Monday, July 8, 2013

KEBIJAKAN SOSIAL DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAAT

KEBIJAKAN SOSIAL DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAAT:
PERSPEKTIF PEKERJAAN SOSIAL

ABSTRACT
This paper discusses relation between social policy and community development. It basically addresses three paramount questions: Why community development needs to involve social policy? What are the roles of policy makers in community empowerment programmes? What capacities needed by the policy actors in performing their mandate? After highlighting concepts of community development and community organisations, this article then identifies community development tragedies delineating the importance of social policy. Finally, roles and competencies of policy actors conclude this paper.

Key words: social policy, community development, social work

PENDAHULUAN
Banyak disiplin mengklaim memiliki keahlian dalam bekerja dengan individu, keluarga dan kelompok. Namun, hanya sedikit profesi yang memfokuskan pada keberfungsian klien dalam konteks organisasi, masyarakat dan kebijakan, salah satunya adalah pekerjaan sosial (Social Work). Sebagaimana dinyatakan Netting et al. (2004), dalam perspektif pekerjaan sosial konsep “orang-dalam-lingkungan” bukan sekadar slogan yang membuat para pekerja sosial perlu menyadari pengaruh-pengaruh lingkungan, melainkan, memberi pesan jelas bahwa dalam kondisi tertentu perubahan sosial hanya bisa dicapai melalui pengubahan lingkungan dan bukan pengubahan orangnya.
Oleh karena itu, meskipun pengembangan masyarakat (PM) seringkali didasari oleh kebutuhan dan isu-isu yang berkaitan dengan kehidupan individu dan kelompok pada area lokal, PM yang berkelanjutan menekankan pentingnya strategi-strategi kebijakan sosial yang beroperasi melebihi pendekatan-pendekatan individu dan kelompok.

PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Disiplin pekerjaan sosial menetapkan bahwa PM adalah bagian dari strategi praktik pekerjaan sosial makro. Beberapa frase lain yang sering dipertukarkan dengan PM antara lain: Community Organizing (CO), Community Work, Community Building, Community Capacity Building, Community Empowerment, Community Participation, Ecologically Sustainable Development, Community Economic Development, Asset-Based Community Development, Faith-Based Community Development, Political Participatory Development, Social Capital Formation, dst. (Suharto 2006; 2007).
Di jagat pekerjaan sosial, PM seringkali didefinisikan sebagai proses penguatan masyarakat yang dilakukan secara aktif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip keadilan sosial, partisipasi dan kerjasama yang setara (Suharto 2008; Suharto 2006; Ife 1995; Netting et al. 1993; DuBois dan Milley 1992). PM adalah strategi pekerjaan sosial dengan mana anggota masyarakat didorong agar memiliki kepercayaan diri dan kemampuan untuk memperbaiki kehidupannya. Target utama PM pada umumnya adalah kelompok miskin dan lemah yang tidak memiliki akses kepada sumber pembangunan, meskipun tidak menafikan kelompok lain untuk berpartisipasi.
Tujuan utama PM adalah memberdayakan individu-individu dan kelompok-kelompok orang melalui penguatan kapasitas (termasuk kesadaran, pengetahuan dan keterampilan-keterampilan) yang diperlukan untuk mengubah kualitas kehidupan komunitas mereka. Kapasitas tersebut seringkali berkaitan dengan penguatan aspek ekonomi dan politik melalui pembentukan kelompok-kelompok sosial besar yang bekerja berdasarkan agenda bersama.
PM bukanlah pendekatan “cetak biru” (blueprint), sekali jadi. Melainkan proses yang partisipatif dan berkelanjutan; anggota-anggota masyarakat bekerjasama dalam kelompok-kelompok formal dan informal untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, serta mencapai tujuan bersama. Dalam proses ini masyarakat dibantu untuk mengidentifikasi masalah, kebutuhan dan kesempatan hidup; difasilitasi dalam merancang solusi-solusi yang tepat; serta dilatih agar memiliki kapasitas agar mampu mengakses sumber-sumber yang ada di dalam maupun di luar komunitasnya.
PM mengekspresikan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, akuntabilitas, kesempatan, pilihan, partisipasi, kerjasama dan proses belajar yang berkelanjutan. Pendidikan, pendampingan dan pemberdayaan adalah inti PM. PM berkenaan dengan bagaimana mempengaruhi struktur dan relasi kekuasaan untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang mencegah orang berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Merujuk pada Payne (1986), prinsip utama Pekerjaan Sosial adalah “making the best of the client’s resources.” Payne (1986: 26) menyatakan:

Whenever a social worker tries to help someone, he or she is starting from a position in which there are some useful, positive things in the client’s life and surroundings which will help them move forward, as well as the problems or blocks which they are trying to overcome. Part of social work is finding the good things, and helping the client to take advantage of them.

Sejalan dengan perspektif kekuatan (strengths perspective), para pekerja sosial tidak boleh memandang klien dan lingkungannya sebagai sistem yang pasif dan tidak memiliki potensi apa-apa. Melainkan sebagai aktor dan sistem sosial yang memiliki kekuatan positif dan bermanfaat bagi proses pemecahan masalah. Bagian dari pendekatan pekerjaan sosial adalah menemukan sesuatu yang baik dan membantu klien memanfaatkan hal itu.

PENGORGANISASIAN MASYARAKAT
Pengorganisasian masyarakat (Community Organizing/CO) adalah nama lain dari pengembangan masyarakat (Community Development/CD). Saat ini, di negara asal pekerjaan sosial, seperti Inggris dan Amerika Serikat, mata kuliah ini umumnya dinamakan Social Work Macro Practice, Community Work,  CD atau CO saja.
Selama puluhan tahun para pendidik dan praktisi pekerjaan sosial di Indonesia selalu menggabungkan konsep CO dan CD secara tandem. Mata kuliah inti pekerjaan sosial di banyak sekolah pekerjaan sosial di Indonesia hingga kini masih menggunakan nama COCD: Community Organization/Organizing and Community Development. Karena demikian populernya maka frase ini nyaris tidak diterjemahkan lagi ke dalam Bahasa Indonesia. Para pengajar pekerjaan sosial di Indonesia seakan merasa berdosa jika tidak menggunakan istilah COCD atau CO/CD secara terintegrasi.
CO pada hakikatnya merupakan sebuah proses dimana warga masyarakat didorong agar bekerjasama untuk bertindak berdasarkan kepentingan bersama. Makna “pengorganisasian” menegaskan segala kegiatan yang melibatkan orang berinteraksi dengan orang lain secara formal. Karenanya, tujuan utama CO adalah mencapai tujuan bersama berdasarkan cara-cara dan penggunaan sumber daya yang disepakati bersama. Banyak program CO yang menggunakan cara-cara populis dan tujuan-tujuan ideal demokrasi partisipatoris. Para aktivis CO atau CO workers biasanya menciptakan gerakan-gerakan dan aksi-aksi sosial melalui pembentukan kelompok massa, dan kemudian memobilisasi para anggotanya untuk bertindak, mengembangkan kepemimpinan, serta relasi di antara mereka yang terlibat.
Meskipun identik, CO sejatinya dapat dibedakan dengan CD. Dalam sejarahnya, CD lebih sering diterapkan pada masyarakat perdesaan di negara-negara berkembang. Karena permasalahan sosial utama di negara ini adalah kemiskinan massal dan struktural, maka dalam praktiknya CD lebih sering diwujudkan dalam bentuk “pengembangan ekonomi masyarakat” atau Community Economic Development (lihat Suharto 2008; 2006; Ife, 1995). PM biasanya difokuskan pada kegiatan-kegiatan pembangunan lokal (locality development) di sebuah permukiman atau wilayah yang relatif kecil. Program-programnya biasanya berbentuk usaha ekonomi mikro atau perawatan kesehatan dasar, pemberantasan buta aksara, peningkatan kesadaran dan partisipasi politik warga yang bersifat langsung dirasakan oleh penduduk setempat.
Sebaliknya, CO lebih sering diterapkan pada masyarakat perkotaan yang relatif sudah maju. CO lebih banyak bersentuhan dengan aspek politik warga, seperti penyadaran hak-hak sipil (civil rights), pembentukan forum warga, penguatan demokrasi, pendidikan warga yang merayakan pluralisme, kesetaraan dan partisipasi publik. PM seringkali melibatkan kegiatan-kegiatan advokasi atau aksi sosial yang melibatkan pengorganisasian masyarakat (CO) dan menuntut adanya perubahan kebijakan publik dan menyentuh konteks politik. Program-programnya bisa berupa perumusan dan pengusulan naskah kebijakan (policy paper) mengenai pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis, pengusulan draft Peraturan Daerah tentang perlindungan sosial warga miskin, advokasi upah buruh yang manusiawi, peningkatan kesadaran akan bahaya HIV/AIDS, pengarusutamaan jender dan kesetaraan sosial, perlindungan anak, penanganan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) dan sebagainya.  
Sebagai ilustrasi, jika CD menanggulangi kemiskinan melalui pemberian kredit dan pelatihan ekonomi mikro, maka, CO menanggulangi kemiskinan dengan mendidik warga agar membentuk organisasi massa atau forum warga, sehingga mereka mampu bertindak melawan status quo, kaum pemodal, rentenir, atau kebijakan pemerintah yang dirasakan tidak adil dan menindas. Tentu saja, pembedaan antara CD dan CO tidak bersifat absolut. Dalam kenyataan dan pada kasus-kasus tertentu, percampuran pendekatan keduanya sangat mungkin terjadi di antara berbagai kategori masyarakat. Pendekatan CO dan CD akan digabungkan dan hanya akan dipakai istilah PM saja. Selain konsep ini lebih populer, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, konsep PM lebih tepat dan sesuai dengan karakteristik mereka.

1.2. Identifikasi Masalah 
Adapun identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Bagaimanakah tingkat kepuasan Nasabah Prioritas terhadap bauran pemasaran yang diterapkan BCA. 
Apakah ada perbedaan tingkat kepuasan dan tingkat kepentingan Nasabah Prioritas berdasarkan kategori nasabah individu, nasabah pinjaman dan nasabah kemitraan. 

1.3. Tujuan dan Manfaat
Penelitian bertujuan untuk: 1) Mejelaskan tingkat kepuasan Nasabah Prioritas atas pelaksanaan bauran pemasaran di PT.BCA,Tbk Jambi dan 2) mejelaskan perbedaan tingkat kepuasan dan tingkat kepentingan antarnasabah Prioritas. Sedangkan manfaat penelitian berkontribusi dalam perkayaan khasanah kepuasan pelanggan khususnya terhadap bauran pemasaran. 

1.3. Kerangka Pemikiran dan Tinjauan Pustaka
Peran jasa dalam perekonomian global semakin penting: semakin maju perekonomian satu negara peran jasa di dalamnya semakin besar pula Fitizsimmons dan Fitizsimmons (2006). Kotler (2006) mendefinisikan jasa sebagai “any act or performance that one party can offer to another that is essentially intangible and does not result in the ownership of anything, its production may or may not be tied to physical product”. Hal penting dari batasan ini bahwa segala sesuatu dapat ditambahkan untuk membuat produk terdiferensiasi guna menciptakan kepuasan. Hanya dengan didapatnya kepuasan pelangganlah sesungguhnya didapat kondisi pelanggan yang loyal sehingga diperoleh manfaat jangka panjang bagi perusahaan (Andersen, 2001). 

Kepuasan menjadi konsep banyak digunakan untuk memeriksa kinerja perusahaan . Dalam kaitan ini dikenal “disconfirmation and expectation” untuk menjelaskan dan sebagai ukuran kepuasan. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa konsumen sebelum mengkonsumsi telah mempunyai harapan kemudian dapat “dikonfirmasi” apakah harapan terpenuhi. Akademisi seperti: Oliver, 1977, 1981, Olson dan Dove, 1979, Tse dan Wilton, 1988 dalam Parker dan Mathews (2001) menegaskan bahwa pendekatan terhadap kepuasan dapat dilihat dari dua sisi yaitu kepuasan sebagai  hasil (outcome) dan kepuasan sebagai proses. Sementara Giese dan Cote (2000) merumuskan tiga hal penting yang berkaitan dengan kepuasan yaitu: 
a) ringkasan reaksi afektif dari berbagai intensitas
b) dibatasi dalam rentang waktu yang terbatas
c) terarah kepada aspek fokal dari produk yang dikonsumsi 

Konsep kepuasan menjadi banyak digunakan, lembaga pelayanan publik, politisi juga tidak lekang dari permasalahan kepuasan. Hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa kepuasan dapat ditujukan kepada seperangkat tindakan organisasi dalam pelayanan. 

Terciptanya kepuasan pelanggan menjadi syarat mutlak untuk perkembangan satu perusahaan, pelanggan yang puas akan melakukan pembelian ulang dan menjadi pelanggan yang loyal. Oleh karena itu, terciptanya kepuasan pelanggan menjadi bagian daripada strategi perusahaan. Sesuai dengan itu, pendekatan akademis terhadap kepuasan juga mengalami perkembangan. Sebahagian menggunakan pendekatan multidimensi yang memilah kepuasan ke dalam berbagai dimensi dan membandingkan antara harapan dan pengalaman setelah mengkonsumsi. Akan tetapi, dalam hal lain  dapat juga dilakukan dengan memeriksa kepuasan sesaat setelah mengkonsumsi barang dan jasa. 

Konsep tentang 4P (product, price, place dan promotion) yang dikenalkan oleh McCharty seiring dengan perkembangan bisnis mengalami modifikasi khususnya di bidang pemasaran jasa. Dalam pemasaran jasa, instrumen 4P berkembang menjadi 7P, dimana di dalamnya ditambahkan orang (people), proses (process) dan bukti fisik (physical evident) (Lovelock, C.H, dan Wright, L.K. 1999). Adapun tambahan bauran pemasaran sehingga menjadi 7P secara ringkas adalah sebagai berikut. 
  1. Orang (People). Orang sangat berperan dalam perusahaan jasa karena terlibat langsung menyampaikan produk ke pelanggan. Bagaimanapun kemajuan teknologi, fungsi orang sebagai bagian dari pelayanan tidak dapat digantikan. 
  2. Proses (Process). Proses menyangkut kegiatan menggerakkan aktivitas perusahaan memenuhi kebutuhan pelanggan. Untuk itu, semua aktivitas kerja adalah proses melibatkan prosedur, jadwal, tugas mekanisme, aktivitas dan rutinitas. Unsur proses yang dipahami pelanggan dan sesuai dengan yang dijanjikan akan turut menentukan kepuasan pelanggan. 
  3. Penampilan Fisik (Physical Evidence). Penampilan fisik suatu perusahaan sangat berpengaruh sekali terhadap nasabah untuk membeli atau menggunakan produk jasa yang ditawarkan. 
Sebagai satu instrumen, satu organisasi dapat menjadikan ukuran kepentingan dan kesesuaian kinerja pelayanan sebagai ukuran kepuasan. Keadaan kepuasan demikian dapat ditunjukkan dengan  menggunakan Diagram Kartesius yang menggambarkan 4 kuadran (Supranto, 2003): 

Kuadran A. Menunjukkan bahwa unsur-unsur service yang sangat penting bagi pelanggan, akan tetapi perusahaan belum mampu memenuhinya. 
Kuadran B. Menunjukkan bahwa unsur-unsur service pokok telah dilaksanakan dengan baik dan dapat dipenuhi perusahaan . 
Kuadran C. Menunjukkan bahwa unsur-unsur yang memang dianggap kurang penting oleh nasabah dimana kurang dijalankan oleh perusahaan. 
Kuadran D. Menunjukkan bahwa unsur-unsur service yang dianggap kurang penting oleh nasabah tetapi telah dijalankan dengan sangat baik oleh perusahaan. 

Adapun posisi antara kepentingan dan kinerja sebagaimana digambarkan dalam 4 kuadran tersebut dijadikan diagnosa dalam mempertahankan kepuasan pelanggan. Bilamana kinerja dapat memenuhi kepentingan sesungguhnya itu adalah menunjukkan kemampuan perusahaan memenuhi kepentingan pelanggan. 

Berkaitan dengan paradigma mempertahankan pelanggan, diyakini bahwa mempertahankan nasabah jauh lebih sulit daripada mendatangkan pelanggan baru. Oleh karena itu segala upaya harus digunakan untuk mempertahankan pelanggan. Nasabah yang bertahan adalah yang loyal; nasabah hanya bisa loyal bilamana mereka memperoleh kepuasan. Sesuai dengan itu, perusahaan yang maju adalah yang mendasarkan daya saingnnya kepada pelayanan dan kepuasan pelanggan.

Ditulis Oleh : Unknown // 9:31 AM
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment