A.
Historiografi
Nama
Kerajaan : Sriwijaya
Ibukota :
Palembang
Bahasa : Melayu Kuno,
Sansekerta
Agama : Budha, Hindu
Pemerintahan : Monarki
Sejarah : 1. Didirikan pada tahun
600-an M
2. Invasi Majapahit tahun 1300-an M
Mata Uang : Koin emas dan perak
B.
Lokasi Kerajaan
Sriwijaya merupakan salah
satu kerajaan besar yang pernah membawa kejayaan kepulauan Nusantara di masa lampau. Bukan saja dikenal di wilayah Indonesia, tetapi hampir
setiap bangsa yang berada jauh di luar Indonesia mengenal Kerajaan Sriwijaya.
Hal ini disebabkan karena letak Sriwijaya yang sangat strategis dan dekat
dengan jalur perdagangan antar bangsa yakni Selat Malaka. Selat Malaka pada
masa itu adalah jalur perdagangan ramai yang menghubungkan pedagang-pedagang
Cina dengan India maupun Romawi.
George Coedes,
seorang sejarawan, menulis karangan berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun
1918 M. Coedes kemudian menetapkan bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan
di Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa letak ibukota
Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam
karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese
Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-ts‘I adalah Palembang yang terletak di
Sumatera Selatan, yaitu tepatnya di tepi Sungai Musi atau sekitar kota
Palembang sekarang.
Dari tepian
Sungai Musi di Sumatera Selatan, pengaruh Kerajaan Sriwijaya semakin meluas.
Mencakup wilayah Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Bangka, Laut Jawa bagian
barat, Bangka, Jambi Hulu, Jawa Barat (Tarumanegara), Semenanjung Malaya hingga
ke Tanah Genting Kra.
C.
Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah yang mendukung
keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari berita asing dan prasasti-prasasti.
Sumber dari Luar Negeri
1.
Sumber Cina
Kunjungan I-sting, seorang peziarah Budha dari China
pertama kali pada tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa saat itu
terdapat lebih dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara
para pendeta Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh
para pendeta Budha di pusat ajaran agama Budha, India. I-tsing tinggal selama 6
bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu ia berangkat ke
Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, tahun 685 I-tsing kembali ke
Sriwijaya dan tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha
dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan
tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir pada
tahun 988 M.
2.
Sumber Arab
Orang-orang Arab sering menyebut Sriwijaya dengan nama
Sribuza, Sabay atau Zabaq. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan
tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya
merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi
Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala,
kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya. Bukti lain yang
mendukung adalah ditemukannya perkampungan-perkampungan Arab sebagai tempat
tinggal sementara di pusat Kerajaan Sriwijaya.
3.
Sumber India
Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan
raja-raja dari kerajaan-kerajaan di India seperti Kerajaan Nalanda dan Kerajaan
Chola. Dengan Kerajaan Nalanda disebutkan bahwa Raja Sriwijaya mendirikan
sebuah prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Nalanda. Dalam prasasti
tersebut dinyatakan bahwa Raja Nalanda yang bernama Raja Dewa Paladewa berkenan
membebaskan 5 desa dari pajak. Sebagai gantinya, kelima desa tersebut wajib
membiayai para mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu di Kerajaan
Nalanda. Di samping menjalin hubungan dengan Kerajaan Nalanda, Kerajaan
Sriwijaya juga menjalin hubungan dengan Kerajaan Chola (Cholamandala) yang
terletak di India Selatan. Hubungan ini menjadi retak setelah Raja Rajendra
Chola ingin menguasai Selat Malaka.
4.
Sumber lain
Pada tahun 1886, Beal mengemukakan pendapatnya bahwa Shih-li-fo-shih
merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi. Sumber lain, yakni
Kern, pada tahun 1913 M telah menerbitkan tulisan mengenai Prasasti Kota Kapur,
prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu,
Kern menganggap Sriwijaya yang tercantum pada prasasti itu adalah nama seorang
raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja.
Sumber Lokal atau Dalam Negeri
Sumber dalam
negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari Kerajaan
Sriwijaya. Prasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya sebagian besar menggunakan
huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti itu antara lain sebagai berikut.
1.
Prasasti Kota Kapur
Prasasti ini
merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang kisah
perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua laksa
(20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan
kaki. Sumber lain menyatakan prasasti ini berisi tentang penaklukan Bumi Jawa
yang tidak setia kepada Sriwijaya. Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau
Bangka.
2.
Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti berangka tahun 683 M itu menyebutkan bahwa raja
Sriwijaya bernama Dapunta Hyang yang membawa tentara sebanyak 20.000 orang
berhasil menundukan Minangatamwan. Dengan kemenangan itu, Kerajaan Sriwijaya
menjadi makmur. Daerah yang dimaksud Minangatamwan itu kemungkinan adalah
daerah Binaga yang terletak di Jambi. Daerah itu sangat strategis untuk
perdagangan.
3.
Prasasti Talangtuo
Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan tentang
pembuatan Taman Srikesetra atas perintah Raja Dapunta Hyang.
4.
Prasasti Karang Berahi
Prasasti
berangka tahun 686 M itu ditemukan di daerah pedalaman Jambi, yang menunjukan
penguasaan Sriwijaya atas daerah itu.
5.
Prasasti Ligor
Prasasti
berangka tahun 775 M itu menyebutkan tentang ibu kota Ligor yang difungsikan
untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.
6.
Prasasti Nalanda
Prasasti itu
menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja terakhir dari Dinasti Syailendra
yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan Mataram dari
Dinasti Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta kepada Raja Nalanda
agar mengakui haknya atas Kerajaan Syailendra. Di samping itu, prasasti ini
juga menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 buah desa dari
pajak untuk membiayai para mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda.
7.
Prasasti Telaga Batu
Prasasti ini ditemukan di sekitar Palembang pada tahun
1918 M. Berbentuk batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala
ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat
keluar air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk
pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi
itu, pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar
melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti
seperti itu biasanya ditempatkan di pusat kerajaan, maka diduga kuat Palembang
merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya.
D.
Negara Maritim
Dalam upaya mewujudkan cita-cita agar Sriwijaya menjadi
kerajaan Maritim, perluasan kerajaan dilakukan untuk menguasai jalur
perdagangan di Selat Malaka dan Selat Sunda yang merupakan jalur perdagangan
dan pelayaran yang sangat penting. Keberhasilan Sriwijaya berkuasa atas semua
selat itu menjadikan Kerajaan Sriwijaya sebagai penguasa tunggal jalur
aktivitas perdagangan dunia yang melalui Asia Tenggara.
Armada Sriwijaya yang kuat dapat menjamin keamanan
aktivitas pelayaran dan perdagangan. Armada Sriwijaya juga dapat memaksa perahu
dagang untuk singgah di pusat atau di bandar-bandar Kerajaan Sriwijaya. Semakin
ramainya aktivitas pelayaran dan perdagangan menjadikan Sriwijaya sebagai
tempat pertemuan para pedagang atau pusat perdagangan di Asia Tenggara.
Pengaruh dan peranan Kerajaan Sriwijaya semakin besar di lautan. Bahkan para
pedagang dari Kerajaan Sriwijaya juga melakukan hubungan sampai di luar wilayah
Indonesia, sampai ke China di sebelah utara, dan Laut Merah serta Teluk Persia
di sebelah barat.
E.
Kehidupan
Politik
Salah satu cara
untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah melakukan perkawinan dengan kerajaan
lain. Hal ini dilakukan oleh penguasa Sriwijaya, Dapunta Hyang pada tahun 664 M dengan
Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara.
Saat kerajaan Funan di
Indo-China runtuh, Sriwijaya memperluas daerah kekuasaannya hingga bagian barat
Nusantara. Di wilayah utara, melalui kekuatan armada lautnya, Sriwijaya mampu
mengusai lalu lintas perdagangan antara India dan Cina, serta menduduki
Semenanjung Malaya. Kekuatan armada terbesar Sriwijaya juga melakukan ekspansi
wilayah hingga ke Pulau Jawa, Brunei atau Borneo. Hingga pada abad ke-8,
Kerajaan Sriwijaya telah mampu menguasai seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara.
Raja merupakan
pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem pemerintahan Kerajaan Sriwijaya. Ada
tiga syarat utama untuk menjadi raja Sriwijaya, yaitu :
1.
Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya.
2.
Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu
memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.
3.
Ekachattra, artinya mampu memayungi (melindungi) seluruh
rakyatnya.
Berikut daftar
silsilah para Raja Kerajaan Sriwijaya :
1.
Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683 M,
Prasasti Talangtuo 684 M)
Berita mengenai
raja ini diketahui dari Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M dan Prasasti
Talangtuo tahun 684 M. Pada masa pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang Sri
Yayanaga telah berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah
Minangatamwan, Jambi. Sejak awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah
mencita-citakan agar Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim.
2.
Cri Indrawarman (berita Cina, 724 M)
3.
Rudrawikrama (berita Cina, 728 M)
4.
Wishnu (Prasasti Ligor, 775 M)
5.
Maharaja (berita Arab, 851 M)
6.
Balaputradewa (Prasasti Nalanda, 860 M)
Pada masa
pemerintahan Balaputradewa, Kerajaan Sriwijaya mengalami masa kejayaannya. Pada
awalnya, Raja Balaputradewa adalah raja dari kerajaan Syailendra (Jawa Tengah).
Ketika terjadi perang saudara di Kerajaan Syailendra, antara Balaputradewa dan
Pramodhawarni (kakaknya) yang dibantu oleh Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya),
Balaputradewa mengalami kekalahan. Akibat kekalahan itu, Raja Balaputradewa
lari ke Sriwijaya. Di Kerajaan Sriwijaya berkuasa Raja Dharma Setru (kakak dari
ibu Balaputradewa) yang tidak memiliki keturunan, sehingga kedatangan Raja
Balaputradewa disambut baik. Kemudian ia diangkat menjadi raja.
7.
Cri Udayadityawarman (berita Cina, 960 M)
8.
Cri Udayaditya (Berita Cina, 962 M)
9.
Cri Cudamaniwarmadewa (Berita Cina, 1003. Prasasti
Leiden, 1044 M)
10. Maraviyatunggawarman
(Prasasti Leiden, 1044 M)
11. Cri Sanggrama
Wijayatunggawarman (Prasasti Chola, 1004 M)
Pada masa
pemerintahannya, Sriwijaya mengalami ancaman dari Kerajaan Chola. Di bawah Raja
Rajendra Chola, Kerajaan Chola melakukan serangan dan berhasil merebut Kerajaan
Sriwijaya. Sanggrama Wijayatunggawarman berhasil ditawan. Namun, pada masa
pemerintahan Raja Kulottungga I di Kerajaan Chola, Raja Sanggrama
Wijayatunggawarman dibebaskan kembali.
F.
Struktur Birokrasi
Kerajaan Sriwijaya menerapkan struktur
birokrasi yang bersifat langsung, karena raja berperan penting dalam pengawasan
terhadap tempat-tempat yang dianggap strategis. Raja dapat memberikan
penghargaan terhadap penguasa daerah yang setia dan sebaliknya dapat menjatuhi
hukumanterhadap penguasa daerah yang tidak setia kepada kerajaan.
Dalam beberapa prasasti disebutkan
tentang pelaksanaan suatu keputusan raja, lengkap dengan perincian hadiah atau
sanksi yang dapat diterima dalam suatu peristiwa. Selain itu, ditemukan
prasasti-prasasti yang mencatat masalah-masalah penyelesaian hokum sengketa
antarwarga. Hal yang menarik bahwa sebagian prasasti memuat ancaman-ancaman
atau kutukan-kutukan yang ditujukan kepada keluarga raja itu sendiri. Walaupun
kedengarannya aneh, namun ada pendapat yang menganggap bahwa hal itu sangat
mungkin terjadi, karena keluarga-keluarga raja yang menjadi ancaman itu,
kekuasaannya berada di luar pengawasan langsung dari raja yang berkuasa.
G.
Kehidupan
Ekonomi
Penguasaan
Kerajaan Sriwijaya di urat nadi perhubungan pelayaran dan perdagangan Asia
Tenggara yaitu di Selat Malaka, mempunyai arti penting bagi perekonomian
kerajaan. Karena banyak kapal-kapal asing yang singgah untuk menambah air
minum, perbekalan makanan, istirahat, atau melakukan aktivitas perdagangan.
Karena bertambah ramainya kegiatan perdagangan di Selat Malaka, Sriwijaya
membangun ibukota baru di Semenanjung Malaka, yaitu di Ligor yang dibuktikan
dengan Parasasti Ligor (755 M). Pendirian ibukota Ligor tersebut bukan berarti
meninggalkan ibukota di Sumatera Selatan, melainkan hanya untuk melakukan
pengawasan lebih dekat terhadap aktivitas perdagangan di Selat Malaka atau
menghindari penyeberangan yang dilakukan oleh para pedagang melalui Tanah
Genting Kra.
Menurut catatan
asing, bumi Sriwijaya menghasilkan cengkeh, kapulaga, pala, lada, pinang, kayu
gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu
sapan, rempah-rempah dan penyu. Barang-barang tersebut dijual atau dibarter
dengan kain katu, sutera dan porselen melalui relasi dagang dengan Cina, India,
Arab dan Madagaskar.
H.
Kehidupan
Sosial dan Budaya
Sriwijaya yang
merupakan kerajaan besar penganut agama Budha, serta merupakan pusat agama
Budha yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Agama Budha yang berkembang
di Kerajaan Sriwijaya adalah agama Budha Mahayana. Menurut berita dari Tibet,
seorang pendeta bernama Atica datang dan tinggal di Sriwijaya (1011-1023 M)
untuk belajar agama Budha dari seorang guru bernama Dharmapala. Menurutnya,
Sriwijaya merupakan pusat agama Budha di luar
India.
Peninggalan-peninggalan
Kerajaan Sriwijaya banyak ditemukan di daerah Palembang, Jambi, Riau, Malaysia,
dan Thailand. Ini disebabkan karena Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang
selalu berpindah-pindah, tidak menetap di satu tempat dalam kurun waktu yang
lama. Prasasti dan situs yang ditemukan di sekitar Palembang, yaitu Prasasti
Boom Baru (abad ke7 M), Prasasti Kedukan Bukit (682 M), Prasasti Talangtuo (684
M), Prasasti Telaga Batu ( abad ke-7 M), Situs Candi Angsoka, Situs Kolam
Pinishi, dan Situs Tanjung Rawa. Peninggalan sejarah Kerajaan Sriwijaya lainnya
yang ditemukan di Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu, yaitu Candi
Kotamahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Gumpung,
Candi Tinggi, Candi Kembar batu, Candi Astono dan Kolam Telagorajo, Situs
Muarojambi. Di Lampung, prasasti yang ditemukan adalah Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Bungkuk
(Jabung). Di Riau, ditemukan Candi Muara Takus yang berbentuk stupa Budha.
0 komentar:
Post a Comment