FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KRISIS EKONOMI : Awal krisis ekonomi yang melanda Indonesia mulai tampak pada pertengahan bulan Juli 1997 yaitu mulai dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap US dollar. Nilai tukar rupiah terhadap US dollar pada pertengahan bulan Juli 1997 adalah US $ 1 = Rp. 3.000,- dari Rp. 2.500,- terus menurun menjadi US $ 1 = Rp. 8.650,- pada tanggal 15 Januari 1998 pernah hampir mencapai US $ 1 = Rp. 17.500,-.
Pada akhir pemerintahan Presiden Habibie nilai tukar rupiah terhadap US dollar mulai stabil dan menguat yaitu sebesar US $ 1 = Rp. 6.750,-.
Pada awal pemerintahan Abdurrahman Wahid kurs rupiah pada bulan Oktober 1999 US $ 1 berkisar di bawah Rp. 7.000,- dan terus menurun tajam menjadi US $ 1 mendekati Rp. 12.000,- pada akhir bulan April 2001.
Faktor-faktor penyebab krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia, antara lain di sebabkan:
Krisis Ekonomi Periode I (Juli 1997 s/d bulan Oktober 1999).
1. Krisis kepercayaan terhadap uang rupiah di mana masyarakat lebih mempercayai US dollar daripada rupiah dan akibatnya mereka berlomba-lomba menukar uang rupiahnya ke mata uang US dollar. Hal ini disebabkan antara lain kurang transparansinya pihak pemerintah dalam mengelola keuangan negara. Perlunya transparansi dalam konteks penggunaan anggaran belanja negara sangat diperlukan sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat. Kita tidak akan mendapat kepercayaan bila tida ada transparansi. Lebih cepat tindakan diambil akan lebih cepat pula kita menuai buah usaha kita.
2. Krisis rupiah yang semula hanya bersifat kejutan dari luar (external shock) telah meluas menjadi krisis ekonomi yang berakibat luas, baik terhadap perusahaan maupun rumah tangga. Fondasi perekonomian Indonesia yang semula dianggap kuat ternyata tidak menunjukkan ketahanan menghadapi permasalahan akibat krisis nilai rupiah terhadap US dollar. Dari krisis ini tampak betapa secara struktural modal swasta berskala besar sangat lemah sebagaimana diperlihatkan oleh besarnya hutang dan lemahnya daya saing di pasar yang semakin terbuka. Pemerintah pun tidak mempunyai kewibawaan yang memadai dalam mengatasi krisis ini. Melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap US dollar berdampak luas, karena otoritas moneter juga melakukan kebijaksanaan uang ketat. Akibatnya, baik pengusaha maupun rumah-tangga terkena dua-kali pukulan. Pukulan dari melemahnya Rupiah dan pukulan akibat langkanya Rupiah.
3. Akibat Peraturan Pemerintah yang dikenal dengan Paket Oktober 1988 yang memungkinkan seseorang dengan modal Rp. 10.000.000.000,- dapat mendirikan bank berdampak buruk akibat kurang pengawasan dari Bank Indonesia. Bank Indonesia tidak atau terlambat men-deteksi pelanggaran yang dilakukan oleh bank-bank Swasta. Hal ini disebabkan karena ketidak-siapan aparat dan sistim dalam mengawasi ratusan bank yang bermunculan dengan cepat. Bank Indonesia kemungkinan tak berani mengambil tindakan tegas karena pemiliknya punya akses kuat kepada kekuasaan. Di samping itu bank swasta banyak menyelewengkan dana-dana yang diterima dari Bank Indonesia maupun dana-dana yang diterima dari masyarakat. Bank swasta banyak melakukan pelanggaran antara lain dengan menyalurkan kredit bank kepada grupnya sendiri atau anak perusahaan dari pemilik bank itu sendiri, antara lain disalurkan kepada usaha Real-Estate (perumahan mewah), pembangunan gedung-gedung bertingkat mewah, mendirikan super-market dan lain sebagainya yang tidak menyentuh kepentingan masyarakat banyak, akibatnya penyalahgunaan kredit yang sebagian besar digunakan untuk kepentingan pribadi dan ada juga yang di investasikan di luar negeri akhirnya bank swasta tersebut tidak mampu mengangsur cicilan kreditnya kepada bank penyalur kredit cq Bank Pemerintah/BI. Untuk mengatasi hal tersebut Pemerintah atas desakan IMF sebagai pra-syarat bantuan IMF kepada Indonesia, Pemerintah Indonesia telah melikuidasi 16 bank swasta. Pemerintah Indonesia juga melakukan merger di antara bank-bank Pemerintah sendiri agar bank Pemerintah bertambah kuat dan solid.
4. Hutang luar negeri swasta berjangka pendek yang akan jatuh tempo pada bulan Maret 1998, telah mencapai US$. 9,6 milyard, meliputi hutang pokok dan pinjaman. Posisi hutang luar negeri yang ditanggung oleh perusahaan swasta itu merupakan bagian hutang luar negeri swasta sebesar US$ 65 milyard dari total pinjaman luar negeri Indonesia sebesar US$ 117,3 milyard per September 1997. Jadi sekitar 50% atau US$ 32,5 milyard hutang swasta dikategorikan hutang berjangka pendek, termasuk surat berharga komersial. Diperkirakan, hutang swasta yang jatuh tempo rata-rata mencapai US$ 2,708 milyard per bulan, jumlah yang tentunya sangat membebani neraca pembayaran hutang ini jugalah yang menyebabkan kelangkaan Dollar. Perkembangannya bukan lagi apakah pinjaman swasta tersebut berjangka pendek, menengah atau panjang. Namun Bank Indonesia harus mendapat kepastian seberapa banyak sektor swasta akan segera memenuhi hutang luar negerinya. Kewaspadaan terhadap pinjaman komersial luar negeri sektor swasta penting dilakukan, minimal menyangkut dua hal. Pertama, adanya kecenderungan yang terus meningkat dalam dua tahun terakhir dan kedua adanya kekurangan data dari Pemerintah dalam mendapatkan angka jumlah hutang sektor swasta. Bahkan diperkirakan merosotnya nilai tukar Rupiah antara lain disebabkan oleh terus membengkaknya hutang luar negeri yang ditanggung swasta, sehingga begitu kewajiban untuk membayar hutang luar negeri yang jatuh tempo, sementara pada saat yang sama kondisi moneter di dalam negeri sedang kacau, maka kesulitan langsung membelit mereka (AD.Uphadi Media Indonesia, 4 Desember 1997).Disarankan untuk menanggulangi hutang luar negeri swasta agar diselesaikan oleh mereka sendiri. Pemerintah hanya sekedar memantau saja.
5. Adanya kolusi antara Bank Indonesia dengan para pemilik Bank swasta dalam hal pemberian dana segar kepada pemilik bank swasta yang berlebih-lebihan tanpa memperhitungkan bank swasta itu sehat atau tidak menambah meningkatnya krisis ekonomi dan krisis kepercayaan. Seyogyanya kasus Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia) yang dikenal dengan kasus Edy Tamsil menjadi pelajaran yang pahit agar tidak terulang malah korupsi model Edy Tamsil dikembangkan semakin canggih oleh para koruptor di dunia perbankan. Krisis perekonomian Indonesia lebih diperparah dengan diberikannya dana Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) terhadap bank-bank swasta yang kental dengan aroma KKN.
6 Adanya pelarian modal investasi khususnya yang berasal dari dana BLBI dalam bentuk US dollar oleh para konglomerat Indonesia ke luar negeri juga menambah memperburuk-nya perekonomian Indonesia.
7 Menurunnya nilai mata-uang Asia terhadap US dollar sekitar bulan Juli 1997 sampai dengan bulan Desember 1997 seperti Baht Thayland, Won Korea Selatan, Ringgit Malaysia, Peso Philippina, Dollar Taiwan, Dollar Singapore, Rupee India, turut-serta secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi nilai tukar Rupiah terhadap US dollar.
Krisis Ekonomi Periode ke II (Oktober 1999 s/d sekarang)
1. Pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid bahwa apabila Memorandum II dikeluarkan akan terjadi “pemberontakkan nasional” dan bahwa lima daerah akan merdeka termasuk Madura, serta bangsa Indonesia akan pecah apabila dirinya mengundurkan diri/berhenti sebagai Presiden. Pernyataan ini menimbulkan rasa ketakutan dari para pelaku bisnis dan masyarakat akibatnya nilai kurs rupiah terhadap US dollar menurun tajam mendekati US $ 1 = Rp. 12.000,-
2. Pemerintah terkesan ragu-ragu memberantas KKN, khususnya kepada para konglomerat penerima dana BLBI yang sampai sekarang belum diambil tindakan-tindakan kepada Marimuntu Sinivasan (Group Texmaco), Syamsul Nursalim dan Prajogo Pangestu. Padahal bukti-bukti yang bersangkutan merugikan keuangan negara sudah jelas. Alih-alih merasa bersalah malah ada dari anak perusahaan yang bersangkutan mengajukan kredit tambahan modal kepada bank pemerintah dengan alasan agar perusahaannya tetap jalan dan ribuan karyawannya dapat tetap bekerja. Rupanya korupsi model Edy Tamsil betul-betul di manfaatkan untuk mengeruk uang Negara melalui perbankan .
3. Hasil Audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terhadap penggunaan APBN Tahun Angaran 2000. Lembaga ini menemukan penyelewengan dana senilai Rp. 8,5 triliun dengan 925 penyimpangan. Dan pada tahun anggaran sebelumnya ditemukan penyelewengan senilai Rp. 3,87 triliun dengan 834 penyimpangan Yang lebih mengejutkan lagi dari Audit BPK Tahun Anggaran 2000 penyimpangan di Sekretariat. Negara dan Sekretariat Kepresidenan masing-masing sebesar 50,82 % dan 57,93 %. Sementara di Departemen Kehakiman dan HAM sebesar 57,01 %. Ini sungguh luar biasa. Lembaga-lembaga yang mestinya memberi contoh efisiensi ternyata telah menjadi kampiun dalam penyimpangan uang negara. (Sumber: Media Indonesia, 23 Februari 2001). Hal ini menambah ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
4. KKN belum sepenuhnya diberantas dan malah sekarang terkesan tambah meningkat dan menjamur.
5. Stabilitas politik dan keamanan yang tidak kondusif akibat hubungan eksekutif dan legislatif memburuk, adanya gerakan-gerakan separatis (GAM), OPM, Front Kedaulatan Maluku (RMS), konflik antar suku masih berlanjut, kriminalitas melonjak, orang makin sadis, pro dan kontra presiden Gus Dur kian sengit, hubungan dengan IMF tersendat, investor berlarian ke negara lain, hal-hal ini lebih memperparah keterpurukan perekonomian Indonesia.
6. Menurunnya legitimasi Pemerintahan Gus Dur.
7. Kita mendukung usaha-usaha Gus Dur untuk memberantas KKN terhadap mantan pejabat-pejabat negara masa Orde Baru asal fair dan cukup bukti untuk segera diperiksa dan di diadili di Pengadilan Negeri. Akan lebih arif apabila Pemerintahan Gus Dur memberikan prioritas utama menangkap dan menyeret ke Pengadilan para pelaku koruptor penerima dana BLBI dan para pejabat Bank atau siapa saja yang terkait dan terbukti melakukan KKN dalam penyaluran dana BLBI. Tapi kenyataannya alih-alih para tersangka BLBI dihadapkan ke Pengadilan malah para tersangka tersebut dilepas dan dijadikan tahanan rumah yaitu antara lain mantan Preskom Bank Moderen Samadikun Hartono dan mantan Presdir Bank Umum Nasional Kaharuddin Ongko.
Sedang tersangka korupsi lain seperti Faisal Abda’oe, David Nusa Wijaya, Syamsul Nursalim, Heru Soeprapto, Hendro Budiyanto, Samadikun Hartono, Kaharuddin Ongko, dan Praptono H Tjitroupoyo juga dilepas dari tahanan Kejaksaan Agung. Tersangka korupsi Syamsul Nursalim sekarang ditahan dirumah sakit Medistra karena alasan sakit. Diketahui yang bersangkutan setiap jam 03.00 WIB. malam keluar keluyuran meninggalkan rumah sakit.
Hal-hal yang seperti inilah menambah ketidak percayaan rakyat terhadap Pemerintah atas kesungguhan Pemerintah memberantas KKN. Seakan-akan para konglomerat tersebut kebal hukum padahal mereka nyata-nyata merugikan keuangan negara.
Jangan dikira cara-cara Kejaksaan Agung dalam mengusut para tersangka KKN tidak dipantau oleh negara-negara donor.
Ketidak mampuan pihak Kejaksaan Agung dalam menuntaskan pemberantasan KKN, turut memberikan andil kepada ketidakpercayaan lembaga-lembaga keuangan Internasioanl seperti IMF menunda mencairkan bantuannya kepada Indonesia.
No comments:
Post a Comment