Friday, July 26, 2013

Sejarah kebijakan pemerintahan terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia

Sejarah kebijakan pemerintahan terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia


Banyak dari kebijakan dan undang-undang yang mengenai keturunan Tionghoa menyebabkan timbulnya batasan-batasan yang menahan perkembangan identitas kebudayaan Tionghoa. Pada bagian ini saya akan membahas mengenai alasan-alasan diterapkannya kebijakan dan undang-undang tersebut, sebelum mendiskusikan berhasil mencapai tujuannya. Untuk mengetahui alasan-alasan tersebut, menurut saya, sangat penting untuk mempelajari sejarah dan kebiasaan masyarakat yang mendasari dibuatnya undang-undang tersebut.

Bahkan sebelum penjajah Belanda menciptakan tiga kelompok etnik sosial yang memiliki peraturan peraturan yang berbeda sama satu lainnya, imigran Tionghoa yang sudah tiba di Indonesia dan memiliki derajat yang berbeda-beda, masih mencoba mempertahankan identitas etnis aslinya. Beberapa dari keturunan Tionghoa ini memutuskan untuk menikah dan membangun keluarga dengan warga pribumi. Hal ini disebabkan  karena di masa dinasti Ming (Qing) di Tiongkok, keturunan Tionghoa yang meninggalkan tanah airnya akan dilarang untuk kembali lagi ke daratan Tiongkok (Suryadinata; 2002; hal 70). Oleh karena itu mereka berusaha untuk menciptakan dan membangun keluarga baru di Indonesia. Kelompok tersebut menggunakan bahasa daerah di tempat tinggalnya sebagai bahasa sehari-hari, di lain pihak mereka masih menganut adat istiadat Tionghoa seperti berdoa menurut kepercayaan Tionghoa tradisional (Greif; 1991; hal 1-3) atau memperingati tahun Tionghoa baru (Imlek). Kelompok ini disebut ‘Peranakan’ Tionghoa.

Selanjutnya, pada saat pengusaha-pengusaha Belanda membutuhkan pekerja-pekerja kasar atau ‘kuli’ untuk bekerja di perkebunan dan pertambangan, akan didatangkan orang orang keturunan Tionghoa yang berasal dari kelompok yang berbeda. Kelompok ini berbeda dari kelompok Peranakan Tionghoa karena kelompok ini akan diantarkan keluarganya ke Indonesia dan mereka akan mempertahankan ‘kemurnian’ keturunannya (Greif; 1991; hal 3). Kelompok ini disebut ‘Totok’ Tionghoa. Dan kelompok ini tidak memiliki kesetiaan terhadap penjajah Belanda atau penduduk setempat, karena menurut mereka Indonesia hanya tempat sementara (Greif; 1991; hal 3) di mana mereka bisa mendapatkan dan mengirim cukup dana ke tanah airnya Tiongkok. Mereka merasa akan lebih baik jika mereka dapat kembali ke Tiongkok setelah mereka berhasil memperoleh apa yang mereka inginkan. Dapat diketahui bahwa Peranakan dan Totok masih ingin memelihara identitas Tionghoanya, yang terpisah dari orang Pribumi. Keputusan ini membuat mereka menjadi sumber kecurigaan bagi masyarakat Pribumi, selama dan sesudah perjuangan Kemerdekaan Indonesia dan periode periode selanjutnya.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada tahun 1907, pemerintah Belanda membagi kependudukan di Indonesia dalam tiga kelompok. Peranakan dan Totok Tionghoa berada pada kelompok yang dinamakan ‘Timur Asing’ atau ‘Eastern Orientals’ (Greif; 1991; hal xi). Kedudukan kelompok ini berada di antara kelompok orang-orang Pribumi dan kelompok warga negara Belanda, yang tentu saja menduduki posisi paling utama. Ini adalah usaha yang sengaja dilakukan oleh penjajah Belanda untuk mempertahankan keterpisahan masyarakat Tionghoa dan penduduk Pribumi yang disebut ‘Divide and Rule’. Hal ini disebabkan oleh adanya kekhawatiran jikalau masyarakat Tionghoa bersatu dengan orang Pribumi, sebab jika mereka bersatu mereka akan memiliki kekuatan untuk menentang penjajahan Belanda di Indonesia (Suryadinata; 2002; hal 8). Usaha ini dimaksudkan penjajah Belanda untuk memperburuk pandangan orang Pribumi terhadap keturunan Tionghoa. Salah satu contoh dari usaha tersebut adalah hak istemiwa terhadap keturunan Tionghoa seperti pendidikan dan kesempatan untuk menjadi warga negara Belanda, yang dapat menciptakan kesempatan kerja yang lebih baik. Keuntungan yang lain sebagai keturunan Tionghoa, khususnya kelompok Peranakan, memilih peluang bekerja untuk pemerintahan dan pengusaha Belanda sebagai perantara, karena sebagian dari mereka menguasai bahasa Belanda dan bahasa setempat. Akibat dari perbedaan status ini, penduduk setempat merasa adanya ketidakadilan yang membuat mereka iri dan marah. Jadi tidak hanya keinginan identitas terpisah saja yang menciptakan perasaan curiga di antara penduduk setempatk, tetapi juga, proses pemisahan dan timbulnya prasangka yang dengan sengaja diciptakan oleh penjajah Belanda. Perasaan inilah yang terbawa hingga saat ini.

Kelompok Peranakan terbagi menjadi dua kelompok politik, kelompok pertama adalah Chung Hwa Hui (CHH) ini, mereka mendukung penjajah Belanda (Suryadinata; 1978; hal 54). Kelompok kedua adalah Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang mendukung Gerakan Kemerdekaan Indonesia (Suryadinata; 1978; hal 56). Beberapa tokoh dari partai ini berjuang bersama dengan tokoh tokoh lain bukan keturunan Tionghoa untuk kemerdekaan Indonesia. Namun Kenyataan ini sering dilupakan oleh masyarakat Indonesia dan Penulis sejarah (Suryadinata; 2002; hal 21-23). Pada sisi lain sebagian besar masyarakat Totok merasa hanya daratan Tiongkok yang bisa mewakili dan melindungi kepentingan merkeka, sehingga mereka tidak memiliki kesetiaan politik terhadap penjajah Belanda atau kependudukan setempat (Suryadinata; 1978; hal 53). Oleh karena itu keturunan Tionghoa dianggap tidak memiliki ketentuan politik, yang pada akhirnya menimbulkan kesan bahwa kesetiaan dan kesungguhan hati mereka terhadap Indonesia tidak bisa diandalkan (Suryadinata; 1978; hal 21-22). Terlebih lagi dengan adanya Gerakan Nasionalis Cina yang mempengaruhi kelompk Totok untuk lebih men-cina-kan diri lagi dari warga Pribumi pada masa sebelum penjajahan Jepang (Greif; 1991; hal 6), yang memberi kesan kesetiaan masyarakat Tionghoa lebih besar terhadap Tiongkok daripada Indonesia.

Metode ‘Divide and Rule’ terhadap keturunan Tionghoa terbawa terus sampai masa penjajahan Jepang pada periode Perang Dunia Kedua (PDII). Penjajah Jepang dengan sengaja memisahkan dan memaksa orang-orang keturunan Tionghoa untuk belajar di sekolah yang dibuat khusus untuk mereka, dan mereka diharuskan untuk menggunakan bahasa Mandarin dalam proses belajar mengajar (Suryadinata; 1978; hal 147).  Lebih dari itu mereka jugh diharapkan untuk berbahasa Mandarin di luar jam sekolah. Beberapa orang keturunan Tionghoa juga diperkerjakan oleh tentara Jepang sebagai seorang mata mata. Hal ini menyebabkan bertambahnya pandangan buruk terhadap Keturunan Tionghoa. Karena mereka dianggap membantu penjajah Jepang, yang tentu saja sangat dibenci karena perlakuan mereka yang sangat kejam terhadap masyarakat pribumi. Selain itu penduduk keturunan Tionghoa merasa bimbang dan mengalami kesulitan dalam menentukan masa depan mereka. Beberapa dari mereka masih merasa seperti penduduk asing di Indonesia, walaupun mereka memiliki kehidupan di Indonesia. Dengan adanya penjajahan oleh Belanda dan Jepang, serta hubungan batin yang masih ada dengan Tiongkok, tetapi Indonesia juga, mereka tidak memiliki kepastian harus mendukung pihak yang mana. Seperti yang diucapkan Liem Koen Hian, pendiri PTI (Partai Tionghoa Indonesia), walaupun Peranakan Tionghoa memiliki kebudayaan yang cenderung lebih mencerminkan Indonesia, kedudukan keturunan Tionghoa akan terombang ambing selama situasi Indonesia dan luar negeri yang berubah ubah (Suryadinata; 1978; hal 59). Dan seperti yang telah dibahas sebelumnya, faktor-faktor di ataslah yang menyebabkan timbulnya ketidaktentuan pilihan masyarakat Tionghoa di bidang politik.

Mengingat adanya kejadian-kejadian tersebut, tidaklah mengherankan apabila pada periode saat ‘Dutch East Indies’ menjadi Republik Indonesia, Presiden dan wakilnya, Soekarno dan Hatta, tidak percayai bahwa masyarakat Tionghoa memiliki kesetiaan terhadap Republik Indonesia (Suryadinata; 1978; hal 25-33). Prasangka yang diakibatkan oleh kejadian bersejarah yang tersebut di atas juga dipengaruhi oleh undang-undang yang dibuat oleh penjajah Belanda dan Jepang telah menyebabkan timbulnya perasaan tidak percaya terhadap keturunan Tionghoa selama Zaman ini.

Pada tanggal 30 September 1965 (dikenal G30S/PKI) terjadi sebuah kudeta yang menimpa Indonesia, dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan pemerintahan Soekarno mencurigai PKI (Partai Komunis Indonesia) berusaha mengambil alih kekuasaan dan kepemimpinan Indonesia. Kejadian ini menyebabkan meninggal dunia wafatnya beberapa tokoh-tokoh utama ABRI. Sebagai negara Komunis terbesar, Tiongkok yang juga merupakan salah satu tetangga Indonesia, diduga terlibat dalam G30S/PKI dan keberadaan serta pendukungnya menjadi ancaman terhadap keamanan nasional Indonesia. Keturunan Tionhghoa masih ingin mempertahankan status kebudayaan mereka walaupun pada periode-periode sebelumnya mereka masih memiliki ketidakpastian dalam hal politik. Akibatnya, pemerintah merasa terancam oleh keadaan tersebut di atas karena mereka mengira bahwa keturunan Tionghoa masih bagian dari Cina Komunis (Suryadinata; 1978; hal 45-47). Oleh karena itu pemerintahan Republik Indonesia harus mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat Tionghoa untuk menjamin keselamatan Indonesia. Sebab kebanyakan pemimpin termasuk Soekarno dan Hatta, beranggapan bahwa Indonesia dapat kembali aman apabila seluruh rakyatnya bersatu (Suryadinata; 1978; hal 47). Dan untuk itu, diharapkan tidak adanya perbedaan suku, status, dan kebudayaan. Akibatnya pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan Asimilasi atau Pembauran lengkap terhadap keturunan Tionghoa (Greif; 1991; hal xii-xiii) dan memutuskan untuk mengeluarkan undang-undang guna mencapai tujuan mereka. Berapa undang-undang diciptakan untuk mendukung keputusan mereka adalah:

Keputusan Presidium Kabinet No.127/U/Kep/12/1966. Undang undang ini mengenai penggantian nama untuk Warga Negara Indonesia yang memakai nama Tionghoa. Penggantian nama ini tidaklah wajib untuk keturunan Tionghoa, akan tetapi, pemerintah Orde Baru berpendapat bahwa usaha ini akan membantu pembauran menjadi lebih cepat. Kebanyakan anggota masyarakat Tionghoa menentukan untuk mengganti namanya, tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka memakai nama Tionghoanya (Greif; 1991; hal xvii).

Instruksi Presiden No.14 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat istiadat Cina. Undang-undang ini melarang mengamalkan perayaan Hari Raya Tionghoa, penggunaan bahasa Tionghoa, dan adat istiadat yang sama, di depan umum. Selain ini, undang ini, walaupun tidak langsung, menolak agama Kong Hu Chu sebagai agama resmi Indonesia. Instruksi ini dicabut oleh Keputusan Presiden tentang Pencabutan Instruksi Presiden No.14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat istiadat Cina (Burchell; 2004; hal 56).

Surat edaran SE.02/SE Ditjen/PPG/K/1998. Ini melarang penerbitan dan percetakan tulisan atau iklan beraksara dan yang menggunakan bahasa Mandarin di depan umum (Tempo; 17 August 2004; hal 36–37). Undang ini dicabut oleh Instruksi Presiden No.4/1999 dan memperbolehkan pelajaran dan penggunaan Bahasa Tionghoa (Tempo; 17 August 2004; hal 36-37).

Peraturan Menteri Perumahan No.455.2-360/1988. Ini melarang penggunaan lahan untuk mendirikan, memperluas, atau memperbarui Klenteng Tionghoa (Tempo; 17 August 2004; hal 36-37).

Keppres 240/1967 tgl. April 1967 tentang Kebijaksanaan pokok yang menyangkut WNI Keturunan Asing (Greif; 1991; hal xx).

Akan tetapi walaupun undang-undang ini diciptakan untuk mendorong adanya tujuan pencapaian pembauran lengkap, masih ada beberapa hukum-hukum, khususnya di bidang perekonomian, yang menentang tujuan tersebut (Suryadinata; 1978; hal 4). Ini adalah salah satu alasan utama yang menjelaskan kegagalan undang-undang di atas mencapai pembauran lengkap. Contoh yang paling jelas yang memperlihatkan fenomena ini adalah keputusan yang diambil di Seminar Angkatan darat untuk Jenderal-jenderal yang paling tinggi pada tahun 1966 (Suryadinata; 2002; hal 92). Keputusan ini menyebutkan bahwa masyarakat keturunan Tionghoa seharusnya dibatasi dalam bidang perekonimian sehingga keterlibatannya dalam bidang yang lain, misalnya, bidang politik bisa dihindari. Jenderal-jenderal ini juga mendorong adanya tindakan tersebut karena mereka mengetahui bahwa masyarakat dan perusahaannya bisa membantu perekonomian Indonesia yang pada waktu itu sangat lemah (Suryadinata; 2002; hal 92-93). Dari ini, bisa dilihat bahwa walaupun pemerintahan Suharto menginginkan pembauran lengkap antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat bukan Tionghoa, mereka masih memperbolehkan aktivitas dan undang-undang yang mendorong dan memperkuat identitas etnis Tionghoa yang terpisah. Misalnya perbedaan perlakuan yang diterima masyarakat Tiongoa dicerminkan dalam:

Keppres No. 14A/1980. Undang ini berarti bahwa semua lembaga pemerintah dan kementerian harus memberikan perlakuan istemewa kepada pengusaha pribumi. Itu juga mewajibkan bahwa di mana ada patungan antara seorang Pribumi dan seorang bukan pribumi, pengusaha Pribumi harus memilik 50% dari nilai perusahaan dan juga harus memegang peranan aktif dalam menjalankan perusahaannya (Suryadinata; 2002; hal 91).

 Sistem Cukong adalah contoh yang lain di mana praktis pemerintahan Suharto menentang kebijikannya terhadap masyarakat keturunan Tionghoa dan pembauran. Sistem ini juga dihasilkan dari keputusan di atas, yaitu membatasi Tionghoa dalam aktivitas ekonomi. Sistem Cukong ini berasal dari sistem ‘Ali-Baba’ dan sistem Benteng yang berada selama permerintahan Soekarno (Suryadinata; 2002; hal 91). Sistem Cukong ini adalah patungan di bidang bisnis antara seorang Tionghoa dan seorang Pribumi. Tidak seperti sistem ‘Ali-Baba’, sistem Cukong hanya memanfaatkan orang pribumi yang sudah berkuasa. Biasanya dalam hubungan ini, Si Pribumi menyediakan surat izin dan fasilitas, sedangkan Si Tionghoa menanamkan modal dalam bisnis, dan menjalankan itu (Suryadinata; 2002; hal 91). Akan tetapi aktivitas, praktek, dan hukum ini semuanya membantu masyarakat Tionhgoa memperkuat posisi terpisah dari masyarakat lain.

Selain di bidang perekonomian, masih ada hukum-hukum dalam bidang yang lain yang bertentangan tujuannya dalam pembauran lengkap selama Orde Baru. Syarat yang masih diteruskan sampai sekarang adalah KTP (Kartu Tanda Penduduk) orang keturunan Tionghoa, yang masih punya berbeda nomor identifikasi daripada nomor yang berada pada KTP bukan Tionghoa (Suryadinata; 2002; hal 98). Tindakan ini sebenarnya mengidentifikasikan orang Tionghoa dari masyarakat bukan Tionghoa, yang harus menentang sebuah kebijakan yang bertujuan membuat setiap orang berbudaya dan beridentitas yang sama. Dalam kata kata Leo Suryadinata perlakuan ini dalam realita ini “...telah melestarikan identitas etnis Tionghoa” (Suryadinata; 2002; hal 98).

Akibatnya, dari pembicaraan sejarah di atas, bisa disimpulkan bahwa di seluruh Indonesia dan selama beberapa periode yang berbeda dalam sejarah daerahnya, sudah ada masyarakat Tionghoa yang terpisah dari orang-orang setempat. Jadi tidak mengherankan kalau ada identitas kebudayaan atau etnis Tionghoa yang masih kuat. Mengingat sejarah orang-orang Tionghoa dan keberadaan mereka di Indonesia usaha yang mencapai pembauran lengkap dulu, relatif baru dan tidak lama. Faktor ini dan identitas terpisah yang bersejarah berarti bahwa pembauran lengkap, yaitu penghapusan kebudayaan Tiongoa, akan sulit dicapai. Akan tetapi keberadaan hukum-hukum yang mendorong tujuan pembauran lengkap berarti hanya memberi kesempatan yang sempit meraih pembauran semacam ini.

Ditulis Oleh : Unknown // 11:42 PM
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment