Penetapan Harga (Tasy’ir) : Jumhur ulama sepakat bahwa penetapan harga adalah kebijakan yang tidak dianjurkan oleh ajaran Islam jika pasar dalam situasi normal. Satu dari empat mazhab terkenal, yaitu Hambali, menolak keras kebijakan penetapan harga ini. Ibnu Qudamah (1374 H) mengajukan dua argumentasi mengenai hal ini, yaitu: Pertama, Rasulullah saw tidak pernah menetapkan harga walaupun penduduk menginginkannya (sebagaimana hadist di atas). Jika penetapan harga ini dibolehkan niscaya Rasulullah s.a.w akan melaksanakannya; Kedua, menetapkan harga adalah ketidakadilan (zulm) yang dilarang.
Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa ketentuan penetapan harga ini tidak dijumpai dalam Al-Qur’an. Adapun dalam hadits Rasulullah saw dijumpai beberapa riwayat yang menurut logikanya dapat diinduksikan bahwa penetapan harga itu dibolehkan dalam kondisi tertentu. Faktor dominan yang menjadi landasan hukum at-tas’ir al jabari, menurut kesepakatan ulama fikih adalah al-maslahah al-mursalah (kemaslahatan).
Hadits Rasulullah Saw yang berkaitan dengan penetapan harga adalah suatu riwayat dari Anas bin Malik. Dalam riwayat itu dikatakan: “Pada zaman Rasulullah saw terjadi lonjakan harga di pasar, lalu sekelompok orang menghadap Rasulullah saw seraya mereka berkata: “Ya Rasulullah, harga-harga dipasar melonjak begitu tinggi, tolong patoklah harga tersebut’. Rasulullah saw menjawab, ’sesungguhnya Allahlah yang (pada hakekatnya) menetapkan harga, dan menurunkannya, melapangkan dan meluaskan rezki. Janganlah seseorang diantara kalian menuntut saya untuk berlaku zalim dalam soal harta maupun nyawa’’ (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban). Senada dengan hadis ini riwayat dari jalur Abu Hurairah oleh al-Baihaki. Ulama fikih menyatakan bahwa kenaikan harga yang terjadi di zaman Rasulullah saw tersebut bukanlah oleh tindakan sewenang-wenang dari para pedagang, tetapi karena memang komoditas yang ada terbatas. Sesuai dengan hukum ekonomi apabila stok terbatas, maka wajar harga barang tersebut naik. Oleh sebab itu, dalam keadaan demikian Rasulullah saw tidak mau campur tangan membatasi harga komoditas dipasar tersebut, karena policy dan tindakan seperti ini dapat menzalimi hak para pedagang. Padahal, Rasulullah saw tidak akan mau dan tak akan pernah berbuat zalim kepada semua manusia, tidak terkecuali kepada pedagang dan pembeli. Dengan demikian, menurut para ahli fikih, apabila kenaikan harga itu bukan karena ulah para pedagang, maka pihak pemerintah tidak boleh ikut campur dalam masalah harga tersebut, karena perbuatan itu bisa menzalimi para pedagang. Apabila kenaikan harga barang di pasar disebabkan ulah para spekulan dengan cara menimbun barang, sehingga stok barang di pasar langka dan menipis sehingga harga melonjak dengan tajam maka sebagian besar (jumhur) ulama terutama dari kalangan mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali seperti Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim al-Jauziyah, ulama mazhab Hanafi seperti Abu Yusuf berpendapat bahwa dalam situasi lonjakan harga secara fantastis karena ulah para spekulan dan pedagang pihak pemerintah dapat mengambil tindakan tegas dalam rangka pengendalian harga dan mematoknya secara adil dengan mempertimbangkan kepentingan pedagang maupun pembeli. Alasan mereka adalah pemerintah dalam syariat Islam memiliki fungsi, peran dan kewenangan untuk mengatur kehidupan masyarakat demi kemaslahatan bersama mereka.
Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim membagi bentuk penetapan harga tersebut kepada dua macam kategori, yaitu: penetapan harga yang bersifat dzalim dan penetapan harga yang bersifat adil. Penetapan harga yang bersifat dzalim adalah pematokan harga yang dilakukan pemerintah tidak sesuai dan tidak logis dengan kondisi mekanisme pasar akibat terbatasnya pasokan komoditas dan langkanya barang dan jasa sementara permintaan sangat banyak dan tanpa mempedulikan kemaslahatan para pedagang. Penetapan harga yag dibolehkan dan bahkan wajib dilakukan menurut mereka adalah ketika terjadinya lonjakan harga yang cukup tajam, signifikan, masif dan fantastis menurut bukti akurat disebabkan oleh ulah para spekulan dan pedagang. Akan tetapi pematokan harga tersebut juga harus dilakukan dalam batas adil dengan memperhitungkan biaya produksi, biaya distribusi, transportasi, modal dan margin keuntungan bagi para produsen maupun pedagang. Alasan mereka adalah sebuah riwayat tentang kasus Samurah bin Jundub yang tidak mau menjual pohon kurmanya kepada seorang keluarga Anshar. Pohon kurma Samurah ini kebetulan tumbuh dengan posisi miring dan condong ke kebun keluarga Anshar. Apabila Samurah akan memetik buah atau membersihkan pohon kurmanya itu, ia harus masuk ke perkebunan keluarga Anshar ini, padahal di kebun kebun Anshar itu sendiri banyak tanaman yang dapat terinjak oleh Samurah. Akhirnya keluarga Anshar ini melaporkan persoalan itu kepada Rasulullah saw dan beliau meresponnya dengan menyuruh Samurah menjual pohon kurmanya yang tumbuh miring ke kebun keluarga Anshar tadi. Namun Samurah enggan menjualnya, maka Rasulullah memerintahkan kepada sahabat Anshar ini untuk menebang pohon kurma yang bermasalah tersebut, seraya berucaap kepada Samurah: “Kamu ini orang yang memberi mudharat kepada orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim). Berdasarkan metodologi ijtihad analogis (qiyas), disimpulkan bahwa kemudharatan yang diderita masyarakat banyak oleh ulah para pedagang dan spekulan lebih layak dan semestinya (aulawi) untuk dihilangkan dengan pematokan harga dan bahkan perintah jual secara paksa oleh pihak pemerintah dari pada perlakukan Rasulullah terhadap Samurah tersebut. Demikian halnya kasus ini dapat dianalogikan dengan pesan implisit dari hadits yang menyatakan bahwa cidera janji orang yang mampu untuk membayar hutang merupakan sebuah kezaliman sehingga pantas dicela dan dikenakan sanksi. (HR.Bukhari dan Muslim). Berdasarkan riwayat ini para ulama membolehkan hakim untuk memaksanya untuk membayar hutang dan mengeksekusi hartanya serta menjualnya untuk membayar hutang. Disamping itu, Imam al-Ghazali seorang tokoh ulama fiqih dari mazhab Syafi’i mengqiyaskan diperbolehkannya pematokan harga oleh pemerintah ini kepada ketetapan hukum fiqih diperbolehkannya pemerintah mengambil harta orang-orang kaya untuk memenuhi kebutuhan persenjataan dalam situasi darurat dan krisis modal pertahanan.
0 komentar:
Post a Comment