Dalam penjelasan ini diuraikan hasil pelaksanaan sampai dengan pertengahan 2004 berbagai kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi menurut Propenas 2000–2004. Sebagaimana tercantum di dalam Prioritas Pembangunan Nasional, kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi tersebut adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan agenda ketiga Propenas, yaitu mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Rumusan agenda ketiga tersebut mengambil referensi dari amanat GBHN 1999–2004 untuk pembangunan ekonomi, baik jangka pendek maupun jangka menengah. Di dalam koordinasi penyelenggaraan Kabinet, agenda ketiga tersebut selanjutnya diterjemahkan kedalam satu program pokok bernama “normalisasi kehidupan ekonomi dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian rakyat.”
Secara umum, pelaksanaan pembangunan berbagai kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi telah berhasil mengembalikan stabilitas ekonomi makro yang cukup kuat bagi landasan kebangkitan ekonomi ke depan. Namun demikian, berbagai upaya pembangunan dalam rangka mewujudkan kebangkitan ekonomi masih tersendat karena beratnya permasalahan yang dihadapi akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sebagaimana disadari, krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis moneter tahun 1997 tersebut menampakkan kelemahan fundamental di dalam penyelenggaraan perekonomian nasional. Kelemahan tersebut mengakibatkan banyak distorsi ekonomi yang memperburuk ketahanan ekonomi nasional di saat menghadapi krisis, menimbulkan berbagai bentuk kesenjangan sosial yang rentan terhadap gejolak, serta menghambat penyebaran pemerataan pembangunan ke berbagai daerah.
Secara umum, pelaksanaan pembangunan berbagai kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi telah berhasil mengembalikan stabilitas ekonomi makro yang cukup kuat bagi landasan kebangkitan ekonomi ke depan. Namun demikian, berbagai upaya pembangunan dalam rangka mewujudkan kebangkitan ekonomi masih tersendat karena beratnya permasalahan yang dihadapi akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sebagaimana disadari, krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis moneter tahun 1997 tersebut menampakkan kelemahan fundamental di dalam penyelenggaraan perekonomian nasional. Kelemahan tersebut mengakibatkan banyak distorsi ekonomi yang memperburuk ketahanan ekonomi nasional di saat menghadapi krisis, menimbulkan berbagai bentuk kesenjangan sosial yang rentan terhadap gejolak, serta menghambat penyebaran pemerataan pembangunan ke berbagai daerah.
Langkah untuk menciptakan normalisasi kehidupan ekonomi dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian rakyat dapat dipandang sebagai satu arah sekaligus komitmen untuk menyelesaikan berbagai permasalahan ekonomi sebagaimana diuraikan di atas. Dalam jangka menengah kali ini (2000 – 2004), langkah tersebut berkenaan dengan tujuan yang titikberatnya adalah pada upaya: (1) menanggulangi kemiskinan dan berbagai bentuk kesenjangan sosial serta memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, (2) mengembangkan basis perekonomian bagi kelompok usaha skala kecil dan menengah, dan (3) menciptakan serta mempertahankan stabilitas ekonomi dan keuangan. Ketiga hal di atas selanjutnya menjadi spirit bagi penyelenggaraan berbagai upaya di dalam rangka membangun sekaligus memperkuat landasan pembangunan ekonomi jangka panjang ke arah peningkatan kesejahteraan ekonomi yang berkelanjutan, yang lebih berdaya tahan dan lebih berkeadilan.
Dalam rangka melaksanakan agenda ketiga Propenas, diselenggarakan sejumlah kebijakan dan program-program pembangunan yang pada prinsipnya menterjemahkan kebutuhan penyelesaian permasalahan jangka pendek dan jangka menengah-panjang sebagaimana diuraikan terdahulu. Kebijakan dan program-program pembangunan tersebut dikategorikan ke dalam 7 (tujuh) kelompok, yaitu sebagai berikut:
1. Menanggulangi kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat
2. Mengembangkan usaha skala mikro, kecil, menengah, dan koperasi
3. Menciptakan stabilitas ekonomi dan keuangan
4. Memacu peningkatan daya saing
5. Meningkatkan investasi
6. Menyediakan sarana dan prasarana penunjang pembangunan ekonomi
7. Memanfaatkan kekayaan sumber daya alam secara berkelanjutan
Keseluruhan jumlah programnya sendiri adalah 39 program. Masing-masing kelompok program diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan jangka pendek (1-2 tahun), yang prioritaskan pada program-program percepatan pemulihan ekonomi, mengatasi masalah-masalah kemiskinan dan pengangguran yang meningkat pesat, serta permasalahan jangka menengah-panjang yaitu membangun kerangka dasar pembangunan ekonomi yang berkeadilan, berdaya tahan dan berdaya saing tinggi.
Pertama: menanggulangi kemiskinan dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Pemerintah telah secara tegas menetapkan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu prioritas pembangunan sebagaimana termuat di dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2000 tentang Propenas. Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa sasaran yang akan dicapai dalam lima tahun adalah berkurangnya jumlah penduduk miskin absolut sebesar 4% dari tingkat kemiskinan tahun 1999. Upaya penurunan tersebut dilaksanakan melalui: (1) peningkatan pendapatan masyarakat miskin sehingga masyarakat miskin memperoleh peluang, kemampuan pengelolaan, dan perlindungan untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam berbagai kegiatan ekonomi, social budaya, politik dan hokum, (2) pengurangan pengeluaran masyarakat miskin dalam mengakses kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang mempermudah dan mendukung kegiatan sosial ekonomi.
Dalam rangka melaksanakan agenda ketiga Propenas, diselenggarakan sejumlah kebijakan dan program-program pembangunan yang pada prinsipnya menterjemahkan kebutuhan penyelesaian permasalahan jangka pendek dan jangka menengah-panjang sebagaimana diuraikan terdahulu. Kebijakan dan program-program pembangunan tersebut dikategorikan ke dalam 7 (tujuh) kelompok, yaitu sebagai berikut:
1. Menanggulangi kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat
2. Mengembangkan usaha skala mikro, kecil, menengah, dan koperasi
3. Menciptakan stabilitas ekonomi dan keuangan
4. Memacu peningkatan daya saing
5. Meningkatkan investasi
6. Menyediakan sarana dan prasarana penunjang pembangunan ekonomi
7. Memanfaatkan kekayaan sumber daya alam secara berkelanjutan
Keseluruhan jumlah programnya sendiri adalah 39 program. Masing-masing kelompok program diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan jangka pendek (1-2 tahun), yang prioritaskan pada program-program percepatan pemulihan ekonomi, mengatasi masalah-masalah kemiskinan dan pengangguran yang meningkat pesat, serta permasalahan jangka menengah-panjang yaitu membangun kerangka dasar pembangunan ekonomi yang berkeadilan, berdaya tahan dan berdaya saing tinggi.
Pertama: menanggulangi kemiskinan dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Pemerintah telah secara tegas menetapkan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu prioritas pembangunan sebagaimana termuat di dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2000 tentang Propenas. Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa sasaran yang akan dicapai dalam lima tahun adalah berkurangnya jumlah penduduk miskin absolut sebesar 4% dari tingkat kemiskinan tahun 1999. Upaya penurunan tersebut dilaksanakan melalui: (1) peningkatan pendapatan masyarakat miskin sehingga masyarakat miskin memperoleh peluang, kemampuan pengelolaan, dan perlindungan untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam berbagai kegiatan ekonomi, social budaya, politik dan hokum, (2) pengurangan pengeluaran masyarakat miskin dalam mengakses kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang mempermudah dan mendukung kegiatan sosial ekonomi.
Realisasi untuk mewujudkan agenda pemerintah tersebut dalam tahun anggaran 2003, ditangani melalui berbagai sektor yaitu: pendidikan, kesehatan, kemampuan usaha, perlindungan sosial, dan perbaikan kebijakan yang menyangkut kepentingan penduduk miskin. Oleh karena itu, pemerintah tidak akan mampu menangani sendiri maslah kemiskinan tersebut maka pemerintah tetap harus mendorong sektor swasta untuk turut serta dalam penanganan kemiskinan seperti perbankan untuk menyalurkan kredit kepada masyarakat miskin, usaha besar untuk dapat menarik tenaga kerja masyarakat miskin atau melalui kemitraan usaha. Disamping itu pemerintah juga harus memberikan peluang kepada keterlibatan masyarakat luas untuk memberikan perhatian kepada masyarakat miskin seperti jalur perlindungan sosial yang selama ini telah berjalan seperti dompet dhuafa, dll.
Dalam pelaksanaannya, berbagai program penanggulangan kemiskinan dihadapkan pada tantangan yang terkait dengan beberapa permasalahan operasional seperti belum adanya sistem pendataan yang akurat dan terintegrasi, ketidaktepatan sasaran, belum berjalannya sistem pemantauan dan evaluasi yang menyeluruh terhadap berbagai program, lemahnya keterpaduan antar program, masih tersendatnya desentralisasi urusan penanggulangan kemiskinan dan kurang memadainya strategi keberlanjutan yang konkrit. Hal ini terkait dengan belum terpenuhinya prasarat yang ada dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan yang holistik dan terpadu, yakni: mekanisme koordinasi pengelolaan berbagai program penanggulangan kemiskinan antar sektor maupun antara perdesaan dengan perkotaan, prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik dalam perencanaan dan pelaksanaan upaya penanggulangan kemiskinan, sistem data yang akurat dan terintegrasi serta mudah diakses berbagai pihak terkait, dan sistem pemantauan dan evaluasi secara berkelanjutan.
Rencana tindak lanjut untuk mempercepat pengurangan kemiskinan adalah (i) optimalisasi pemanfaatan APBN dan APBD, (ii) penajaman program, (iii) sinkronisasi kegiatan perencanaan, sasaran program, pelaksanaan program, dan pemantauan program langsung penanggulangan kemiskinan, (iv) pelibatan ornop dan perguruan tinggi dalam kegiatan pemantauan, dan (v) percepatan pelaksanaan penyediaan kredit mikro, kecil dan menengah oleh bank atau lembaga keuangan lainnya, serta penyediaan bantuan teknis/program pendampingan dan penguatan kelembagaan, sebagai hasil dari kesepakatan Pemerintah dan Bank Indonesia.
Ketahanan pangan merupakan hal yang paling esensial untuk menjamin ketahanan nasional. Berkenaan dengan itu, kebijakan pokok pembangunan pertanian adalah kebijakan promosi dan proteksi, yang diarahkan untuk memantapkan ketahanan pangan nasional yang terutama disandarkan pada produksi pangan dalam negeri, meningkatkan daya saing produk pertanian serta kesejahteraan petani. Kebijakan promosi dilaksanakan melalui berbagai dukungan dan fasilitasi Pemerintah kepada masyarakat untuk mendorong peningkatan produktivitas dan produksi padi dan bahan pangan lainnya, sehingga efisiensi dan daya saing beras di pasar dalam negeri meningkat sehingga dapat menurunkan tingkat ketergantungan konsumsi pangan dari produk impor. Dalam jangka pendek, upaya tersebut telah berhasil meningkatkan produksi padi dan bahan pangan lainnya. Produksi padi dalam tahun 2004 mencapai 53,67 juta ton gabah, yang merupakan angka produksi tertinggi dalam sejarah pertanian Indonesia.
Di samping itu, kebijakan proteksi diterapkan untuk melindungi petani dari dampak negatif atas produk impor yang merugikan produsen. Dalam hal ini Pemerintah menerapkan kebijakan tarif bea masuk bagi impor beras sebesar Rp 430/kg, dan dalam tahun 2004 telah diterapkan instrumen kebijakan pelarangan impor beras selama periode sebulan sebelum dan dua bulan sesudah masa panen raya, atau dari Januari hingga Agustus 2004.
Upaya membatasi impor gula juga dilakukan guna memberikan perlindungan bagi petani tebu karena masih adanya impor gula terutama pada saat musim giling. Kebijakan yang diambil untuk membatasi impor gula tersebut sebagai berikut. Pertama, hanya importir produsen (IP) gula yang boleh mengimpor gula kristal mentah atau gula kasar (raw sugar) dan gula kristal rafinasi (refined sugar). Kedua jenis gula tersebut hanya boleh dipergunakan sebagai bahan baku proses industri yang dimiliki oleh importir produsen gula dan gula impor tersebut dilarang diperjual-belikan ataupun dipindah-tangankan. Kedua, impor hanya diperbolehkan jika harga gula di tingkat petani sudah mencapai Rp3.100 per kilogram dan importir yang diperbolehkan adalah perusahaan yang 75 persen bahan bakunya diperoleh dari petani tebu atau merupakan hasil kerjasamanya dengan petani setempat.
Walaupun perekonomian tumbuh sebesar 4,1 persen pada tahun 2003, namun pertumbuhan ekonomi ini masih belum mampu mengurangi jumlah penganggur terbuka sebagaimana yang diharapkan. Pada tahun 2003, jumlah penganggur terbuka yang tidak dapat diserap dalam pasar kerja sebanyak 9,5 juta orang, dengan tingkat pengangguran sebesar 9,5 persen. Jumlah setengah penganggur, yaitu mereka yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu pada tahun 2003 berjumlah 28,5 juta orang atau sekitar 31,4 persen dari jumlah pekerja keseluruhan.
Salah satu upaya untuk perluasan kesempatan kerja adalah pengiriman Tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Namun, pengiriman TKI ini cenderung menimbulkan dilema karena disatu sisi dapat memberikan manfaat bukan hanya dalam bentuk penerimaan devisa saja dan dapat mengurangi jumlah pengangguran, tetapi disisi lain pengiriman TKI ke luar negeri masih banyak mengalami hambatan, bahkan menimbulkan persoalan. Persoalan yang sering terjadi karena lemahnya sistem informasi lowongan pekerjaan, kurang berjalannya koordinasi antar instansi, dan lemahnya perangkat hukum menimbulkan banyak permasalahan.
Permasalahan lain yang masih mewarnai situasi ketenagakerjaan saat ini adalah suasana hubungan industrial yang belum berjalan secara harmonis. Meningkatnya gejolak unjuk rasa, mulai dari tuntutan terhadap kenaikan upah dan peningkatan kesejahteraan, hingga penolakan terhadap peraturan perundang-undangan, menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan belum memberikan rasa keadilan bagi semua pihak.
Untuk mengurangi dampak negatif yang timbul, pemerintah berupaya mengerahkan segala potensi yang ada dalam rangka menciptakan kesempatan kerja baru seluas-luasnya. Dalam kaitan itu, setidaknya terdapat 3 aspek kebijakan penting yang dilakukan pemerintah. Pertama, mengupayakan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang didorong oleh permintaan domestik serta ekspor, merupakan sumber perluasan kesempatan kerja. Kedua, percepatan penyelesaian restrukturisasi perusahaan sangat mempengaruhi terhadap pulihnya kegiatan di sektor formal, yang akan mendorong perbaikan upah di sektor informal, yang hingga saat ini masih menyerap sebagian besar angkatan kerja. Ketiga, mendorong perbaikan kegiatan ekonomi dan produktivitas di sektor pertanian, usaha kecil menengah (UKM), serta industri berorientasi ekspor yang menyerap tenaga kerja melalui berbagai kebijakan yang dapat mengurangi hambatan investasi dan perdagangan.
Sesuai dengan amanat GBHN 1999-2004 Propenas 2000-2004 menyatakan perlu dikembangkan suatu sistem dana jaminan sosial untuk mencapai kehidupan yang layak bagi masyarakat, terutama untuk fakir miskin dan anak terlantar. Sistem ini dikembangkan secara bertahap untuk menggantikan kegiatan Sistem Jaring Pengaman Sosial yang lebih bersifat darurat selama masa krisis. Pengembangan Sistem Dana Jaminan Sosial bertujuan untuk memberikan perlindungan masa depan bagi keluarga dan kelompok masyarakat yang miskin, terkena musibah bencana alam, pemutusan hubungan kerja, serta yang menderita akibat perubahan sosial ekonomi, kecelakaan dan korban kejahatan. Berdasarkan arahan kebijakan tersebut dilaksanakan dua program pokok, yaitu program pengembangan sistem jaminan sosial dan program asuransi sosial.
Selama beberapa tahun pelaksanaan Propenas, disimpulkan bahwa dua program pokok di atas, memerlukan penyesuaian, oleh karena suatu sistem perlindungan sosial diperlukan untuk memenuhi amanat UUD 1945 dan HAM, sementara suatu sistem jaminan sosial nasional diperlukan sebagai suatu payung pengelolaan dan pelaksanaan kegiatan, tanpa menghilangkan sama sekali skema-skema asuransi yang telah ada. Kekuatan sistem ini justru pada kemantapan skema asuransi sosial yang telah ada baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun berdasarkan kearifan lokal.
Kedua: pemberdayaan usaha skala mikro, kecil, menengah dan koperasi (UKMK). Kebijakan ini merupakan langkah yang strategis dalam meningkatkan dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian dari sebagian terbesar rakyat Indonesia. Kebijakan umum yang dilaksanakan untuk memberdayakan UKMK meliputi: (1) kebijakan penciptaan iklim usaha yang kondusif dalam rangka membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, menjamin adanya kepastian usaha, dan meningkatkan efisiensi ekonomi sebagai prasyarat utama untuk berkembangnya UKMK; (2) kebijakan peningkatan akses kepada sumberdaya produktif untuk meningkatkan kemampuan pengusaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (PKMK) dalam memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia; serta (3) kebijakan pengembangan kewirausahaan dan PKMK berkeunggulan kompetitif, dalam rangka mengembangkan perilaku kewirausahaan serta meningkatkan daya saing UKMK.
Dalam pelaksanaannya, berbagai program penanggulangan kemiskinan dihadapkan pada tantangan yang terkait dengan beberapa permasalahan operasional seperti belum adanya sistem pendataan yang akurat dan terintegrasi, ketidaktepatan sasaran, belum berjalannya sistem pemantauan dan evaluasi yang menyeluruh terhadap berbagai program, lemahnya keterpaduan antar program, masih tersendatnya desentralisasi urusan penanggulangan kemiskinan dan kurang memadainya strategi keberlanjutan yang konkrit. Hal ini terkait dengan belum terpenuhinya prasarat yang ada dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan yang holistik dan terpadu, yakni: mekanisme koordinasi pengelolaan berbagai program penanggulangan kemiskinan antar sektor maupun antara perdesaan dengan perkotaan, prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik dalam perencanaan dan pelaksanaan upaya penanggulangan kemiskinan, sistem data yang akurat dan terintegrasi serta mudah diakses berbagai pihak terkait, dan sistem pemantauan dan evaluasi secara berkelanjutan.
Rencana tindak lanjut untuk mempercepat pengurangan kemiskinan adalah (i) optimalisasi pemanfaatan APBN dan APBD, (ii) penajaman program, (iii) sinkronisasi kegiatan perencanaan, sasaran program, pelaksanaan program, dan pemantauan program langsung penanggulangan kemiskinan, (iv) pelibatan ornop dan perguruan tinggi dalam kegiatan pemantauan, dan (v) percepatan pelaksanaan penyediaan kredit mikro, kecil dan menengah oleh bank atau lembaga keuangan lainnya, serta penyediaan bantuan teknis/program pendampingan dan penguatan kelembagaan, sebagai hasil dari kesepakatan Pemerintah dan Bank Indonesia.
Ketahanan pangan merupakan hal yang paling esensial untuk menjamin ketahanan nasional. Berkenaan dengan itu, kebijakan pokok pembangunan pertanian adalah kebijakan promosi dan proteksi, yang diarahkan untuk memantapkan ketahanan pangan nasional yang terutama disandarkan pada produksi pangan dalam negeri, meningkatkan daya saing produk pertanian serta kesejahteraan petani. Kebijakan promosi dilaksanakan melalui berbagai dukungan dan fasilitasi Pemerintah kepada masyarakat untuk mendorong peningkatan produktivitas dan produksi padi dan bahan pangan lainnya, sehingga efisiensi dan daya saing beras di pasar dalam negeri meningkat sehingga dapat menurunkan tingkat ketergantungan konsumsi pangan dari produk impor. Dalam jangka pendek, upaya tersebut telah berhasil meningkatkan produksi padi dan bahan pangan lainnya. Produksi padi dalam tahun 2004 mencapai 53,67 juta ton gabah, yang merupakan angka produksi tertinggi dalam sejarah pertanian Indonesia.
Di samping itu, kebijakan proteksi diterapkan untuk melindungi petani dari dampak negatif atas produk impor yang merugikan produsen. Dalam hal ini Pemerintah menerapkan kebijakan tarif bea masuk bagi impor beras sebesar Rp 430/kg, dan dalam tahun 2004 telah diterapkan instrumen kebijakan pelarangan impor beras selama periode sebulan sebelum dan dua bulan sesudah masa panen raya, atau dari Januari hingga Agustus 2004.
Upaya membatasi impor gula juga dilakukan guna memberikan perlindungan bagi petani tebu karena masih adanya impor gula terutama pada saat musim giling. Kebijakan yang diambil untuk membatasi impor gula tersebut sebagai berikut. Pertama, hanya importir produsen (IP) gula yang boleh mengimpor gula kristal mentah atau gula kasar (raw sugar) dan gula kristal rafinasi (refined sugar). Kedua jenis gula tersebut hanya boleh dipergunakan sebagai bahan baku proses industri yang dimiliki oleh importir produsen gula dan gula impor tersebut dilarang diperjual-belikan ataupun dipindah-tangankan. Kedua, impor hanya diperbolehkan jika harga gula di tingkat petani sudah mencapai Rp3.100 per kilogram dan importir yang diperbolehkan adalah perusahaan yang 75 persen bahan bakunya diperoleh dari petani tebu atau merupakan hasil kerjasamanya dengan petani setempat.
Walaupun perekonomian tumbuh sebesar 4,1 persen pada tahun 2003, namun pertumbuhan ekonomi ini masih belum mampu mengurangi jumlah penganggur terbuka sebagaimana yang diharapkan. Pada tahun 2003, jumlah penganggur terbuka yang tidak dapat diserap dalam pasar kerja sebanyak 9,5 juta orang, dengan tingkat pengangguran sebesar 9,5 persen. Jumlah setengah penganggur, yaitu mereka yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu pada tahun 2003 berjumlah 28,5 juta orang atau sekitar 31,4 persen dari jumlah pekerja keseluruhan.
Salah satu upaya untuk perluasan kesempatan kerja adalah pengiriman Tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Namun, pengiriman TKI ini cenderung menimbulkan dilema karena disatu sisi dapat memberikan manfaat bukan hanya dalam bentuk penerimaan devisa saja dan dapat mengurangi jumlah pengangguran, tetapi disisi lain pengiriman TKI ke luar negeri masih banyak mengalami hambatan, bahkan menimbulkan persoalan. Persoalan yang sering terjadi karena lemahnya sistem informasi lowongan pekerjaan, kurang berjalannya koordinasi antar instansi, dan lemahnya perangkat hukum menimbulkan banyak permasalahan.
Permasalahan lain yang masih mewarnai situasi ketenagakerjaan saat ini adalah suasana hubungan industrial yang belum berjalan secara harmonis. Meningkatnya gejolak unjuk rasa, mulai dari tuntutan terhadap kenaikan upah dan peningkatan kesejahteraan, hingga penolakan terhadap peraturan perundang-undangan, menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan belum memberikan rasa keadilan bagi semua pihak.
Untuk mengurangi dampak negatif yang timbul, pemerintah berupaya mengerahkan segala potensi yang ada dalam rangka menciptakan kesempatan kerja baru seluas-luasnya. Dalam kaitan itu, setidaknya terdapat 3 aspek kebijakan penting yang dilakukan pemerintah. Pertama, mengupayakan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang didorong oleh permintaan domestik serta ekspor, merupakan sumber perluasan kesempatan kerja. Kedua, percepatan penyelesaian restrukturisasi perusahaan sangat mempengaruhi terhadap pulihnya kegiatan di sektor formal, yang akan mendorong perbaikan upah di sektor informal, yang hingga saat ini masih menyerap sebagian besar angkatan kerja. Ketiga, mendorong perbaikan kegiatan ekonomi dan produktivitas di sektor pertanian, usaha kecil menengah (UKM), serta industri berorientasi ekspor yang menyerap tenaga kerja melalui berbagai kebijakan yang dapat mengurangi hambatan investasi dan perdagangan.
Sesuai dengan amanat GBHN 1999-2004 Propenas 2000-2004 menyatakan perlu dikembangkan suatu sistem dana jaminan sosial untuk mencapai kehidupan yang layak bagi masyarakat, terutama untuk fakir miskin dan anak terlantar. Sistem ini dikembangkan secara bertahap untuk menggantikan kegiatan Sistem Jaring Pengaman Sosial yang lebih bersifat darurat selama masa krisis. Pengembangan Sistem Dana Jaminan Sosial bertujuan untuk memberikan perlindungan masa depan bagi keluarga dan kelompok masyarakat yang miskin, terkena musibah bencana alam, pemutusan hubungan kerja, serta yang menderita akibat perubahan sosial ekonomi, kecelakaan dan korban kejahatan. Berdasarkan arahan kebijakan tersebut dilaksanakan dua program pokok, yaitu program pengembangan sistem jaminan sosial dan program asuransi sosial.
Selama beberapa tahun pelaksanaan Propenas, disimpulkan bahwa dua program pokok di atas, memerlukan penyesuaian, oleh karena suatu sistem perlindungan sosial diperlukan untuk memenuhi amanat UUD 1945 dan HAM, sementara suatu sistem jaminan sosial nasional diperlukan sebagai suatu payung pengelolaan dan pelaksanaan kegiatan, tanpa menghilangkan sama sekali skema-skema asuransi yang telah ada. Kekuatan sistem ini justru pada kemantapan skema asuransi sosial yang telah ada baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun berdasarkan kearifan lokal.
Kedua: pemberdayaan usaha skala mikro, kecil, menengah dan koperasi (UKMK). Kebijakan ini merupakan langkah yang strategis dalam meningkatkan dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian dari sebagian terbesar rakyat Indonesia. Kebijakan umum yang dilaksanakan untuk memberdayakan UKMK meliputi: (1) kebijakan penciptaan iklim usaha yang kondusif dalam rangka membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, menjamin adanya kepastian usaha, dan meningkatkan efisiensi ekonomi sebagai prasyarat utama untuk berkembangnya UKMK; (2) kebijakan peningkatan akses kepada sumberdaya produktif untuk meningkatkan kemampuan pengusaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (PKMK) dalam memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia; serta (3) kebijakan pengembangan kewirausahaan dan PKMK berkeunggulan kompetitif, dalam rangka mengembangkan perilaku kewirausahaan serta meningkatkan daya saing UKMK.
Hasil yang dicapai atas pelaksanaan kebijakan tersebut telah ditunjukkan oleh peranan usaha kecil dan menengah (UKM) yang besar dan menunjukkan peningkatan ditinjau dari jumlah unit usaha dan pengusaha, serta kontribusinya terhadap pendapatan nasional, serta penyediaan lapangan kerja. Pada tahun 2003, jumlah UKM sebanyak 42,4 juta unit usaha, yang bagian terbesarnya berupa usaha skala mikro, dan menyerap lebih dari 79,0 juta tenaga kerja. Jumlah unit usaha dan tenaga kerja ini rata-rata per tahunnya meningkat masing-masing 3,15 persen dan 3,1 persen per tahun dari tahun 2000. Kontribusi UKM dalam PDB pada tahun 2003 adalah sebesar 56,7 persen total PDB nasional. Pada tahun 2000 kontribusinya baru mencapai 54,5 persen PDB nasional. Sementara itu sampai dengan tahun 2003, jumlah koperasi meningkat 11.8 persen dibandingkan akhir tahun 2001 yang berjumlah 110 ribu unit, dengan jumlah anggota bertambah 15.4 persen menjadi 27.283 ribu orang dari 23.644 ribu orang pada akhir tahun 2001. Jumlah koperasi yang aktif bertambah 4.800 unit dari 89 ribu unit atau sekitar 80,9 persen dari jumlah koperasi pada tahun 2001 menjadi 93.8 ribu unit atau sekitar 76,3 persen dari jumlah koperasi pada tahun 2003.
Perkembangan kuantitas tersebut belum diimbangi oleh perkembangan kualitas UKMK yang masih menghadapi permasalahan klasik yaitu rendahnya produktivitas. Produktivitas tenaga kerja usaha kecil baru mencapai Rp2,6 juta per tenaga kerja pada tahun 2003, sedangkan usaha menengah sebesar Rp8,7 juta per tenaga kerja. Angka tersebut sangat jauh tertinggal dibandingkan produktivitas tenaga kerja usaha besar yang mencapai Rp1,8 miliar per tenaga kerja. Tingkat produktivitas ini berkaitan erat dengan: (a) rendahnya kualitas SDM terutama dalam manajemen, penguasaan teknologi, dan pemasaran; (b) lemahnya kompetensi kewirausahaan; dan (c) terbatasnya kapasitas UKMK untuk mengakses permodalan, informasi teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Selain itu, terdapat beberapa masalah eksternal UKMK, terutama: (a) besarnya biaya transaksi akibat kurang kondusifnya iklim usaha; (b) praktik persaingan usaha yang tidak sehat; dan (c) keterbatasan informasi dan jaringan pendukung usaha.
Kemampuan UKMK untuk bersaing di era perdagangan bebas, baik di pasar domestik maupun di pasar ekspor, sangat ditentukan oleh dua kondisi utama yang perlu dipenuhi. Pertama, lingkungan internal UKMK mesti kondusif, yang mencakup aspek kualitas sumberdaya manusia, penguasaan teknologi dan informasi, struktur organisasi, sistem manajemen, kultur/budaya bisnis, kekuatan modal, jaringan bisnis dengan pihak luar, dan tingkat kewirausahaan (entrepreneurship). Kedua, lingkungan eksternal harus juga kondusif, yang terkait dengan kebijakan pemerintah, aspek hukum, kondisi persaingan pasar, kondisi ekonomi-sosial-kemasyarakatan, kondisi infrastruktur, tingkat pendidikan masyarakat, dan perubahan ekonomi global.
Di samping itu, otonomi daerah yang diharapkan mampu menumbuhkan iklim usaha yang kondusif bagi UKMK, pelaksanaannya ternyata belum menunjukkan kemajuan yang merata. Sejumlah daerah telah berusaha meningkatkan pelayanan kepada UKMK, sementara di beberapa daerah lain memandang UKMK sebagai sumber pendapatan asli daerah melalui pengenaan pungutan-pungutan baru sehingga biaya usaha UKMK meningkat.
Pada tahun 2003 tercatat laju pertumbuhan PDB UKM menyumbang 60 persen dari laju PDB nasional yang tercatat sebesar 4,1 persen. Dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi nasional ke depan serta mengurangi pengangguran dan sekaligus untuk mampu bersaing dalam pasar global dan dinamika perubahan situasi dalam negeri, maka pengembangan UKM perlu mempertimbangkan aspek potensial yang ada, yaitu: (1) pengembangan UKM yang secara proporsional menerapkan pengembangan perpaduan antara tenaga kerja terdidik dan terampil dengan adopsi penerapan teknologi; (2) UKM di sektor agribisnis dan agroindustri, yang karena prospeknya sangat strategis perlu didukung peningkatan akses dalam pengelolaan usaha, seperti status kepemilikan tanah, teknologi, informasi pasar dan sumberdaya manusia serta oleh berkembangnya wadah organisasi usaha bersama yang sesuai dengan kebutuhan; (3) perluasan sumber permodalan UKM yang memiliki kapasitas dukungan lebih besar seperti perbankan; (4) pengembangan usaha menengah yang kuat, yang merupakan pilihan strategis yang dapat diandalkan untuk mendukung proses industrialisasi, perkuatan keterkaitan industri, percepatan pengalihan teknologi, dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Peran ini juga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan industri besar nasional terhadap impor input antara; (5) penyederhanaan prosedur pendaftaran usaha dan penyediaan insentif bagi usaha informal, khususnya yang berskala mikro, yang diprioritaskan dalam rangka perlindungan, kesetaraan berusaha dan kontinuitas peningkatan pendapatan; dan (6) pengintegrasian pengembangan usaha dalam konteks pengembangan regional.
Ketiga: menciptakan stabilitas ekonomi dan keuangan. Program ini bertujuan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi peningkatan investasi dan ekspor yang sangat penting bagi percepatan pemulihan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Koordinasi dan sinkronisasi dari program-program ekonomi telah berperan pada menguatnya nilai Rupiah dan menurunnya laju inflasi. Pada periode tahun 2001 – 2003, nilai Rupiah menguat dari rata-rata tahunan sebesar Rp 10.210 (tahun 2001) menjadi Rp 8.572/US$ (2003). Pada periode yang sama, menguatnya nilai Rupiah telah membantu menurunkan laju inflasi dari 11,9% menjadi 5,06%. Seiring dengan itu, tingkat suku bunga juga menurun. Tingkat suku bunga SBI (3 bulan) menurun sekitar separuh dari 17,6% (2001) menjadi 8,3%(2003). Adapun tingkat suku bunga kredit modal kerja dan investasi juga menurun, meskipun dengan laju yang lebih lambat, yaitu masing-masing dari 19,2% dan 17,9% (2001) menjadi 15,1% dan 15,7% (2003).
Stabilitas makro telah memberikan pondasi bagi pemulihan ekonomi. Namun di samping itu diperlukan restrukturisasi perbankan, guna menyehatkan kembali perbankan dan penyelesaian utang perusahaan agar kegiatan usaha perusahaan-perusahaan tersebut dapat bergerak kembali. Dengan demikian akan terjadi sinergi antara sektor keuangan dengan sektor riil dalam mendorong perekonomian.
Restrukturisasi utang swasta antara lain ditempuh melalui Prakarsa Jakarta dan restrukturisasi yang dilaksanakan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Prakarsa Jakarta bertugas sampai dengan akhir Desember 2003 dan berhasil melakukan restrukturisasi sebanyak 96 kasus dengan nilai utang US$ 20,5 miliar dari 102 kasus yang terdaftar dengan total utang sebesar US$ 26,9 miliar. Dari 96 kasus yang dapat diselesaikan tersebut, perinciannya adalah 20 kasus senilai US$ 4,2 miliar mencapai tahap MOU dan 76 kasus senilai US$ 16,3 miliar mencapai perjanjian restrukturisasi hutang yang legally bindding (kreditor dan debitor sudah terikat dalam sebuah perjanjian yang berkekuatan hukum).
Sementara itu, jumlah kredit yang dialihkan dan harus direstrukturisasi oleh BPPN adalah sebanyak lebih dari 370.000 ribu rekening milik lebih dari 200.000 debitur. Dalam pelaksanaannya, gejolak iklim politik dan ekonomi makro sepanjang 1999 – 2001 menyebabkan restrukturisasi berjalan tersendat. Oleh karena itu, pada tahun 2002 melalui SK Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) no. Kep.01/K.KKSK/05/2002 tanggal 13 Mei 2002. Terobosan BPPN menekankan pada perlunya diberikan fokus penyelesaian restrukturisasi khusus bagi aset-aset yang bersifat strategis, yaitu pinjaman yang memiliki dampak nasional yang cukup besar. Pencapaian penyelesaian asset kredit oleh Aset Manajemen Kredit (AMK) hingga tahun 2003 mencapai total penerimaan sebesar Rp77,09 triliun dengan total pengalihan awal sebesar Rp270,43 triliun. Khusus untuk penyelesaian kredit Usaha Kecil dan Menegah (UKM) hingga tahun 2003 mencapai 98% meliputi 239.440 debitur dengan nilai ATK sebesar Rp29,02 triliun.
Dengan membaiknya stabilitas makro dan kemajuan dalam penyelesaian utang perusahaan, telah memungkinkan laju pertumbuhan kredit mencapai 11,9% (2001), 14,4%(2002), dan 15,9% (2003). Seiring dengan itu, loan to deposit ratio (LDR) meningkat meskipun belum mencapai tingkat pra krisis, yaitu dari 33,0% (2001) menjadi 43,2% (2003). Secara lebih menyeluruh, melalui program restrukturisasi perbankan, kondisi bank telah menjadi lebih sehat. Rasio kecukupan modal selama 2001-2003 (capital adequacy ratio/CAR) mencapai sekitar 20% dengan non-performing loans (NPL-gross) menurun dari 12,1% 2001 menjadi 6,8%. Kinerja lembaga keuangan bukan bank, seperti asuransi dan lembaga pembiayaan juga menunjukkan perbaikan, antara lain tercermin dari meningkatnya premi bruto untuk asuransi dari 1,6% PDB (2001) menjadi 1,9% PDB (2002), naiknya kegiatan usaha lembaga pembiayaan dari Rp30,8 triliun (2001) menjadi Rp 40,4 triliun (2003) serta omzet perum pergadian dari Rp6,0 triliun (2001) menjadi Rp8,8 triliun (2003).
Kedepan, perlu dilakukan langkah untuk memperkokoh kinerja dan ketahanan sektor keuangan melalui berbagai penyempurnaan pengaturan dan kelembagaan yang diperlukan guna mencapai tujuan tersebut. Sementara itu, stabilitas makro harus tetap terjaga agar iklim usaha lebih kondusif. Untuk itu, di samping melalui koordinasi dan sinkronisasi program-program ekonomi seperti diuraikan di atas, konsolidasi fiskal juga perlu dilanjutkan.
Selama 3 tahun terakhir, melalui konsolidasi fiskal telah diturunkan defisit anggaran secara bertahap dari 2,8% PDB (2001) menjadi 2,1% PDB (2003) dan direncanakan menjadi 1,2% PDB pada tahun 2004. Sementara itu, rasio stok hutang pemerintah terhadap PDB (tidak termasuk pinjaman kepada IMF) dapat diturunkan dari sekitar 87% pada akhir 2001 menjadi sekitar 69% PDB (2003) dan direncanakan menjadi sekitar 60% PDB (2004). Dalam kaitan ini, pelaksanaan perimbangan keuangan pusat dan daerah perlu dikelola agar di satu sisi meningkatkan kemampuan daerah dalam melaksanakan kewenangannya namun di sisi lain tetap selaras dengan upaya menjaga ketahanan fiskal.
Keempat: memacu peningkatan daya saing. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan ekspor nonmigas, termasuk pariwisata, dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Untuk itu dalam jangka pendek dilakukan langkah-langkah untuk memacu pemanfaatan kapasitas industri yang menganggur melalui pengurangan hambatan perdagangan dalam dan luar negeri serta peningkatan pembiayaan perdagangan. Dalam jangka menengah dilakukan langkah-langkah untuk meningkatkan daya saing, antara lain, dengan terus memperkuat institusi pasar, serta mengembangkan industri berkeunggulan kompetitif berlandaskan keunggulan komparatif didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Sampai dengan pelaksanaan tahun ke-4 Propenas 2000-2004, diperoleh indikasi pemanfaatan kapasitas industri nasional terpasang belum optimal, walaupun terdapat peningkatan. Hal ini ditunjukkan dengan utilisasi kapasitas produksi yang masih sekitar 61,7 persen pada tahun 2000, sedangkan pada tahun 2003 kondisinya relatif membaik karena terdapat peningkatan menjadi sebesar 65,3 persen. Sedangkan utilisasi pada industri kimia, agro dan hasil hutan pada tahun 2003 mencapai 75,5 persen, dengan rata-rata perumbuhan dalam emapat tahun terkhir mencapai 1,9 persen per tahun. Pada industri logam, mesin, elektronika dan aneka tingkat utilisasinya pada tahun 2003 mencapai 55,2 persen dengan tingkat pertumbuhan rata-rata hanya mencapai 0,4 persen per tahun dalam empat tahun terakhir.
Berdasarkan kondisi dan permasalahan tersebut, kebijakan pembangunan Iptek akan diarahkan pada upaya (1) Perumusan kebijakan pembangunan iptek selaras dengan kebijakan industri dan kebijakan lainnya, (2) Penyempurnaan pola insentif dan pembiayaan litbang; (3) pembentukan mekanisme intermediasi untuk mempercepat difusi hasil riset ke dalam kegiatan ekonomi (4) Pengembangan kelembagaan untuk meningkatkan kapasitas lembaga litbang dan memperlancar transaksi hasil litbang, dan (5) Pengembangan Instrumen Analisis Pencapaian Teknologi dalam bentuk statistik iptek dan indikator Iptek.
Kelima: meningkatkan investasi. Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 menurunkan investasi. Dalam tahun 1998, investasi, berupa pembentukan modal tetap bruto, turun 33 persen dan menyumbang sekitar 80 persen bagi penurunan pertumbuhan ekonomi.
Keenam: menyediakan sarana dan prasarana penunjang kegiatan ekonomi. Konstitusi kita telah mengamanatkan bahwa bumi, air dan tanah serta kekayaan yang terkandung di dalamnya harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan energi dalam jumlah dan mutu yang memadai serta harga yang terjangkau merupakan tugas pemerintah sebagai bentuk pelayanan publik.
Selain merupakan salah satu sumber devisa negara yang penting, energi juga merupakan unsur penunjang utama dalam pertumbuhan ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan sektor lainnya. Pada dasarnya, kebijakan pembangunan energi diarahkan untuk terpenuhinya kemandirian dalam bidang energi, baik untuk kepentingan konsumsi dalam negeri maupun kepentingan ekspor. Sasaran yang hendak dicapai adalah menurunnya pangsa minyak bumi dalam penyediaan energi dan meningkatnya pangsa energi non minyak bumi, khususnya gas bumi dan batubara, serta berkembangnya pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT). Untuk mencapai sasaran tersebut, kebijakan pembangunan energi, termasuk ketenagalistrikan, difokuskan untuk meningkatkan penyediaan dan pemanfaatan sumberdaya energi; meningkatkan sarana dan prasarana; meningkatkan fungsi kelembagaan; meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan penguasaan teknologi; serta meningkatkan partisipasi masyarakat dan kepedulian terhadap lingkungan dalam pemanfaatan energi.
Perkembangan kuantitas tersebut belum diimbangi oleh perkembangan kualitas UKMK yang masih menghadapi permasalahan klasik yaitu rendahnya produktivitas. Produktivitas tenaga kerja usaha kecil baru mencapai Rp2,6 juta per tenaga kerja pada tahun 2003, sedangkan usaha menengah sebesar Rp8,7 juta per tenaga kerja. Angka tersebut sangat jauh tertinggal dibandingkan produktivitas tenaga kerja usaha besar yang mencapai Rp1,8 miliar per tenaga kerja. Tingkat produktivitas ini berkaitan erat dengan: (a) rendahnya kualitas SDM terutama dalam manajemen, penguasaan teknologi, dan pemasaran; (b) lemahnya kompetensi kewirausahaan; dan (c) terbatasnya kapasitas UKMK untuk mengakses permodalan, informasi teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Selain itu, terdapat beberapa masalah eksternal UKMK, terutama: (a) besarnya biaya transaksi akibat kurang kondusifnya iklim usaha; (b) praktik persaingan usaha yang tidak sehat; dan (c) keterbatasan informasi dan jaringan pendukung usaha.
Kemampuan UKMK untuk bersaing di era perdagangan bebas, baik di pasar domestik maupun di pasar ekspor, sangat ditentukan oleh dua kondisi utama yang perlu dipenuhi. Pertama, lingkungan internal UKMK mesti kondusif, yang mencakup aspek kualitas sumberdaya manusia, penguasaan teknologi dan informasi, struktur organisasi, sistem manajemen, kultur/budaya bisnis, kekuatan modal, jaringan bisnis dengan pihak luar, dan tingkat kewirausahaan (entrepreneurship). Kedua, lingkungan eksternal harus juga kondusif, yang terkait dengan kebijakan pemerintah, aspek hukum, kondisi persaingan pasar, kondisi ekonomi-sosial-kemasyarakatan, kondisi infrastruktur, tingkat pendidikan masyarakat, dan perubahan ekonomi global.
Di samping itu, otonomi daerah yang diharapkan mampu menumbuhkan iklim usaha yang kondusif bagi UKMK, pelaksanaannya ternyata belum menunjukkan kemajuan yang merata. Sejumlah daerah telah berusaha meningkatkan pelayanan kepada UKMK, sementara di beberapa daerah lain memandang UKMK sebagai sumber pendapatan asli daerah melalui pengenaan pungutan-pungutan baru sehingga biaya usaha UKMK meningkat.
Pada tahun 2003 tercatat laju pertumbuhan PDB UKM menyumbang 60 persen dari laju PDB nasional yang tercatat sebesar 4,1 persen. Dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi nasional ke depan serta mengurangi pengangguran dan sekaligus untuk mampu bersaing dalam pasar global dan dinamika perubahan situasi dalam negeri, maka pengembangan UKM perlu mempertimbangkan aspek potensial yang ada, yaitu: (1) pengembangan UKM yang secara proporsional menerapkan pengembangan perpaduan antara tenaga kerja terdidik dan terampil dengan adopsi penerapan teknologi; (2) UKM di sektor agribisnis dan agroindustri, yang karena prospeknya sangat strategis perlu didukung peningkatan akses dalam pengelolaan usaha, seperti status kepemilikan tanah, teknologi, informasi pasar dan sumberdaya manusia serta oleh berkembangnya wadah organisasi usaha bersama yang sesuai dengan kebutuhan; (3) perluasan sumber permodalan UKM yang memiliki kapasitas dukungan lebih besar seperti perbankan; (4) pengembangan usaha menengah yang kuat, yang merupakan pilihan strategis yang dapat diandalkan untuk mendukung proses industrialisasi, perkuatan keterkaitan industri, percepatan pengalihan teknologi, dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Peran ini juga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan industri besar nasional terhadap impor input antara; (5) penyederhanaan prosedur pendaftaran usaha dan penyediaan insentif bagi usaha informal, khususnya yang berskala mikro, yang diprioritaskan dalam rangka perlindungan, kesetaraan berusaha dan kontinuitas peningkatan pendapatan; dan (6) pengintegrasian pengembangan usaha dalam konteks pengembangan regional.
Ketiga: menciptakan stabilitas ekonomi dan keuangan. Program ini bertujuan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi peningkatan investasi dan ekspor yang sangat penting bagi percepatan pemulihan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Koordinasi dan sinkronisasi dari program-program ekonomi telah berperan pada menguatnya nilai Rupiah dan menurunnya laju inflasi. Pada periode tahun 2001 – 2003, nilai Rupiah menguat dari rata-rata tahunan sebesar Rp 10.210 (tahun 2001) menjadi Rp 8.572/US$ (2003). Pada periode yang sama, menguatnya nilai Rupiah telah membantu menurunkan laju inflasi dari 11,9% menjadi 5,06%. Seiring dengan itu, tingkat suku bunga juga menurun. Tingkat suku bunga SBI (3 bulan) menurun sekitar separuh dari 17,6% (2001) menjadi 8,3%(2003). Adapun tingkat suku bunga kredit modal kerja dan investasi juga menurun, meskipun dengan laju yang lebih lambat, yaitu masing-masing dari 19,2% dan 17,9% (2001) menjadi 15,1% dan 15,7% (2003).
Stabilitas makro telah memberikan pondasi bagi pemulihan ekonomi. Namun di samping itu diperlukan restrukturisasi perbankan, guna menyehatkan kembali perbankan dan penyelesaian utang perusahaan agar kegiatan usaha perusahaan-perusahaan tersebut dapat bergerak kembali. Dengan demikian akan terjadi sinergi antara sektor keuangan dengan sektor riil dalam mendorong perekonomian.
Restrukturisasi utang swasta antara lain ditempuh melalui Prakarsa Jakarta dan restrukturisasi yang dilaksanakan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Prakarsa Jakarta bertugas sampai dengan akhir Desember 2003 dan berhasil melakukan restrukturisasi sebanyak 96 kasus dengan nilai utang US$ 20,5 miliar dari 102 kasus yang terdaftar dengan total utang sebesar US$ 26,9 miliar. Dari 96 kasus yang dapat diselesaikan tersebut, perinciannya adalah 20 kasus senilai US$ 4,2 miliar mencapai tahap MOU dan 76 kasus senilai US$ 16,3 miliar mencapai perjanjian restrukturisasi hutang yang legally bindding (kreditor dan debitor sudah terikat dalam sebuah perjanjian yang berkekuatan hukum).
Sementara itu, jumlah kredit yang dialihkan dan harus direstrukturisasi oleh BPPN adalah sebanyak lebih dari 370.000 ribu rekening milik lebih dari 200.000 debitur. Dalam pelaksanaannya, gejolak iklim politik dan ekonomi makro sepanjang 1999 – 2001 menyebabkan restrukturisasi berjalan tersendat. Oleh karena itu, pada tahun 2002 melalui SK Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) no. Kep.01/K.KKSK/05/2002 tanggal 13 Mei 2002. Terobosan BPPN menekankan pada perlunya diberikan fokus penyelesaian restrukturisasi khusus bagi aset-aset yang bersifat strategis, yaitu pinjaman yang memiliki dampak nasional yang cukup besar. Pencapaian penyelesaian asset kredit oleh Aset Manajemen Kredit (AMK) hingga tahun 2003 mencapai total penerimaan sebesar Rp77,09 triliun dengan total pengalihan awal sebesar Rp270,43 triliun. Khusus untuk penyelesaian kredit Usaha Kecil dan Menegah (UKM) hingga tahun 2003 mencapai 98% meliputi 239.440 debitur dengan nilai ATK sebesar Rp29,02 triliun.
Dengan membaiknya stabilitas makro dan kemajuan dalam penyelesaian utang perusahaan, telah memungkinkan laju pertumbuhan kredit mencapai 11,9% (2001), 14,4%(2002), dan 15,9% (2003). Seiring dengan itu, loan to deposit ratio (LDR) meningkat meskipun belum mencapai tingkat pra krisis, yaitu dari 33,0% (2001) menjadi 43,2% (2003). Secara lebih menyeluruh, melalui program restrukturisasi perbankan, kondisi bank telah menjadi lebih sehat. Rasio kecukupan modal selama 2001-2003 (capital adequacy ratio/CAR) mencapai sekitar 20% dengan non-performing loans (NPL-gross) menurun dari 12,1% 2001 menjadi 6,8%. Kinerja lembaga keuangan bukan bank, seperti asuransi dan lembaga pembiayaan juga menunjukkan perbaikan, antara lain tercermin dari meningkatnya premi bruto untuk asuransi dari 1,6% PDB (2001) menjadi 1,9% PDB (2002), naiknya kegiatan usaha lembaga pembiayaan dari Rp30,8 triliun (2001) menjadi Rp 40,4 triliun (2003) serta omzet perum pergadian dari Rp6,0 triliun (2001) menjadi Rp8,8 triliun (2003).
Kedepan, perlu dilakukan langkah untuk memperkokoh kinerja dan ketahanan sektor keuangan melalui berbagai penyempurnaan pengaturan dan kelembagaan yang diperlukan guna mencapai tujuan tersebut. Sementara itu, stabilitas makro harus tetap terjaga agar iklim usaha lebih kondusif. Untuk itu, di samping melalui koordinasi dan sinkronisasi program-program ekonomi seperti diuraikan di atas, konsolidasi fiskal juga perlu dilanjutkan.
Selama 3 tahun terakhir, melalui konsolidasi fiskal telah diturunkan defisit anggaran secara bertahap dari 2,8% PDB (2001) menjadi 2,1% PDB (2003) dan direncanakan menjadi 1,2% PDB pada tahun 2004. Sementara itu, rasio stok hutang pemerintah terhadap PDB (tidak termasuk pinjaman kepada IMF) dapat diturunkan dari sekitar 87% pada akhir 2001 menjadi sekitar 69% PDB (2003) dan direncanakan menjadi sekitar 60% PDB (2004). Dalam kaitan ini, pelaksanaan perimbangan keuangan pusat dan daerah perlu dikelola agar di satu sisi meningkatkan kemampuan daerah dalam melaksanakan kewenangannya namun di sisi lain tetap selaras dengan upaya menjaga ketahanan fiskal.
Keempat: memacu peningkatan daya saing. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan ekspor nonmigas, termasuk pariwisata, dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Untuk itu dalam jangka pendek dilakukan langkah-langkah untuk memacu pemanfaatan kapasitas industri yang menganggur melalui pengurangan hambatan perdagangan dalam dan luar negeri serta peningkatan pembiayaan perdagangan. Dalam jangka menengah dilakukan langkah-langkah untuk meningkatkan daya saing, antara lain, dengan terus memperkuat institusi pasar, serta mengembangkan industri berkeunggulan kompetitif berlandaskan keunggulan komparatif didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Sampai dengan pelaksanaan tahun ke-4 Propenas 2000-2004, diperoleh indikasi pemanfaatan kapasitas industri nasional terpasang belum optimal, walaupun terdapat peningkatan. Hal ini ditunjukkan dengan utilisasi kapasitas produksi yang masih sekitar 61,7 persen pada tahun 2000, sedangkan pada tahun 2003 kondisinya relatif membaik karena terdapat peningkatan menjadi sebesar 65,3 persen. Sedangkan utilisasi pada industri kimia, agro dan hasil hutan pada tahun 2003 mencapai 75,5 persen, dengan rata-rata perumbuhan dalam emapat tahun terkhir mencapai 1,9 persen per tahun. Pada industri logam, mesin, elektronika dan aneka tingkat utilisasinya pada tahun 2003 mencapai 55,2 persen dengan tingkat pertumbuhan rata-rata hanya mencapai 0,4 persen per tahun dalam empat tahun terakhir.
Berdasarkan kondisi dan permasalahan tersebut, kebijakan pembangunan Iptek akan diarahkan pada upaya (1) Perumusan kebijakan pembangunan iptek selaras dengan kebijakan industri dan kebijakan lainnya, (2) Penyempurnaan pola insentif dan pembiayaan litbang; (3) pembentukan mekanisme intermediasi untuk mempercepat difusi hasil riset ke dalam kegiatan ekonomi (4) Pengembangan kelembagaan untuk meningkatkan kapasitas lembaga litbang dan memperlancar transaksi hasil litbang, dan (5) Pengembangan Instrumen Analisis Pencapaian Teknologi dalam bentuk statistik iptek dan indikator Iptek.
Kelima: meningkatkan investasi. Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 menurunkan investasi. Dalam tahun 1998, investasi, berupa pembentukan modal tetap bruto, turun 33 persen dan menyumbang sekitar 80 persen bagi penurunan pertumbuhan ekonomi.
Keenam: menyediakan sarana dan prasarana penunjang kegiatan ekonomi. Konstitusi kita telah mengamanatkan bahwa bumi, air dan tanah serta kekayaan yang terkandung di dalamnya harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan energi dalam jumlah dan mutu yang memadai serta harga yang terjangkau merupakan tugas pemerintah sebagai bentuk pelayanan publik.
Selain merupakan salah satu sumber devisa negara yang penting, energi juga merupakan unsur penunjang utama dalam pertumbuhan ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan sektor lainnya. Pada dasarnya, kebijakan pembangunan energi diarahkan untuk terpenuhinya kemandirian dalam bidang energi, baik untuk kepentingan konsumsi dalam negeri maupun kepentingan ekspor. Sasaran yang hendak dicapai adalah menurunnya pangsa minyak bumi dalam penyediaan energi dan meningkatnya pangsa energi non minyak bumi, khususnya gas bumi dan batubara, serta berkembangnya pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT). Untuk mencapai sasaran tersebut, kebijakan pembangunan energi, termasuk ketenagalistrikan, difokuskan untuk meningkatkan penyediaan dan pemanfaatan sumberdaya energi; meningkatkan sarana dan prasarana; meningkatkan fungsi kelembagaan; meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan penguasaan teknologi; serta meningkatkan partisipasi masyarakat dan kepedulian terhadap lingkungan dalam pemanfaatan energi.
Di bidang ketenagalistrikan, sampai dengan akhir tahun 2003, cadangan kapasitas tenaga listrik untuk Sistem Jawa Madura Bali (Jamali) telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan yaitu hanya sekitar 7% sedangkan beberapa daerah di Sistem Luar Jamali sejak tahun 2001 telah mengalami krisis tenaga listrik karena beban puncak lebih besar dari kapasitas terpasang dan cadangan listrik (reserved margin).
Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi krisis tersebut melalui peningkatan kapasitas pembangkit yang ada, pembangunan pembangkit baru serta jaringan distribusi dan transmisi, dan pengembangan pembangkit skala kecil dengan memanfaatkan potensi energi setempat/lokal terutama untuk daerah terpencil, terisolasi dan perbatasan (remote area) yang belum terinterkoneksi jaringan listrik (off-grid).
Upaya peningkatan kapasitas pembangkit dan pembangunan pembangkit baru dilakukan melalui upaya penyelesaian pembangunan pembangkit baru baik di Sistem Jamali yaitu PLTA Wonorejo maupun di Sistem Luar Jamali yaitu PLTA Besai (2x14 MW), PLTA Sipansihaporas Unit I, PLTA Renun, PLTU Tarahan dan PLTP Lahendong serta pembangkit skala kecil untuk daerah perdesaan seperti pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH).
Terkait dengan restrukturisasi dan reformasi di bidang ketenagalistrikan telah dikeluarkan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan sebagai pengganti undang-undang yang lama serta penyusunan 8 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) untuk mendukung pelaksanaan UU Ketenagalistrikan tersebut. Hasil lain yang tampak adalah penyelesaian re-negosiasi 26 proyek listrik swasta Adapun hasil dari program peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap infrastruktur ketenagalistrikan tampak dengan bertambahnya jaringan listrik untuk daerah perdesaan sehingga rasio desa terlistriki telah mencapai 78,5% pada tahun 2003.
Selama tahun 2000-2003, pada subsektor pos, telekomunikasi, informatika dan penyiaran, upaya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi 4-5% serta mengembalikan kemampuan penyediaan jasa pelayanan sarana dan prasarana yang sempat terganggu akibat krisis ekonomi dilaksanakan diantaranya melalui rehabilitasi serta pembangunan sarana dan prasarana untuk menunjang pertumbuhan permintaan jasa pelayanan yang telah melebihi kapasitas (bottleneck) seperti pembangunan 1,79 juta satuan sambungan (ss) telepon tetap, 3.016 ribu ss telepon di daerah pedesaan, dan 6 stasiun pemancar radio.
Disamping itu, pemerintah juga melakukan restrukturisasi penyelenggaraan usaha pelayanan jasa sarana dan prasarana. Kebijakan ini dilakukan diantaranya melalui pembukaan pasar secara terbatas (duopoli) dalam penyelenggaraan telekomunikasi tetap yang sekaligus menterminasi dini hak eksklusivitas PT Telkom dan PT Indosat pada tahun 2002 dan 2003, perkuatan kelembagaan TVRI dan RRI, serta penyempurnaan dan penyusun berbagai peraturan terkait dengan pelaksanaan restrukturisasi sektor.
Sedangkan untuk meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap jasa pelayanan pos, telekomunikasi dan penyiaran, pemerintah melakukan peningkatan kapasitas dan perluasan jangkauan wilayah hingga ke daerah-daerah yang secara ekonomi kurang memadai, termasuk daerah-daerah terpencil dan perbatasan, melalui program kewajiban pelayanan umum (Public/Universal Service Obligation).
Sektor transportasi, meterologi dan geofisika sangat penting dan stretegis bagi perekonomian nasional karena sektor ini memungkinkan terjadinya perdagangan baik nasional maupun internasional, kegiatan industri, serta pariwisata. Sarana dan prasarana transportasi juga sangat diperlukan untuk menjembatani kesenjangan dan mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan, serta meningkatkan mobilitas penumpang dan barang antarwilayah, antarperkotaan dan antarperdesaan. Selain itu, semakin banyaknya permasalahan sosial politik yang timbul di wilayah perbatasan, memerlukan tindakan pencegahan dan pemecahan segera. Oleh sebab itu, ketersediaan prasarana dan sarana transportasi di wilayah perbatasan dan wilayah terisolasi sangat diperlukan untuk mendorong kelancaran mobilitas barang dan orang serta mempercepat pengembangan wilayah dan mempererat hubungan antarwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disamping itu faktor keamanan dan keselamatan operasional transportasi merupakan aspek yang perlu mendapat perhatian tidak saja oleh regulator dan operator tetapi juga pengguna jasa transportasi.
Ketujuh: memanfaatkan kekayaan sumber daya alam nasional dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainability) dan kelestarian lingkungan. Dalam jangka pendek, antara lain dilakukan upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan sumber daya alam, peningkatan pengawasan dan pengamanan pemanfaatannya, serta penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan penegakannya untuk menjamin kepastian hukum bagi investor dan menjaga kelestarian sumber daya alam. Dalam jangka menengah dilakukan upaya rehabilitasi dan konservasi sumber daya alam, peningkatan akses informasi sumber daya alam, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan dan mengawasi pemanfaatan sumber daya alam. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan dalam Bab Pembangunan Ekonomi ini sangat terkait erat dengan program-program yang ada di dalam Bab Pembangunan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Sementara itu, pembangunan bidang kelautan dan perikanan dalam tiga tahun terakhir telah menunjukkan kemampuannya dalam memberikan sumbangan bagi pembangunan ekonomi nasional. Dalam kurun waktu 2000-2001, Produk Domestik Bruto (PDB) sub-sektor perikanan, mengalami peningkatan rata-rata sebesar 15,65 persen per tahun. Pada tahun 2001, PDB sub-sektor perikanan mencapai sekitar Rp34,67 triliun atau sekitar 2,33 persen terhadap PDB nasional, dan pada tahun 2002 kontribusi tersebut meningkat menjadi sebesar Rp46,61 triliun atau sekitar 2,89 persen dari PDB nasional, dan pada tahun 2003 kontribusi tersebut meningkat menjadi sebesar Rp44,79 triliun atau sekitar 3,1 persen dari PDB nasional. Sementara itu dalam bidang pembangunan kehutanan, beberapa hasil penting adalah meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan, khususnya dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan, tersusunnya rencana dan sistem pengelolaan hutan dan lahan yang efisien dan lestari, peningkatan dalam ketersediaan dan keterbukaan data dan informasi, serta peningkatan koordinasi dalam penyusunan dan penyempurnaan peraturan-peraturan di bidang kehutanan.
Dalam pengelolaan sumber daya air, pelaksanaan pembangunan ditekankan pada upaya mengembalikan fungsi pelayanan sumber-sumber air yang menurun akibat kerusakan daerah aliran sungai (DAS) dan kurangnya perhatian terhadap pemeliharaan dan rehabilitasi sumber-sumber air; serta meningkatkan efisiensi kelembagaan. Di samping itu juga ditekankan pada upaya mengurangi dampak bencana banjir dan kekeringan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, pengembangan dan pengelolaan sumber-sumber air diprioritaskan pada kegiatan operasi dan pemeliharaan, rehabilitasi, serta pengembangan waduk, danau, embung, situ dan bendungan; penyusunan peraturan perundangan di bidang sumber daya air, penataan kelembagaan dengan memperhatikan kearifan dan budaya setempat, serta kegiatan yang sifatnya non fisik dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi sehingga dapat memperkecil dampak sosial. Selanjutnya, dalam pemanfaatan sumberdaya mineral, agar diperoleh hasil yang optimal dan meminimalkan dampak buruk yang terjadi dengan menekankan pada manajemen eksploitasi ataupun pengelolaan sumberdaya mineral secara tepat dan sesuai dengan kaidah good mining practices. Penerapan kaidah ini akan menunjang upaya konservasi pertambangan dan meningkatkan/menambah umur tambang secara nyata. Dengan demikian, sumberdaya mineral dan pertambangan akan memberikan kemanfaatan secara berkelanjutan dalam mendukung pembangunan nasional.
Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi krisis tersebut melalui peningkatan kapasitas pembangkit yang ada, pembangunan pembangkit baru serta jaringan distribusi dan transmisi, dan pengembangan pembangkit skala kecil dengan memanfaatkan potensi energi setempat/lokal terutama untuk daerah terpencil, terisolasi dan perbatasan (remote area) yang belum terinterkoneksi jaringan listrik (off-grid).
Upaya peningkatan kapasitas pembangkit dan pembangunan pembangkit baru dilakukan melalui upaya penyelesaian pembangunan pembangkit baru baik di Sistem Jamali yaitu PLTA Wonorejo maupun di Sistem Luar Jamali yaitu PLTA Besai (2x14 MW), PLTA Sipansihaporas Unit I, PLTA Renun, PLTU Tarahan dan PLTP Lahendong serta pembangkit skala kecil untuk daerah perdesaan seperti pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH).
Terkait dengan restrukturisasi dan reformasi di bidang ketenagalistrikan telah dikeluarkan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan sebagai pengganti undang-undang yang lama serta penyusunan 8 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) untuk mendukung pelaksanaan UU Ketenagalistrikan tersebut. Hasil lain yang tampak adalah penyelesaian re-negosiasi 26 proyek listrik swasta Adapun hasil dari program peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap infrastruktur ketenagalistrikan tampak dengan bertambahnya jaringan listrik untuk daerah perdesaan sehingga rasio desa terlistriki telah mencapai 78,5% pada tahun 2003.
Selama tahun 2000-2003, pada subsektor pos, telekomunikasi, informatika dan penyiaran, upaya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi 4-5% serta mengembalikan kemampuan penyediaan jasa pelayanan sarana dan prasarana yang sempat terganggu akibat krisis ekonomi dilaksanakan diantaranya melalui rehabilitasi serta pembangunan sarana dan prasarana untuk menunjang pertumbuhan permintaan jasa pelayanan yang telah melebihi kapasitas (bottleneck) seperti pembangunan 1,79 juta satuan sambungan (ss) telepon tetap, 3.016 ribu ss telepon di daerah pedesaan, dan 6 stasiun pemancar radio.
Disamping itu, pemerintah juga melakukan restrukturisasi penyelenggaraan usaha pelayanan jasa sarana dan prasarana. Kebijakan ini dilakukan diantaranya melalui pembukaan pasar secara terbatas (duopoli) dalam penyelenggaraan telekomunikasi tetap yang sekaligus menterminasi dini hak eksklusivitas PT Telkom dan PT Indosat pada tahun 2002 dan 2003, perkuatan kelembagaan TVRI dan RRI, serta penyempurnaan dan penyusun berbagai peraturan terkait dengan pelaksanaan restrukturisasi sektor.
Sedangkan untuk meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap jasa pelayanan pos, telekomunikasi dan penyiaran, pemerintah melakukan peningkatan kapasitas dan perluasan jangkauan wilayah hingga ke daerah-daerah yang secara ekonomi kurang memadai, termasuk daerah-daerah terpencil dan perbatasan, melalui program kewajiban pelayanan umum (Public/Universal Service Obligation).
Sektor transportasi, meterologi dan geofisika sangat penting dan stretegis bagi perekonomian nasional karena sektor ini memungkinkan terjadinya perdagangan baik nasional maupun internasional, kegiatan industri, serta pariwisata. Sarana dan prasarana transportasi juga sangat diperlukan untuk menjembatani kesenjangan dan mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan, serta meningkatkan mobilitas penumpang dan barang antarwilayah, antarperkotaan dan antarperdesaan. Selain itu, semakin banyaknya permasalahan sosial politik yang timbul di wilayah perbatasan, memerlukan tindakan pencegahan dan pemecahan segera. Oleh sebab itu, ketersediaan prasarana dan sarana transportasi di wilayah perbatasan dan wilayah terisolasi sangat diperlukan untuk mendorong kelancaran mobilitas barang dan orang serta mempercepat pengembangan wilayah dan mempererat hubungan antarwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disamping itu faktor keamanan dan keselamatan operasional transportasi merupakan aspek yang perlu mendapat perhatian tidak saja oleh regulator dan operator tetapi juga pengguna jasa transportasi.
Ketujuh: memanfaatkan kekayaan sumber daya alam nasional dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainability) dan kelestarian lingkungan. Dalam jangka pendek, antara lain dilakukan upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan sumber daya alam, peningkatan pengawasan dan pengamanan pemanfaatannya, serta penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan penegakannya untuk menjamin kepastian hukum bagi investor dan menjaga kelestarian sumber daya alam. Dalam jangka menengah dilakukan upaya rehabilitasi dan konservasi sumber daya alam, peningkatan akses informasi sumber daya alam, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan dan mengawasi pemanfaatan sumber daya alam. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan dalam Bab Pembangunan Ekonomi ini sangat terkait erat dengan program-program yang ada di dalam Bab Pembangunan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Sementara itu, pembangunan bidang kelautan dan perikanan dalam tiga tahun terakhir telah menunjukkan kemampuannya dalam memberikan sumbangan bagi pembangunan ekonomi nasional. Dalam kurun waktu 2000-2001, Produk Domestik Bruto (PDB) sub-sektor perikanan, mengalami peningkatan rata-rata sebesar 15,65 persen per tahun. Pada tahun 2001, PDB sub-sektor perikanan mencapai sekitar Rp34,67 triliun atau sekitar 2,33 persen terhadap PDB nasional, dan pada tahun 2002 kontribusi tersebut meningkat menjadi sebesar Rp46,61 triliun atau sekitar 2,89 persen dari PDB nasional, dan pada tahun 2003 kontribusi tersebut meningkat menjadi sebesar Rp44,79 triliun atau sekitar 3,1 persen dari PDB nasional. Sementara itu dalam bidang pembangunan kehutanan, beberapa hasil penting adalah meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan, khususnya dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan, tersusunnya rencana dan sistem pengelolaan hutan dan lahan yang efisien dan lestari, peningkatan dalam ketersediaan dan keterbukaan data dan informasi, serta peningkatan koordinasi dalam penyusunan dan penyempurnaan peraturan-peraturan di bidang kehutanan.
Dalam pengelolaan sumber daya air, pelaksanaan pembangunan ditekankan pada upaya mengembalikan fungsi pelayanan sumber-sumber air yang menurun akibat kerusakan daerah aliran sungai (DAS) dan kurangnya perhatian terhadap pemeliharaan dan rehabilitasi sumber-sumber air; serta meningkatkan efisiensi kelembagaan. Di samping itu juga ditekankan pada upaya mengurangi dampak bencana banjir dan kekeringan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, pengembangan dan pengelolaan sumber-sumber air diprioritaskan pada kegiatan operasi dan pemeliharaan, rehabilitasi, serta pengembangan waduk, danau, embung, situ dan bendungan; penyusunan peraturan perundangan di bidang sumber daya air, penataan kelembagaan dengan memperhatikan kearifan dan budaya setempat, serta kegiatan yang sifatnya non fisik dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi sehingga dapat memperkecil dampak sosial. Selanjutnya, dalam pemanfaatan sumberdaya mineral, agar diperoleh hasil yang optimal dan meminimalkan dampak buruk yang terjadi dengan menekankan pada manajemen eksploitasi ataupun pengelolaan sumberdaya mineral secara tepat dan sesuai dengan kaidah good mining practices. Penerapan kaidah ini akan menunjang upaya konservasi pertambangan dan meningkatkan/menambah umur tambang secara nyata. Dengan demikian, sumberdaya mineral dan pertambangan akan memberikan kemanfaatan secara berkelanjutan dalam mendukung pembangunan nasional.
0 komentar:
Post a Comment