Tuesday, June 25, 2013

Implementasi Etika dalam Birokrasi

 Implementasi Etika dalam Birokrasi
Ada beberapa alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan dalam pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel, salah satunya adalah karena masalah-masalah yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah dimasa mendatang akan semakin kompleks. Dalam memecahkan masalah yang berkembang, birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan – pilihan yang jelas seperti baik dan buruk. Para pejabat birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara baik dan baik, yang masing – masing memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama lain. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam memberi “ policy guidance” kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Alasan lainnya adalah keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments agar tetap tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan untuk bisa melakukan penyesuaian itu menuntut discretionary power yang besar. Penggunaan kekuasaan direksi ini hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau birokrasi memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai besarnya kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi kepentingan masyarakatnya.
Dari alasan-alasan yang sudah diuraikan, sudah jelas bahwa etika Birokrasi sangat dibutuhkan pada saat ini mengingat di Negara kita masyarakat bergantung pula pada Birokrasi tersebut. Para Birokrat juga membutuhkan perubahan sikap perilaku agar dapat dikatakan lebih beretika di dalam melaksanakan tugasnya. Namun dengan alasan perekonomian Pegawai negeri yang minim, atau lebih tepatnya pengawasan yang tidak ketat didalam suatu birokrasi menjadi salah satu penyebab penyimpangan etika.  Salah satunya seperti bentuk korupsi, kolusi, maupun nepotisme atau yang sering kita sebut dengan KKN. Ketiganya merupakan tindakan yang menyimpang hukum dan biasanya pada kasus-kasus ini terdapat banyak penyimpangan serta penyelewengan pada law enforcement, hal ini sangat besar kemungkinan pada etika adaministrasi negara dalam revitalisasi manajemen pemerintahan dalam rangka upaya penataan ulang pemerintahan Indonesia yang tidak sesuai dengan good governance. Pada kenyataan nya Law enforcement dalam manajemen pemerintahan di Indonesia sangat diabaikan sehingga akan sangat menjadi ancaman bagi manajemen pemerintahan dalam upaya menata ulang manajemen pemerintahan yang sehat dan dapat meminimalisir terjadinya birokatologi dan mal administrasi. Yang mana sebetulnya semua penyelewengan akan mudah diminimalisir, jika prinsip good governance ini dipegang oleh masing-masing birokrasi yang ada.

1 Korupsi: Salah Satu Bentuk Kegagalan Etika
Korupsi dapat diartikan sebagai bentuk perbuatan menggunakan barang publik, bisa berupa uang dan jasa, untuk kepentingan memperkaya diri, dan bukan untuk kepentingan publik. Dilihat proses terjadinya perilaku korupsi ini dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu Graft, Bribery, dan nepotism.
Graft, merupakan korupsi yang bersifat internal. Artinya korupsi yang dilakukan tanpa melihat pihak ketiga. Seperti menggunakan atau atau mengambil barang kantor, uang kantor, jabatan kantor untk kepentingan diri sendiri. Korupsi ini terjadi karena mereka mempunyai kedudukan dan jabatan di kantor tersebut. Dengan wewenangnya, para bawahan tidak dapat menolak permintaan atasannya. Menolak atau mencegah permintaan atasannya dianggap sebagai tindakan yang tidak loyal terhadap atasan. Bahkan sering terjadi, sebelum atasan minta, bawahan sudah menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh atasan. Misalnya ada seorang pejabat (di daerah) punya hajat mantu, maka segala sesuatu yang diperlukan untuk hajat tersebut telah dicukupi oleh anak buahnya, dan panitia yang dibentukpun sesuai dengan bidang kewenangan masing-masing anak buahnya. Pejabat tersebut sudah tahu “beres” segala sesuatu yang diperlukan untuk kepentingan hajat mantu tersebut. Contoh di atas, merupakan wujud dari tindakan korupsi berupa “grafrt”.
Sementara bribery (penyogokan, penyuapan), merupakan tindakan korupsi yang melibatkan orang lain diluar dirinya (instansinya). Karenanya korupsi ini sering disebut dengan korupsi yang bersifat eksternal. Artinya tindakan korupsi tadi tidak akan terjadi jika tidak ada orang lain, yang melakukan tindakan penyuapan, penyogokan terhadap dirinya. Tindakan pemberian sesuatu (prnyogokan, penyuapan, pelicin), dimaksudkan agar dapat memengaruhi objektivitas dalam membuat keputusan, atau keputusan yang dibuat akan menguntungkan pemberi, penyuap, atau penyogok. Pemberian sesuatu (penyogok, penyuap, pelicin) dapat berupa uang, materi, tapi bisa juga berupa jasa. Korupsi semacam ini sering terjadi pada dinas/instansi yang mempunyai tugas pelayanan, menerbitkan surat izin, rekomendasi, dan lain sebagainya. Pelayanan yang diberikan seringkali dihambat, tidak lancar, bukan karena sistem dan prosedurnya, tapi karena disengaja oleh oknum birokrat. Sehingga mereka yang berkepentingan, lebih suka melalui calo, atau dengan cara memberi pelicin berupa uang untuk menyuap, menyogok, agar urusannya menjadi lancar.
Sedangkan nepotism, merupakan suatu tindakan korupsi berupa kecendrungan pengambilan keputusan yang tidak berdasarkan pada pertimbangan objektif, rasional, tapi didasarkan atas pertimbangan “nepitis”, “kekerabatan”, sepeti masih teman, keluarga, golongan, pejabat, dan lain sebagainya. Pertimbangan pengambilan keputusan tadi, sering kali untuk kepentingan orang yang membuat keputusan. Mereka akan lebih aman, orang yang berada disekitarnya (anak buahnya) adalah orang-orang yang masih nepotis atau masih kerabat dekat. Jika mereka melakukan tindakan penyimpangan mereka akan aman dan dilindungi.
Korupsi di atas adalah korupsi yang dilihat dari proses terjadinya. Namun dilihatnya dari sifatnya korupsi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu korusi individualis dan korupsi sistemik.
Korupsi individualis, merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu atau beberapa orang dalam suatu organisasi dan berkembang suatu mekanisme muncul, hilang dan jika ketahuan pelaku korupsi akan terkena hukuman, bisa berupa dijauhi, dicela, disudutkan, dan bahkan diakhiri nasib kariernya. Perilaku korup ini dianggap oleh kelompok (masyarakat) sebagai tindakan yang menyimpang, buruk, dan tercela.
Korupsi sistemik, berbeda dengan korupsi individualisme. Korupsi sistemik merupakan suatu korupsi ketika yang melakukan korupsi adalah sebagian besar (kebanyakan orang) dalam suatu organisasi (melibatkan banyak orang). Dikatakan sistemik, karena tindakan korupsi ini bisa diterima sebagai sesuatu yang wajar/biasa (tidak menyimpang) oleh orang yang berada di sekitarnya dan merupakan bagian dari suatu realita. Jika ketahuan, maka diantara mereka yang terlibat saling melindungi, menutup-nutupi, dan mendukung satu sama lain untuk menyelamatkan orang yang ketahuan tadi. Hal ini disebabkan diantara mereka tidak ingin instansinya tercemar, sehingga walaupun mereka tahu ada tindakan korupsi mereka lebih baik “diam”, daripada mereka akan dikucilkan, dan menjadi saksi dalam perkara atas tindakan korupsi tadi.


KESIMPULAN 
A.      Penerapan etika adminitrasi dalam prakteknya terutama dalam administrasi pemerintahan meiliki banyak aspek-aspek yang harus dijalankan dengan sebaik- baiknya, seperti menjalankan asas-asas birokrasi pemerintahan yang baik, dengan mewujudkan peinsip demokratis, keadilan social dan pemerataan serta mewujudkan kesejahteraan umum.
Selain itu dalam upaya penerapan etika administrasi pemerintahan yang baik, perlu adanya aturan-aturan yang dibuat untuk mengatur para birokrat untuk tetap konsisten menjalankan dan mengamalkan etikan yang baik dalam administrasi pemerintah.
Jika dilihat kondisi Indonesia pada saat ini, melalui fakta-fakta yang ada, saat ini masih banyak instansi-instansi pemerintah yang belum mampu menerapkan prinsip etika administrasi yang baik, sekali lagi hal ini tertumpu pada kemauan individu-individu yang berkerja dalam instansi tersebut untuk dapat merubah kebiasaan yang buruk dan mengantinya dengan penerapan etika administrasi yang baik.

B.       Asas-asas Birokrasi dalam Good Governance yang tercantum dalam UU No. 28 / 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, yaitu:
1.      Asas Kepastian Hukum,
2.      Asas Tertib Penyelenggaraan Negara,
3.      Asas Kepentingan Umum,
4.      Asas Keterbukaan,
5.      Asas Proporsionalitas,
6.      Asas Profesionalitas,
7.      Asas Akuntabilitas,
Adapun tambahan dua asas yang tercantum dalam UU No. 32 / 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ketujuh asas diatas ditambah lagi dengan 2 asas yaitu Asas Efektivitas dan Asas Efisiensi.

C.   Mal-administrasi merupakan suatu tindakan yang menyimpang dari nilai etika. Secara “psiko-sosiologis”, suatu tindakan yang menyimpang dari nilai adalah disebabkan karena bertemunya faktor “niat atau kemauan” dan “kesempatan”. Jika ada niat untuk melakukan tindakan mal-administrasi, sementara kesempatan tidak ada, maka tindakan mal-administrasi tadi tidak akan terjadi. Sebaliknya, ada kesempatan untuk melakukan korupsi, namun pada dirinya tidak ada niat atau kemauan untuk melakukan mal-administrasi, maka tindakan mal-administrasi juga tidak akan terjadi.
Tidak sedikit pejabat lokal (birokrasi lokal) yang kurang memiliki akuntabilitas yang tinggi dalam melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Akibatnya birokrasi publik pada era reformasi banyak disorot publik. Sorotan itu lebih banyak tertuju pada praktek yang menyimpang (mal-administration) dari etika administrasi negara dalam menjalankan tugas dan tangguna jawabnya. Bentuk mal-administrasi dapat berupa korupsi, kolusi, nepotisme, tidak efisien, dan tidak profesional. Bentuk mal-administrasi pada umumnya lebih berkaitan dengan perilaku individu yang menduduki suatu jabatan hierarkhi, terutama pada tingkat bawah.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :
H. De Vos. 1987. Pengantar Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Jeck H. Kontt & G.J. Miller, Reformasi birokrasi dan Peilihan institusi politik. Hlm : 173-175
K. Frankena, William. 1982. Ethics. New Delhi: Prentice-Hall.
Kumorotomo, Wahyudi, Etika Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2001.
Robert C., Solomon. 1987. Etika: Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.
Sukirman & Endah Apriani, Potret Kepuasan Konsumen Pelayanan Publik Kota Bandung, 2002
Taufik Abdulah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, 1988. Hlm 3


Undang-undang dan Peraturan lainnya :
Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN
Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

No comments:

Post a Comment