Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi
Oleh: Khusaini, S.Pd., MSE
Abstrak
Tulisan ini mencoba mengungkap dampak pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Permasalahan yang muncul adalah apakah kaitan antara pendidikan dengan ekonomi serta bagaiman kondisi atau realitas pendidikan dan pertumbuhan ekonomi. Dengan menggunakan studi kepeustakaan dapat ditemukan bahwa pendidikan mempunyai peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hal ini dapat ditunjukkan dari berbagai studi yang dilakukan oleh beberapa para ahli baik di negara maju maupun di negara berkembang. Sementara di Indonesia penanganan pendidikan belum dilaksanakan dengan baik, sehingga dampak pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi relatif belum memiliki pengaruh yang siginifikan.
Kata kunci: Pendidikan, Investasi Fisik, Pertumbuhan Ekonomi
Pendahuluan
Pendidikan memiliki peran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan merupakan suatu faktor kebutuhan dasar untuk setiap manusia sehingga upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, karena melalui pendidikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan. Pendidikan mempengaruhi secara penuh pertumbuhan ekonomi suatu Negara (daerah). Hal ini bukan saja karena pendidikan akan berpengaruh terhadap produktivitas, tetapi juga akan berpengaruh fertilitas masyarakat. Pendidikan dapat menjadikan sumber daya manusia lebih cepat mengerti dan siap dalam menghadapi perubahan dan pembangunan suatu Negara.
Hampir semua negara berkembang menghadapi masalah kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang diakibatkan oleh rendahnya mutu pendidikan. Hal ini ditunjukkan oleh adanya tingkat melek huruf yang rendah, pemerataan pendidikan yang rendah, serta standar proses pendidikan yang relatif kurang memenuhi syarat.
Padahal kita tahu, bahwa pendidikan merupakan suatu pintu untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk itu peningkatan kualitas sumber daya manusia mutlak harus dilakukan. Karena dengan kualitas sumber daya manusia yang berkualitas dapat memberikan multiplier efect terhadap pembangunan suatu negara, khsususnya pembangunan bidang ekonomi.
Pendidikan merupakan bentuk investasi sumber daya manusia yang harus lebih diprioritaskan sejajar dengan investasi modal fisik karena pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Di mana nilai balik dari investasi pendidikan (return on investment = ROI) tidak dapat langsung dinikmati oleh investor saat ini, melainkan akan dinikmati di masa yang akan datang.
Mengingat modal fisik, tenaga kerja (SDM), dan kemajuan teknologi adalah tiga faktor pokok masukan (input) dalam produksi pendapatan nasional. Maka semakin besar jumlah tenaga kerja (yang berarti laju pertumbuhan penduduk tinggi) semakin besar pendapatan nasional dan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi. Pertanyaannya, apakah ada pengaruh pendidikan terhadap petumbuhan ekonomi? Bagaimana cara pendidikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, dan bagaimana kondisi atau realitas di Indonesia?
Pengaruh Pendidikan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Isu mengenai sumber daya manusia (human capital) sebagai input pembangunan ekonomi sebenarnya telah dimunculkan oleh Adam Smith pada tahun 1776, yang mencoba menjelaskan penyebab kesejahteraan suatu negara, dengan mengisolasi dua faktor, yaitu; 1) pentingnya skala ekonomi; dan 2) pembentukan keahlian dan kualitas manusia. Faktor yang kedua inilah yang sampai saat ini telah menjadi isu utama tentang pentingnya pendidikan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Lebih lanjut Solow (1958) juga telah melakukan analisa dari temuannya tentang residual dalam penjelasan mengenai pertumbuhan ekonomi. Kemudian Romer (1986), Krugman (1987), dan Gupta (1999) juga menjelaskan bahwa residual itu menujukkan tingkat pendidikan (educational rate) dan sumber daya mansusia. Hubungan sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi tersebut menunjukkan suatu keharusan bahwa kebijakan publik memperhatikan pengembangan pendidikan, promosi keahlian, dan pelayanan kesehatan.
Hal ini dikatakan juga oleh Lim (1996) bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Jepang dan Korea Selatan besar kemungkinan disebabkan oleh sumber daya manusia yang berkualitas, hal ini terlihat dari tingkat melek huruf (literacy rate) yang tinggi, sehingga tenaga kerja mudah menyerap dan beradaptasi dengan perubahan teknologi dan ekonomi yang terjadi.
Kasus lain seperti yang dikemukkan oleh Al-Samarai dan Zaman (2002) di Malawi, dalam rangka peningkatan sumber daya manusia, pemerintah telah melakukan beberapa program antara lain dengan menghapuskan biaya untuk Sekolah Dasar dan memperbesar pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan. Dampak dari program ini adalah meningkatnya tingkat enrollment rate ratio pendidikan dasar. Namun demikian masalah yang harus diperhatikan lebih lanjut oleh pemerintah adalah distribusi pendidikan yang tidak merata.
Hubungan investasi sumber daya manusia (pendidikan) dengan pertumbuhan ekonomi merupakan dua mata rantai. Namun demikian, pertumbuhan tidak akan bisa tumbuh dengan baik walaupun peningkatan mutu pendidikan atau mutu sumber daya manusia dilakukan, jika tidak ada program yang jelas tentang peningkatan mutu pendidikan dan program ekonomi yang jelas.
Studi yang dilakukan Prof ekonomi dari Harvard Dale Jorgenson et al. (1987) pada ekonomi Amerika Serikat dengan rentang waktu 1948-79 misalnya menunjukkan bahwa 46 persen pertumbuhan ekonomi adalah disebabkan pembentukan modal (capital formation), 31 persen disebabkan pertumbuhan tenaga kerja dan modal manusia serta 24 persen disebabkan kemajuan teknologi.Selanjutnya, Suryadi (2001) menegaskan dari hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai kesadaran sosial politik dan budaya, serta memacu penguasaan dan pendayagunaan teknologi untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan sosial.
Meski modal manusia memegang peranan penting dalam pertumbuhan penduduk, para ahli mulai dari ekonomi, politik, sosiologi bahkan engineering lebih menaruh prioritas pada faktor modal fisik dan kemajuan teknologi. Ini beralasan karena melihat data AS misalnya, total kombinasi kedua faktor ini menyumbang sekitar 65 persen pertumbuhan ekonomi AS pada periode 1948-79.
Namun, sesungguhnya faktor teknologi dan modal fisik tidak independen dari faktor manusia. Suatu bangsa dapat mewujudkan kemajuan teknologi, termasuk ilmu pengetahuan dan manajemen, serta modal fisik seperti bangunan dan peralatan mesin-mesin hanya jika negara tersebut memiliki modal manusia yang kuat dan berkualitas. Apabila demikian, secara tidak langsung kontribusi faktor modal manusia dalam pertumbuhan penduduk seharusnya lebih tinggi dari angka 31 persen.
Perhatian terhadap faktor manusia menjadi sentral akhir-akhir ini berkaitan dengan perkembangan dalam ilmu ekonomi pembangunan dan sosiologi. Para ahli di kedua bidang tersebut umumnya sepakat pada satu hal yakni modal manusia berperan secara signifikan, bahkan lebih penting daripada faktor teknologi, dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Modal manusia tersebut tidak hanya menyangkut kuantitas, tetapi yang jauh lebih penting adalah dari segi kualitas.
Buku terakhir William Schweke, Smart Money: Education and Economic Development (2004), sekali lagi memberi afirmasi atas tesis ilmiah para scholars terdahulu, bahwa pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.
Karena itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja berfaedah bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah.
Lalu pertanyaannya, apakah ukuran yang dapat menentukan kualitas manusia? Ada berbagai aspek yang dapat menjelaskan hal ini seperti aspek kesehatan, pendidikan, kebebasan berbicara dan lain sebagainya. Di antara berbagai aspek ini, pendidikan dianggap memiliki peranan paling penting dalam menentukan kualitas manusia. Lewat pendidikan, manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuannya manusia diharapkan dapat membangun keberadaan hidupnya dengan lebih baik.
Dari berbagai studi tersebut sangat jelas dapat disimpulkan bahwa pendidikan mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi melalui berkembangnya kesempatan untuk meningkatkan kesehatan, pengetahuan, dan ketarmpilan, keahlian, serta wawasan mereka agar mampu lebih bekerja secara produktif, baik secara perorangan maupun kelompok. Implikasinya, semakin tinggi pendidikan, hidup manusia akan semakin berkualitas. Dalam kaitannya dengan perekonomian secara umum (nasional), semakin tinggi kualitas hidup suatu bangsa, semakin tinggi tingkat pertumbuhan dan kesejahteraan bangsa tersebut.
Bagaimana Kondisi di Indonesia?
Di Indonesia, pendidikan masih belum mendapatkan tempat yang utama sebagai prioritas program pembangunan nasional. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah anggaran pendidikan yang masih jauh dari amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Padahal dalam UU tersebut, telah mengamanatkan tentang besarnya anggaran pendidikan di berbagai level pemerintahan minimal 20%.
Anggaran pendidikan dari APBN 2006 saja baru mencapai 9% atau Rp 36,7 triliun, sedangkan pada tahun 2007 diperkirakan jumlah anggaran pendidikan baru berkisar 11%. Rendahnya pemenuhan anggaran pendidikan dapat mengakibatkan mutu pendidikan dan perluasan akses pendidikan menjadi terhambat. Akibatnya peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan penguasaan teknologi juga terpasung.
Indikasi lain yang perlu menjadi perhatian lebih untuk menjadikan pendidikan sebagai basis perubahan dalam meningkatkan pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi adalah tingkat melek huruf dan angka partisipasi pendidikan. Berdasarkan laporan dari Dirjen PLS tentang tingkat pemberantasan buta aksara secara nasional di Indonesia telah mengalami penurunan tahun 2006 hingga menjadi sekitar 13 juta orang yang masih buta huruf.
Jumlah tersebut masih lebih baik dibandingkan dengan tahun 2004 yang berjumlah 15,4 juta orang, dan menurun menjadi 14,6 juta orang pada tahun 2005. Jika dilihat persentase selama 2004 s/d 2006 telah terjadi penurunan 16,15%. Bahkan menurut Ace Suryadi (2006) diharapkan pada tahun 2015 pemberantasan buta aksara sudah bisa tuntas dengan asumsi pengurangan setiap tahun 1,6 juta orang.
Sementara tingkat partisipasi pendidikan menurut data Susenas 2004, APS penduduk usia 7 s/d 12 tahun meningkat dari 92,83% pada 1993 menjadi 96,775 pada 2004. Dalam rentang waktu yang sama APS penduduk usia 13 – 15 tahun meningkat dari 68,74% menjadi 83,49%. Sedangkan APS penduduk usia 16 – 18 tahun meningkat dari 40,23% menjadi 53,48%. Data tersebut menunjukkan adanya masalah kesenjangan partisipasi pendidikan, sehingga pemerintah perlu meningkatkan alokasi anggaran pendidikan agar masyarakat lebih banyak lagi yang mendapatkan kesempatan menikmati pendidikan.
Yang jelas, kondisi di atas akan memunculkan fenomena tersendiri bagi pengembangan sumber daya manusia di Indonesia, diantaranya kesenjangan pendapatan, ketertinggalan pendidikan, kemiskinan, dan kemakmuran masyarakat. Sylwester (2002) telah merekomendasikan dari hasil kajiannya yang menunjukkan bahwa negara yang mencurahkan banyak perhatian terhadap public education (dilihat dari persentase GNP terhadap pendidikan) mempunyai tingkat kesenjangan yang rendah.
Akan tetapi, di Indonesia, investasi modal fisik masih dianggap sebagai satu-satunya faktor utama dalam pengembangan dan akselerasi usaha. Untuk memenuhi kebutuhan modal manusianya, di Indonesia cenderung mendatangkan tenaga kerja dari luar negeri. Dalam jangka pendek cara ini mungkin ada benarnya, karena diharapkan dapat memberikan efek multiplier terhadap tenaga kerja di Indonesia. Namun, dalam jangka panjang tentu sangat tidak relevan, apalagi untuk sebuah usaha berskala besar atau yang sudah konglomerasi, akibatnya banyak tenaga kerja sendiri tersingkirkan.
Bila dilihat dari besarnya investasi di bidang riset dan pengembangan, kondisi ini tidak lebih baik di banding China dan Singapura, Indonesia jauh lebih kecil. Demikian juga dari besarnya investasi pendidikan yang dilakukan di luar negeri. Singapura, yang berpenduduk tidak sampai setengah penduduk Jakarta, mengirim mahasiswa ke AS hampir setengah jumlah mahasiswa Indonesia di AS.
Sesuai dengan berbagai kesepakatan regional dan internasional di bidang ekonomi, Indonesia dihadapkan dengan situasi persaingan yang amat ketat. Dalam situasi ini, daya saing kompetitif produk/komoditi tidak mungkin dikembangkan jika tidak diimbangi daya saing kompetitif sumberdaya manusia. Dalam arti, mengandalkan keunggulan komparatif sumber daya manusia yang melimpah dan murah sudah kurang relevan.
Dengan demikian, peningkatan investasi di bidang pendidikan, penelitian dan pengembangan tidak bisa dihindarkan lagi, baik oleh pemerintah maupun kalangan swasta. Sebenarnya, setiap tahun pemerintah telah meningkatkan anggaran sektor pendidikan. Masalahnya, angka dan peningkatan ini secara absolut relatif sangat kecil, sehingga masih jauh bila dibanding negara-negara tetangga yang sangat serius dalam pengembangan sumberdaya manusia. Persentase investasi pendidikan 20 persen dari total anggaran pemerintah harus segera dipenuhi sesuai dengan amanat undang-undang.
Demikian juga sektor swasta, selama ini belum ada aturan yang menggariskan berapa persen biaya pengembangan sumberdaya manusia serta penelitian dan pengembangan dari struktur biaya perusahaan dalam industri nasional. Di sektor perbankan sempat ada ketentuan yang menetapkan biaya pengembangan sumberdaya manusia 5 persen dari profit. Akan tetapi, angka ini relatif sangat kecil, karena biaya pengembangan tersebut dibebankan pada profit, tidak sebagai beban input (Tobing, 1994).
Penutup
Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis berharap pemerintah mampu membangun paradigma baru pembangunan terhadap tiga hal yang merujuk knowledge-based economy tampak kian dominan; yaitu pertama, kemajuan ekonomi dalam banyak hal bertumpu pada basis dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga perlu dikembangkan kegiatan-kegiatan penelitian dan pengembangan.
Kedua, hubungan kausalitas antara pendidikan dan kemajuan ekonomi menjadi kian kuat dan solid, dengan bukti-bukti hasil kajian di berbagai negara. Ketiga, menjadikan pendidikan menjadi penggerak utama dinamika perkembangan ekonomi, yang mendorong proses transformasi struktural berjangka panjang, karena pendidikan membuahkan high rate of return di masa yang akan datang.
Sebagai ilustrasi, negara-negara maju seperti Jepang yang merupakan negara Asia pertama yang menjadi pelopor pembangunan perekonomian berbasis ilmu pengetahuan. Setelah Jepang, menyusul negara-negara Asia Timur lain seperti Singapura, China, Taiwan, Hongkong, dan Korea Selatan. Jadi jelas bahwa pertumbuhan mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap pertumbuhan ekonomi.
Jadi meningkatnya pertumbuhan ekonomi tentunya diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, menciptakan kesempatan kerja, serta mengurangi kemiskinan. Artinya pertumbuhan ekonomi yang dimaksud adalah pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Wallohu a’lamu bishowab.
Referensi
Andrianus, Ferry. 2003. Analisis Pengeluaran Pendidikan dan
Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia (1970 – 2000). Jurnal Ekonomi, Manajemen,
dan Akuntansi “KOMPETISI”. Vol. 1, No. 2, Mei 2003. hal 124-140
Alhumami, Amich, “Tiga Isu Kritis Pendidikan”,
Artikel, Kompas, Jum’at, 2 Juli 2004
Al-Samarai,
S. 2002. The Changing Distribution of
Public Education Expenditure in Malawi .
Africa Region Working Paper Series 29.
Bank
Dunia, “The East Asia Miracle”, University Press, Oxford , 1993
Damin,
Sudarwan, “Media Komunikasi Pendidikan”, Bumi Aksara, Jakrta, 1995
Darminingtyas, “Di Mana Anak Miskin Bersekolah ?”,
Artikel, Kompas, Senin 19 Juli 2004
Depdikbud, Dirjen
Dikmenum, dan Dir Dikmenum, “Panduan Manajemen Sekolah”, Proyek
Peningkatan Mutu SMU Jakarta, Jakarta, 1999
Engle, G
and C.W.J. Granger.1987. Cointegration
and Error Corection: Representation and Testing. Econometrica. Vol. 100:
818-834.
Fattah,
Nanang, “Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan”, Rosda Karya, Bandung , 2002
Green,
William H.,“Econometric Analysis”, 2nd ed. (New York : Macmilan Publishing Co, 1993.
Gupta,
K. 1999. Public Expenditure on Education
and Literacy Lavels: A Comparative Study. State University
at Stony Book.
Hannaway,
J. & Carnoy, M. eds, “Decectralization and School Improvement: Can We
Fulfil the Promise ?”, Calif ,
Jassey-Bass, San Fransisco, 1993
Kerlinger,
Fred N., “Behavioral Research”, New
York : Holt Rinehard and, Winston, 1978
Khusaini. 2004. Analisis
Disparitas Pendapatan Antar Daerah Kabupaten/Kota dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Regional Provinsi Banten. JIPIS. Vol. 2, No. 2. Tahun 2005
Mankiw,
N.G, Romer, D. and Weil , N.D. 1992. A Contribution to the Empiris of
Economic Growth. Quartely Journal of Economics. Vol 107 Issue 2: 407-437.
Laporan
Dirjen PLS Tahun 2006. Depdiknas. http:\\www.depdiknas.go.id
Levin,
Henry M and Schultz G. Hans, “Finacing Recurrent Education Strategic the
Increasing Employment, Job Opportuniyies and Productivity”, Sage
Publications, New Delhi ,
1983
Lim,
D. 1996. Explaining Economic Growth: A
New Aanlitical Framework. Vermont :
Edwar Elgar Publish. Co.
Lin,
T.C. 2003. Education, Technical Progres,
and Economic Growth: The Case of Taiwan . Economics of Education
Review 22: 213-220.
Marsuki. 2005. Analisis Perekonomian Sulawesi Selatan dan Kawasan Timur Indonesia.
Mitra Wacana Media. Jakarta
Richardson, Harry W., “Dasar-Dasar
Ilmu Ekonomi Regional (terjemahan)”, LP-FEUI (Edisi Revisi), Jakarta, 2001
Schultz,
T. W. 1963. The Economic Value of
Education. New York .
Columbia University .
Solow,
R. 1956. A Contribution to the Theory of
Economic Growth. Quartely Journal of Economics 70: 65 – 94.
Suhaenah
Soeparno, Ana, “Pendidikan dalam Perspektif Otonomi Daerah”, dalam
“Mengurai Benang Kusut Pendidikan”, Transformasi-UNJ, Jakarta, 2003
Supriadi,
Dedi, “Satuan Biaya Pendidikan: Dasar dan Menengah”, Rosda Karya, Bandung , 2003
Suryadi, Ace dan Tilaar, H. A.R., “Analisis Kebijakan
Pendidikan: Suatu Pengantar”, Rosda Karya Bandung, 1994
Susanti, Hera, Moh Ikhsan, dan Widyanti, “Indikator-Indikator
Makro Ekonomi”, edisi kedua LPFEUI, Jakarta, 1995
Thomas,
J. A., “The Productive School: A System Analysis Approach to Educational
Administration”, John Wiley & Sons, New York , 1971
Triaswati,
N. et al, “Pendanaan Pendidikan di Indonesia”, dalam Jalal, F. Supriadi,
D. eds, “Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah”, Adicita
Karya Nusa, Yogjakarta, 2001
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
0 komentar:
Post a Comment