Recidive Pelanggaran
Terdapat 14 jenis pelanggaran di dalam Buku II KUHP yang apabila diulangi dapat merupakan alasan untuk adanya pemberatan pidana, yaitu : pasal 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, dan 549.
Adapun yang menjadi syarat-syarat recidive pelanggaran adalah sebagai berikut :
Pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis dengan pelanggaran yang terdahulu.
Harus sudah ada putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap untuk pelanggaran terdahulu.
Tenggang waktu pengulangannya baru lewat 1 atau 2 tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang berkekuatan tetap.
Belum lewat 1 tahun untuk pelanggaran pasal 489, 492, 495, 536, 540, 541, 544, 545, dan 549.
Belum lewat 2 tahun untuk pelanggaran pasal 501, 512, 516, 517, dan 530.
Tujuan Penghukuman
Apabila berbicara mengenai penghukuman, maka pertanyaan yang kerapkali muncul adalah apakah tujuan hukuman itu dan siapakah yang berhak menjatuhkan \ hukuman. Pada umumnya telah disepakati bahwa yang berhak menghukum (hak puniendi) adalah di dalam tangan negara (pemerintah). Pemerintah dalam menjatuhkan hukuman selalu dihadapkan pada suatu paradoksalitas, yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut :
Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah negara menjatuhkan hukuman, dan karena menjatuhkan hukuman itu maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara sendiri diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan dipihak lain pemerintah negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.
Orang berusaha untuk menunjukkan alasan apakah yang dapat dipakai untuk membenarkan penghukuman oleh karena menghukum itu dilakukan terhadap manusia-manusia yang juga mempunyai hak hidup, hak kemerdekaan bahkan mempunyai hak pembelaan dari negara itu juga yang menghukumnya. Maka oleh karena itu muncullah berbagai teori hukuman, yang pada garis besarnya dapat dibagai atas tiga golongan :
a. teori absolut atau teori pembalasan
b. teori relatif atau teori tujuan
c. teori gabungan
a. Teori absolut
Tokoh-tokoh yang terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain adalah Kant dan Hegel. Mereka beranggapan bahwa hukuman itu adalah suatu konsekwensi daripada dilakukannya suatu kejahatan. Sebab melakukan kejahatan, maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Semua perbuatan yang temyata berlawanan dengan keadilan, harus menerima pembalasan. Apakah hukuman itu bermanfaat bagi masyarakat, bukanlah hal yang menjadi pertimbangan, tapi hukuman harus dijatuhkan. Untuk menghindari hukuman ganas, maka Leo Polak menentukan tiga syarat yang harus dipenuhi dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :
- Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif
- Hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Hukuman tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi
- Beratnya hukuman harus seimbang dengan beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dihukum secara tidak adil.
Gerson W. Bawengan dalam bukunya Pengantar Psychologi Kriminil menyatakan bahwa ia menolak teori absolut atau teori pembalasan itu yang dikemukakan dalam bentuk apapun, berdasarkan tiga unsur, yaitu :
- Tak ada yang absolut didunia ini, kecuali Tuhan Yang Maha Esa.
- Pembalasan adalah realisasi daripada emosi, memberikan pemuasan emosionil kepada pemegang kekuasaan dan merangsang ke arah sifat-sifat 'sadistis', sentimentil. Oleh karena itu kepada para penonjol teori pembalasan itu, dapatlah diterka bahwa mereka memiliki sifat-sifat sadistis. Dan kerena itu pula ajaran mereka lebih condong untuk dinamai teori sadisme.
- 3. Tujuan hukuman dalam teori itu adalah hukuman itu sendiri. Dengan dernikian teori itu mengalami suatu jalan buntu, oleh karena tujuannya hanya sampai pada hukuman itu sendiri. adalah suatu tujuan yang tak bertujuan, sebab dipengaruhi dan disertai nafsu membalas.
b. Teori relatif atau teori tujuan
Para penganjur teori relatif tidak melihat hukuman itu sebagai pembalasan, dan karena itu tidak mengakui bahwa hukuman itu sendirilah yanag menjadi tujuan penghukuman, melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang lain daripada penghukuman itu sendiri. Hukuman, dengan demikian mempunyai tujuan, yaitu untuk melindungi ketertiban. Para pengajar teori relatif itu menunjukkan tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Menghindarkan, agar umumnya orang tidak melakukan pelanggaran bahkan ditujukan pula bagi terhukum agar tidak mengulangi pelanggaran.
Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat, yaitu sifat prevensi umum dan sifat prevensi khusus. Dengan prevensi umum, orang akan menahan diri untuk tidak melakukan kejahatan. Dan dengan prevensi khusus para penganjurnya menitikberatkan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang yang telah dijatuhi hukuman, tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selanjutnyaa bagi mereka yang hendak melakukan peianggaran akan mengurungkan maksudnya sehingga pelanggaran tidak dilaksanakan.
c. Teori Gabungan
Menurut teori gabungan hukuman hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada saiah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang telah ada.
0 komentar:
Post a Comment