Friday, November 6, 2015

Pengesahan Surat Kuasa Khusus Gugatan Pengadilan

Pengesahan terhadap surat kuasa khusus adalah dibawah tangan diperlukan guna memberi kepastian hukum kepada hakim tentang kebenaran surat kuasa khusus yang dibuat oleh pencari keadilan untuk keperluan persidangan. Hal ini sejalan dengan yurisprudensi MA RI Nomor: 3038 K/Pdt/1981, tanggal 18 September1986. Tugas dan pekerjaan dari seorang notaris tidak hanya membuat akta autentik tetapi juga melakukan pendaftaran dan pengesahan akta-akta yang dibuat di bawah tangan (Legalisasi dan Waarmerking), memberikan nasehat hukum dan penjelasan undang-undang kepada para pihak yang membuatnya dan membuat akta pendirian dan perubahan Perseroan Terbatas di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Legalisasi merupakan pengesahan akta di bawah tangan yang dibacakan oleh notaris dan ditanda tangani oleh penghadap dimuka notaris pada waktu itu juga untuk menjamin kepastian tanggal dari akta yang bersangkutan. Dimana para penghadap yang mencantumkan tanda tangannya itu dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepada notaris. Mengenai legalisasi Pasal 1874 KUHPerdata menyatakan: “Sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.

Terkait dengan contoh kasus dalam tulisan ini yang terjadi pada surat kuasa khusus yang dibuat di hadapan Notaris Niken Sukmawati, S.H., M.Kn. Notaris di Blora pada tanggal 25 Agustus 2008 dengan bukti dilegalisir dengan No.04/Leg/2008. Mahkamah Agung dalam putusannya bernomor: 1040 K/Pdt/2010, menyatakan bahwa cap jempol yang dibubuhkan dalam surat kuasa termohon buta huruf yang telah dilegalisasi oleh notaris tersebut dinyatakan tidak sah. Sedangkan pada persidangan kasus berbeda di tahun 2008, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 9 K/Pdt/2008 surat kuasa oleh pemberi kuasa buta huruf yang hanya di-warmerking dianggap sah dan tidak cacat hukum. Ketidak pastian ini tentu harus dipertegas dengan peraturan perundang-undangan yang jelas, sehingga para penegak hukum kita khususnya para hakim dimanapun mereka bertugas mempunyai sikap yang sama, demikian pula dengan pertanggungjawaban notaris terhadap kliennya. Keabsahan sebuah surat kuasa khusus yang dicap jempol oleh penghadap buta huruf mestinya dilegalisasi oleh notaris atau pejabat yang berwenang lainnya.

Pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusannya bernomor 1040 K/Pdt/2010, tentang Pembatalan Putusan Pengadilan Tinggi Blora Nomor 207/Pdt/2009/PT.Smg yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Blora Nomor 24/Pdt.G/2008/PN.Bla. adalah sebagai berikut :

  1. Bahwa pengesahan yang dilakukan hanya sekedar menerangkan isi dan maksudnya kepada pemberi kuasa dan penerima kuasa; bahwa tidak ada suatu keterangan, khususnya dari pemberi kuasa, apakah benar telah mengetahui dan mengerti serta memahami apa yang telah diterangkan atau dijelaskan isi dan maksud dari surat kuasa termaksud oleh Notaris selaku pejabat yang melegalisasi surat kuasa tersebut dan yang memberikan persetujuan atas surat kuasa tersebut. Atau tanpa menanyakan kepada masing-masing pihak apakah para pihak sudah mengerti dan memahami serta menyetujui tentang isi dan maksud surat kuasa tersebut.
  2. Bahwa dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang yang menguatkan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Blora menyatakan bahwa dengan telah dibubuhkannya cap jempol oleh Penggugat Terbanding Termohon Kasasi, maka Penggugat Terbanding Termohon Kasasi dianggap telah memahami isi dan maksud dari pemberian Surat Kuasa Khusus kepada penerima kuasa. Bahwa pendapat dan pertimbangan seperti tersebut di atas adalah keliru dan terlalu sumir, karena keabsahan surat kuasa semacam itu harus dijelaskan dan diterangkan oleh Notaris, surat apa yang dibubuhi cap jempol itu. 
  3.  Bahwa selain itu, Majelis Hakim Tingkat Banding dan Majelis Hakim Tingkat Pertama ternyata juga tidak memahami istilah “legalisir” dengan legalisasi; bahwa 2 (dua) istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda dan tentu saja mempunyai akibat hukum yang berbeda pula; bahwa hal tersebut ternyata dalam pertimbangan hukum putusan pengadilan Negeri Blora a quo pada halaman 18 yang berbunyi sebagai berikut:
Menimbang, bahwa mengenai eksepsi kuasa para tergugat tentang surat kuasa penggugat tertanggal 23 Agustus 2008 cacat hukum dan tidak sah maka dalam hal ini Majelis berpendapat bahwa dengan dibuatnya Surat Kuasa di hadapan Notaris Niken Sukmawati, S.H., Mkn., Notaris di Blora pada tanggal 25 Agustus 2008 dan dilegalisir dengan No.04/Leg/2008, dimana sebelum Surat Kuasa tersebut dilegalisir; Bahwa pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa surat kuasa dari nyonya Parinah (ic. Penggugat Terbanding Termohon Kasasi) tersebut hanya dilegalisir saja, justru telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 123 HIR jo Pasal 147 ayat (3) R.Bg. jo. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 1959 tertanggal Januari 1959 tentang Pengesahan Cap Jempol jo. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik No. 10 Tahun 1964 tertanggal 30 April 1964 tentang Pasal 147 ayat (3) Rechtsreglement Buitengewesten yang telah secara tegas mengatur bahwa Surat Kuasa dari seorang yang buta huruf atau tidak bisa membaca dan menulis harus dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang/ Notaris (ic.Notaris menerangkan atau menjelaskan isi dan maksud dari Surat Kuasa termaksud kepada para pihak, teristimewa pada pemberi kuasa/ nyonya Parinah yang nota bene adalah seorang yang buta huruf atau tidak bisa membaca dan menulis), tidak cukup hanya sekedar dilegalisir saja; Bahwa dengan demikian, maka pertimbangan hukum yang diambil oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang dan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Blora tersebut adalah bertentangan dengan hukum dan berakibat pada ama putusan yang cacat hukum. 

Menurut penulis, jika ditinjau dari sudut kekuatan hukumnya untuk pembuktian, maka tentu saja lebih kuat Legalisasi daripada Register (waarmerking). Dalam hal surat kuasa khusus yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda angan sebaiknya dilegalisasi bukan di warmerking, karena dengan legalisasi notaris mengetahui secara pasti kapan surat kuasa khusus tersebut disetujui oleh kedua belah pihak dengan kata lain pada saat surat itu dibubuhi dengan cap jempol atau ditanda tangani notaris secara langsung menyaksikannya. Selain disaksikan, Notaris juga menerangkan kepada pihak penghadap isi dan maksud dari surat kuasa tersebut.

Ketentuan mengenai pengesahan pembubuhan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan tidak diatur dengan tegas dalam UUJN sehingga pengesahan yang dilakukan antara notaris yang satu dengan yang lain berbeda. Kenyataannya surat kuasa khusus yang disahkannya menjadi cacat hukum. Hal ini tentu sangat merugikan bagi pihak yang ingin membubuhkan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan, jika surat kuasa khusus gugatannya di pengadilan terhadap suatu perkara dipermasalahkan. Pengesahan yang cacat hukum berakibat pada pembatalan keputusan Hakim terdahulu, hal inilah yang perlu menjadi perhatian sehingga masyarakat yang memerlukan jasa notaris mendapatkan kepastian hukum. Ketentuan Pasal 1874 KUHPerdata dan yurisprudensi tentang pemakaian cap jempol sudah semestinya dituangkan dengan jelas dalam UUJN sehingga menjadikan pedoman yang pasti bagi notaris dalam menerapkan kewenangan yang dimilikinya.

No comments:

Post a Comment