Implementasi Etika dalam Birokrasi
Ada beberapa
alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan dalam pengembangan
pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel, salah satunya adalah karena masalah-masalah
yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah dimasa mendatang akan semakin kompleks.
Dalam memecahkan masalah yang berkembang, birokrasi seringkali tidak dihadapkan
pada pilihan – pilihan yang jelas seperti baik dan buruk. Para pejabat
birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara baik dan
baik, yang masing – masing memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama
lain. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam
memberi “ policy guidance” kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan masalah-masalah
yang dihadapinya.
Alasan lainnya adalah keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan
dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang
terjadi dalam lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan
adjustments agar tetap tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam
lingkungannya. Kemampuan untuk bisa melakukan penyesuaian itu menuntut discretionary power yang besar.
Penggunaan kekuasaan direksi ini hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau birokrasi
memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai besarnya kekuasaan yang
dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi kepentingan
masyarakatnya.
Dari alasan-alasan yang sudah diuraikan, sudah jelas bahwa etika Birokrasi
sangat dibutuhkan pada saat ini mengingat di Negara kita masyarakat bergantung
pula pada Birokrasi tersebut. Para Birokrat juga membutuhkan perubahan sikap
perilaku agar dapat dikatakan lebih beretika di dalam melaksanakan tugasnya. Namun dengan alasan
perekonomian Pegawai negeri yang minim, atau lebih tepatnya pengawasan yang
tidak ketat didalam suatu birokrasi menjadi salah satu penyebab penyimpangan
etika. Salah satunya seperti bentuk korupsi, kolusi, maupun
nepotisme atau yang sering kita sebut dengan KKN. Ketiganya merupakan tindakan
yang menyimpang hukum dan biasanya pada kasus-kasus ini terdapat banyak
penyimpangan serta penyelewengan pada law
enforcement, hal ini sangat besar kemungkinan pada etika adaministrasi
negara dalam revitalisasi manajemen pemerintahan dalam rangka upaya penataan
ulang pemerintahan Indonesia yang tidak sesuai dengan good governance. Pada kenyataan nya Law enforcement dalam manajemen
pemerintahan di Indonesia sangat diabaikan sehingga akan sangat menjadi ancaman
bagi manajemen pemerintahan dalam upaya menata ulang manajemen pemerintahan
yang sehat dan dapat meminimalisir terjadinya birokatologi dan mal
administrasi. Yang
mana sebetulnya semua penyelewengan akan mudah
diminimalisir, jika
prinsip good governance ini dipegang
oleh masing-masing birokrasi yang ada.
1 Korupsi: Salah Satu Bentuk Kegagalan Etika
Korupsi dapat diartikan sebagai bentuk perbuatan menggunakan barang publik, bisa berupa uang dan jasa, untuk kepentingan memperkaya diri, dan bukan untuk kepentingan publik. Dilihat proses terjadinya perilaku korupsi ini dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu Graft, Bribery, dan nepotism.
Korupsi dapat diartikan sebagai bentuk perbuatan menggunakan barang publik, bisa berupa uang dan jasa, untuk kepentingan memperkaya diri, dan bukan untuk kepentingan publik. Dilihat proses terjadinya perilaku korupsi ini dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu Graft, Bribery, dan nepotism.
Graft,
merupakan korupsi yang bersifat internal.
Artinya korupsi yang dilakukan tanpa melihat pihak ketiga. Seperti menggunakan
atau atau mengambil barang kantor, uang kantor, jabatan kantor untk kepentingan
diri sendiri. Korupsi ini terjadi karena mereka mempunyai kedudukan dan jabatan
di kantor tersebut. Dengan wewenangnya, para bawahan tidak dapat menolak
permintaan atasannya. Menolak atau mencegah permintaan atasannya dianggap
sebagai tindakan yang tidak loyal terhadap atasan. Bahkan sering terjadi,
sebelum atasan minta, bawahan sudah menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan
oleh atasan. Misalnya ada seorang pejabat (di daerah) punya hajat mantu, maka
segala sesuatu yang diperlukan untuk hajat tersebut telah dicukupi oleh anak
buahnya, dan panitia yang dibentukpun sesuai dengan bidang kewenangan
masing-masing anak buahnya. Pejabat tersebut sudah tahu “beres” segala sesuatu
yang diperlukan untuk kepentingan hajat mantu tersebut. Contoh di atas,
merupakan wujud dari tindakan korupsi berupa “grafrt”.
Sementara bribery (penyogokan, penyuapan), merupakan
tindakan korupsi yang melibatkan orang lain diluar dirinya (instansinya).
Karenanya korupsi ini sering disebut dengan korupsi yang bersifat eksternal. Artinya tindakan korupsi tadi
tidak akan terjadi jika tidak ada orang lain, yang melakukan tindakan
penyuapan, penyogokan terhadap dirinya. Tindakan pemberian sesuatu (prnyogokan,
penyuapan, pelicin), dimaksudkan agar dapat memengaruhi objektivitas dalam
membuat keputusan, atau keputusan yang dibuat akan menguntungkan pemberi,
penyuap, atau penyogok. Pemberian sesuatu (penyogok, penyuap, pelicin) dapat
berupa uang, materi, tapi bisa juga berupa jasa. Korupsi semacam ini sering
terjadi pada dinas/instansi yang mempunyai tugas pelayanan, menerbitkan surat
izin, rekomendasi, dan lain sebagainya. Pelayanan yang diberikan seringkali
dihambat, tidak lancar, bukan karena sistem dan prosedurnya, tapi karena disengaja
oleh oknum birokrat. Sehingga mereka yang berkepentingan, lebih suka melalui
calo, atau dengan cara memberi pelicin berupa uang untuk menyuap, menyogok,
agar urusannya menjadi lancar.
Sedangkan nepotism,
merupakan suatu tindakan korupsi berupa kecendrungan pengambilan keputusan yang
tidak berdasarkan pada pertimbangan objektif, rasional, tapi didasarkan atas
pertimbangan “nepitis”, “kekerabatan”, sepeti masih teman, keluarga, golongan,
pejabat, dan lain sebagainya. Pertimbangan pengambilan keputusan tadi, sering
kali untuk kepentingan orang yang membuat keputusan. Mereka akan lebih aman,
orang yang berada disekitarnya (anak buahnya) adalah orang-orang yang masih
nepotis atau masih kerabat dekat. Jika mereka melakukan tindakan penyimpangan
mereka akan aman dan dilindungi.
Korupsi di atas adalah korupsi yang dilihat
dari proses terjadinya. Namun dilihatnya dari sifatnya korupsi dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu korusi individualis dan korupsi sistemik.
Korupsi individualis, merupakan penyimpangan yang
dilakukan oleh salah satu atau beberapa orang dalam suatu organisasi dan
berkembang suatu mekanisme muncul, hilang dan jika ketahuan pelaku korupsi akan
terkena hukuman, bisa berupa dijauhi, dicela, disudutkan, dan bahkan diakhiri
nasib kariernya. Perilaku korup ini dianggap oleh kelompok (masyarakat) sebagai
tindakan yang menyimpang, buruk, dan tercela.
Korupsi sistemik, berbeda dengan korupsi
individualisme. Korupsi sistemik merupakan suatu korupsi ketika yang melakukan
korupsi adalah sebagian besar (kebanyakan orang) dalam suatu organisasi
(melibatkan banyak orang). Dikatakan sistemik, karena tindakan korupsi ini bisa
diterima sebagai sesuatu yang wajar/biasa (tidak menyimpang) oleh orang yang
berada di sekitarnya dan merupakan bagian dari suatu realita. Jika ketahuan,
maka diantara mereka yang terlibat saling melindungi, menutup-nutupi, dan
mendukung satu sama lain untuk menyelamatkan orang yang ketahuan tadi. Hal ini
disebabkan diantara mereka tidak ingin instansinya tercemar, sehingga walaupun
mereka tahu ada tindakan korupsi mereka lebih baik “diam”, daripada mereka akan
dikucilkan, dan menjadi saksi dalam perkara atas tindakan korupsi tadi.
KESIMPULAN
A. Penerapan etika adminitrasi dalam
prakteknya terutama dalam administrasi pemerintahan meiliki banyak aspek-aspek
yang harus dijalankan dengan sebaik- baiknya, seperti menjalankan asas-asas
birokrasi pemerintahan yang baik, dengan mewujudkan peinsip demokratis,
keadilan social dan pemerataan serta mewujudkan kesejahteraan umum.
Selain itu dalam upaya penerapan etika administrasi pemerintahan yang
baik, perlu adanya aturan-aturan yang dibuat untuk mengatur para birokrat untuk
tetap konsisten menjalankan dan mengamalkan etikan yang baik dalam administrasi
pemerintah.
Jika dilihat kondisi Indonesia
pada saat ini, melalui fakta-fakta yang ada, saat ini masih banyak
instansi-instansi pemerintah yang belum mampu menerapkan prinsip etika
administrasi yang baik, sekali lagi hal ini tertumpu pada kemauan
individu-individu yang berkerja dalam instansi tersebut untuk dapat merubah
kebiasaan yang buruk dan mengantinya dengan penerapan etika administrasi yang
baik.
B.
Asas-asas Birokrasi dalam Good Governance
yang tercantum dalam UU No. 28 / 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari KKN, yaitu:
1. Asas
Kepastian Hukum,
2. Asas
Tertib Penyelenggaraan Negara,
3. Asas
Kepentingan Umum,
4. Asas
Keterbukaan,
5. Asas
Proporsionalitas,
6. Asas
Profesionalitas,
7. Asas
Akuntabilitas,
Adapun tambahan dua asas yang tercantum dalam UU No. 32 / 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, ketujuh asas diatas ditambah lagi dengan 2 asas yaitu Asas
Efektivitas dan Asas Efisiensi.
C. Mal-administrasi
merupakan suatu tindakan yang menyimpang dari nilai etika. Secara
“psiko-sosiologis”, suatu tindakan yang menyimpang dari nilai adalah disebabkan
karena bertemunya faktor “niat atau kemauan” dan “kesempatan”. Jika ada niat
untuk melakukan tindakan mal-administrasi, sementara kesempatan tidak ada, maka
tindakan mal-administrasi tadi tidak akan terjadi. Sebaliknya, ada kesempatan
untuk melakukan korupsi, namun pada dirinya tidak ada niat atau kemauan untuk
melakukan mal-administrasi, maka tindakan mal-administrasi juga tidak akan
terjadi.
Tidak sedikit
pejabat lokal (birokrasi lokal) yang kurang memiliki akuntabilitas yang tinggi
dalam melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Akibatnya birokrasi publik pada era reformasi
banyak disorot publik. Sorotan itu lebih banyak tertuju pada praktek yang
menyimpang (mal-administration) dari etika administrasi negara dalam
menjalankan tugas dan tangguna jawabnya. Bentuk mal-administrasi dapat berupa
korupsi, kolusi, nepotisme, tidak efisien, dan tidak profesional. Bentuk
mal-administrasi pada umumnya lebih berkaitan dengan perilaku individu yang
menduduki suatu jabatan hierarkhi, terutama pada tingkat bawah.
Buku :
H. De Vos. 1987. Pengantar Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Jeck H. Kontt
& G.J. Miller, Reformasi birokrasi dan Peilihan institusi politik.
Hlm : 173-175
K. Frankena,
William. 1982. Ethics. New Delhi: Prentice-Hall.
Kumorotomo,
Wahyudi, Etika Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
2001.
Robert C.,
Solomon. 1987. Etika: Suatu Pengantar. Jakarta:
Erlangga.
Sukirman
& Endah Apriani, Potret Kepuasan Konsumen Pelayanan Publik Kota Bandung,
2002
Taufik Abdulah, Agama, Etos
Kerja dan Perkembangan Ekonomi, 1988. Hlm 3
Undang-undang dan Peraturan lainnya :
Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN
Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
0 komentar:
Post a Comment