Friday, June 21, 2013

Mengatasi Kejenuhan Kader Dalam Berdakwah

Mengatasi Kejenuhan Kader Dalam Berdakwah

Bagaimana caranya mengatasi kader yang terlanda kejenuhan dalam berdakwah, dimana kader menjadi enggan aktif dalam aktifitas dakwah atau bahkan tidak mengikuti pembinaan ?
Bertanya tentang mengenai mengapa seorang kader bisa menjadi jenuh bisa dihadapi hampir di seluruh kampus.  Kejenuhan yang melanda ternyata tidak pada hanya satu atau dua kader saja, tapi kejenuhan ini ibarat penyakit yang mewabah. Penularan penyakit kejenuhan dalam dakwah sangat cepat dikarenakan pola amal jama’i kita yang terapkan pula di dakwah kampus. Sehingga, kader relatif bergantung satu sama lain dalam hal aktifitas dakwah.
Ketika seorang kader sudah mempunyai sebuah alasan mengapa kejenuhan itu dapat terjadi, maka ini akan menjadi alasan serupa untuk kader dakwah yang lain. Karena kita membicarakan tentang penyakit dakwah, maka kita perlu menyelesaikan problematika ini secara medis pula. Kita mungkin sering mendengar semboyan mencegah lebih baik daripada mengobati. Metode ini pula yang akan kita terapkan untuk menyelesaikan problematika ini.
Saya akan memulai pembahasan dari sebuah pertanyaan sederhana. Mengapa seorang bisa jenuh dalam berdakwah ?. berbagai macam alasan sering saya temui terhadap kader yang memutuskan untuk berhenti berdakwah, dimulai dari akademis yang turun, urusan keluarga, tidak di izinkan orang tua, kecewa pada jamaah dakwah di kampus, merasa diperkerjakan, tidak merasakan indahnya ukhwah, terlalu sibuk, dan sebagainya. Memang, jika melhat alasan tersebut, kita akan berkata, “saya juga kuliah, saya juga kerja, saya juga punya orang tua yang harus saya urus, tapi saya masih melakukan aktifitas dakwah”.
Tapi Anda perlu juga memahami bahwa memang alasan itu apa adanya, seseorang jenuh dengan alasan yang telah dipaparkan,adalah bentuk dari perasaan dia saat itu. Lalu mana kepahaman kader dakwah pada janji Allah yang akan membalasa semua amal kita. Pada masa dakwah era terbuka, kuantitas menjadi sebuah orientasi tersendiri dalam dakwah, peningkatan jumlah atau kuantitas kader adalah poin penting dalam parameter. Karena memang dakwah kita kini menjadi membutuhkan banyak kader untuk memenuhi semua pos dakwah yang kian bertambah. Pada era ini, banyak yang menilai bahwa kepahaman kader berkurang, ya, kita memang harus menerima konsekuensi bahwa dengan bertambahnya jumlah kader yang tidak diiringi daya rangkul ( isti’ab : fathi yakan ) akan berdampak pada penurunan kepahaman ini.
Oleh karena itu, sebagai seorang kader inti, kita tidak bisa mengeneralisir semua kader dalam kepahaman yang sama. Perlu kiranya kita juga membuat levelisasi kader berdasarkan tingkat kepahaman, sebutlah :
·         Kader inti
·         Kader pendukung
·         Kader simpatisan
Setiap tingkatan ini akan mempunyai pola pendekatan yang lain dan tentunya setiap klasifikasi kader ini juga mempunyai pandangan terhadap dakwah berbeda-beda. Kembali ke mengapa seseorang bisa jenuh dalam berdakwah. Biasanya seorang meninggalkan sesuatu dikarenakan ia merasa tidak mendapat apa-apa dari sesuatu yang ia kerjakan. Pada kondisi ini bisa kita diagnosa bahwa mungkin memang dakwah tidak memberikan apa-apa kepada kader dakwahnya. Kejenuhan ini bisa jadi juga karena terjadi kekecewaan pada diri mereka. Mereka merasa dikhianati oleh dakwah, dimana ia semula berpikir dengan bergabung ke lembaga dakwah, ia akan mendapat banyak ilmu agama, tetapi yang didapatinya hanya tanggung jawab dan beban yang membuat nilainya turun.
Paradigma yang salah tentang apa itu kader biasanya menjadi alasan utama subjek kaderisasi gagal menata para kader dengan baik. Kader bukanlah pekerja, tetapi kader adalah seorang yang akan dibina.  Saya berani bertaruh, hampir seluruh LDK ketika melakukan penerimaan mahasiswa baru atau penerimaan anggota baru akan berpikir, ”berapa banyak kader yang bisa beramanah di sini”, bukan “ berapa banyak kader yang bisa aku bina dengan baik disini”.
Sehingga basis tarbiyah yang dilakukan oleh para pengkader adalah job-oriented learning, atau pembinaan berbasis amanah yang sebetulnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kader. Kader pada mulanya bergabung dalam jamaah dakwah mengharapkan adanya pembinaan pasif yang membuatnya bisa belajar terlebih dahulu, dan tanggung jawab yang diberikan sebatas untuk magang saja.
Kejenuhan pun juga bisa disebabkan oleh kekecewaan, baik itu kekecewaan yang disebabkan oleh problematika pribadi seperti masalah keluarga, IP bermasalah, keadaan ekonomi, atau masalah konflik pecintaan, dan kekecewaan terhadap problematika eksternal seperti lingkungan dakwah yang tidak sesuai, pemimpin yang tidak bisa mengayomi, konflik pendapat, atau merasa tidak dihargai.
Pada kondisi ini terjadi keadaan dimana komunikasi dan menghargai tidak terjadi. Perlu pembenahan yang menyeluruh untuk mengatasi penyakit ini. Jika tidak segera diatasi maka akan cepat menular ke kader lain, dan jika sudah akut maka akan sulit lagi untuk menyelesaikannya. Karena, penyakit ini bisa menjadi sebuah culture tersendiri di sebuah lembaga.

  1. Membangun Komunikasi yang Sehat dalam Lembaga Dakwah
  1. Memberi Tanggung Jawab Sesuai dengan Proporsi Kader
  1. Adanya Keseimbangan Antara Pembinaan dan Tanggung Jawab
  1. Pemahaman Urgensi Dakwah dan Pembinaan Secara Rutin

Dalam sebuah kelompok yang terdiri dari berbagai individu dengan perbedaan program studi, pola pikir, prioritas, dan tujuan hidup ada sebuah lingkage yang harus terus ada, yakni komunikasi. Komunikasi dalam bahasan ini tidak sebatas penyampaian pesan saja, tapi komunikasi yang sifatnya lebih mendalam atau empatik. Bentuk dari komunikasi dalam berkelompok dapat diterjemahkan dalam beberapa poin, yaitu ; menghargai, keterbukaan, dan memahami. Ketiga poin ini sekiranya perlu dipahami bersama dan dilaksanakan.
Seseorang akan merasa nyaman bila ia merasa dihargai di dalam lingkungannya. Ungkapan tolong, terima kasih, atau semangat !!, bukanlah sebuah ungkapan yang sekedar basa basi saja. akan tetapi bentuk ungkapan ini adalah sebagai rasa untuk menghargai pekerjaan seseorang. Anda mungkin pernah teringat ketika Anda diminta membantu seorang Ibu yang akan menyebrang zebra cross, teringatkah Anda ucapan terima kasih yang diberikan oleh ibu itu, “makasih nak, semoga sukses”. Ini adalah bentuk ekspresi yang sangat berasal dari hati, sebuah ekspresi yang ingin Ibu itu ungkapkan untuk seorang pemuda yang telah sangat membantunya menyebrangi zebra cross. Coba sekali lagi Anda ingat bagaimana perasaan Anda saat Ibu itu menyampaikan rasa terima kasihnya, tentu Anda akan merasa bak pahlawan atau seorang yang baik dan telah berbuat sebuah kebaikan, dan Anda termotivasi lagi untuk melakukan hal serupa, atau lebih baik kedepannya. Begitu pula yang akan dirasakan oleh kader kita ketika kita sebagai pemimpin atau mungkin rekan kerja memberikan penghaargaan kepadanya.
Keterbukaan adalah impact dari kepercayaan. Keterbukaan pula yang memicu adanya rasa nyaman dalam berkelompok , dan keterbukaan pula yang membuat seseorang bisa cepat menyampaikan perasaan atau isi hati atas ketidaknyamanan yang terjadi. Dalam membangun keluarga, orangtua saya sering menyampaikan hal ini, beliau mengatakan bahwa dalam berkeluarga, keterbukaan menjadi sangat penting, kalau ada masalah jangan disembunyikan, apalagi dibicarakan dibelakang, segeralah disampaikan agar bisa diselesaikan secepatnya, daripada menjadi berkepanjangan masalahnya. Dan biasanya dalam keterbukaan itu juga akan terbentuk kepercayaan antar anggota keluarga dan akan berdampak pada keharmonisan keberjalanan keluarga. Dalam keluarga dakwah ( baca : kelompok/jamaah dakwah ),  perlu dibangun kondisi ini untuk membuat kader bisa merasa dalam “keluarga” ketika beraktifitas.
Memahami kebutuhan dan keinginan  kader untuk merangkai sebuah simbiosis mutualisme antara kader dan dakwah. Terkadang sering ada paradigma sinekdoke pars prototo, bahwa ketika seorang pemimpin tidak memahami seorang kader maka itu artinya jamaah dakwah juga tidak memahami dirinya. Memahami adalah sebuah proses untuk mengetahui apa yang menjadi landasan dan pola dalam berpikir. Pada dakwah kampus yang memiliki banyak tantangan, maka kebutuhan untuk memahami datu sama lain akan menunjang aktifitasnya. Seorang peserta rapat diharapkan dapat memahami bagaimana pola pikir pemimpin rapat, bukan untuk selalu memahaminya, akan tetapi agar tepat dalam menyampaikan pendapat. Seorang pemimpin rapat juga diharapkan dapat memahami keinginan atau aspirasi dari peserta rapat agar tidak semena-mena dalam mengambil keputusan. Ketika proses komunikasi ini dapat berjalan dengan baik, maka kader akan merasa nyaman dalam menjalankan aktifitas dakwah, nyaman terhadap sesama kader dan nyaman dengan lingkungan dakwah,  sehingga dapat mencegah kejenuhan kader.
Setiap kader memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, atau bisa dikatakan bahwa kader mempunyai kapasitas yang berbeda dengan segala kekhasannya. Setiap kapasitas ini memiliki keterbatasan yang sangat bervariatif. Setiap orang mempunyai kelemahan di bagian tertentu dan tentu memiliki value  yang ia jadikan sebagai landasan dalam menentukan sesuatu. Bisa jadi seorang kader yang mempunyai tanggung jawab akademik yang besar sehingga ketika IP nya turun 0,1 saja ia akan langsung desperate dan menjadi alasan untuk jenuh dalam dakwah. Ada juga seorang yang sangat tidak peduli pada IP, sehingga walau IP nya hanya 2,00 saja ia sudah cukup tenang dan tidak begitu khawatir.
Setiap kader juga memiliki spesifikasi keahlian tertentu. Ada seorang kader yang senang rapat, ada seorang kader yang hanya senang kerja teknis, ada seorang kader yang senang tampil di depan umum, ada kader yang ahli mengkonsep agenda dakwah,atau ada seorang kader yang  senang mencari uang. Spesifikasi ini sering diabaikan begitu saja oleh pengelola dakwah, masih banyak pandangan bahwa seorang kader harus multi-talent, saya memang sepakat bahwa seorang kader harus punya banyak keahlian, akan tetapi jangan sampai mematikan keahlian utama, biarkan keahlian lain hanya sebagai pendukung saja.
Sebagai seorang pengelola dakwah atau dalam hal ini pemimpin perlu mengetahui kondisi kader dengan baik, atau departemen kaderisasi melakukan pendataan dengan baik. Adanya pemahaman akan kondisi kader ini membuat Anda sebagai seorang pengdistribusi amanah dapat memposisikan kader dengan baik. Acapkali saya temui, seorang kader tidak merasa cocok dengan apa yang diamanahkan kepadanya. Hal ini membuat kader berpikir yang penting tugas saya selesai. Pandangan ini membuat matinya kreatifitas dan inovasi kader dalam menjalankan amanah, dan yang paling di khawatirkan adalah, membuat kader jenuh dalam menjalankan tugasnya, sehingga bisa membuat ia berpikir untuk berhenti berdakwah setelah sebuah agenda yang dilakukan.
Dengan pemberian tanggung jawab sesuai dengan kemampuan dan porsi yang tepat, efesiensi dan produktifitas kerja akan terbentuk. Anda juga perlu memperhatikan kemampuan manajemen waktu dari kader dan korelasi tanggung jawab terhadap nilai kuliah. Pada kondisi ini akan diuji tentunya kemampuan kepemimpinan seorang pemimpin, jangan sampai Anda menyalahkan kader atas kegagalan eksekusi dakwah, akan tetapi cobalah mengevaluasi atas kebijakan yang Anda lakukan dalam mendistribusi porsi tanggung jawab.
Ketika saya melihat formulir pendaftaran kader angkatan 2007 ketika applied untuk bergabung dalam GAMAIS, saya melihat hampir 80 % dari kader yang menuliskan harapan ketika bergabung dengan GAMAIS adalah mendapat pembinaan keIslaman, menambah wawasan Islam, mendapat lingkungan Islami, dan sejenisnya. Dimana bisa diambil benang merah, tujuan utama seorang kader bergabung adalah mendapatkan pembinaan.
Pembinaan yang bisa membuat ia lebih baik, lebih memahami Islam, dan lebih menjadi muslim yang Rabbani . Dan sebagai sebuah lembaga dakwah yang amanah maka kita perlu untuk mewujudkan kebutuhan kader ini dengan memberikan porsi pembinaan yang sesuai dengan kebutuhan.  Memang sebagai lembaga dakwah yang dinamis, diperlukan juga kader yang bergerak untuk memutar roda dakwah, sehingga kita memandang bahwa kader adalah aset yang sangat berharga.
Akan tetapi, sebagai seorang pengelola dakwah, Anda juga perlu memperhatikan keseimbangan tanggung jawab yang diberikan kepada kader dengan jumlah pembinaan yang dilakukan. Bagaimana kita mengukur keseimbangan itu ? ada beberapa pendekatan, pertama pendekatan output, dimana seorang kader merasa seimbang ketika setelah sebuah agenda dakwah, ia justru bersemangat untuk beramal lebih banyak. Kedua pendekatan waktu, sebutlah seorang kader harus menjalankan tanggung jawab dakwah ( rapat dan teknis ) selama X jam per pekan, maka minimal pembinaan yang ia dapati adalah ½ X jam per pekan. Pembinaan yang dilakukan tidak hanya dalam bentuk pembinaan yang bersifat pasif saja, akan tetapi juga termasuk auto tarbiyah yang dilakukan secara pribadi.
Keseimbangan ini membuat kader akan merasa ter-charge secara cukup, dan mendapatkan apa yang menjadi tujuan mula bergabung dalam lembaga dakwah ini. Sehingga, kader akan berkontribusi setelah mendapatkan asupan ilmu yang cukup. Sebetulnya, pembinaan yang dilakukan adalah bentuk dari pemberian katalis atau NOS bagi kader, dan ketika ia usai menjalankan sebuah pembinaan, ia akan siap untuk beramal dalam medan dakwah.
Banyak yang mengatakan bahwa kader saat ini mengalami apa yang disebut dis-orientasi dakwah. Seorang kader saat ini banyak yang mempunyai misi pribadi dalam menjalankan amanah dakwah ketimbang misi jamaah dakwah yang ada. Kader mulai mempunyai harapan ketika bergabung dalam sebuah lembaga dakwah, maka ia akan mendapatkan posisi tertentu, atau keuntungan lain, apakah mendapatkan pasangan hidup yang sesuai atau lainnya.
Dis-orientasi dakwah saya kira mulai merebak di kalangan kader pendukung. Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman yang ia miliki atas sebuah pertanyaan, kenapa saya harus berdakwah ?.  pemahaman akan jawaban pertanyaan ini perlu ditekankan sejak dini, agar kader tetap pada koridor dakwah yang tepat dan terarah, kader tetap pada Allah-oriented dalam menjalankan amal ini. Pemahaman ini bisa mereduksi kekecewaan yang mungkin terjadi, atas segala permasalahan yang terjadi dalam keberlangsungan dakwah, kader akan mengembalikannya ke Allah dan kepada hikmah yang bisa diambil atas sebuah kejadian.
Memang penurunan kualitas terasa ketika kita gagal memantau lingkungan kader. Sepaham saya, buku novel Islami dan lagu Islami dibuat untuk merangkul massa umum dan massa mengambang, akan tetapi saat ini, kader pun menikmati, atau bahkan lebih menikmati novel Islami atau cerita Islami yang ringan ketimbang membaca buku dari ulama terdahulu atau masa kini, kader bahkan lebih hafal lagu Islami ketimbang Ayat Al Qur’an.
Sebagai seorang pemimpin, Anda perlu memantau hal ini, perlu kiranya transformasi bertahap akan kebiasaan dan kebutuhan kader ini, dengan itu, kader akan merasa bahwa apapun yang terjadi dalam lika liku dakwah hanya karena atas Izin Allah. 

Ditulis Oleh : Unknown // 9:23 PM
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment