MASYARAKAT MADANI :
DIALOG ISLAM DAN MODERNITAS DI INDONESIA
Oleh:
Saefur Rochmat[1]
Abstrak:
Masyarakat
madani merupakan wacana yang sedang dikembangkan pada era reformasi sekarang
ini. Supaya dapat menempatkan wacana tersebut dalam konteks yang tepat maka
kita harus mengetahui sejarah perkembangan konsep masyarakat madani,
prinsip-prinsip yang harus ditegakkan di dalamnya, dan hambatan menciptakan
masyarakat madani di Indonesia .
Masyarakat
madani merupakan padanan dari konsep civil
society (masyarakat sipil) yang lahir di Barat pada abad ke-18 dengan
tokohnya John Locke atau Montesquieu. Sebelumnya pada zaman Yunani Kuno pernah
digunakan kata societies civilis oleh
Cicero , namun
dengan pengertian yang identik dengan negara. Konsep civil society berusaha untuk mencegah lahirnya pemerintahan yang
otoriter, dengan menciptakan masyarakat yang kuat vis-à-vis negara.
Konsep
civil society diadopsi oleh umat
Islam dengan pendekatan projecting back
theory, yaitu melihat pada sejarah awal Islam sebagai patokan, dan bila
tidak ditemukan maka dicarikan pada sumber normatif al-Kur’an dan al-Hadits. Civil society diterjemahkan dengan masyarakat madani, yaitu suatu
masyarakat yang diciptakan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Ciri-ciri kehidupan
pada masa Nabi yang ideal dianggap sebagai proto-masyarakat modern. Kehidupan
yang ideal pada masa Nabi merupakan acuan juga bagi John Locke, Mostequieu, dan
Rousseau dalam menyusun konsep civil
society.
Kata
kunci: masyarakat madani, negara, Nabi ,
Indonesia , projecting back theory.
1. Pendahuluan
Masyarakat
madani sebagai terjemahan dari civil
society diperkenalkan pertama kali oleh Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri
Keuangan dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia) dalam ceramah pada Simposium
Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada Festival Istiqlal, 26 September 1995
(Hamim, 2000: 115). Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab “mujtama’ madani”, yang diperkenalkan
oleh Prof. Naquib Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia ,
pendiri ISTAC (Ismail, 2000: 180-181). Kata “madani” berarti civil
atau civilized (beradab). Madani
berarti juga peradaban, sebagaimana kata Arab lainnya seperti hadlari, tsaqafi atau tamaddun. Konsep “madani” bagi orang Arab memang mengacu pada hal-hal yang ideal
dalam kehidupan.
Konsep
masyarakat madani itu lahir sebagai hasil dari Festival Islam yang dinamai
Festival Istiqlal, suatu festival yang selenggarakan oleh ICMI (Ikatan
Cendekiawan Islam Muslim Indonesia). ICMI adalah suatu wadah organisasi Islam
yang didirikan pada Desember 1991 dengan restu dari Presiden Soeharto dan
diketuai oleh BJ Habibie, tangan kanan Soeharto yang menduduki jabatan Menteri
Riset dan Teknologi. Berdirinya ICMI tidak lepas dari peranan Habibie yang
berhasil menyakinkan Presiden Soeharto untuk mengakomodasi kepentingan golongan
menengah Muslim yang sedang berkembang pesat dan memerlukan sarana untuk
menyalurkan aspirasinya. Gayung bersambut karena Soeharto sedang mencari
partner dari golongan Muslim agar mendukung keinginannya menjadi presiden pada
tahun 1998. Hal ini dilakukan Soeharto untuk mengurangi tekanan pengaruh dari
mereka yang sangat kritis terhadap kebijakannya, terutama dari kalangan
nasionalis yang mendirikan berbagai LSM dan kelompok Islam yang menempuh jalur
sosio-kultural seperti Gus Dur, Emha, dan Mustafa Bisri.
Mereka mengembangkan gerakan
prodemokrasi dengan memperkenalkan konsep civil society atau masyarakat sipil.
Konsep ini ditawarkan sebagai kaunter terhadap hegemoni negara yang begitu
massif melalui aparat militer, birokrasi, dan para teknokratnya. Konsep Civil society lebih dimaksudkan untuk
mengkaunter dominasi ABRI sebagai penyangga utama eksistensi Orde Baru. ABRI
tidak hanya memerankan sebagai unsur pertahanan dan keamanan saja tetapi juga
mencampuri urusan sipil. Untuk keperluan itu ABRI menjustifikasi tindakannya
pada doktrin dwi fungsi ABRI, dimana ABRI ikut memerankan tugas-tugas sipil baik
dalam lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Keterlibatannya dalam
politik sangat menentukan. Akibatnya check and balance dalam sistem
pemerintahan tidak berjalan dan Orde Baru menjelma menjadi regim yang bersifat
bureaucratic authoritarian (Arif Rohman, 52).
Konsep masyarakat madani berkembang
belakangan sebagai padanan dari masyarakat sipil. Istilah masyarakat madani
yang diperkenalkan kalangan Islam politik menjadi lebih populer karena didukung
oleh Soeharto yang ingin melakukan perubahan politik secara hati-hati dengan
mengurangi keterlibatan ABRI dalam jabatan sipil atas desakan negara-negara
donor dengan berakhirnya perang dingin pada tahun 1989. Bagi regim Orde Baru,
istilah masyarakat madani lebih netral karena tidak seperti halnya konsep civil
society yang ingin mendesak ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan
sebagaimana yang terjadi di USA .
Era Reformasi yang melindas
rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie, yang juga
ketua umum ICMI, sebagai presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan
konsep Masyarakat madani karena Presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan
diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan Habibie
mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk
membentuk suatu komite dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan
konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk
menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang
terbukti sudah tidak cocok lagi.
Munculnya konsep masyarakat madani menunjukkan intelektual muslim Melayu mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan modern, persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep masyarakat madani tidak langsung terbentuk dalam format seperti yang dikenal sekarang ini. Konsep masyarakat madani memiliki rentang waktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari akumulasi pemikiran yang akhirnya membentuk profile konsep normatif seperti yang dikenal sekarang ini Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang terus sebagai akibat dari proses pengaktualisasian yang dinamis dari konsep tersebut di lapangan. Like all other vocabularies with a political edge, their meaning is neither self-evident nor unprejudiced (Curtin, 2002: 1).
Perumusan
dan pengembangan konsep masyarakat madani menggunakan projecting back theory, yang berangkat dari sebuah hadits yang
mengatakan “Khayr al-Qurun qarni thumma
al-ladhi yalunahu thumma al-ladhi yalunahu”, yaitu dalam menetapkan ukuran
baik atau buruknya perilaku harus dengan merujuk pada kejadian yang terdapat
dalam khazanah sejarah masa awal Islam (Hamim, 2000: 115-127). Kemudian para
cendekiawan muslim mengislamkan konsep civil
society yang lahir di Barat dengan masyarakat madani, suatu masyarakat kota Madinah bentukan
Nabi Muhammad SAW. Mereka mengambil contoh dari data historis Islam yang secara
kualitatif dapat dibandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society.
Mereka melakukan penyetaraan itu untuk
menunjukkan di satu sisi, Islam mempunyai kemampuan untuk diinterpretasi ulang
sesuai dengan perkembangan zaman, dan di sisi lain, masyarakat kota Madinah merupakan proto-type masyarakat idel produk Islam yang bisa dipersandingkan
dengan masyarakat ideal dalam konsep civil
society. Tentunya penggunaan konsep masyarakat madani dilakukan setelah
teruji validitasnya berdasarkan landasan
normatif (nass) dari sumber primer
Islam (al-Qur’an dan Hadits) atau dengan praktek generasi awal Islam (the Islamic era par exellence).
Nabi Muhammad SAW dan Masyarakat Madani
Rasanya tidaklah berlebihan kalau kita
menerjemahan civil society dengan
masyarakat madani, karena kehidupan masyarakat Madinah di bawah Nabi Muhammad
SAW dan Khulafaur Rasyidin sangat
menjunjung prinsip-prinsip dalam civil
society yang lahir di Barat. Masyarakat madani bentukan Nabi paralel dengan
ide civil society bentukan Cicero .
Cicero
introduced the concept of societas
civilis that is communities which
conformed to norms that rose above and beyond the laws of the state and they fulfilled
their public and social roles to serve the interests of the political
community. In this view, the state constitutes an instrument of civil society
(Caparini, 2002: 1). It refers to the living in a civilized political
community, having its own legal code and with undertones of civility, urbanity
and ‘civic partnership’ (Curtin, 2002: 2). What this basically represents is
the idea that people living together form a political community with a common
good.
Islam yang
diajarkan Nabi Muhammad SAW sangat menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Dalam
QS 2: 30 -34 dijelaskan
bahwa Allah menyuruh kepada para malaikat bersujud kepada Adam (manusia
pertama) yang telah diberi kelebihan akal pikiran. Manusia diutus Allah
menjalankan misi khalifah fil ardhi (pengatur alam semesta). Perkembangan lebih
lanjut dari paham humanisme ini, kemudian di Barat sebagaimana yang dikemukakan
Geovany Piego melahirkan paham liberalisme yang berangkat dari asumsi bahwa
manusia pada dasarnya baik sehingga harus diberi kebebasan. Hal ini didasarkan
pada hadits Nabi “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci”.
Dalam karyanya The
Venture of Islam, Hodgson, seorang ahli sejarah dunia, melihat bahwa
seandainya sejarah dunia ini diibaratkan roda maka sumbunya adalah sejarah
Islam. Bahkan motto bukunya diambil dari sebuah ayat Al-Kur’an: Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, … (QS 3: 110). Dia melihat kehadiran Islam di muka bumi ini
sungguh sangat sukses dan memiliki implikasi yang sangat signifikan bagi
peradaban, di antaranya dalam bidang ilmu pengetahuan. Sebelum Islam datang,
ilmu pengetahuan bersifat sangat nasionalistik sekali-untuk tidak menyebut
parokialistik. Misalnya, ilmu Yunani, ilmu Romawi, ilmu Cina, ilmu India dan ilmu
Mesir. Masing-masing mengaku dirinya paling benar dan mereka tidak mau
mempelajari ilmu-ilmu lain. Namun tidak demikian halnya dengan Islam. Sejak
awal Nabi Muhammad menegaskan “Carilah ilmu pengetahuan walaupun berada di
negeri Cina.” Dalam salah satu ayatnya,
Al-Kur’an juga memerintahkan kita untuk bertanya: … Maka bertanyalah kepada orang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui
(QS 16: 43dan 21: 7). Para ahli tafsir
menginterpretasikan ahl adz-dzikr dalam
ayat itu sebagai al-‘ulama bi at-taurah
wa al-injil. Penafsiran ini memberi arti bahwa umat Islam boleh belajar
kepada siapa saja. Dengan demikian bagi Islam, ilmu pengetahuan bersifat
universal (Siradj, 1999: 29-30).
Islam sebagai agama universal tidak mengatur bentuk negara
yang terkait oleh konteks ruang dan waktu, dan Nabi Muhammad SAW sendiri tidak
menamakan dirinya sebagai kepala negara Islam, disamping tidak melontarkan ise
suksesi yang tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan negara (Wahid, 2000:
16). Walaupun Nabi telah melakukan revolusi dalam masyarakat Arab, tetapi ia
sangat menghormati tradisi dan memperbaharuinya secara bertahap sesuai dengan
psikologi manusia karena tujuannya bukanlah menciptakan orde baru (a new legal order) tapi untuk mendidik
manusia dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnya kebebasan, keadilan dan
kesejahteraan (Schacht, 1979: 541).
Nabi
Muhammad telah menampilkan peradaban Islam yang kosmopolitan dengan konsep
ummat yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya dan heteroginitas
politik. Peradaban Islam yang ideal tercapai pada masa Nabi Muhammad karena
tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslimin dan kebebasan
berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim) (Wahid, 1999:
4). Keseimbangan itu akan terganggu bila dilakukan ortodoksi (formalisme)
terhadap ajaran Islam secara berlebih-lebihan. Ortodoksi yang tadinya untuk
mensistematiskan dan mempermudah pengajaran agama, akhirnya dapat menjadi
pemasung terhadap kebebasan berpikir karena setiap ada pemikiran kreatif
langsung dituduh sebagai bid’ah.
Dalam kaitannya dengan hak-hak asasi manusia, Islam seperti
yang tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub
al-fiqhiyyah) telah mengembangkan ada lima
jaminan dasar (Wahid (1999: 1) sebagai berikut:
(1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani
di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa
adanya paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan,
(4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5)
keselamatan profesi.
Bahkan konsep civil society itu mendapat pengaruh dari
pemikiran Islam, sebagaimana dijelaskan buku karangan C.G. Weeramantry (Monash University , Australia ) dan M. Hidayatullah (India ) yang
berjudul Islamic Jurisprudence: An
International Perspective, terbitan Macmillan Press (Azizi, 2000, 90-94).
Menurut mereka, pemikiran John Locke dan Rousseau, terutama sekali mengenai
teori mereka tentang kedaulatan (sovereignty),
mendapatkan pengaruh dari pemikiran Islam. Locke ketika menjadi mahasiswa Oxford sangat frustasi
dengan disiplinnya, dan lebih tertarik mengikuti ceramah dan kuliah Edward
Pococke, professor studi tentang Arab. Kemudian perhatian pemikiran Locke
mengenai problem-problem tentang pemerintahan, kekuasaan dan kebebasan
individu.
Rousseau dalam
Social Contract-nya juga tidak lepas
dari pengaruh Islam. Bahkan dia secara jelas menyebut: ‘Mohamet had very sound opinions, taking care to give unity to his
political system, and for as long as the form of his government endured under
the caliphs who succeeded him, the government was undivided and, to that
extent, good’. Sementara Montesquieu bermula dari bukunya Persian Lettters, yang kemudian
diteruskan dalam buku berikutnya The
Spirit of the Laws, tidak lepas
dari pengaruh Islam. Tentang Montesquieu ditulis “indeed there are many specific references to the Qur’an and to the
Islamic law in the writing of Montesquieu” (Azizi, 2000: 94).
[1] Dosen
Jurusan Sejarah, FIS, Universitas Negeri Yogyakarta
Pickering , W.S.F. 1975. Durkheim on Religion: A Selection of Readings with Bibliographies and Introductory Remarks. London : Routledge & Keagan Ltd.
Daftar Pustaka
Abdillah, Masykuri. 1999. Islam dan Masyarakat madani. Kompas Online. 27 Februari 1999.
Abdurrahman, Moeslim. 1999. Peran Masyarakat Akademis sebagai Bagian Masyarakat madani. Kompas Online. 29 dan 30 April 1999 .
Ahmadi, H. 2000. Reformasi Sistem Pendidikan Islam dan Era Reformasi: Telaah Filsafat Pendidikan. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Azizi, A Qodri Abdillah. 2000. Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian Historis-Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Dabashi, Hamid. 1993. Theology of Discontent: The Ideological Foundation of the Islamic Revolution in Iran . New York and London : New York University Press.
Departemen Agama. 1992. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang : PT Tanjung Mas Inti.
Hamim, Thoha. 2000. Islam dan Civil society (Masyarakat madani): Tinjauan tentang Prinsip Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Hikam, Muhammad A.S. 1999. Telaah tentang Kebebasan di Indonesia Menjelang Tahun 2000. Dalam ABRI dan Kekerasan. Yogyakarta : Interfidie.
Gamble, Andrew. 1988. An Introduction to Modern Social and Political Thought. Hongkong: Macmillan Education Ltd.
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF. 1998. Pasing Over: Melintas Batas Agama. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Hal. xiv.
Ismail SM. 2000. Signifikansi Peran Pesantren dalam Pengembangan Masyarakat madani. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ismail, Faisal. 1999. NU, Gusdurism, dan Politik Kyai. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Madjid, Nurcholish. 1998. Dialog Agama-agama dalam Perspektif Universalisme al-Islam. Dalam Pasing Over: Melintas Batas Agama. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
McKeon, Richard. 1990. Freedom and History and Other Eassys. Chicago : The University of Chicago Press.
Mas’ud, Abdurrahman. 2000. Reformasi Pendidikan Agama Menuju Masyarakat “Madani”. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Rumadi. 1999. Civil Society dan NU Pasca-Gus Dur. Kompas Online. 5 November 1999 .
Schacht, Joseph and C.E. Bosworth (eds.). 1979. The Legacy of Islam. London : Oxford University Press.
Wahid, Abdurrahman. 1991. Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya dengan Kehidupan Beragama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (eds.). Pancasila sebagai Ideologi. Jakarta : BP 7 Pusat.
Wahid, Abdurrahman. 1999. Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam. 11/9/99. Hal. 1.
Wahid, Abdurrahman. 2000. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta : LkiS.
0 komentar:
Post a Comment