PEMBATALAN SUATU PERJANJIAN : Dalam syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa, apabila suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and void). Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di muka hakim, karena dasar-hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan, karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.
Apabila, pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subyektif, maka sebagaimana sudah kita lihat, perjanjian itu bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalannya (cancelling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah : pihak yang tidak cakap menurut hukum (yang meminta : orangtua atau wali nya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap), dan pihak yang memberikan perijinan atau menyetujui itu secara tidak bebas.
Tentang perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Keadaan tersebut dapat seketika dilihat oleh hakim. Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, teranglah bahwa perjanjian yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum atau kesusilaan. Hal yang demikian juga seketika dapat diketahui oleh hakim. Dari sudut keamanan dan ketertiban jelaslah bahwa perjanjian-perjanjian seperti itu harus dicegah.
Tentang perjanjian yang ada kekurangannya mengenai syarat-syarat subyektifnya yang tersinggung adalah kepentingan seseorang, yang mungkin tidak mengingini perlindungan hukum terhadap dirinya, Misalnya, seorang yang oleh Undang-Undang dipandang sebagai tidak cakap, mungkin sekali sanggup memikul tanggung-jawab sepenuhnya terhadap perjanjian yang telah dibuatnya. Atau, seorang yang telah memberikan persetujuannya karena khilaf atau tertipu, mungkin sekali segan atau malu meminta perlindungan hukum. Juga adanya kekurangan mengenai syarat subyektif itu tidak begitu saja dapat diketahui oleh hakim jadi harus dimajukan oleh pihak yang berkepentingan, dan apabila dimajukan pada hakim, mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan, sehingga memerlukan pembuktian.
Oleh karena itu maka dalam halnya ada kekurangan mengenai syarat subyektif, oleh Undang-Undang diserahkan pada pihak yang berkepentingan apakah ia menghendaki pembatalan perjanjiannya atau tidak. Jadi, perjanjian yang demikian itu, bukannya batal demi hukum, tapi dapat dimintakan pembaialan.
Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan sepakat itu harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidak bebas, yaitu : paksaan, kekhilafan dan penipuan. Yang dimaksud dengan pemaksaan adalah pemaksaan rohani atau jiwa (psikis), jadi bukan paksaan badan atau phisik. Misalnya salah satu pihak karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Jadi kalau, seorang dipegang tangannya dan tangan itu dipaksa menulis tanda tangan di bawah surat perjanjian, maka itu bukanlah paksaan dalam arti yang dibicarakan, yaitu sebagai salah satu alasan untuk meminta pembatalan perjanjian yang telah dibuat itu. Orang yang dipegang tangannya secara paksaan ini tidak memberikan persetujuannya sedangkan yang dipersoalkan disini adalah orang yang memberikan persetujuan (perijinan), tetapi secara tidak bebas, sepertinya seorang yang memberikan persetujuannya karena ia takut terhadap suatu ancaman misalnya akan dianiaya atau akan dibuka suatu rahasia kalau ia tidak menyetujui suatu perjanjian. Yang diancam itu harus suatu perbuatan yang terlarang, kalau yang diancam itu suatu tindakan yang memang diijinkan oleh undang-undang misalnya ancaman akan digugat di muka hakim, akan tidak dapat dikatakan tentang suatu paksaan. Adalah dianggap sebagai sebagai mungkin, bahwa paksaan itu dilakukan oleh seorang ketiga. Lain halnya dengan penipuan yang hanya dapat dilakukan oleh pihak lawan.
Kekhilafan atau Kekeliruan terjadi, apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga, seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya. Kekhilafan mengenai barang terjadi misalnya jikalau orang membeli sebuah lukisan yang dikiranya dari Basuki Abdullah dan kemudian ternyata hanya turunan saja. Kekhilafannya mengenai orang terjadi misalnya jika seorang Direktur Opera mengadakan suatu kontrak dengan orang yang dikiranya seorang penyanyi yang tersohor, padahal bukan orang yang dimaksudkan, hanyalah namanya saja yang kebetulan sama. Kekhilafan yang demikian itu juga merupakan alasan bagi orang yang khilaf itu untuk meminta pembatalan perjanjiannya. Adapun kekhilafan itu hams diketahui oleh lawan, atau paling tidak sedikit hams sedemikian rupa bahwa pihak lawan itu sepatutnya hams mengetahui bahwa ia berhadapan dengan seorang yang berada dalam kekhilafan. Kalau pihak lawan itu tidak tahu ataupun tidak dapat mengetahui bahwa ia berhadapan dengan orang khilaf, maka adalah tidak adil untuk membatalkan perjanjiannya. Orang yang menjual lukisan yang disebutkan di atas hams mengetahui bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan ia membiarkan pembeli itu dalam kekhilafannya. Begitu pula penyanyi yang disebut di atas hams mengetahui bahwa direktur opera itu secara khilaf mengira mengadakan kontrak dengan penyanyi yang tersohor yang namanya sama.
Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan akal-akalan yang cerdik (tipu-muslihat), untuk membujuk pihak lawannya memberikan, perijinannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Misalnya mobil yang ditawarkan diganti dulu merknya, nomor mesinnya dipalsu dan lain sebagainya. Menumt yurispmdensi maka tak cukuplah kalau orang itu hanya melakukan kebohongan mengenai sesuatu hal saja, paling sedikit hams ada suatu "rangkaian kebohongan " atau suatu perbuatan yang dinamakan "tipu-muslihat", seperti yang dilakukan oleh si penjual mobil tersebut di atas.
Dengan demikian maka ketidak-cakapan seorang dan ketidak-bebasan dalam memberikan perijinan dalam suatu perjanjian, memberikan hak kepada pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan sepakatnya itu untuk meminta pembatalan perjanjiannya. Dengan sendirinya hams dimengerti bahwa pihak lawan dari orang-orang tersebut tidak boleh minta pembatalan itu. Hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh undang-undang diberi perlindungan itu. Memintanya pembatalan itu oleh pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibatasi sampai suatu batas waktu tertentu yaitu 5 tahun, waktu mana mulai berlaku : dalam halnya ketidak-cakapan suatu pihak, sejak orang ini menjadi cakap menumt hukum, dalam halnya paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti. Dalam halnya kekhilafan atau penipuan sejak hari diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu. Pembatasan waktu tersebut tidak berlaku terhadap kebatalan yang dimajukan selaku pembelaan atau tangkisan, yang mana selalu dapat dikemukakan. Memang ada dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian itu. Pertama, pihak yang berkepentingan dapat secara aktif yaitu sebagai penggugat meminta kepada hakim supaya perjanjian itu dibatalkan. Cara yang kedua ialah menunggu sampai ia digugat di muka hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut. Di muka sidang Pengadilan itu lalu ia sebagai tergugat mengemukakan bahwa perjanjian tersebut telah disetujuinya ketika ia masih belum cakap, ataupun disetujuinya karena ia diancam, atau karena ia khilaf mengenai obyeknya perjanjian atau karena ia ditipu. Dan di muka sidang pengadilan itu ia mohon kepada hakim supaya perjanjian dibatalkan. Meminta pembatalan secara pembelaan inilah yang tidak dibatasi waktunya.
Terhadap azas konsensualitas yang dikandung oleh pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ada kekecualiannya, yaitu di sana-sini oleh Undang-Undang ditetapkan suatu formalitas untuk beberapa macam perjanjian, misalnya : perjanjian penghibahan benda tak bergerak haras dilakukan dengan akte notaris, perjanjian perdamaian harus dibuat secara tertulis dan lain sebagainya. Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan sesuatu formalitas atau bentuk cara tertentu itu sebagaimana sudah kita lihat, dinamakan perjanjian formil. Apabila perjanjian yang demikian itu tidak memenuhi formalitas yang ditetapkan oleh Undang-undang, maka ia adalah batal demi hukum.
No comments:
Post a Comment