Saturday, June 22, 2013

MASYARAKAT MADANI

MASYARAKAT MADANI : 
DIALOG ISLAM DAN MODERNITAS DI INDONESIA 

Oleh: 
Saefur Rochmat[1] 
Abstrak:

Masyarakat madani merupakan wacana yang sedang dikembangkan pada era reformasi sekarang ini. Supaya dapat menempatkan wacana tersebut dalam konteks yang tepat maka kita harus mengetahui sejarah perkembangan konsep masyarakat madani, prinsip-prinsip yang harus ditegakkan di dalamnya, dan hambatan menciptakan masyarakat madani di Indonesia.
            Masyarakat madani merupakan padanan dari konsep civil society (masyarakat sipil) yang lahir di Barat pada abad ke-18 dengan tokohnya John Locke atau Montesquieu. Sebelumnya pada zaman Yunani Kuno pernah digunakan kata societies civilis oleh Cicero, namun dengan pengertian yang identik dengan negara. Konsep civil society berusaha untuk mencegah lahirnya pemerintahan yang otoriter, dengan menciptakan masyarakat yang kuat vis-à-vis negara.
            Konsep civil society diadopsi oleh umat Islam dengan pendekatan projecting back theory, yaitu melihat pada sejarah awal Islam sebagai patokan, dan bila tidak ditemukan maka dicarikan pada sumber normatif al-Kur’an dan al-Hadits. Civil society diterjemahkan dengan masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang diciptakan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Ciri-ciri kehidupan pada masa Nabi yang ideal dianggap sebagai proto-masyarakat modern. Kehidupan yang ideal pada masa Nabi merupakan acuan juga bagi John Locke, Mostequieu, dan Rousseau dalam menyusun konsep civil society.
             
Kata kunci: masyarakat madani, negara, Nabi, Indonesia, projecting back theory.

1. Pendahuluan
            Masyarakat madani sebagai terjemahan dari civil society diperkenalkan pertama kali oleh Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri Keuangan dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia) dalam ceramah pada Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada Festival Istiqlal, 26 September 1995 (Hamim, 2000: 115). Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab “mujtama’ madani”, yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiri ISTAC (Ismail, 2000: 180-181). Kata “madani” berarti civil atau civilized (beradab). Madani berarti juga peradaban, sebagaimana kata Arab lainnya seperti hadlari, tsaqafi atau tamaddun. Konsep “madani” bagi orang Arab memang mengacu pada hal-hal yang ideal dalam kehidupan.
            Konsep masyarakat madani itu lahir sebagai hasil dari Festival Islam yang dinamai Festival Istiqlal, suatu festival yang selenggarakan oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Islam Muslim Indonesia). ICMI adalah suatu wadah organisasi Islam yang didirikan pada Desember 1991 dengan restu dari Presiden Soeharto dan diketuai oleh BJ Habibie, tangan kanan Soeharto yang menduduki jabatan Menteri Riset dan Teknologi. Berdirinya ICMI tidak lepas dari peranan Habibie yang berhasil menyakinkan Presiden Soeharto untuk mengakomodasi kepentingan golongan menengah Muslim yang sedang berkembang pesat dan memerlukan sarana untuk menyalurkan aspirasinya. Gayung bersambut karena Soeharto sedang mencari partner dari golongan Muslim agar mendukung keinginannya menjadi presiden pada tahun 1998. Hal ini dilakukan Soeharto untuk mengurangi tekanan pengaruh dari mereka yang sangat kritis terhadap kebijakannya, terutama dari kalangan nasionalis yang mendirikan berbagai LSM dan kelompok Islam yang menempuh jalur sosio-kultural seperti Gus Dur, Emha, dan Mustafa Bisri.
Mereka mengembangkan gerakan prodemokrasi dengan memperkenalkan konsep civil society atau masyarakat sipil. Konsep ini ditawarkan sebagai kaunter terhadap hegemoni negara yang begitu massif melalui aparat militer, birokrasi, dan para teknokratnya. Konsep Civil society lebih dimaksudkan untuk mengkaunter dominasi ABRI sebagai penyangga utama eksistensi Orde Baru. ABRI tidak hanya memerankan sebagai unsur pertahanan dan keamanan saja tetapi juga mencampuri urusan sipil. Untuk keperluan itu ABRI menjustifikasi tindakannya pada doktrin dwi fungsi ABRI, dimana ABRI ikut memerankan tugas-tugas sipil baik dalam lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Keterlibatannya dalam politik sangat menentukan. Akibatnya check and balance dalam sistem pemerintahan tidak berjalan dan Orde Baru menjelma menjadi regim yang bersifat bureaucratic authoritarian (Arif Rohman, 52).
Konsep masyarakat madani berkembang belakangan sebagai padanan dari masyarakat sipil. Istilah masyarakat madani yang diperkenalkan kalangan Islam politik menjadi lebih populer karena didukung oleh Soeharto yang ingin melakukan perubahan politik secara hati-hati dengan mengurangi keterlibatan ABRI dalam jabatan sipil atas desakan negara-negara donor dengan berakhirnya perang dingin pada tahun 1989. Bagi regim Orde Baru, istilah masyarakat madani lebih netral karena tidak seperti halnya konsep civil society yang ingin mendesak ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan sebagaimana yang terjadi di USA.
Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie, yang juga ketua umum ICMI, sebagai presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan konsep Masyarakat madani karena Presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu komite dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi.
Munculnya konsep masyarakat madani menunjukkan intelektual muslim Melayu mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan modern, persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep masyarakat madani tidak langsung terbentuk dalam format seperti yang dikenal sekarang ini. Konsep masyarakat madani memiliki rentang waktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari akumulasi pemikiran yang akhirnya membentuk profile konsep normatif seperti yang dikenal sekarang ini Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang terus sebagai akibat dari proses pengaktualisasian yang dinamis dari konsep tersebut di lapangan. Like all other vocabularies with a political edge, their meaning is neither self-evident nor unprejudiced (Curtin, 2002: 1).
            Perumusan dan pengembangan konsep masyarakat madani menggunakan projecting back theory, yang berangkat dari sebuah hadits yang mengatakan “Khayr al-Qurun qarni thumma al-ladhi yalunahu thumma al-ladhi yalunahu”, yaitu dalam menetapkan ukuran baik atau buruknya perilaku harus dengan merujuk pada kejadian yang terdapat dalam khazanah sejarah masa awal Islam (Hamim, 2000: 115-127). Kemudian para cendekiawan muslim mengislamkan konsep civil society yang lahir di Barat dengan masyarakat madani, suatu masyarakat kota Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Mereka mengambil contoh dari data historis Islam yang secara kualitatif dapat dibandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society.
Mereka melakukan penyetaraan itu untuk menunjukkan di satu sisi, Islam mempunyai kemampuan untuk diinterpretasi ulang sesuai dengan perkembangan zaman, dan di sisi lain, masyarakat kota Madinah merupakan proto-type masyarakat idel produk Islam yang bisa dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society. Tentunya penggunaan konsep masyarakat madani dilakukan setelah teruji validitasnya  berdasarkan landasan normatif (nass) dari sumber primer Islam (al-Qur’an dan Hadits) atau dengan praktek generasi awal Islam (the Islamic era par exellence).

Nabi Muhammad SAW dan Masyarakat Madani
             Rasanya tidaklah berlebihan kalau kita menerjemahan civil society dengan masyarakat madani, karena kehidupan masyarakat Madinah di bawah Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin sangat menjunjung prinsip-prinsip dalam civil society yang lahir di Barat. Masyarakat madani bentukan Nabi paralel dengan ide civil society bentukan Cicero. Cicero introduced the concept of societas civilis   that is communities which conformed to norms that rose above and beyond the laws of the state and they fulfilled their public and social roles to serve the interests of the political community. In this view, the state constitutes an instrument of civil society (Caparini, 2002: 1). It refers to the living in a civilized political community, having its own legal code and with undertones of civility, urbanity and ‘civic partnership’ (Curtin, 2002: 2). What this basically represents is the idea that people living together form a political community with a common good.
 Islam yang diajarkan Nabi Muhammad SAW sangat menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Dalam QS 2: 30-34 dijelaskan bahwa Allah menyuruh kepada para malaikat bersujud kepada Adam (manusia pertama) yang telah diberi kelebihan akal pikiran. Manusia diutus Allah menjalankan misi khalifah fil ardhi (pengatur alam semesta). Perkembangan lebih lanjut dari paham humanisme ini, kemudian di Barat sebagaimana yang dikemukakan Geovany Piego melahirkan paham liberalisme yang berangkat dari asumsi bahwa manusia pada dasarnya baik sehingga harus diberi kebebasan. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci”.
Dalam karyanya The Venture of Islam, Hodgson, seorang ahli sejarah dunia, melihat bahwa seandainya sejarah dunia ini diibaratkan roda maka sumbunya adalah sejarah Islam. Bahkan motto bukunya diambil dari sebuah ayat Al-Kur’an: Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, … (QS 3: 110). Dia melihat kehadiran Islam di muka bumi ini sungguh sangat sukses dan memiliki implikasi yang sangat signifikan bagi peradaban, di antaranya dalam bidang ilmu pengetahuan. Sebelum Islam datang, ilmu pengetahuan bersifat sangat nasionalistik sekali-untuk tidak menyebut parokialistik. Misalnya, ilmu Yunani, ilmu Romawi, ilmu Cina, ilmu India dan ilmu Mesir. Masing-masing mengaku dirinya paling benar dan mereka tidak mau mempelajari ilmu-ilmu lain. Namun tidak demikian halnya dengan Islam. Sejak awal Nabi Muhammad menegaskan “Carilah ilmu pengetahuan walaupun berada di negeri Cina.”  Dalam salah satu ayatnya, Al-Kur’an juga memerintahkan kita untuk bertanya: … Maka bertanyalah kepada orang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui (QS 16: 43dan 21: 7). Para ahli tafsir menginterpretasikan ahl adz-dzikr dalam ayat itu sebagai al-‘ulama bi at-taurah wa al-injil. Penafsiran ini memberi arti bahwa umat Islam boleh belajar kepada siapa saja. Dengan demikian bagi Islam, ilmu pengetahuan bersifat universal (Siradj, 1999: 29-30).
Islam sebagai agama universal tidak mengatur bentuk negara yang terkait oleh konteks ruang dan waktu, dan Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menamakan dirinya sebagai kepala negara Islam, disamping tidak melontarkan ise suksesi yang tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan negara (Wahid, 2000: 16). Walaupun Nabi telah melakukan revolusi dalam masyarakat Arab, tetapi ia sangat menghormati tradisi dan memperbaharuinya secara bertahap sesuai dengan psikologi manusia karena tujuannya bukanlah menciptakan orde baru (a new legal order) tapi untuk mendidik manusia dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnya kebebasan, keadilan dan kesejahteraan (Schacht, 1979: 541).
            Nabi Muhammad telah menampilkan peradaban Islam yang kosmopolitan dengan konsep ummat yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya dan heteroginitas politik. Peradaban Islam yang ideal tercapai pada masa Nabi Muhammad karena tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslimin dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim) (Wahid, 1999: 4). Keseimbangan itu akan terganggu bila dilakukan ortodoksi (formalisme) terhadap ajaran Islam secara berlebih-lebihan. Ortodoksi yang tadinya untuk mensistematiskan dan mempermudah pengajaran agama, akhirnya dapat menjadi pemasung terhadap kebebasan berpikir karena setiap ada pemikiran kreatif langsung dituduh sebagai bid’ah.
Dalam kaitannya dengan hak-hak asasi manusia, Islam seperti yang tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah) telah mengembangkan ada lima jaminan dasar (Wahid (1999: 1) sebagai berikut:
(1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi.
Bahkan konsep civil society itu mendapat pengaruh dari pemikiran Islam, sebagaimana dijelaskan buku karangan C.G. Weeramantry (Monash University, Australia) dan M. Hidayatullah (India) yang berjudul Islamic Jurisprudence: An International Perspective, terbitan Macmillan Press (Azizi, 2000, 90-94). Menurut mereka, pemikiran John Locke dan Rousseau, terutama sekali mengenai teori mereka tentang kedaulatan (sovereignty), mendapatkan pengaruh dari pemikiran Islam. Locke ketika menjadi mahasiswa Oxford sangat frustasi dengan disiplinnya, dan lebih tertarik mengikuti ceramah dan kuliah Edward Pococke, professor studi tentang Arab. Kemudian perhatian pemikiran Locke mengenai problem-problem tentang pemerintahan, kekuasaan dan kebebasan individu.
Rousseau dalam Social Contract-nya juga tidak lepas dari pengaruh Islam. Bahkan dia secara jelas menyebut: ‘Mohamet had very sound opinions, taking care to give unity to his political system, and for as long as the form of his government endured under the caliphs who succeeded him, the government was undivided and, to that extent, good’. Sementara Montesquieu bermula dari bukunya Persian Lettters, yang kemudian diteruskan dalam buku berikutnya The Spirit of the Laws, tidak lepas dari pengaruh Islam. Tentang Montesquieu ditulis “indeed there are many specific references to the Qur’an and to the Islamic law in the writing of Montesquieu” (Azizi, 2000: 94).

[1] Dosen Jurusan Sejarah, FIS, Universitas Negeri Yogyakarta


Daftar Pustaka

Abdillah, Masykuri. 1999. Islam dan Masyarakat madani. Kompas Online. 27 Februari 1999.

Abdurrahman, Moeslim. 1999.  Peran Masyarakat Akademis sebagai Bagian Masyarakat madani. Kompas Online. 29 dan 30 April 1999.

Ahmadi, H. 2000. Reformasi Sistem Pendidikan Islam dan Era Reformasi: Telaah Filsafat Pendidikan. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat MadaniYogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azizi, A Qodri Abdillah. 2000. Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian Historis-Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat MadaniYogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dabashi, Hamid. 1993. Theology of Discontent: The Ideological Foundation of the   Islamic Revolution in IranNew York and LondonNew York University Press.

Departemen Agama. 1992. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: PT Tanjung Mas Inti.

Hamim, Thoha. 2000. Islam dan Civil society (Masyarakat madani): Tinjauan tentang Prinsip Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat MadaniYogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hikam, Muhammad A.S. 1999. Telaah tentang Kebebasan di Indonesia Menjelang Tahun 2000. Dalam ABRI dan KekerasanYogyakarta: Interfidie.

Gamble, Andrew. 1988. An Introduction to Modern Social and Political Thought. Hongkong: Macmillan Education Ltd.

Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF. 1998. Pasing Over: Melintas Batas AgamaJakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. xiv.

Ismail SM. 2000. Signifikansi Peran Pesantren dalam Pengembangan Masyarakat madani. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat MadaniYogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ismail, Faisal. 1999. NU, Gusdurism, dan Politik KyaiYogyakarta: Tiara Wacana.

Madjid, Nurcholish. 1998. Dialog Agama-agama dalam Perspektif Universalisme al-Islam. Dalam Pasing Over: Melintas Batas AgamaJakarta: Gramedia Pustaka Utama.

McKeon, Richard. 1990. Freedom and History and Other EassysChicago: The University of Chicago Press.

Mas’ud, Abdurrahman. 2000. Reformasi Pendidikan Agama Menuju Masyarakat “Madani”. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat MadaniYogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pickering, W.S.F. 1975. Durkheim on Religion: A Selection of Readings with Bibliographies and Introductory RemarksLondon: Routledge & Keagan Ltd.

Rumadi. 1999. Civil Society dan NU Pasca-Gus Dur. Kompas Online5 November 1999.

Schacht, Joseph and C.E. Bosworth (eds.). 1979. The Legacy of IslamLondonOxford University Press.

Wahid, Abdurrahman. 1991. Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya dengan Kehidupan Beragama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (eds.). Pancasila sebagai IdeologiJakarta: BP 7 Pusat.

Wahid, Abdurrahman. 1999. Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam. 11/9/99. Hal. 1.

Wahid, Abdurrahman. 2000. Tuhan Tidak Perlu DibelaYogyakarta: LkiS.

Ditulis Oleh : Unknown // 1:06 AM
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment