Friday, June 14, 2013

Diagnosis TB pada Anak

Diagnosis TB pada Anak 
Standar 6. Diagnosis tuberkulosis intratoraks (yakni, paru, pleura dan kelenjar getah bening hilus atau mediastinum) pada anak dengan gejala namun sediaan apus dahak negatif harus didasarkan atas kelainan radiografi toraks sesuai tuberkulosis dan pajanan kepada kasus tuberkulosis yang menular atau bukti infeksi tuberkulosis (uji kulit tuberkulin positif atau interferron gamma release assay). Untuk pasien seperti ini, bila tersedia fasiliti, bahan dahak seharusnya diambil untuk biakan (dengan cara batuk, kumbah lambung atau induksi dahak). 

Pada semua anak yang dicurigai memiliki tuberkuloss intratorakal (pulmonerk, pleural, mediastinal, atau nodus limfa hilus), pemeriksaan bakteriologik perlu dilakukan melalui pemeriksaan sputum (ekspektorasi, gastric washing, atau sputum diinduksi) untuk pemeriksaan pewarnaan mikroskopik dan kultur. Jika hasil bakteriologis negatif, diagnosis tuberkulosis sebaiknya dilakukan berdasarkan abnormalitas yang konsisten dengan tuberkulosis (seperti radiografi toraks, riwayat pajanan kasus terinfeksi, bukti infeksi tuberkulosis seperti tes tuberkulin positif atau positif interferon-gamma release assay), dan temuan klinis yang mendukung. Demikian pula pada anak yang dicurigai memiliki tuberkulosis ekstrapulmoner, spesiemn yang tepat dari tempat kecurigaan perlu diambil untuk pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan histopatologi.1 

Penegakkan diagnosis tuberkulosis pada anak-anak memerlukan ketelitian dan pemeriksaan yang lengkap. Pada umumnya keterlibatan paru pada tuberkulosis anak memiliki karakteristik paucibacillar, tanpa kavitasi yang jelas, namun dengan keterlibatan nodus lima intratorakal. Dibandingkan dewasa, BTA sputum anak cenderung lebih negatif. Pada anak di bawah lima tahun yang secara praktis akan sulit untuk mendapatkan sampel sputum, kultur dari bilasan lambung (gastric washing) yang didapatkan dari pipa naso-gastrik serta sputum diinduksi dapat memiliki nilai diagnostik yang lebih tinggi dibandingkan sputum spontan. Secara ringkas, pendekatan yang direkomendasikan dalam penegakkan diagnosis tuberkulosis pada anak adalah:1 
Anamnesis dan riwayat secara lengkap dan teliti (termasuk riwayat kontak dengan tuberkulosis atau simptom yang konsisten dengan tuberkulosis) 
Pemeriksaan klinis, termasuk perkembangan dan pertumbuhan 
Test tuberkulin (atau interferon-gamma release assay) 
Evalusi bakteriologik 
Investigasi yang terkait dengan suspek tuberkulosis paru dan ekstrapulmoner 

Lebih lanjut lagi dijabarkan pula bahwa gejala klinis yang mengarah ke diagnosis tuberkulosis pada anak adalah:1 
Keberadaan orang yang tinggal satu rumah dengan anak dan menunuukkan kasus aktif (infeksius, BTA positif) 
Anak malnutrisi 
Terinfeksi HIV 
Memiliki campak 
Riwayat kehilangan berat badan atau gagal tumbuh secara normal, demam tidak dapat dijelaskan lebih dari 2 minggu, batuk kronik 
Pemeriksaan fisik menunjukkan cairan pada salah satu sisi dada (redup pada perkusi) 
Pembesaran nodusl limfa tidak nyeri, terutama di daerah leher 
Tanda meningitis, terutama yang berkembang beberapa hari serta cairan sipinal mengandung dominan limofsit dan protein meningkat 
Pembengkakan abdomen, dengan atau tanpa massa teraba 
Bengkak atau deformitas tulang atau sendi secara progresif, termasuk tulang belakang 

BAB III 
PENUTUP 
1.1. KESIMPULAN 

Pasien dengan gejala batuk hingga 2-3 minggu dan gejala-gejala lain yang khas pada tuberkulosis dapat dicurigai sebagai tuberkulosis dan segera dievaluasi melalui pemeriksaan dahak mikroskopis. Pemeriksaan dahak mikroskopis dipilih dalam identifikasi agen penyebab penyakit TB yaitu Mycobacterium tuberculosis karena merupakan metode tercepat dan praktis yang mudah diterapkan di berbagai daerah. Spesimen dahak yang diambil sebaiknya 3 kali yaitu Sewaktu-Pagi Sewaktu, namun bila tidak memungkinkan cukup dua kali dan salah satunya merupakan dahak pagi hari. Pada TB ekstraparu, spesimen di ambil dari bagian tubuh yang sakit. Diagnosis TB dikonfirmasi dengan pemeriksaan dahak mikroskopis, bukan penemuan foto toraks. Pasien dengan foto toraks mengarah ke lesi TB harus menjalani pemeriksaan dahak mikrobiologi. Diagnosis TB pada anak dengan hasil pemeriksaan BTA negatif didasarkan kelainan foto toraks, bukti infeksi tuberkulosis, dan kultur. 

Diagnosis harus ditegakkan dengan baik sebelum regimen pengobatan dimulai agar pasien tidak minum obat dengan sia-sia dan dapat dipilih regimen pengobatan yang tepat. Pengobatan yang tepat dapat mencegah penularan TB, serta menurunkan angka mortalitas dan morbiditas akibat TB. 

1.2. SARAN 
Keenam standar diagnosis yang dijabarkan dalam International Standards of Tuberculosis Care (ISTC) harus dikuasai oleh klinisi agar penatalaksanaan TB berjalan dengan baik. Sebagai komitmen politis, pemerintah harus menyediakan sarana untuk diagnosis TB melalui pengadaan laboratorium-laboratorium yang memadai. Pemeliharaan kualitas pemeriksaan dahak mikroskopis di laboratorium-laboratorium menjadi tanggung jawab pemerintah. Klinisi harus diingatkan bahwa penegakkan diagnosis yang akurat tidak hanya berdampak baik bagi kesehatan pasien tetapi juga kesehatan publik. 

Daftar Pustaka 
  1. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International Standards for Tuberculosis Care (ISTC). 2nd ed. The Hague: Tuberculosis Coalition for Technical Assistance, 2009. 
  2. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta: Depkes RI; 2007 
  3. Frieden TR, ed. Toman’s tuberculosis. Case detection, treatment and monitoring, 2nd Edition. Geneva: World Health Organization, 2004: 46–50. 
  4. Petunjuk Pengambilan Sputum TB. Diunduh dari http://public.health.oregon.gov/DiseasesConditions/CommunicableDisease/Tuberculosis/Documents/patiented/sput/sputIND.pdf (8 November 2012, 19.00 WIB) 
  5. Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal medicine. 18th edition. New York: McGraw Hill; 2012 
  6. Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z. Infeksi oportunistik pada aids. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta; 2005 

No comments:

Post a Comment