Thursday, April 11, 2013

Analisis Hukum Program Imunisasi

Analisis Hukum Program Imunisasi - 1. Subyek hukum (persoonsleer, dalam hal ini ambtenleer):
  • Pejabat pemerintah (Departemen Kesehatan) beserta jajarannya sebagai penanggungjawab personal. Pejabat atribusian (pemilik kewenangan) ialah: Menteri Kesehatan yang dalam hal teknis dilaksanakan oleh Dirjen P2M-PLP yang membuat kebijakan imunisasi tingkat nasional.
  • Departemen Kesehatan (khususnya Ditjen P2M-PLP) sebagai instansi beserta instansi di bawahnya sebagai penanggung-jawab institusional.
Sesuai dengan kewenangan dan tata organisasi Depkes, pejabat delegasian (penerima kewenangan) adalah Kakanwil Depkes atau Kadinkes yang berturutturut adalah di Tingkat Propinsi (Dati I), Tingkat Kabupaten/Kotamadya (Dati II). Pejabat ini sekaligus juga pejabat atribusian (pemilik kewenangan) berdasarkan keputusan Gubernur (Kepala Daerah Tingkat I) atau Bupati/Walikodya (Kepada Dati II) yang membuat kebijakan tingkat daerah masingmasing.

Kadinkes akhirnya memberi tugas dan mendelegasikan kewenangannya kepada dokter puskesmas di wilayah masing-masing.

Surat tugas yang umum dari Kadinkes (Dati II) diperlukan, dengan menyebut nama program, nama sasaran, jangka waktu, tempat, pejabat yang ditunjuk dan garis besar tugasnya. Petunjuk teknis medis tugas yang harus dilakukan (standar prosedur operasional) dilampirkan. Dengan demikian dokter puskesmas sah secara hukum sebagai pejabat lapangan yang bertugas untuk melakukan imunisasi di wilayahnya.

Mengingat banyaknya tugas dokter puskesmas, tugas tersebut dapat dilimpahkan kepada sesama dokter di wilayahnya (PTT atau dokter lainnya yang sah) dan atau tenaga kesehatan bawahannya seperti perawat selaku juru imunisasi. 10 Diperlukan Surat Tugas dari dokter selaku Kepala Puskesmas Kecamatan dan atau Kelurahan yang terinci untuk itu, seperti waktu (jangka tertentu), nama-nama murid dan nama sekolah, lokasi/ tempat imunisasi, vaksin yang dipakai, nomor batch, nama-nama petugas/tenaga kesehatan pemberi imunisasi dengan keterangan kompetensinya, sarana yang diperlukan (termasuk untuk penanggulangan KIPI), dan lain lain. Dengan demikian masing-masing perawat selaku juru imunisasi secara administratif sah memperoleh delegasi program (kewenangan) pemerintah tersebut sesuai dengan kompetensinya. 

Rantai tanggungjawab berjenjang memberi pula pola pertanggungjawaban program yang berjenjang, sehingga kesalahan perawat pemberi imunisasi secara vicarious liability pada gilirannya merupakan tanggungjawab Dirjen P2M-PLP.

2. Kekuasaan hukum (gebiedsleer)
  • Terhadap orang: imunisasi dilakukan terhadap masyarakat yakni anak sekolah (sebagai adressat/penerima imunisasi).
  • Terhadap ruang: melalui sekolah-sekolah di wilayah kelurahan dan kecamatan di seluruh Indonesia.
  • Terhadap waktu : setiap tahun (pelaksanaan sesuai waktu yang telah diprogramkan).
  • Terhadap benda: dengan vaksin yang telah diakui secara sah efektif dan efisien yang didistribusikan ke sekolah-sekolah.
Kekuasaan hukum ini yang harus tercermin secara rinci dalam setiap Surat Tugas atau Surat Keputusan pejabat berwenang.

3. Hubungan hukum (leer de administratieve recht)
Ada 3 jenis hubungan hukum antara pejabat / tenaga kesehatan dengan murid/anak sekolah terkait yakni : 

a. Pelaksanaan imunisasi massal anak sekolah yang telah diprogramkan sebelumnya oleh tenaga kesehatan tertentu yang berkompeten dan berwenang terhadap klien (anak sekolah) yang telah disetujui oleh orangtuanya dengan vaksin yang telah memenuhi standar tertentu melalui sekolah-sekolah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hubungan hukum ini informed-consent dari orangtua mutlak diperlukan mengingat anak sekolah belum dianggap sebagai pribadi hukum mandiri (belum dewasa).8 Materi informed-consent meliputi pula manfaat dan risiko imunisasi seperti KIPI.8 Mengingat program ini adalah massal yang dilakukan oleh pemerintah dengan itikad baik maka proses informed-consent dapat ditempuh secara kolektif melalui penyuluhan pra-imunisasi oleh dokter puskesmas kepada para orangtua murid di sekolah, dengan bukti berita acara yang dilampirkan daftar hadir serta disaksikan oleh kepala sekolah. Dalam kondisi khusus informed-consent ini dapat berupa implied-consent bila orangtua ikut mengantarkan anaknya di-imunisasi. Setelah proses pemberian informasi, dibuka kemungkinan penolakan oleh orangtua tertentu. Penolakan ini harus tertulis disertai alasan-alasannya. Namun harus disertai pernyataan kewajiban kesediaan si orangtua agar anaknya diimunisasi serupa pada kesempatan atau tempat lain.


b. Penatalaksanaan komprehensif KIPI tahap awal yang timbul akibat hubungan hukum sebelumnya terhadap (sebagian kecil) klien yang telah (berubah status hukum) menjadi pasien. Dalam kondisi tidak gawat/darurat, ditempuh proses informed-consent untuk mengobati anak yang terkena KIPI. Dalam kondisi darurat tidak diperlukan hal itu, langsung saja dilakukan tindakan medis life-saving di Puskesmas setempat atau di fasilitas RS rujukan. Kondisi KIPI adalah khas yang memerlukan kompetensi khusus untuk menegakkan diagnosis. Oleh karena itu diagnosis harus dilakukan oleh dokter. Rekam medis menjadi penting untuk kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi dokter maupun pasiennya. Aturan hukum kedokteran yang umum berlaku di sini.

c. Penatalaksanaan komprehensif KIPI tahap lanjut yang timbul akibat hubungan hukum sebelumnya terhadap (lebih sebagian kecil lagi) pasien yang telah (berubah status hukum) menjadi korban. Penatalaksanaan hampir sama dengan butir b., namun agar obyektif, bila diperlukan “surat keterangan medik” harus dilakukan pemeriksaan oleh dokter lainnya atau atasannya. Untuk pasien yang mati dianjurkan untuk otopsi forensik, agar penyebab pasti kematian dapat ditegakkan. Penolakan otopsi oleh keluarga korban harus dicatat dengan disebutkan alasannya. Biaya yang timbul pada kondisi butir b dan c sewajarnya ditanggung (sebagian atau seluruhnya) oleh pemerintah. Namun untuk meneliti keabsahannya perlu suatu verifikasi oleh tim atau lembaga independen, seperti Pokja KIPI, agar mempermudah kerja pemerintah dan terciptanya rasa keadilan bagi korban.9 Dari ketiga jenis hubungan hukum ini aspek bidang hukum yang terkait adalah hukum administrasi negara, hukum pidana, dan hukum perdata. Selain itu ada pula hubungan hukum antara pejabat kesehatan dengan pihak lain, baik BUMN maupun swasta dalam hal pembuatan atau pengadaan vaksin, seperti dengan PT (Persero) Biofarma dan lain lain yang aspek hukumnya pada umumnya adalah perdata (dimasukkan ke dalam hal jual/beli perdata).

Ditulis Oleh : Unknown // 9:33 AM
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment