalam konteks Indenesia, istilah ilmu mendekati pengertian Barat tentang ilmu pengetahuan (knowledge), tetapi ilmu dalam konteks Jawa lebih merujuk pada gnosis (Bagus, 1996) yang lebih berorientasi pada mistik atau spiritual daripada intelektual semata. Ilmu dalam konteks Jawa memiliki hakekat bukan hanya pikiran saja yang “tahu”, melainkan keseluruhan tubuh dengan segenap organ di dalamnya juga “tahu”. Kesadaran pengetahuan yang demikian inilah yang mendasari teori mistik Jawa yang mendasarkan pada kesadaran dalam keperibadian. Dengan demikian untuk dapat melakukan pengukuran terhadap keperibadian orang Jawa dituntut untuk melakukan perenungan yang dalam. 

Dengan demikian, ngelmu dalam konteks keperibadian Jawa ini bertalian erat dengan “rasa”. Rasa menurut Stange (1998) merupakan alat atau sarana persepsi atau fungsi dari bisikan kalbu atau intuisi. Dalam bahasa Indonesia, perkataan rasa mencakup baik dalam arti fisik (indera) maupun dalam arti emosional (suka duka). Dalam bahasa Jawa, perkataan ini juga berarti perasaan intuitif (bisikan kalbu). Rasa adalah hal yang substansial dan hakekat dari apa yang diterima atau dipahami dan alat gerakan atau bagian tubuh yang menerimanya.Aliran Kejawen Sumarah, rasa dipandang sebagai alat atau unsur psikologis manusia yang bermakna alat (pikiran). Pikiran (mind) merupakan sarana yang digunakan untuk menangkap kebenaran-kebenaran alam batiniyah. 

Kedua, orang Jawa apabila ingin menjadi seorang yang cerdas emosinya (terkendali nafsu-nafsunya) harus menempuh laku (tapa). Laku tapa bagi orang Jawa bukanlah suatu tujuan pada dirinya sendiri, melainkan sebuah media diri untuk menguasai tubuhnya sendiri, mengatur dan membudayakan dorongan-dorongannya dan bukan untuk meniadakannya. Tapa yang dapat dilakukan adalah pertama; tapa brata, yaitu sebagai upaya untuk mendapatkan pengalaman manunggaling kawula Gusti. Kedua; Tapa jasad, yakni laku badan jasmani. Di sini hati seseorang dikelola agar selalu ada dalam keadaan bebas dari sifat benci dan sakit hati, rela atas nasibnya, dan merasa dirinya lemah dan tak berdaya. Ketiga; Tapa budi, yakni laku batin atau laku tirakat dan perihatin, seperti berpuasa. Hati harus jujur, menjauhi berbuat dusta, dan segala janji harus ditepatinya, Tapa hawa nafsu, yakni berjiwa sabar, alim, dan suka memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain. 

Deskripsi tentang dimensi kecerdasan emosi diperkuat oleh hasil validasi internal konsep dengan analisis faktor kecerdasan emosi yaitu bahwa seluruh faktor (narima ing pandum, tata diri, niat dan kehendak sejati, empati dan keselarasan sosial merupakan variabel pembentuk kecerdasan emosi. Deskripsi data hasil validitas eksternal konsep kecerdasan emosi menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kecerdasan emosi antara laki-laki dan perempuan dalam konstruk sosial, namun terdapat perbedaan kecerdasan emosi berdasarkan strata sosial Jawa (wong cilik dan priyayi), kecerdasan emosi wong cilik lebih tinggi dibandingkan priyayi. Berdasarkan usia pada uji validitas eksternal konsep juga menunjukkan perbedaan kecerdasan emosi antara kelompok dewasa awal, dewasa tengah dan dewasa akhir, semakin tua usianya maka semakin tinggi kecerdasan emosinya. 

Secara mendasar dapat dipahami bahwa konsep kecerdasan emosi dalam konteks Jawa bukan hanya sekedar merupakan psychological trait atau soft skill yang bersifat netral dan periferal. Kecerdasan emosi dalam konteks Jawa merupakan kemampuan seseorang dalam mengelola nafsu yang didasarkan pada nilai-nilai etis atau moral Jawa dan bersifat sentral.

No comments:

Post a Comment