Kebijakan seringkali dicampuradukkan dengan kebijaksanaan. Kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy yang berasal dari bahasa Inggris. Kata policy diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau pernyataan mengenai tujuan-tujuan, yang diajukan atau diadopsi oleh suatu pemerintahan, partai politik, dan lain-lain. Kebijakan juga diartikan sebagai pernyataan-pernyataan mengenai kontrak penjaminan atau pernyataan tertulis. Pengertian ini mengandung arti bahwa yang disebut kebijakan adalah mengenai suatu rencana, pernyataan tujuan, kontrak penjaminan dan pernyataan tertulis baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, partai politik, dan lain-lain. Dengan demikian siapapun dapat terkait dalam suatu kebijakan.
Landasan utama yang mendasari suatu kebijakan adalah pertimbangan akal. Tentunya suatu kebijakan bukan semata-mata merupakan hasil pertimbangan akal manusia. Namun, akal manusia merupakan unsur yang dominan di dalam mengambil keputusan dari berbagai pilihan dalam pengambilan keputusan kebijakan. Suatu kebijaksanaan lebih menekankan kepada faktor-faktor emosional dan irasional. Bukan berarti bahwa suatu kebijaksanaan tidak mengandung unsur-unsur rasional.
James E.Anderson. Memberikan pengertian kebijakan “a purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern” yaitu serangkaian tindakan yang memiliki tujuan yang diikuti oleh seseorang atau sekelompok pelaku terkait dengan suatu permasalahan tertentu, Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa kebijakan dapat berasal dari seorang pelaku atau sekelompok pelaku yang berisi serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu. Kebijakan ini diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku dalam rangka memecahkan suatu masalah tertentu. Secara lebih jelas ia menyatakan bahwa yang dimaksud kebijakan adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Pengertian ini, menurutnya, berimplikasi: (1) bahwa kebijakan selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan, (2) bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah, (3) bahwa kebijakan merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, (4) bahwa kebijakan bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, (5) bahwa kebijakan, dalam arti positif, didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa (otoritatif).
Menurut M. Irfan Islamy, kebijakan adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.
Kebijakan yang dikemukakan oleh Irfan Islamy ini mencakup tindakan-tindakan yang ditetapkan pemerintah. Kebijakan ini tidak cukup hanya ditetapkan tetapi dilaksanakan dalam bentuk nyata. Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut juga harus dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu. Terakhir, menurutnya pengertian ini meniscayakan adanya kepentingan bagi seluruh masyarakat yang harus dipenuhi oleh suatu kebijakan dari pemerintah. William N. Dunn menyatakan kebijakan adalah suatu proses ketat pemerintahan dan administrasi pemerintah yang menghasilkan keputusan pemerintah, dimana instansi yang terkait mempunyai wewenang atau kekuasaan dalam mengarahkan masyarakat dan tanggung jawab melayani kepentingan umum.
Sementara George C. Edwards dan Ira Sharkansky mengemukakan pengertian kebijakan sebagai apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan itu dapat berupa sasaran atau tujuan dari program-program pemerintah. Penetapan kebijakan tersebut dapat secara jelas diwujudkan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan atau dalam pidato-pidato pejabat teras pemerintah serta program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah.
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan merupakan serangkaian proses dari suatu perencanaan dan perumusan oleh suatu kelompok atau lembaga/instansi pemerintah yang berupa peraturan atau program untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
Berbagai kebijakan bidang pendidikan dimaksud diantaranya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). SNP ini adalah kriteria minimal tentang komponen pendidikan yang memungkinkan setiap jenjang dan jalur pendidikan mengembangkan pendidikan secara optimal sesuai dengan karakteristik dan kekhasan programnya. PP Nomor 19 Tahun 2005 tersebut mengamanatkan bahwa setiap pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualitas akademik adalah tingkatan pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik. Kompetensi guru sebagai agen pembelajaran meliputi; a) kompetensi pedagogik, b) kompetensi kepribadian, c) kompetensi sosial, dan d) kompetensi profesional.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Bab XI pasal 40 ayat 2b disebutkan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dari pasal tersebut diketahui bahwa pendidik, yang sering disebut guru dituntut melaksanakan kewajiban profesionalnya dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, karena guru adalah pelaku utama dalam pelaksanaan pembelajaran. Sejalan dengan tuntutan undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa pendidikan dan lulusan seringkali dipandang tergantung pada peranan guru dalam pengelolaan komponen-komponen pengajaran yang terlibat di dalam proses belajar mengajar yang menjadi tanggungjawab sekolah. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tepatnya Bab III Pasal 7, mengamanatkan bahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut: (a) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; (b) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; (c) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; (d) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; (e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; (f) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; (h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan (i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Lebih lanjut di dalam bab dan pasal yang sama juga diamanatkan bahwa pemberdayaan profesi guru diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi. Permasalahan mutu pendidikan secara menyeluruh tidak lepas dari peran guru sebagai pendidik dalam mempersiapkan anak didik menjadi sosok yang berkepribadian, berakhlak mulia, bertanggung jawab, terampil, dan produktif. Dadang Suhardan menyatakan bahwa masalah mutu pembelajaran, menyangkut masalah esensial yaitu masalah kualitas mengajar yang dilakukan guru harus mendapat pengawasan dan pembinaan terus menerus dan berkelanjutan. Kapasitas guru dalam kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan yang berasal dari dalam dirinya atau pelatihan dan pengalaman yang relevan kepada siswa perlu dipelajari.
Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (3) yang berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”, dan ayat (5) yang berbunyi: “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”, Undang-Undang Guru dan Dosen juga lahir bertujuan untuk memperbaiki pendidikan nasional, baik secara kualitas maupun kuantitas, agar sumber daya manusia Indonesia bisa lebih beriman, kreatif, inovatif, produktif, serta berilmu pengetahuan luas demi meningkatkan kesejahteraan seluruh bangsa. Perbaikan mutu pendidikan nasional yang dimaksud meliputi, Sistem Pendidikan Nasional, Kualifikasi serta Kompetensi Guru dan Dosen, Standar Kurikulum yang digunakan, serta hal lainnya.
Dalam kaitannya dengan Guru sebagai pendidik, maka pentingnya guru profesional yang memenuhi standar kualifikasi diatur dalam pasal 8 Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen (UUGD) yang menyebutkan bahwa Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Guru profesional sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Menurut Oemar Hamalik, guru profesional, harus memiliki persyaratan yang meliputi: memiliki bakat sebagai guru, memiliki keahlian sebagai guru, memiliki keahlian yang baik dan terintegrasi, memiliki mental yang sehat, berbadan sehat, memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, guru adalah manusia berjiwa pancasila, dan seorang warga negara yang baik. Jadi menurut hemat penulis yang dimaksud dengan guru profesional adalah yang memiliki persyaratan dan kualifikasi tertentu, serta adanya komitmen yang tinggi dalam rangka mencapai tujuan.
Referensi
H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 16.
M. Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Cet. Ke-3 (Jakarta: Bina Aksara, 1998), h. 20.
William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, edisi Kedua (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008), h. 18.
Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang Sisdiknas (Jakarta: Depag RI, 2003), h. 52.
No comments:
Post a Comment