Pengertian Restorative Justice
"Restorative justice" sebagai salah usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan masih sulit diterapkan. Di Indonesia banyak hukum adat yang bisa menjadi restorative justice, namun keberadaannya tidak diakui negara atau tidak dikodifikasikan dalam hukum nasional. Hukum adat bisa menyelesaikan konflik yang muncul di masyarakat dan memberikan kepuasan pada pihak yang berkonflik. Munculnya ide restorative justice sebagai kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik tersebut tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga dan sebagainya.
Ciri yang menonjol dari restorative justice, kejahatan ditempatkan sebagai gejala yang menjadi bagian tindakan sosial dan bukan sekadar pelanggaran hukum pidana. Kejahatan dipandang sebagai tindakan yang merugikan orang dan merusak hubungan sosial. Berbeda dengan hukum pidana yang telah menarik kejahatan sebagai masalah negara. Hanya negara yang berhak menghukum, meskipun sebenarnya komunitas adat bisa saja memberikan sanksi.
Sistem pemenjaraan sebagai pelampiasan kebencian masyarakat yang diterima dan dijalankan negara. Munculnya ide restorative justice karena proses pidana belum memberikan keadilan pada korban. Usaha ke arah restorative justice sebenarnya sudah ada di lembaga pemasyarakatan, meskipun masih belum menonjol. Penerapan itu misalnya, menempatkan masa pembinaan sebagai ajang menyetarakan kembali hubungan narapidana dan korban.
Model hukuman restoratif diperkenalkan karena sistem peradilan pidana dan pemidanaan yang sekarang berlaku menimbulkan masalah. Dalam sistem kepenjaraan sekarang tujuan pemberian hukuman adalah penjeraan, pembalasan dendam, dan pemberian derita sebagai konsekuensi perbuatannya. Indikator penghukuman diukur dari sejauh mana narapidana (napi) tunduk pada peraturan penjara. Jadi, pendekatannya lebih ke keamanan (security approach).
Selain pemenjaraan yang membawa akibat bagi keluarga napi, sistem yang berlaku sekarang dinilai tidak melegakan atau menyembuhkan korban. Apalagi, proses hukumnya memakan waktu lama. Sebaliknya, pemidanaan restoratif melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam menyelesaikan masalah. Disamping itu, menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan perbuatannya. Pada korban, penekanannya adalah pemulihan kerugian aset, derita fisik, keamanan, harkat dan kepuasan atau rasa keadilan. Bagi pelaku dan masyarakat, tujuannya adalah pemberian malu agar pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya, dan masyarakat pun menerimanya. Dengan model restoratif, pelaku tidak perlu masuk penjara kalau kepentingan dan kerugian korban sudah direstorasi, korban dan masyarakat pun sudah memaafkan, sementara pelaku sudah menyatakan penyesalannya.
Namun, penerapannya tidak mudah. Kalau hanya diterapkan di lingkungan Lapas, hasilnya tidak akan maksimal. Model restoratif harus dilaksanakan mulai dari kepolisian, saat pertama kali perkara dalam proses penyidikan. Di kejaksaan dan pengadilan pun demikian harus dilaksanakan. Satu hal lagi yang sulit adalah memulihkan derita korban, baik fisik maupun psikis. Kerugian materiil mungkin bisa digantikan pelaku. Tetapi bagaimana dengan derita psikis, misalnya akibat pemerkosaan?
Penghukuman pidana pada dasarnya adalah suatu bentuk penebusan kesalahan yang pernah dilakukan oleh seseorang. Ia seperti tindakan membayar hutang kepada pemberi hutang. Oleh karena itu ketika seseorang narapidana telah selesai menjalani hukuman, ia harus diperlakukan sebagai orang yang merdeka seperti pembayar hutang yang telah melunasi hutangnya. Apabila mantan napi tidak diperlakukan secara adil sebagai warga masyarakat biasa yang telah menebus kesalahan, maka akibat yang paling buruk adalah mereka akan dapat mengulangi kembali tindakan pelanggaran hukumnya.
Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelanggar hukum sesungguhnya mempunyai beberapa ciri, bukan ciri tunggal penjahat. Penjahat dalam hal ini bukan kategori hukum, tetapi kategori sosial yaitu orang yang pola tingkah lakunya cenderung melanggar hukum pidana. Pelanggaran hukum pidana telah menjadi pilihan utama dalam bertingkah laku.
Peradilan jaman sekarang tidak membuktikan bahwa seseorang menjadi jera dan menyelesaikan masalah. Secara konseptual, keadilan alternatif ini adalah keadilan yang bisa melihat keadilan secara menyeluruh dan lebih sensitif. Keadilan secara menyeluruh ini juga mencakup kemungkinan perbaikan yang dilakukan oleh pihak terhukum kepada korban. Dengan adanya kesempatan itu, konsep keadilan lebih bisa diterima semua pihak. Tidak seperti sekarang, di mana seseorang bisa saja melakukan balas dendam pada terhukum setelah korban keluar dari penjara, atau si korban merasa trauma berlebihan karena pahitnya perasaan ”kotor” yang timbul setelah diperkosa.
Wajah lain dari hukum dan proses hukum yang formal tadi adalah terdapatnya fakta bahwa keadilan formal tadi, sekurang-kurangnya di Indonesia, ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, tidak menyelesaikan masalah dan, yang lebih parah lagi, penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Salah satu dari berbagai masalah yang menjadikan bentuk keadilan ini terlihat problematik adalah, mengingat terdapat dan dilakukannya satu proses yang sama bagi semua jenis masalah (one for all mechanism). Inilah yang mengakibatkan mulai berpalingnya banyak pihak guna mencari alternatif penyelesaian atas masalahnya.
Proses restorative justice pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan) dan diversi ini, merupakan upaya pengalihan dari proses peradilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi bangsa Indonesia. Sebelum pendudukan Belanda, bangsa kita sudah memiliki hukum sendiri, yaitu hukum adat. Hukum adat tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dengan perkara perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan.
Sasaran akhir konsep peradilan restorative ini mengharapkan berkurangnya jumlah tahanan di dalam penjara; menghapuskan stigma/cap dan mengembalikan pelaku kejahatan menjadi manusia normal; pelaku kejahatan dapat menyadari kesalahannya, sehingga tidak mengulangi perbuatannya serta mengurangi beban kerja polisi, jaksa, rutan, pengadilan, dan lapas; menghemat keuangan negara tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah dimaafkan oleh korban, korban cepat mendapatkan ganti kerugian; memberdayakan masyarakat dalam mengatasi kejahatan dan; pengintegrasian kembali pelaku kejahatan dalam masyarakat.
Istilah “penyelesaian di luar pengadilan” umumnya dikenal sebagai kebijakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut: sebagai penentu keluaran akhir dari suatu kasus sengketa, konflik, pertikaian atau pelanggaran, namun juga memiliki wewenang melakukan diskresi / pengenyampingan perkara pidana yang dilakukan oleh pihak tertentu, dilanjutkan dengan permintaan kepada pelaku / pelanggar agar mengakomodasi kerugian korban. Istilah umum yang populer adalah dilakukannya “perdamaian” dalam perkara pelanggaran hukum pidana.
Keuntungan dari penggunaan “penyelesaian di luar pengadilan” dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana adalah bahwa pilihan penyelesaian pada umumnya diserahkan kepada pihak pelaku dan korban. Keuntungan lain yang juga amat menonjol adalah biaya yang murah. Sebagai suatu bentuk pengganti sanksi, pihak pelaku dapat menawarkan kompensasi yang dirundingkan / disepakati dengan pihak korban. Dengan demikian, keadilan menjadi buah dari kesepakatan bersama antar para pihak sendiri, yaitu pihak korban dan pelaku, bukan berdasarkan kalkulasi jaksa dan putusan hakim.
Sebelumnya perlu dikemukakan beberapa alasan bagi dilakukannya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan pidana sebagai berikut :
- Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan, baik aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif.
- Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP).
- Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori “pelanggaran”, bukan “kejahatan”, yang hanya diancam dengan pidana denda.
- pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang hukum administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium.
- Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan/serba ringan dan aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi.
- Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke pengadilan (deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum yang dimilikinya.
- Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat yang diselesaikan melalui lembaga adat.
Sedangkan kelemahan dari penggunaan “penyelesaian di luar pengadilan”, dapat menjadi sumber penyalahgunaan wewenang dari para penegak hukum, khususnya apabila diskresi dibelokkan menjadi ”komoditi”. Ketidakmauan menghukum juga dapat dipersepsi sebagai melunaknya hukum dimata para pelaku kejahatan atau pelanggar aturan.
Terkait dengan kepolisian, sebagai elemen awal dalam sistem peradilan pidana Indonesia, maka dapat disebutkan bahwa dalam Naskah Akademis mengenai Court Dispute Resolution dari Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2003, dalam salah satu kesimpulan terakhirnya antara lain disebutkan bahwa mediasi, sebagai salah satu bentuk ADR, seyogyanya bersifat wajib untuk perkara kecil baik perdata maupun pidana. Itulah yang menjadikan penanganan masalah secara alternatif ini relevan untuk dikaitkan dengan proses penegakan hukum Polri, khususnya menyangkut perkara pidana yang ringan.
Pada penyidikan tindak pidana di tingkat kepolisian, adanya “penyelesaian di luar pengadilan” seringkali menimbulkan kecurigaan atas kewenangan penyidik kepolisian dalam menyelesaikan perkara. Adanya kesepakatan antara korban / pelapor dengan pelaku / terlapor dalam proses penyidikan kepolisian sering dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang dari para penegak hukum tersebut. Niat baik dari penyidik kepolisian yang menangani perkara dengan adanya “penyelesaian di luar pengadilan”, dikenal dalam proses penyidikan kepolisian maupun kejaksaan dengan istilan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) seringkali dianggap sebagai “komoditi”. Sindiran sinis sering terucap, berapa uang yang diminta penyidik, atau berapa uang yang diberikan pihak yang bersengketa atau berselisih (pelapor dengan terlapor).
Kontroversi dalam penegakan hukum pidana berdasarkan KUHAP sering terjadi, sementara para penegak hukum masih berkutat dalam paradigma formalisme, sehingga banyak kasus-kasus yang semestinya dapat diadili menjadi menguap begitu saja karena keterbatasan pemikiran tentang pelaksanaan penegakan hukum. Padahal tujuan utama dari penegakan hukum adalah mewujudkan kebenaran dan keadilan. Selama aparat penegak hukum tidak mengubah pemikiran bahwa tujuan utama dari penegakan hukum pidana adalah untuk menwujudkan kebenaran dan keadilan, maka pelaksanaan KUHAP akan tetap sering terjadi kontroversi.
0 komentar:
Post a Comment