Pengetahuan tentang Risiko Kesehatan
Salah satu argumen tentang konsumsi tembakau adalah bahwa perokok sendirilah yang membuat keputusan untuk membeli rokok berdasarkan pengetahuan yang cukup yang telah dimilikinya (informed decision). Argumen ini didasarkan pada teori ekonomi yang mengatakan bahwa konsumen mempunyai kedaulatan tentang bagaimana membelanjakan uangnya atas dasar pengetahuan tentang biaya dan manfaat yang akan diperoleh dari pembelian tersebut dan bahwa konsumen sendirilah yang akan menanggung beban akibat pembeliannya. Kedua asumsi ini tidak berlaku bagi konsumen produk tembakau dan berbeda dalam tiga hal dengan produk konsumen lainnya.
- Konsumen tidak sepenuhnya sadar akan resiko penyakit dan kematian dini akibat keputusannya membeli produk tembakau. Ini merupakan biaya terbesar yang harus dibayar. Beberapa faktor penyebab, antara lain karena tenggang waktu 20-25 tahun sejak orang mulai merokok dan timbulnya gejala penyakit.
- Sebagian besar perokok pemula adalah remaja yang belum mempunyai kemampuan untuk menilai dengan benar informasi dampak merokok. Tidak kalah pentingnya adalah kecenderungan perokok pemula untuk menyepelekan biaya yang kelak akan ditanggung akibat adiksi nikotin. Mereka menganggap bahwa biaya tersebut disebabkan karena kelemahan perokok dewasa untuk memutuskan berhenti merokok ketika masih remaja. Mereka tidak menyadari efek adiktif nikotin yang sangat kuat yang akan mengikat dan menyebabkan orang sulit berhenti merokok.
- Orang lain menanggung beban akibat pembelian dan konsumsi rokok oleh perokok. Disamping dampak fisik dan ekonomi pada bukan perokok (perokok pasif), dampak ekonomi yang harus ditanggung oleh keluarga perokok adalah biaya rutin yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan adiksinya dan biaya sakit akibat merokok. Pada keluarga miskin, beban ekonomi ini dilakukan dengan mengalihkan pengeluaran makanan, pendidikan dan kesehatan untuk membeli rokok. Beban tidak langsung pada keluarga miskin adalah hilangnya produktifitas pencari nafkah utama karena sakit atau kematian dini yang berdampak pada turunnya pendapatan keluarga.
Pada produk tembakau, telah terjadi kegagalan pasar yaitu keputusan konsumen untuk membeli produk tembakau tidak didasarkan pada informasi yang cukup tentang resiko produk yang dibeli, efek ketagihan dan dampak pembelian yang dibebankan pada orang lain. Karenanya dibutuhkan intervensi pemerintah dalam bentuk legislasi pengendalian dampak tembakau.
Studi tentang faktor Studi tentang faktor pengaruh perilaku merokok pada remaja usia 13-21 tahun di Jawa Timur. menunjukkan keragaman pengetahuan tentang bahaya mengonsumsi tembakau.
Hanya 15% yang mengetahui adanya 4000 bahan kimia berbahaya yang terkandung dalam rokok; Walaupun secara umum (87%) mereka mengatakan merokok menyebabkan penyakit, hanya 68% yang mengetahui bahwa nikotin di dalamnya mengakibatkan ketagihan. Umumnya paham bahwa merokok mengakibatkan penyakit, tetapi menyangkal bahwa hal tersebut akan mengenai dirinya. Delapan dari 10 remaja tahu manfaat berhenti merokok, tetapi 43% menganggap tidak sulit untuk berhenti merokok. Dampak ketagihan nikotin kurang disadari diantara remaja. Alasan lain yang diberikan tentang mengapa mereka merokok adalah karena harga rokok cukup murah; separuh perokok remaja membeli rokok secara batangan.
Merokok juga dianggap sebagai hal yang biasa dan normal. Sebagian perokok mengaku mendapat rokok dari keluarga atau temannya dengan mudah tanpa perlu membeli. Sebanyak 70% mengatakan bahwa guru mereka merokok di sekolah bahkan ketika sedang mengajar. Walaupun 89% mengatakan ada peraturan larangan, tetapi pelanggaran tidak pernah ditindak. Tiga dari 4 pelajar memiliki teman-teman yang merokok dan mengatakan tidak keberatan dengan hal tersebut.
Industri tembakau memasuki pasar ketika resiko penggunaannya belum diketahui. Pada saat dampak konsumsi tembakau ditemukan, telah banyak anggota masyarakat yang kecanduan. Faktor adiksi inilah yang sangat menyulitkan pemerintah di berbagai negara untuk menghilangkan produk tersebut dari pasar. Sementara masyarakat telah teradiksi, industri tembakau meneruskan kampanyenya dengan meyakinkan legislator dan masyarakat melalui strategi normalisasi produk tembakau: sebagai industri legal mereka berhak memasarkan produk normal yang legal seperti layaknya industri lain. Normalisasi ini diwujudkan dengan menggencarkan iklan, promosi, pemberian sponsor, pendanaan program pendidikan dalam etika bisnis, bahkan mendanai unit pelayanan paliatif di Rumah Sakit dimana separuh tempat tidurnya diisi korban produk industrinya. Pemasaran industri tembakau berlindung dibalik penormalan produk dan merasionalisasikan epidemi tembakau dengan retorika keliru tentang “pilihan bebas.
Perokok remaja berpendapat bahwa merokok adalah menarik, memudahkan pergaulan, mudah konsentrasi dan membuat hidup lebih mudah. Alasan yang sama seperti citra yang disampaikan oleh industri tembakau melalui iklan rokok. Tehnik pengiklanan menggunakan subliminal advertising yaitu mengekspos individu pada gambaran produk, nama dagang atau rangsangan produk dagang lainnya dimana individu tidak menyadari bahwa dirinya terekspos. Tehnik ini antara lain ditandai dengan pemanfaatan unsur emosi yang kuat dan pembentukan hubungan yang irasional antara diri dengan produk yang diiklankan. Penelitian yang dilakukan oleh UHAMKA dan Komnas Perlindungan Anak tahun 2007 menunjukkan bahwa 68% remaja memiliki kesan positif terhadap iklan rokok, 52% dapat menyebut lebih dari tiga slogan iklan rokok dan separuh dari remaja merasa dirinya lebih percaya diri seperti dicitrakan oleh iklan rokok.
No comments:
Post a Comment