Sejarah kebijakan pemerintahan terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia
Banyak dari kebijakan dan undang-undang yang mengenai
keturunan Tionghoa menyebabkan timbulnya batasan-batasan yang menahan
perkembangan identitas kebudayaan Tionghoa. Pada bagian ini saya akan membahas
mengenai alasan-alasan diterapkannya kebijakan dan undang-undang tersebut,
sebelum mendiskusikan berhasil mencapai tujuannya. Untuk mengetahui
alasan-alasan tersebut, menurut saya, sangat penting untuk mempelajari sejarah
dan kebiasaan masyarakat yang mendasari dibuatnya undang-undang tersebut.
Bahkan sebelum penjajah Belanda menciptakan tiga kelompok
etnik sosial yang memiliki peraturan peraturan yang berbeda sama satu lainnya,
imigran Tionghoa yang sudah tiba di Indonesia dan memiliki derajat yang
berbeda-beda, masih mencoba mempertahankan identitas etnis aslinya. Beberapa
dari keturunan Tionghoa ini memutuskan untuk menikah dan membangun keluarga
dengan warga pribumi. Hal ini disebabkan
karena di masa dinasti Ming (Qing) di Tiongkok, keturunan Tionghoa yang
meninggalkan tanah airnya akan dilarang untuk kembali lagi ke daratan Tiongkok
(Suryadinata; 2002; hal 70). Oleh karena itu mereka berusaha untuk menciptakan
dan membangun keluarga baru di Indonesia. Kelompok tersebut menggunakan bahasa
daerah di tempat tinggalnya sebagai bahasa sehari-hari, di lain pihak mereka
masih menganut adat istiadat Tionghoa seperti berdoa menurut kepercayaan
Tionghoa tradisional (Greif; 1991; hal 1-3) atau memperingati tahun Tionghoa
baru (Imlek). Kelompok ini disebut ‘Peranakan’ Tionghoa.
Selanjutnya, pada saat pengusaha-pengusaha Belanda
membutuhkan pekerja-pekerja kasar atau ‘kuli’ untuk bekerja di perkebunan dan
pertambangan, akan didatangkan orang orang keturunan Tionghoa yang berasal dari
kelompok yang berbeda. Kelompok ini berbeda dari kelompok Peranakan Tionghoa
karena kelompok ini akan diantarkan keluarganya ke Indonesia dan mereka akan
mempertahankan ‘kemurnian’ keturunannya (Greif; 1991; hal 3). Kelompok ini
disebut ‘Totok’ Tionghoa. Dan kelompok ini tidak memiliki kesetiaan terhadap
penjajah Belanda atau penduduk setempat, karena menurut mereka Indonesia hanya
tempat sementara (Greif; 1991; hal 3) di mana mereka bisa mendapatkan dan
mengirim cukup dana ke tanah airnya Tiongkok. Mereka merasa akan lebih baik
jika mereka dapat kembali ke Tiongkok setelah mereka berhasil memperoleh apa
yang mereka inginkan. Dapat diketahui bahwa Peranakan dan Totok masih ingin
memelihara identitas Tionghoanya, yang terpisah dari orang Pribumi. Keputusan
ini membuat mereka menjadi sumber kecurigaan bagi masyarakat Pribumi, selama
dan sesudah perjuangan Kemerdekaan Indonesia dan periode periode selanjutnya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada tahun 1907,
pemerintah Belanda membagi kependudukan di Indonesia dalam tiga kelompok.
Peranakan dan Totok Tionghoa berada pada kelompok yang dinamakan ‘Timur Asing’
atau ‘Eastern Orientals’ (Greif; 1991; hal xi). Kedudukan kelompok ini berada
di antara kelompok orang-orang Pribumi dan kelompok warga negara Belanda, yang tentu
saja menduduki posisi paling utama. Ini adalah usaha yang sengaja dilakukan
oleh penjajah Belanda untuk mempertahankan keterpisahan masyarakat Tionghoa dan
penduduk Pribumi yang disebut ‘Divide and Rule’. Hal ini disebabkan oleh
adanya kekhawatiran jikalau masyarakat Tionghoa bersatu dengan orang Pribumi,
sebab jika mereka bersatu mereka akan memiliki kekuatan untuk menentang
penjajahan Belanda di Indonesia (Suryadinata; 2002; hal 8). Usaha ini
dimaksudkan penjajah Belanda untuk memperburuk pandangan orang Pribumi terhadap
keturunan Tionghoa. Salah satu contoh dari usaha tersebut adalah hak istemiwa
terhadap keturunan Tionghoa seperti pendidikan dan kesempatan untuk menjadi
warga negara Belanda, yang dapat menciptakan kesempatan kerja yang lebih baik. Keuntungan
yang lain sebagai keturunan Tionghoa, khususnya kelompok Peranakan, memilih
peluang bekerja untuk pemerintahan dan pengusaha Belanda sebagai perantara,
karena sebagian dari mereka menguasai bahasa Belanda dan bahasa setempat.
Akibat dari perbedaan status ini, penduduk setempat merasa adanya ketidakadilan
yang membuat mereka iri dan marah. Jadi tidak hanya keinginan identitas
terpisah saja yang menciptakan perasaan curiga di antara penduduk setempatk,
tetapi juga, proses pemisahan dan timbulnya prasangka yang dengan sengaja
diciptakan oleh penjajah Belanda. Perasaan inilah yang terbawa hingga saat ini.
Kelompok Peranakan terbagi menjadi dua kelompok politik,
kelompok pertama adalah Chung Hwa Hui (CHH) ini, mereka mendukung
penjajah Belanda (Suryadinata; 1978; hal 54). Kelompok kedua adalah Partai
Tionghoa Indonesia (PTI) yang mendukung Gerakan Kemerdekaan Indonesia
(Suryadinata; 1978; hal 56). Beberapa tokoh dari partai ini berjuang bersama
dengan tokoh tokoh lain bukan keturunan Tionghoa untuk kemerdekaan Indonesia.
Namun Kenyataan ini sering dilupakan oleh masyarakat Indonesia dan Penulis
sejarah (Suryadinata; 2002; hal 21-23). Pada sisi lain sebagian besar
masyarakat Totok merasa hanya daratan Tiongkok yang bisa mewakili dan
melindungi kepentingan merkeka, sehingga mereka tidak memiliki kesetiaan
politik terhadap penjajah Belanda atau kependudukan setempat (Suryadinata;
1978; hal 53). Oleh karena itu keturunan Tionghoa dianggap tidak memiliki
ketentuan politik, yang pada akhirnya menimbulkan kesan bahwa kesetiaan dan
kesungguhan hati mereka terhadap Indonesia tidak bisa diandalkan (Suryadinata;
1978; hal 21-22). Terlebih lagi dengan adanya Gerakan Nasionalis Cina yang
mempengaruhi kelompk Totok untuk lebih men-cina-kan diri lagi dari warga Pribumi
pada masa sebelum penjajahan Jepang (Greif; 1991; hal 6), yang memberi kesan
kesetiaan masyarakat Tionghoa lebih besar terhadap Tiongkok daripada Indonesia.
Metode ‘Divide and Rule’ terhadap keturunan
Tionghoa terbawa terus sampai masa penjajahan Jepang pada periode Perang Dunia
Kedua (PDII). Penjajah Jepang dengan sengaja memisahkan dan memaksa orang-orang
keturunan Tionghoa untuk belajar di sekolah yang dibuat khusus untuk mereka,
dan mereka diharuskan untuk menggunakan bahasa Mandarin dalam proses belajar
mengajar (Suryadinata; 1978; hal 147).
Lebih dari itu mereka jugh diharapkan untuk berbahasa Mandarin di luar
jam sekolah. Beberapa orang keturunan Tionghoa juga diperkerjakan oleh tentara
Jepang sebagai seorang mata mata. Hal ini menyebabkan bertambahnya pandangan
buruk terhadap Keturunan Tionghoa. Karena mereka dianggap membantu penjajah
Jepang, yang tentu saja sangat dibenci karena perlakuan mereka yang sangat
kejam terhadap masyarakat pribumi. Selain itu penduduk keturunan Tionghoa
merasa bimbang dan mengalami kesulitan dalam menentukan masa depan mereka.
Beberapa dari mereka masih merasa seperti penduduk asing di Indonesia, walaupun
mereka memiliki kehidupan di Indonesia. Dengan adanya penjajahan oleh Belanda
dan Jepang, serta hubungan batin yang masih ada dengan Tiongkok, tetapi
Indonesia juga, mereka tidak memiliki kepastian harus mendukung pihak yang
mana. Seperti yang diucapkan Liem Koen Hian, pendiri PTI (Partai Tionghoa
Indonesia), walaupun Peranakan Tionghoa memiliki kebudayaan yang cenderung
lebih mencerminkan Indonesia, kedudukan keturunan Tionghoa akan terombang
ambing selama situasi Indonesia dan luar negeri yang berubah ubah (Suryadinata;
1978; hal 59). Dan seperti yang telah dibahas sebelumnya, faktor-faktor di
ataslah yang menyebabkan timbulnya ketidaktentuan pilihan masyarakat Tionghoa
di bidang politik.
Mengingat adanya kejadian-kejadian tersebut, tidaklah
mengherankan apabila pada periode saat ‘Dutch East Indies’ menjadi Republik
Indonesia, Presiden dan wakilnya, Soekarno dan Hatta, tidak percayai bahwa
masyarakat Tionghoa memiliki kesetiaan terhadap Republik Indonesia
(Suryadinata; 1978; hal 25-33). Prasangka yang diakibatkan oleh kejadian
bersejarah yang tersebut di atas juga dipengaruhi oleh undang-undang yang
dibuat oleh penjajah Belanda dan Jepang telah menyebabkan timbulnya perasaan
tidak percaya terhadap keturunan Tionghoa selama Zaman ini.
Pada tanggal 30 September 1965 (dikenal G30S/PKI) terjadi
sebuah kudeta yang menimpa Indonesia, dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI) dan pemerintahan Soekarno mencurigai PKI (Partai Komunis Indonesia)
berusaha mengambil alih kekuasaan dan kepemimpinan Indonesia. Kejadian ini
menyebabkan meninggal dunia wafatnya beberapa tokoh-tokoh utama ABRI. Sebagai
negara Komunis terbesar, Tiongkok yang juga merupakan salah satu tetangga
Indonesia, diduga terlibat dalam G30S/PKI dan keberadaan serta pendukungnya
menjadi ancaman terhadap keamanan nasional Indonesia. Keturunan Tionhghoa masih
ingin mempertahankan status kebudayaan mereka walaupun pada periode-periode
sebelumnya mereka masih memiliki ketidakpastian dalam hal politik. Akibatnya,
pemerintah merasa terancam oleh keadaan tersebut di atas karena mereka mengira
bahwa keturunan Tionghoa masih bagian dari Cina Komunis (Suryadinata; 1978; hal
45-47). Oleh karena itu pemerintahan Republik Indonesia harus mendapatkan
kembali kepercayaan masyarakat Tionghoa untuk menjamin keselamatan Indonesia.
Sebab kebanyakan pemimpin termasuk Soekarno dan Hatta, beranggapan bahwa
Indonesia dapat kembali aman apabila seluruh rakyatnya bersatu (Suryadinata;
1978; hal 47). Dan untuk itu, diharapkan tidak adanya perbedaan suku, status,
dan kebudayaan. Akibatnya pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan Asimilasi atau
Pembauran lengkap terhadap keturunan Tionghoa (Greif; 1991; hal xii-xiii) dan
memutuskan untuk mengeluarkan undang-undang guna mencapai tujuan mereka. Berapa
undang-undang diciptakan untuk mendukung keputusan mereka adalah:
Keputusan Presidium Kabinet No.127/U/Kep/12/1966. Undang undang ini mengenai penggantian
nama untuk Warga Negara Indonesia yang memakai nama Tionghoa. Penggantian nama
ini tidaklah wajib untuk keturunan Tionghoa, akan tetapi, pemerintah Orde Baru
berpendapat bahwa usaha ini akan membantu pembauran menjadi lebih cepat.
Kebanyakan anggota masyarakat Tionghoa menentukan untuk mengganti namanya,
tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka memakai nama Tionghoanya (Greif;
1991; hal xvii).
Instruksi Presiden No.14 1967 tentang Agama, Kepercayaan
dan Adat istiadat Cina. Undang-undang ini melarang mengamalkan perayaan Hari Raya Tionghoa,
penggunaan bahasa Tionghoa, dan adat istiadat yang sama, di depan umum. Selain
ini, undang ini, walaupun tidak langsung, menolak agama Kong Hu Chu sebagai
agama resmi Indonesia. Instruksi ini dicabut oleh Keputusan Presiden tentang
Pencabutan Instruksi Presiden No.14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan
Adat istiadat Cina (Burchell; 2004; hal 56).
Surat edaran SE.02/SE Ditjen/PPG/K/1998. Ini melarang penerbitan dan
percetakan tulisan atau iklan beraksara dan yang menggunakan bahasa Mandarin di
depan umum (Tempo; 17 August 2004; hal 36–37). Undang ini dicabut oleh Instruksi
Presiden No.4/1999 dan memperbolehkan pelajaran dan penggunaan Bahasa
Tionghoa (Tempo; 17 August 2004; hal 36-37).
Peraturan Menteri Perumahan No.455.2-360/1988. Ini melarang penggunaan lahan
untuk mendirikan, memperluas, atau memperbarui Klenteng Tionghoa (Tempo; 17
August 2004; hal 36-37).
Keppres 240/1967 tgl. April 1967 tentang Kebijaksanaan pokok
yang menyangkut WNI Keturunan Asing (Greif; 1991; hal xx).
Akan tetapi walaupun undang-undang ini diciptakan untuk
mendorong adanya tujuan pencapaian pembauran lengkap, masih ada beberapa
hukum-hukum, khususnya di bidang perekonomian, yang menentang tujuan tersebut
(Suryadinata; 1978; hal 4). Ini adalah salah satu alasan utama yang menjelaskan
kegagalan undang-undang di atas mencapai pembauran lengkap. Contoh yang paling
jelas yang memperlihatkan fenomena ini adalah keputusan yang diambil di Seminar
Angkatan darat untuk Jenderal-jenderal yang paling tinggi pada tahun 1966
(Suryadinata; 2002; hal 92). Keputusan ini menyebutkan bahwa masyarakat
keturunan Tionghoa seharusnya dibatasi dalam bidang perekonimian sehingga
keterlibatannya dalam bidang yang lain, misalnya, bidang politik bisa dihindari.
Jenderal-jenderal ini juga mendorong adanya tindakan tersebut karena mereka
mengetahui bahwa masyarakat dan perusahaannya bisa membantu perekonomian
Indonesia yang pada waktu itu sangat lemah (Suryadinata; 2002; hal 92-93). Dari
ini, bisa dilihat bahwa walaupun pemerintahan Suharto menginginkan pembauran
lengkap antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat bukan Tionghoa, mereka masih
memperbolehkan aktivitas dan undang-undang yang mendorong dan memperkuat
identitas etnis Tionghoa yang terpisah. Misalnya perbedaan perlakuan yang
diterima masyarakat Tiongoa dicerminkan dalam:
Keppres No. 14A/1980. Undang ini berarti bahwa semua
lembaga pemerintah dan kementerian harus memberikan perlakuan istemewa kepada
pengusaha pribumi. Itu juga mewajibkan bahwa di mana ada patungan antara
seorang Pribumi dan seorang bukan pribumi, pengusaha Pribumi harus memilik 50%
dari nilai perusahaan dan juga harus memegang peranan aktif dalam menjalankan
perusahaannya (Suryadinata; 2002; hal 91).
Sistem Cukong
adalah contoh yang lain di mana praktis pemerintahan Suharto menentang
kebijikannya terhadap masyarakat keturunan Tionghoa dan pembauran. Sistem ini
juga dihasilkan dari keputusan di atas, yaitu membatasi Tionghoa dalam
aktivitas ekonomi. Sistem Cukong ini berasal dari sistem ‘Ali-Baba’ dan sistem
Benteng yang berada selama permerintahan Soekarno (Suryadinata; 2002; hal 91).
Sistem Cukong ini adalah patungan di bidang bisnis antara seorang Tionghoa dan
seorang Pribumi. Tidak seperti sistem ‘Ali-Baba’, sistem Cukong hanya
memanfaatkan orang pribumi yang sudah berkuasa. Biasanya dalam hubungan ini, Si
Pribumi menyediakan surat izin dan fasilitas, sedangkan Si Tionghoa menanamkan
modal dalam bisnis, dan menjalankan itu (Suryadinata; 2002; hal 91). Akan
tetapi aktivitas, praktek, dan hukum ini semuanya membantu masyarakat Tionhgoa
memperkuat posisi terpisah dari masyarakat lain.
Selain di bidang perekonomian, masih ada hukum-hukum
dalam bidang yang lain yang bertentangan tujuannya dalam pembauran lengkap
selama Orde Baru. Syarat yang masih diteruskan sampai sekarang adalah KTP
(Kartu Tanda Penduduk) orang keturunan Tionghoa, yang masih punya berbeda nomor
identifikasi daripada nomor yang berada pada KTP bukan Tionghoa (Suryadinata;
2002; hal 98). Tindakan ini sebenarnya mengidentifikasikan orang Tionghoa dari
masyarakat bukan Tionghoa, yang harus menentang sebuah kebijakan yang bertujuan
membuat setiap orang berbudaya dan beridentitas yang sama. Dalam kata kata Leo
Suryadinata perlakuan ini dalam realita ini “...telah melestarikan identitas
etnis Tionghoa” (Suryadinata; 2002; hal 98).
Akibatnya, dari pembicaraan sejarah di atas, bisa
disimpulkan bahwa di seluruh Indonesia dan selama beberapa periode yang berbeda
dalam sejarah daerahnya, sudah ada masyarakat Tionghoa yang terpisah dari
orang-orang setempat. Jadi tidak mengherankan kalau ada identitas kebudayaan
atau etnis Tionghoa yang masih kuat. Mengingat sejarah orang-orang Tionghoa dan
keberadaan mereka di Indonesia usaha yang mencapai pembauran lengkap dulu,
relatif baru dan tidak lama. Faktor ini dan identitas terpisah yang bersejarah
berarti bahwa pembauran lengkap, yaitu penghapusan kebudayaan Tiongoa, akan
sulit dicapai. Akan tetapi keberadaan hukum-hukum yang mendorong tujuan
pembauran lengkap berarti hanya memberi kesempatan yang sempit meraih pembauran
semacam ini.
0 komentar:
Post a Comment