Indonesia merupakan negara dengan hutan tropis terluas ketiga di dunia. Pemanfaatan sumber daya hutan di Indonesia mengikuti aturan keempat fungsi/kategori hutan. Pertama, hutan konservasi, dikelola untuk mengkonservasi keanekaragaman biologi, sumber daya genetik yang diperlukan untuk bahan pangan, tanaman obat, domestikasijenis kayu hutan dan non kayu. Kedua, hutan lindung, penting untuk memelihara fungsi hidrologi, perlindungan DAS dan konservasi tanah. Ketiga, hutan produksi, menyediakan produksi kayu dan non kayu, dan dikelola melalui sistem tebang pilih untuk hutan alam dan tebang habis untuk hutan tanaman. Keempat adalah hutan konversi, suatu kawasan hutan yang dapat dikonversi menjadi area penggunaan lahan lainnya.
Dari sekitar 48 juta orang yang hidup di dalam dan sekitar hutan Indonesia, sebanyak 6 juta orang diantaranya menggantungkan hidupnya langsung dari hutan. Pemerintah telah mengupayakan seekstensif mungkin untuk mengakomodasi hak-hak masyarakat dalam pengelolaan hutan melalui peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan kehutanan yang dikeluarkan.
Hasil kayu merupakan salah satu produk hutan yang berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, lapangan kerja, dan ekspor, terutama antara tahun 1980–1990. Perolehan devisa negara luar negeri dari ekspor hasil hutan diperkirakan mencapai US$ 1,2 trilyun pada tahun 1985. Sejak saat itu komposisi hasil hutan yang diekspor berubah dari kayu bulat menjadi kayu olahan seperti kayu gergajian, kayu lapis, panel, furnitur, pulp dan kertas. Pada tahun 2005, dilaporkan bahwa tingkat ekspor komoditas hasil hutan meningkat menjadi US $ 5 trilyun.
Deforestasi telah menyebabkan Indonesia kehilangan hutan sekitar 1,7 juta ha per tahun, selama periode 1985–1997. Tingkat kehilangan areal hutan tertinggi terjadi selama periode 1997 – 2000, yang mencapai jumlah sekitar 2,8 juta ha/tahun. Kelestarian sumber daya hutan menjadi hal yang penting untuk keberlanjutan pembangunan nasional. Pengelolaan sumber daya hutan secara lestari adalah salah satu bentuk kegiatan mitigasi dan adaptasi, merupakan isu yang terus dipertahankan di Indonesia. Sebagai negara dengan ribuan pulau dan tingginya ketergantungan terhadap sector berbasis lahan pertanian (pertanian, kehutanan, perikanan, peternakan), menjadikan Indonesia rentan terhadap perubahan iklim tidak hanya dari aspek lingkungan tetapi juga dari aspek ekonomi dan sosial.
Berbagai kebijakan tengah diterapkan dalam mendukung proses implementasi Protokol Kyoto di Indonesia. Adapun kebijakan tersebut berupa upaya mitigasi dan adaptasi sesuai dengan anjuran pemerintah yang telah meratifikasi adanya Protokol Kyoto. Dalam hal ini, implementasi difokuskan pada sektor kehutanan di Indonesia. Adapun upaya tersebut mengenai illegal loging ataupun kebakaran hutan di Indonesia. Hutan adalah suatu wilayah yang memiliki banyak tumbuh-tumbuhan lebat yang berisi antara lain pohon, semak, paku-pakuan, rumput, jamur dan lain sebagainya serta menempati daerah yang cukup luas. Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kawasan hutan yang sangat luas.
Pembalakan liar atau penebangan liar yang dikenal dengan istilah asing (illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Sebuah studi kerjasama antara Britania Raya dengan Indonesia pada 1998 mengindikasikan bahwa sekitar 40% dari seluruh kegiatan penebangan adalah liar, dengan nilai mencapai 365 juta dolar AS.8 8Studi yang lebih baru membandingkan penebangan sah dengan konsumsi domestik ditambah dengan elspor mengindikasikan bahwa 88% dari seluruh kegiatan penebangan adalah merupakan penebangan liar. Malaysia merupakan tempat transit utama dari produk kayu ilegal dari Indonesia.
Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi.
Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta ha dari 120,35 juta ha kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta ha per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama.109 Praktek pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$ 1,4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumber daya hutan.
Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta ha pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas illegal logging atau penebangan liar. Sedangkan data Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar perhari sebagai kerugian finansial akibat penebangan liar.
Dalam mengimplemetasikan adanya Protokol Kyoto baik dari segi mitigasi ataupun adaptasi dari sector kehutanan, maka pemerintah membuat Inpres Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, merupakan landasan koordinasi penanggulangan Illegal Logging, dengan fokus upaya
Percepatan pemberantasan Penebangan Kayu secara Illegal di kawasan Hutan, melalui penindakan terhadap orang atau badan yang melakukan kegiatan: menebang/memanen/memungut hasil hutan kayu dari kawasan hutan tanpa hak/ijin dari pejabat yang berwenang, menerima/memberi/menjual/menyimpan hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil secara tidak sah, mengangkut/menguasai/memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan kayu tersebut, membawa alat-alat berat/ alat-alat lainnya yang lazim/patut diduga digunkan untuk mengangkut hasil hutan kayu di dalam kawasan hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang, Menindak tegas dan memberikan sanksi terhadap oknum petugas yang terllibat, Melakukan koordinasi dan kerja sama, Memanfaatkan informasi masyarakat, Melakukan penanganan sesegera mungkin terhadap barang bukti hasil operasi pemberantasan penebangan kayu secara illegal, untuk penyelamatan nilai ekonomisnya.
Inpres ini menginstruksikan kepada para pejabat terkait untuk melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara illegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui penindakan terhadap setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan:
- Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.
- Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki dan menggunakan hasil hutan kayu yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
- Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu.
- Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
- Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
Namun pada kenyataannya Kendala-kendala dalam upaya penanggulangan: Rasio luas wilayah yang harus diawasi dengan kemampuan pengawasan. (Keterbatasan SDM, Keterbatasan sarana dan prasarana pendukung), Masih adanya pemanfaatan masyarakat di sekitar hutan untuk melakukan penebangan hutan secara illegal oleh pemilik modal, Belum terintegrasinya Online Data Base Intergovernmental Agency, sehingga pertukaran informasi di bidang tindak pidana kehutanan masih lemah, Kecenderungan tidak konsistennya masyarakat dunia, berkaitan dengan kepentingan perdagangan kayu dunia dan isu pelestarian hutan.
Catatan kasus-kasus Illegal Logging 2 ( dua ) Tahun terakhir dan beberapa kasus besar : Tahun 2006 Bareskrim Polri mencatat Jumlah tindak pidana illegal logging yang ditangani 3.711 kasus, dengan tersangka 5.217 orang dan diselesaikan 2.407 kasus dengan barang bukti : Kayu Olahan = 494.810.53 M3, Kayu log/Bulat = 690.637 batang, Tugboat = 8 Unit, Tongkang = 7 Unit, Ponton = 2 Unit, Klotok = 111 Unit, Kapal = 451 Unit, Truk/mobil = 1.255 Unit, Alat Berat = 187 Unit, Alat ringan = 314 Unit, Sepeda motor = 39 Unit, Buldoser = 2 Unit, Chainsaw = 41 Unit.
Tahun 2007 Bareskrim Mabes Polri mencatat jumlah tindak pidana illegal logging yang ditangani 1.749 kasus, dengan jumlah tersangka 1.717 orang dan diselesaikan 1.260 kasus dengan barang bukti sebagai berikut : Kayu = 503.471 M3 + 405.828 Batang, Ponton/Tb/Tk = 17 Unit, Klotok = 69 Unit, Kapal = 59 Unit, Truk = 1.232 Unit, Kontainer = 272 Unit, Alat Berat = 205 Unit, Alat Ringan = 832 Unit, Sepeda Motor = 68 Unit.
Kasus Illegal Logging di Kabupaten Kapuas Hulu dan Sintang Provinsi Kalbar ( dikenal sebagai Kasus Tenda Biru). Ditemukan kayu berupa rakit pada Januari 2008 sebanyak 19 rakit atau sebanyak 22.124 batang (10 rakit berada di Kab. Kapuas Hulu dan 9 rakit berada di Kabupaten Sintang) Provinsi Kalimantan Barat dengan diikuti oleh 285 orang penduduk –masyarakat setempat. Wakil Bupati Kapuas Hulu dan Gubernur Provinsi kalbar melaporkan ke Menko Polhukam dan Menhut. Pada tanggal 6 Maret 2008 diselenggarakan rapat koordinasi untuk penyelesaian masalah dengan memperhatikan aspek: penegakan hukum, politik, dan aspek kemanusiaan serta pembangunan masyarakat di wilayah perbatasan. Kayu temuan tersebut sebagian dalam proses lelang pada tanggal 18 Maret 2008 dan sebagiannya dalam proses pengukuran. Terhadap masyarakat yang menyertai rakit kayu tersebut telah difasilitasi oleh Pemda Kabupaten Kapuas Hulu dan Pemda Provinsi Kalbar untuk dikembalikan ke desanya masing-masing.
Kasus Illegal Logging di Provinsi Riau, operasi yang dilakukan aparat Polri dalam pemberantasan illegal logging di Provinsi Riau merupakan implementasi Inpres Nomor 4 tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Illegal di Kawasan Hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Dari operasi ini, telah dilakukan proses penyidikan, antara lain 14 perusahaan HTI, serta penyitaan sejumlah besar kayu, sejumlah alat angkut dan alat berat. Di dalam perkembangannya, timbul dampak yang berkaitan dengan dengan aspek penegakan hukum dan aspek sosial ekonomi. Pada aspek penegakan hukum, terdapat perbedaan perpsepsi antara jajaran Departemen Kehutanan dan Jajaran Polda Riau, tentang Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Tanaman Industri.
Pada aspek sosial-ekonomi, timbul keluhan dunia usaha, berkait dengan penurunan produksi karena berhentinya pasokan bahan baku, yang kemudian disimpulkan mengakibatkan penurunan nilai ekspor, pengangguran dan hambatan instansi. Masalah tersebut mengemukakan di berbagai media massa baik cetak dan elektronik yang lebih mengeksploitasi perbedaan persepsi tersebut, sebagai pertentangan yang tajam antar institusi. Untuk penyelesaian masalah ini, telah dibentuk Tim Penyelesaian Masalah Illegal Logging di Provinsi Riau (TPM) yang terdiri dari Tim Pengarah (Ketua Menko Polhukam, Wakil Ketua Menko Perekonomian) dan Tim Pelaksana ( Ketua Deputi V / Kemenko Polhukam, Wakil Ketua Deputi III / Kemenko Perekonomian ). Namun berdasarkan data di atas kasus Illegal logging masih belum terselesaikan dengan baik walupun pemerintah telah mensosialisasikan inpres no 4 Tahun 2005.
Selain permasalahan diatas kebakaran hutan di Indonesia juga menjadi permasalahan utama yang menjadi agenda dari implementasi Protokol Kyoto di Indonesia.
Kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, atau kebakaran semak, adalah sebuah kebakaran yang terjadi di alam liar, tetapi juga dapat memusnahkan rumah-rumah dan lahan pertanian disekitarnya. Penyebab umum termasuk petir, kecerobohan manusia, dan pembakaran. Kebakaran hutan dan lahan sangat mengkhawatirkan dan sangat merugikan dalam berbagai hal, baik secara ekonomi dan sosial maupun secara ekologi. Dampak yang segera terasa adalah asap, sampai negara tetangga juga merasakannya, apalagi yang dekat dengan sumbernya. Belum lagi dampak yang harus diterima setelah kebakaran hutan dan lahan, yaitu rusaknya ekologi, yang dengan sendiri akan ditanggung oleh masyarakat yang ada di sekitar dan di dalam hutan secara langsung, dan seluruh masyarakat secara tidak langsung.
Penyebab terjadinya kerusakan hutan yang maha dahsyat ini adalah kegiatan penebangan hutan skala besar oleh perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), pembukaan areal hutan tanaman industri (HTI) untuk industri kertas dan perkebunan besar kelapa sawit, kebakaran hutan karena pembukaan lahan serta praktik-praktik illegal logging oleh para mafia kayu yang telah merugikan negara sebesar 41 triliun rupiah setiap tahunnya. Serangkaian bencana alam yang terjadi beberapa tahun terakhir ini seperti banjir, kebakaran hutan, longsor, kekeringan, erosi besar-besaran semuanya berhubungan dengan rusaknya hutan kita. Sementara kebakaran hutan yang disebabkan oleh konsesi dan perkebunan telah menobatkan Indonesia sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia. Kebakaran hutan di Indonesia telah menjadi hal yang biasa. Secara histori kebakaran hutan di Indonesia telah tercatat sejak tahun 1877. Secara teori dan aplikasi kebakaran hutan terjadi akibat terpenuhinya interaksi antara bahan bakar, udara atau adanya oksigen dan sumber penyulutun. Tanpa ada interaksi dari ketiga komponen tersebut mustahil kebakaran hutan dan lahan terjadi. Dari hasil penelitian Paine dalamEnvironmental summary: harvesting and use of peat as an energy, tentang interaksi ketiga komponen bisa ditarik kesimpulan bahwa kebakaran hutan sangat mustahil terjadi dengan sendiri.
Kenyataan ini sangat beralasan terjadi di Indonesia. Di beberapa penuturan, ahli kebakaran hutan dan lahan Profesor Bambang Hero Saharjo menyatakan bahwa penyebab terjadinya kebakaran 99,9 % terjadi akibat ulah manusia, baik disengaja ataupun tidak. Pernyataan ini diperkuat dengan kondisi alam Indonesia yang tidak memungkinkan kebakaran hutan terjadi dengan sendirinya, atau faktor alam seperti percikan api akibat kilat atau gesekan ion negative dan positif di awan. Ketika terjadi kilat dan petir, sudah bisa dipastikan akan diikuti dengan hujan.
Pada umumnya kebakaran lahan dan hutan di provinsi tersebut terjadi pada lahan gambut yang sulit dipadamkan dan minimbulkan kabut asap. Tingkat kenaikan/penurunan jumlah hot spot tahun 2005/2006 di 8 provinsi yang terjadi kebakaran lahan dan hutan dapat dilihat dalam tabel berikut :
Sementara itu, berdasarkan data pada 2004/2007, sekitar 247 ribu ha kawasan hutan di Kotabaru dalam kondisi kritis. Hutan kritis paling tinggi terjadi di kawasan hutan produksi (HP) sekitar 184 ribu ha, hutan produksi terbatas (HPT) sekitar 38,6 ribu ha, hutan lindung (HL) sekitar 18 ribu ha, dan kawasan hutan alam/suaka alam (SA) sekitar 5,5 ribu
Upaya untuk menangani kebakaran hutan ada dua macam, yaitu penanganan yang bersifat represif dan penanganan yang bersifat preventif. Penanganan kebakaran hutan yang bersifat represif adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengatasi kebakaran hutan setelah kebakaran hutan itu terjadi. Penanganan jenis ini, contohnya adalah pemadaman, proses peradilan bagi pihak-pihak yang diduga terkait dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan lain-lain. Sementara itu, penanganan yang bersifat preventif adalah setiap usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Jadi penanganan yang bersifat preventif ini ada dan dilaksanakan sebelum kebakaran terjadi. Selama ini, penanganan yang dilakukan pemerintah dalam kasus kebakaran hutan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, lebih banyak didominasi oleh penanganan yang sifatnya represif. Berdasarkan data yang ada, penanganan yang sifatnya represif ini tidak efektif dalam mengatasi kebakaran hutan di Indonesia.
Upaya Preventif Pencegahan Kebakaran Hutan Menurut UU No 45 Tahun 2004, pencegahan kebakaran hutan perlu dilakukan secara terpadu dari tingkat pusat, provinsi, daerah, sampai unit kesatuan pengelolaan hutan. Ada kesamaan bentuk pencegahan yang dilakukan diberbagai tingkat itu, yaitu penanggungjawab di setiap tingkat harus mengupayakan terbentuknya fungsi fungsi berikut ini
- Mapping : pembuatan peta kerawanan hutan di wilayah teritorialnya masing-masing.
- Informasi : penyediaan sistem informasi kebakaran hutan.Hal ini bisa dilakukan dengan pembuatan sistem deteksi dini (early warning system) di setiap tingkat.
- Sosialisasi : pengadaan penyuluhan, pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat. Penyuluhan dimaksudkan agar menginformasikan kepada masyarakat di setiap wilayah mengenai bahaya dan dampak, serta peran aktivitas manusia yang seringkali memicu dan menyebabkan kebakaran hutan. Penyuluhan juga bisa menginformasikan kepada masayarakat mengenai daerah mana saja yang rawan terhadap kebakaran dan upaya pencegahannya.
- Standardisasi : pembuatan dan penggunaan SOP (Standard Operating Procedure) untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan program pencegahan kebakaran hutan maupun efektivitas dalam penanganan kebakaran hutan.
- Supervisi : pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan hutan.
- Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk meminimalisir adanya kebakaran hutan dan Illegal Logging di Indonesia, namun berdasasarkan data diatas masih bayaknya kebakaran hutan dan Illegal Logging yang terjadi, padahal upaya adaptasi ataupun mitigasi telah diterapkan seiring dengan implementasi dari adanya Protokol Kyoto.
0 komentar:
Post a Comment