TERJADINYA GEGAR BUDAYA (CULTURAL SHOCK) : Gegar budaya seperti yang sering terjadi diberbagai kota maupun dipedalaman, menunjukkan betapa pentingnya pengetahuan tentang budaya etnis, kelompok usia, kelompok agama maupun kelompok tradisi tertentu ditanah air. Dalam satu RW terjadi pertikaian antar RT, antar gang, antar pendukung sekte keagamaan bahkan antar pendukung partai. Ironis memang, namun itulah naluri dasar manusia yang paling primitif selalu timbul bila terjadi perbedaan kepentingan (pribadi, kelompok maupun ajaran tertentu). Berikut ini faktor-faktor penyebab terjadinya gegar budaya.
Antropolog Cylde Khuckpohn memperingatkan kita bahwa setiap jalan kehidupan yang berbeda, memiliki asumsi tentang tujuan keberadaan manusia, tentang apa yang diharapkan dari orang lain dan dari Tuhan, tentang apa yang menjadi kejayaan dan kegagalan. Aspek budaya terbuka (overt) dan tertutup (covert) menunjukkan bahwa banyak kegiatan sehari-hari kita dipengaruhi oleh pola dan tema yang asal (genuine) dan maknanya kurang kita sadari. Kelakuan (behavior) dipengaruhi oleh budaya itu memudahkan kebiasaan (habits) hidup sehari-hari, sehingga seseorang melakukan banyak perbuatan (terutama yang aneh, menyimpang dan fatal) tanpa memikirkan akibat dari perilakunya tersebut. Terjadilah pelaziman budaya (cultural conditioning) itu memberikan kebebasan untuk secara sadar memikirkan usaha baru ( inovasi ) yang kreatif. Ekses kebebasan tanpa sadar membuat kelakuan kita dapat menggerakkan timbulnya masalah nasional, seperti rasisme (etnosentrisme dibeberapa daerah), yang akibatnya berdampak global. Untuk penyelesaian masalah ini diperlukan peraturan perundang-undangan dan reedukasi dalam upaya menciptakan suasana aman, tenteram, adil, berkepastian hukum bagi seluruh warga.
Dalam budaya multietnis, multi agama, multi dimensional seperti di kota Medan khususnya, terdapat budaya dominan yang sama. Namun juga terdapat subkultur dengan cirri-ciri yang dapat memisahkan dan membedakannya dari sub kelompok lainnya.
Klarifikasi subkultur ini didasarkan kepada : Usia, kelas sosial, jenis kelamin, ras atau etnis lain yang membedakan mikrokultur yang satu dengan mikrokultur yang lainnya. Perbedaan itu bisa didasarkan atas usia, pekerjaan ( pegawai kantor, buruh perkebunan, pabrik dll ), polisi, tentara, mahasiswa, mungkin juga kelompok dunia bawah tanah ( gay, homo seksual, pengguna narkoba, premanisme dll ).
Unsur-unsur universal dan keaneka ragaman budaya (universals and cultural diversity) juga menjadi penyebab timbulnya gegar budaya, manakala aktivitas tertentu secara lintas budaya yang bersifat unik oleh masyarakat tertentu tidak dapat diterima oleh kelompok masyarakat lainnya. Hubungan erat antara budaya dan perilaku manusia ini dikomentari oleh Leislie White sebagai suatu penjelasan mengenai perbedaan budaya diantara bangsa itu bersifat kaku, tidak imajinatif dan tidak lazim, kita bisa memandang perilaku ini sebagai perbedaan dalam tradisi budaya yang menggairahkan pendukungnya masing-masing.
Penyebab gegar budaya lainnya adalah perilaku rasional, irasional dan non rasional. Perilaku rasional dalam suatu budaya didasarkan atas apa yang dianggap masuk akal oleh suatu kelompok dalam mencapai tujuan –tujuan atau kepentingannya. Perilaku irasional menyimpang dari norma-norma menyimpang yang diterima suatu kelompok masyarakat ( etnis, agama, partai, OKP dll ). Kelompok budaya yang berperilaku irasional biasanya bertindak tanpa logika dan dimungkinkan sebagian besar oleh suatu respons emosional, sedangkan perilaku nonrasional tidak berdasarkan logika, dan tidak bertentangan dengan pertimbangan masuk akal, semata-mata dipengaruhi oleh budaya atau subkultur seseorang. Berbagai peristiwa seperti Sambas, Sampit, Poso, Ambon, Aceh Banyuangi bisa dikategorikan kedalam jenis ini, suatu ketika kita sadar mengapa melakukan perilaku ini, dan para individu yang terlibat juga kadang tidak sadar dan percaya mengapa melakukan. Bahkan mungkin dipengaruhi oleh prasangka yang berat sebelah memandang perbedaan kultur. Bahkan pertentangan politik dapat dibawa ke lembaga mental psikologis, karena perilaku mereka sering dianggap irasional ataupun non rasional. (contoh PKB, Golkar, Muhammadyah di Jatim).
Faktor penting lainnya pemicu gegar budaya, manakala kita tidak memahaminya adalah TRADISI. Tradisi melengkapi masyarakat dengan suatu tatanan mental yang berpengaruh kuat atas sistem moral untuk menilai apa yang dianggap benar atau salah, baik atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Suatu budaya diekspresikan dalam tradisi, tradisi yang memberikan para anggotanya suatu rasa memiliki dalam suatu keunikan budaya. Tradisi juga dimiliki oleh suatu organisasi sipil, militer, agama dan suatu kelompok masyarakat ( perhatikan ucapara keprotokolan mereka !).
Tradisi walaupun merupakan norma dan prosedur yang harus ditaati bersama, juga harus menyesuaikan dengan perkembangan jaman, pengetahuan dan teknologi menuju terciptanya budaya global.
Perbedaan-perbedaan budaya dengan segala keunikannya, merupakan pemicu “ benturan budaya “, bila manager kosmopolitan yang multicultural tidak mampu mencermati perobahan jaman. Mereka harus mampu menghargai dan mampu berkomunikasi dengan kelompok budaya yang ada dalam wewenang manajerialnya. Tidak memaksakan sikap-sikap ( attitudes ) dan pendekatan-pendekatan budaya yang dimilikinya terhadap orang lain. Sikap menghargai budaya oranglain yang beda merupakan syarat kepemimpinan multi budaya dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sikap ini mutlak dimiliki bila tidak ingin disebut Pemimpin Etnosentrisme.
Pemahaman tentang komunikasi antar budaya, komunikasi lintas budaya, ataupun komunikasi silang budaya mutlak diperlukan bagi para pemimpin, elite politik, negarawan , pelaku bisnis, penegak hukum, ulama, manggala praja ( polisi dan tentara ), manager personalia, pengelola sumber daya insani disetiap strata kehidupan bangsa kita. Melalui proses pembelajaran sepanjang hayat ( life longeducation ), pengayaan ( enrichment ) , pengalaman lintas budaya dan budaya dialog ( berbagai bidang ) kita akan menjadi lebih toleran, terbuka, peduli, percaya diri, rasa hormat dan lapang dalam menghadapi ketidak adilan, keganjilan, kesewenangan, kebiadaban dan kebrutalan budaya untuk kemudian mencari terapi penyelesaian masalah.
Melalui proses pengalaman dan studi formal mengenai konsep budaya, akan menambah kesadaran kita terhadap dampak budaya asli kita masing-masing, disamping itu kita mendapat pandangan baru ( newvision ) dalam memperbaiki komunikasi kita dengan orang lain.
Kemampuan pribadi (personal mastery) seorang pemimpin multi budaya, akan bertambah dan meningkat manakala ia mau dan mampu menjalin dan membangun komunikasi silang budaya melalui harmoni dan sinerji, bahkan melakukan kolaborasi budaya dilingkungan kerjanya.
Proses pembelajaran, pengayaan, dan pengalaman bagi para pemimpin dapat dan harus dilakukan terus menerus sesuai perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi komunikasi global, dimana dunia semakin sempit, negara tanpa batas (borderless state) dan berkembangnya informasi maya (melalui internet).
Kesadaran para pemimpin dan pemuka masyarakat bahwa budaya dan perilaku seseorang atau golongan adalah relatif, karenanya untuk menyiasati agar komunikasi lintas budaya berjalan serasi dan harmonis pemimpin harus luwes dan luas ( visioner ) dalam berinteraksi dengan orang lain yang menjadi bawahan, rakyat, kawula, warga, pengikut ataupun anggota suatu kelompok masyarakat.
Referensi (Rujukan Bacaan)
- Komunikasi Antar Budaya, cetakan kelima Pebruari 2000 ( DR. Deddy Mulyana, MA, - Drs. Jalaluddin Rakhmad, M.Sc ).
- The Leader of The Future, cetakan kedua Agustus 1997 ( Frances Hesselbein, Marshall Goldsmith, Richard Beck hards – editor ).
- Leadership and The New Science, cetakan pertama, Mei 1997 ( Margaret J. Wheatley ).
- Pengalaman pribadi selama bertugas sebagai Pegawai Negeri Sipil Departemen Penerangan Republik Indonesia.
No comments:
Post a Comment